Quote:
Ajaib! Mungkin itu kata yang paling tepat bagi Galih, untuk mendeskripsikan apa yang telah dilakukan oleh Anjar semalam. Ya! Setelah semalam pergelangan kakinya yang terkilir diurut oleh Anjar, maka pagi ini pergelangan kaki itu sudah tak begitu terasa nyeri lagi. Bahkan sudah bisa dipakai untuk berjalan meski masih agak tertatih. Demikian juga dengan luka lecet dan lebam di sekujur tubuhnya, tak begitu terasa perih dan nyeri lagi setelah semalam diolesi ramuan ajaib dari dedaunan tumbuk yang dibuat oleh Anjar. Luar biasa! Ada sedikit kekaguman yang dirasakan oleh Galih terhadap adik sepupunya itu. Sepertinya Anjar telah mewarisi kemampuan Mbah Pariyem, sang nenek.
Tengah asyik melamunkan Anjar di teras rumah, Galih dikejutkan oleh kemunculan seorang bocah laki laki yang terlihat takut takut memasuki halaman rumahnya. Bocah itu nampak celingak celinguk sebentar, lalu saat melihat Galih yang tengah duduk di lincak teras, bocah itu tertegun, lalu mengucek matanya, seolah sedang memastikan apa yang telah dilihatnya.
"Cari siapa Le?" tegur Galih sambil tersenyum.
"Engggg..., nganu, cari..., Mas Galih..." sahut anak itu, gugup. Suaranya terdengar sedikit gemetar.
"Kemarilah," Galih melambaikan tangan ke arah anak itu, memberi isyarat agar mendekat. "Aku Galih!"
Anak itu melangkah ragu, menghampiri Galih sambil celingak celinguk seolah takut akan sesuatu.
"Siapa namamu? Dan ada perlu apa mencariku?" tanya Galih lagi, sambil masih tetap tersenyum.
"Saya..., eh, anu..." anak itu menjawab gugup. Bias ketakutan jelas tergambar di wajahnya.
"Hei! Kenapa kamu terlihat ketakutan begitu? Aku bukan orang jahat, jadi..."
"Emm, anu Mas, Kata teman teman saya rumah ini angker, banyak setannya, karena dulu pernah dipakai bunuh diri sama...."
"Astaga!" nyaris Galih tergelak mendengar pengakuan jujur anak itu. "Bohong temanmu itu! Ndak ada hantu di rumah ini! Percayalah! Lagian mana ada hantu keluar pagi pagi begini."
"Emmm, iya Mas."
"Jadi, siapa namamu? Dan ada perlu apa mencariku?"
"Saya Jono Mas, anaknya Pak anu! Ini, disuruh nganter ini sama Mbak Anjar," anak itu mengulurkan bungkusan plastik yang dibawanya.
"Anjar?" tanya Galih heran. "Apa ini?"
"Beras kencur Mas. Katanya buat ngolesin kaki Mas Galih yang kemarin keseleo."
"Oh, terimakasih ya. Rumahmu dekat sama rumah Anjar?"
"Iya mas, disebelahnya rumah Mbak Anjar."
"Emmm, bilang terimakasih sama Mbak Anjar ya, dan ini...," Galih merogoh sakunya dan memberikan beberapa keping uang koin kepada anak itu. "Ini buat kamu. Buat jajan!"
"Eh, ndak usah Mas. Tadi saya sudah dikasih upah kok sama Mbak Anjar," tolak anak itu. Anak yang jujur, batin Galih.
"Ndak papa, ini aku tambahin lagi, dan bilang sama teman temanmu ya, ndak ada hantu di rumah ini, jadi kalau mau main kesini, ndak perlu takut. Ajak teman temanmu nanti main kesini, nanti aku beri makanan enak."
"Asyiiikkkk...!!! Terimakasih banyak Mas," anak itu segera menyambar uang yang diberikan oleh Galih dengan wajah berbinar binar. "Kalau begitu aku pulang dulu ya Mas. Nanti akan kuajak teman teman main kesini!"
Galih hanya tersenyum melihat anak itu berlari lari kecil mennggalkannya sambil bernyanyi nyanyi riang, hingga ia tak menyadar kehadiran Arum yang muncul dari arah dapur sambil membawa segelas kopi.
"Ehem ehem!" Arum pura pura berdehem, membuat Galih sedikit kaget.
"Apa sih Rum? Bikin kaget aja!" sungut Galih.
"Hmmm, yang dapat perhatian dari Mbak Anjar, sampai senyum senyum sendiri gitu," goda Arum sambil meletakkan gelas kopi didekat Galih.
"Ngawur kamu! Perhatian apa coba?"
"Lha itu tadi, Mbak Anjar sampai bela belain ngupah anak buat nganterin beras kencur buat Mas Galih. Padahal kalau cuma sekedar bikin beras kencur begitu aku juga bisa."
