Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

uniekirdpanAvatar border
TS
uniekirdpan
Istriku Biadab



"Ma," bisikku mesra. Kuciumi pipi mulus Resty dengan gejolak yang sudah menggebu.


"Apa, sih, Pa? Aku ngantuk banget. Capek," lirih Resty manja. Matanya masih terpejam.


Aku mendengkus kasar. "Ayolah, Ma. Bentar aja. Mumpung Salsa udah tidur." Aku masih berusaha merayu.


"Ah, aku capek banget. Besok pagi udah harus berangkat kerja," tolaknya seraya menepis pelukanku.


Lagi-lagi, Resty menolak ajakanku untuk memadu kasih. Padahal, pasti dia tahu, menolak permintaan suami untuk itu dosanya sangat besar. 


Dia berubah setelah memutuskan untuk bekerja. Alasannya capeklah, malaslah, frekuensi datang bulannya juga jadi semakin sering. Menyebalkan sekali. Inilah yang membuatku menolak keras mengijinkannya untuk bekerja. Lagipula, penghasilanku sebagai bos cilok lebih dari cukup untuk memanjakan anak istri.


Namun, karena dia terus memaksa dengan wajah imutnya yang menggemaskan, apa boleh buat, akhirnya aku luluh juga. Alasannya, Resty merasa bosan di rumah terus. Hingga akhirnya, sekarang aku menyesal dengan keputusan itu. 


"Ma ...."


"Apa, sih, Pah, ih!" Resty dengan cepat berbalik membelakangiku. Saat itulah, kancing piyama bagian dadanya terbuka. Aku terbelalak, sekilas melihat tanda merah di kulit putih mulus itu.


Dadaku seketika berdesir. Nafsu yang sejak tadi sudah di ubun-ubun, musnah seketika. Perlahan, kusingkap sedikit piyamanya, memastikan apa yang pertama tadi kulihat. Benar. Siapa yang membuat tanda itu, sementara sudah dua minggu aku tak menyentuhnya.


"Ma, bangun kamu!" pekikku seraya mengguncang cepat tubuhnya.


"P-papa kenapa, sih?" sahutnya terlihat ketakutan.


"Ada maen apa, kamu di belakangku, hah?!" hardikku dengan tatapan melotot tajam padanya.


"P-papa ngomong apa, sih?" tanyanya seperti orang linglung.


"Ini apa, ini?" Kutarik kasar piyamanya hingga seluruh kancingnya terlepas. "Itu apa? Jawab!" 


"Mama gak ngerti maksud Papa? Apa yang Papa maksud?" tanyanya seperti kebingungan. Wajah polosnya memerah seketika.


"Ini! Siapa yang sudah meniduri kamu?" Kutunjuk dengan kasar bagian memerah di dadanya.


"Ini? Ini cuma bekas gigitan nyamuk yang digaruk terus sampe merah. Kok, Papa mikirnya gitu, sih, sama Mama?" teriaknya sambil menangis.


"Jangan ngeles, kamu!" 


"Emang kamu pikir, aku perempuan macam apa?! Jahat banget, kamu, Pa, nuduh aku kaya gitu." Sekarang suaranya lebih kencang dariku.


Melihatnya menangis tersedu-sedu, sontak aku merasa kasihan, dan menyesal langsung memarahinya tanpa bertanya baik-baik dulu. 


Gegabahnya aku. Harusnya berpikir, mana mungkin, wanita sepolos Resty bertindak tidak terpuji seperti itu.


Kurengkuh ia dalam dekapan, dan menepuk-nepuk punggungnya pelan. "Maaf, Sayang, papa hilang kendali. Udah, ya, jangan nangis lagi."


Resty mengangguk pelan dalam dekapanku.


____


"Istrimu itu nyeleweng!" ucap Junaedi. Teman yang memasukan Resty kerja ke pabrik. Kebetulan Edi adalah security di sana.


"Lah, jangan ngarang kamu, Di!" Aku mengelak. 


"Dih, ngapain aku mengada-ngada? Awalnya, aku gak niat ngasih tau kamu. Gak pengen ikut campur. Tapi, lama-lama ya kasian sama kamu, Fan. Sudah kukasih tau dia tapi, gak digubris. Sekarang, cari tau dan urus aja gimana baiknya."


Emosiku seketika memuncak. Dada sesak menahan amarah. Apa benar kecurigaanku selama ini?


Akhirnya, atas saran Irfan, aku memutuskan untuk membuntuti Resty saat ia berangkat kerja. Karena menurut Irfan, laki-laki muda selingkuhannya setiap hari Resty antar jemput untuk berangkat dan pulang kerja bareng. Jika benar, alangkah bodohnya istriku itu. Mau-maunya dimanfaatkan laki-laki.


Setelah motor Resty sudah terdengar keluar dari halaman rumah, segera kupakai jaket dan helm yang dipinjam dari tetangga. Termasuk motor. Supaya Resty tidak mengenali.


"Mau ke mana, Kang?" tanya salah satu karyawan yang bekerja membuat cilok di rumahku.


"Keluar sebentar. Titip Salsa, ya. Dia anteng sama kamu, 'kan?"


"Lah, kok, gak bawa motor?" tanyanya lagi. Aku memang tidak membatasi diri antara aku dan karyawan. Sehingga mereka tidak canggung.


"Ah, sudah, pokoknya titip Salsa."


Setengah berlari aku ke rumah tetangga, mengambil motor. Takut keburu kehilangan jejak Resty. Untungnya, berhasil juga menyusul dan membuntutinya dengan jarak lima meteran di belakangnya.


Jantungku berdegup sangat kencang saat motor Resty berbelok ke daerah Sambong jaya. Keputusan untuk menunggu di seberang jalan. Terlalu mencurigakan kalau ikut masuk. 


Mudah-mudahan saja semuanya tidak seperti yang Edi ceritakan, juga seperti yang kutakutkan.


Hingga beberapa saat kemudian, motor yang kubelikan untuk Resty sebagai kado ulang tahun setahun lalu itu kembali dikendarai seorang laki-laki muda. Resty membonceng di belakang seraya memeluk sangat erat laki-laki itu. Mereka melewatiku yang tertegun di sini. Mengobrol hangat seraya sesekali tertawa cekikikan. Tawa yang akhir-akhir ini tak pernah Resty tunjukan saat tengah bersamaku.


Bersambung.


Demi apa pun, cerita ini terinspirasi dari kisah nyata yang banyak terjadi waktu ane kerja di pabrik dulu. ☺️

Lanjutan di kolom komentar, ya, Gan. Sorry kalau ada yang keliru, ane baru banget nulis di kaskus.

Oh, ya, buat yang pengen cepet baca sampai tamat, bisa mampir ke akun KBM app ane. Usernamenya UnieVejvongsa24 dengan judul Istriku Polos-polos Biadab

Jangan lupa, baca juga https://www.kaskus.co.id/show_post/6...9b4c777a236a08
Gak kalah seru, lho!
Diubah oleh uniekirdpan 22-12-2021 03:11
pohonrindang11
anonymcoy02
servesiwi
servesiwi dan 30 lainnya memberi reputasi
31
9.4K
118
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
uniekirdpanAvatar border
TS
uniekirdpan
#30
Part 7
Emosiku kembali memuncak. Kesabaranku sudah di ambang batas. Tanpa memedulikan keberadaan Emak, juga Salsa yang tergolek lemah, kurebut mangkok berisi bubur di tangan Resty, menaruhnya bersamaan dengan bungkusan yang dibawa ke atas nakas.






"Pa ...," gumamnya begitu pelan. 






"Ikut aku!" Kutarik ia keluar hingga terseret-seret.







"Irfan, hey!" Tak kupedulikan suara Emak memanggil.






Setelah beberapa langkah dari kamar, kutepis ia dengan keras hingga terpelanting dan membentur tembok. Ia tertunduk dengan wajah sembab berurai air mata. Sepertinya, sejak kemarin ia tak berhenti menangis.






Malu dan menyesal pastinya kalau aku jadi dia. Kalau dia masih punya malu, sih. Hina!





"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku dingin.






"Aku cuma mau ngurusin Salsa, Pa. Dia sa---"







"Panggil aku Irfan saja!" potongku cepat. Kutatap wajahnya tajam. "Aku bisa urus anakku sendiri!" sambungku dengan penekanan.