"Oh, jadi ceritanya kamu cemburu nih?" Galih balas menggoda Arum.
"Iiihhh...! Mas Galih apaan sih? Mana ada aku cemburu! Aku kan adikmu Mas! Masa...!"
"Anjar juga adikku kan?"
"Ah, Mas Galih ini! Ndak seru ah! Sudah, aku mau kebelakang dulu, bantuin Ajeng nyuci. Kalau mau sarapan panggil aja ya Mas, nanti kuambilin!"
"Iya. Makasih banyak ya Rum! Kamu perhatian banget deh! Jadi makin..."
"Preeetttt...!" Arum bergegas kembali ke dapur sambil berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah bak tomat masak. Galih hanya tersenyum melihat tingkah sang adik sepupu itu.
Sepeninggal Arum, Paklik Harno bersama Bulik Parni datang sengaja untuk menjenguknya. Dan lagi lagi Galih terpaksa kembali berbohong saat kedua paman dan bibinya itu bertanya kenapa ia sampai keluyuran ke puncak gunung dan jatuh ke jurang. Galih tak mau kalau sampai Paklik dan buliknya cemas. Selain itu, kalau kejadian ini sampai terdengar ke telinga Budhe Katmi, bisa runyam urusannya.
Paklik Harno juga mengabarkan bahwa ladang jagung milik Galih yang berada di sebelah timur desa itu besok akan dipanen. Kebetulan! Galih lalu mengutarakan niatnya untuk mengambil alih ladang yang digarap oleh para warga itu dan menggarapnya sendiri.
"Kamu serius Le?" tanya Paklik Harno.
"Tentu saja aku serius Lik. Aku ingin memberi contoh kepada warga disini, bagaimana cara bercocok tanam yang baik dan benar, dan memanfaatkan lahan sebaik mungkin agar bisa lebih menghasilkan lagi. Seperti yang pernah aku lihat di Tawangmangu dulu Lik. Petani petani disana lumayan makmur lho. Sementara disini, Kulihat warga disini masih asal asalan cara bertaninya, makanya hasil panennya juga tak seberapa, meskipun lahan mereka rata rata sangat luas," jelas Galih.
"Ya, niatmu itu baik Le, cuma...."
"Cuma kenapa Lik?"
"Apa tidak terlalu cepat? Paklik takut, kalau kamu tiba tiba mengambil alih lahan milikmu yang sedang mereka garap itu, mereka akan tersinggung. Perlu kamu tau Le, sikap warga sini itu rata rata keras kepala dan susah untuk diajak kompromi. Apalagi kau baru saja tiba di desa ini. Apa ndak sebaiknya ...."
"Soal itu, sudah kupikirkan Lik. Mengingat bahwa ladang milikku itu lumayan luas, tak mungkin aku bisa mengerjakan semuanya sendiri. Para warga itu, kalau mau nanti bisa bekerja membantuku, dengan upah sewajarnya tentunya. Dan soal kemana nanti akan menjual hasil panennya, Paklik tak perlu khawatir, aku bisa minta tolong sama Budhe Katmi. Budhe punya banyak kenalan tengkulak di kota sana."
Paklik Harno terdiam sejenak mendengar rencana Galih itu. Sedikit banyak ia sudah mendengar dari Pakdhe Margono, bahwa sikap tegas dan keras kepala almarhum Marsudi telah menurun kepada Galih sang anak. Maka, untuk mencegah rencana Galih yang sebenarnya penuh resiko itu, sepertinya hanya akan sia sia saja. Maka, tak ada pilihan lain bagi Paklik Harno selain menyetujui apa yang telah direncanakan oleh sang keponakan itu, sambil berharap semoga saja para warga yang selama ini menggarap lahan milik Galih juga bisa menerima keputusan dari Galih itu.
****
Tak ada yang istimewa di hari itu, selain kunjungan Paklik Harno dan Bulik Parni. Sepeninggal mereka, Galih hanya menghabiskan waktunya untuk beristirahat, sambil sesekali berjalan jalan disekitaran rumahnya untuk melatih kakinya yang terkilir agar cepat pulih kembali.
Rumah terasa sangat sepi, karena semenjak siang tadi Ajeng pamit hendak berkeliling desa bersama Arum. Entah apa yang direncanakan oleh anak itu. Tapi Galih senang, Ajeng sepertinya mulai betah tinggal di desa ini, dan Galih tak perlu khawatir lagi kalau sang adik akan merengek minta kembali ke kota.
Barulah pada sore harinya, suasana kembali semarak saat Ajeng dan Arum telah kembali kerumah. Ditambah dengan kedatangan Prapto yang sengaja datang menjenguknya sambil membawa sebungkus nasi bulgur pesanan Ajeng.
"Aku hanya ingin tau rasanya Mas," kilah Ajeng saat Galih mengingatkan agar tak terlalu merepotkan Prapto. "Ternyata enak juga. Ada parutan kelapa sama dikasih garam juga ya Mas? Ada asin asinnya!" Ajeng menyantap nasi bulgur itu dengan lahapnya.
"Ya memang begitu cara masak bulgur Jeng, kalau ndak dikasih parutan kelapa sama garam ya hambar ndak ada rasanya," jawab Prapto sambil tersenyum. Ada rasa senang yang ia rasakan, saat melihat makanan sederhana yang dibawanya itu ternyata sangat disukai oleh Ajeng.
"Oh ya, bagaimana keadaan kakimu?" Prapto mencoba mengalihkan pembicaraan, sambil menatap ke arah Galih. Ia sadar, keakraban yang mulai terjalin antara ia dan Ajeng, sedikit kurang disukai oleh Galih.
"Sudah mendingan, setelah semalam diurut sama Anjar," jawab Galih.
"Anjar?!" Prapto nampak terkejut. "Serius kamu diurut sama Anjar?"
"Iya. Memangnya kenapa?"
"Ndak papa sih, cuma ndak biasa aja. Anjar itu, sangat tertutup orangnya. Jarang keluar rumah kalau memang ndak penting penting banget! Aneh saja kalau tiba tiba dia mau dipanggil untuk mengurut orang. Apalagi yang diurut itu kamu."
"Aku nggak memanggil dia kok," jelas Galih. "Awalnya, Ajeng dan Arum manggil Mbah Pariyem untuk mengurutku. Tapi kata Ajeng..."
"Simbah itu malah ngamuk ngamuk Mas," Ajeng yang masih asyik menikmati nasi bulgurnya menyela. "Bahkan aku sama Arum nyaris saja digebukin kalau nggak cepet cepet kabur."
"Kok bisa?" tanya Prapto.
"Nggak tau!" Ajeng mengangkat bahunya.
"Lalu?"
"Ajeng dan Arum pulang tanpa hasil, sampai tiba tiba Anjar muncul dan tanpa basa basi langsung menyiksaku!"
"Menyiksa?"
"Kalau kau tau, caranya mengurutku itu seperti orang mengurut kuda!"
"Hahaha...!" Prapto tergelak. "Sepertinya ia masih mendendam kepadamu ya, dan sekarang dia jadi punya kesempatan untuk melampiaskan dendamnya."
"Enrahlah! Tapi ajaibnya, setelah diurut sama dia, kakiku langsung sembuh lho. Luar biasa memang. Sepertinya dia sudah mewarisi bakat neneknya."
"Memang sih, Anjar sudah jago soal mengurut. Cuma, beda dengan neneknya, dia jarang mau dimintai tolong orang. Biasanya kalau ada orang butuh diurut atau semacamnya, yang dipanggil ya Mbah Pariyem itu. Eh, tapi gimana ceritanya sih, kamu bisa nyasar ke gunung dan sampai jatuh ke jurang gitu?"
Galih hanya tersenyum simpul. Ini pertanyaan yang ditunggu tunggu. Dan kali ini ia tak akan bohong lagi. Justru dengan Prapto ia sangat ingin menceritakan apa sebenarnya yang sudah ia lihat dan alami di puncak gunung Kambengan tempo hari. Tapi jelas, Galih tak akan menceritakannya sekarang, karena masih ada Ajeng disampingnya.
****
Daannn..., waktu yang ditunggu tunggupun akhirnya tiba. Adzan Maghrib berkumandang, bersamaan dengan Arum yang datang menjemput Ajeng untuk pergi ke Musholla bersama sama.
"Aku agak lama ya Mas, mungkin ba'da Isya' baru pulang! Habis Maghrib nanti aku mau ikut bantu bantu Arum ngajarin anak anak ngaji di Musholla," pamit Ajeng yang disambut dengan senyuman oleh Galih.
Bangga rasanya memiki adik yang begitu pintar mengaji. Namun bukan karena itu Galih tersenyum, melainkan karena ia jadi punya lebih banyak kesempatan untuk ngobrol dengan Prapto. Sementara Prapto, sambil berdecak kagum menatap kepergian Ajeng dan Arum dengan mata nyaris tak berkedip.
"Ckckckck...! Luar biasa! Kamu pantas berbangga hati Galih, memiliki adik yang tidak hanya cantik, tapi juga sholehah," decak Prapto yang hanya disambut dengan senyum kecut oleh Galih.
"Yuk, kita ngobrol sambil bakar singkong kayak kemarin," ujar Galih sedikit ketus, membuat Prapto sadar atas apa yang baru saja ia ucapkan.
bersambung