"Dia butuh aku, A'. Kamu tega jauhin anak kamu dengan ibunya sendiri? Tega, kamu!" ujarnya seraya terisak. 







Aku tega? Astaga ... mentang-mentang dicap sebagai makhluk yang lemah, apakah semua wanita yang bersalah selalu playing victym seperti ini? Padahal jelas-jelas aku dan Salsa adalah korban dari ketegaannya.







"Heh, setelah semua ini terjadi, baru kamu sadari kalau Salsa membutuhkanmu? Seharusnya, sebelum bertindak menjijikan seperti kemarin, kamu pikirkan anakmu! Jika tidak memikirkan perasaanku tak apa, mungkin aku hanya orang lain, yang kebetulan berpartner denganmu sebagai sepasang orang tua. Tapi, Salsa darah dagingmu! Kurasa, wanita sepertimu tidak layak menjadi seorang ibu!" 






"Cukup, A', cukup!" ucapnya sambil menutup kedua telinga. "Kamu menghakimi aku, seolah kamu suami yang paling sempurna. Padahal ...."






"Apa?! Katakan apa kesalahanku yang setimpal dengan kebiadabanmu? Dari ucapanmu, kurasa tak ada menyesal sama sekali di sana." Kutunjuk ke arah dadanya. "Selama ini aku salah menilaimu, Resty. Wanita yang yang kupikir baik-baik selama ini, tak ubahnya wanita kotor yang tidak punya malu!" berondongku, menumpahkan semua unek-unek di dada.






Plak! 






Aku tersentak. Beraninya dia menamparku.






"Udah puas kamu menghakimi aku seperti ini? Jahat, kamu, A'." 






Ya Allah ... sepertinya bicara dengan iblis betina ini hanya akan membuang waktuku dan menguras energi dengan percuma. Tak nampak sedikit pun gelagat kalau ia merasa bersalah dan menyesal. Permintaan maafnya kemarin hanya kamuflase di depan warga, dan keluarganya.






Jemariku repleks terkepal menahan emosi. Terasa begitu nyeri bekas kemarin meninju tembok. 







"Pergi kamu dari sini! Aku muak melihatmu."






"Enggak, aku mau nemenin Salsa sampai sembuh! Aku yang berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkannya, dan kamu gak berhak jauhin aku dari Salsa!" Resty hendak kembali ke kamar Salsa. 







Segera kutahan dengan menarik pergelangan tangannya kuat-kuat, lalu menyentaknya lagi ke dinding. Kali ini lebih keras.






"Pergi! Salsa akan jauh lebih baik tanpa ibu sepertimu. Tidak ada yang menghendaki kedatanganmu!"






"Emak yang suruh Resty ke sini! Sudah jangan bertengkar di sini. Apa kalian tidak malu?" Tiba-tiba Emak muncul menyusul kami.






Aku hanya membuang muka ke sembarang arah. Sementara Resty masih dengan playing victymnya. Terisak-isak seolah ia yang paling terdzolimi. Wanita setan!







"Res, kamu temenin Salsa. Dia nyariin kamu," ucap Emak lagi.






Resty dengan langkah cepat berlalu meninggalkanku. Aku melangkah gontai, dan mengempaskan tubuh di bangku ruang tunggu yang tak jauh dari tempat berdiri sebelumnya. Tak berapa lama, Emak menghampiri dan duduk di sampingku. 







"Berat sekali, 'kah, masalah kalian, Nak? Tugas suami adalah mendidik dan membimbing istrinya jadi lebih baik. Maka, jika istrimu salah, maafkan, dan pimpin dia belajar memperbaiki kesalahan. Bukan begitu, 'kan?" ucap Emak. Lantas mengelus lembut punggung tanganku.






Tapi masalahnya tak sesederhana yang Emak pikir! Tentu saja kata-kata itu hanya terngiang dalam sanubari saja.






Kuusap wajah frustrasi. "Jujur berat, Mak. Irfan udah gak bisa mentolerir lagi. Rumah tangga Irfan kadung hancur. Tak bisa diperbaiki lagi."







Emak terdengar menghela napas berat. "Secepat ini? Sebatas yang Emak tau, selama usia pernikahan, baru kali ini Emak lihat kalian ada masalah. Mungkin terkesan berat bagimu karena baru pertama kali rumah tangga ditimpa masalah, Fan."






Haruskah kuceritakan semuanya pada Emak sekarang? Tapi, aku khawatir dengan kesehatannya. Pasti Emak shyok berat. Darah tinggi dan lambungnya pasti langsung kumat. Bahkan mungkin lebih fatal dari itu. Sementara aku tidak mau terjadi sedikit pun hal yang buruk pada Emak.






"Ini benar-benar berat, Mak. Irfan sudah menalak Resty, dan Irfan harap, Emak bisa menghargai keputusan Irfan."






"Astaghfirullah, Fan." Emak mengelus dadanya. "Jujur, Emak sangat kecewa. Ya sudahlah, Emak percaya kamu cukup dewasa dan bijak dalam menentukan keputusan. Hanya, pesan Emak, tolong pikirkan kembali masak-masak. Terutama mengenai imbasnya kepada Salsa. Apa kamu tidak melihat bagaimana bahagianya anakmu atas kehadiran ibunya? Bahkan dia makan dengan lahap bubur yang dibawa Resty."





Aku menerawang. Ya, tentu saja. Salsa selalu menjadi prioritas utama bagiku untuk menentukan semuanya. Terutama dalam hal besar seperti ini. Meski berat, aku optimis, perpisahan adalah jalan keputusan paling tepat bagiku dan Salsa. 






Masa bodo dengan Resty! Saat kejadian hina itu, otomatis ia langsung terblacklist dari deretan orang yang spesial di hatiku. Terbuang ke tempat sampah.






_____







"Kenapa gak kamu kasusin masalah kemarin itu, Fan?" sahut Edi, kemudian menyeruput kopinya. Saat ini kami sedang mengobrol ringan di teras rumahku.






Salsa sudah pulang setelah dua hari dirawat. Dan selama itu pula Resty selalu berada di sampingnya. Aku tidak bisa berkutik. Mau bagaimana lagi, semua karena campur tangan Emak.






Lagipula, melihat pemulihan Salsa yang sangat cepat saat ditemani ibunya membuat hatiku luluh. Maksudku, luluh untuk membiarkan Resty tetap berada di samping gadis mungil itu. Biar aku kesampingkan dulu ego demi anak.






Anak sepolos Salsa mengerti apa tentang masalah ini. Di pikirannya hanya ingin berada dekat dengan kedua orang tua. Seburuk-buruknya Resty, di mata suci Salsa, ia tetap ibu yang paling dicintainya. 







"Dikasusin bagaimana?" tanyaku seraya mengerutkan dahi.






"Ya, kamu minta si Herdi itu bayar sesuai yang kamu kehendaki. Kalau dia gak mampu, penjara ganjarannya." Belakangan, aku tahu nama selingkuhan Resty adalah Herdi.






"Bah! Aku malas berurusan dengan mereka lagi. Najis! Lagian bukan sombong, masalah duit, aku sudah cukup."






"Ya, gak bisa diragukan. Kamu gak bakal kekurangan duit, Fan. Tapi, kan, dia cuma buruh pabrik sepertiku, pasti kalau kamu minta denda, kelabakan dia. Itung-itung ngasih pelajaran."







"Kalau gitu, bukanya aturannya aku harus mempertahankan si Resty? Sementara aku, melihatnya saja sudah muak!" jelasku mantap.






Edi hanya terkekeh seraya menepuk pundakku.







Di tengah obrolan, hapeku berdering di ruang tamu. Segera aku beranjak ke dalam. Barangkali penting. Ternyata panggilan dari Rizky. Segera kusentuh gambar gagang telepon berwarna hijau.







"Hallo, Ky?" Aku membuka percakapan.






"A', cerita sama aku. Berita viral yang aku liat barusan gak bener, 'kan?" ujarnya dengan nada panik.






"Heh, pelan-pelan kalau ngomong. Berita apa?" Aku jadi kaget dan penasaran.





Bersambung
farid2098
servesiwi
jenggalasunyi
jenggalasunyi dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Tutup