- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 12:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#434
Quote:
Original Posted By benbela►
Meski tertatih menahan perih, aku bergegas mendekat untuk meloloskan ikatan kapten. Baru beberapa langkah, instingku mengatakan ada yang tidak beres di belakang, terdengar suara langkah kaki mengendap-endap. Aku menarik nafas panjang, mengucap asma Allah dalam hati.
Ceklek...
Benar saja, terdengar suara kokangan senjata yang sepertinya diarahkan tepat ke kepalaku. Seketika aku mengangkat tangan tanpa menoleh sedikitpun ke belakang.
Penuh ketegangan, aku mengatur nafas agar tidak gugup dan salah langkah.
"Berbalik pelan-pelan kalau ingin selamat."
Suara di belakang terdengar berat, namun sepertinya tidak asing. Perlahan, aku mengikuti perintah suara yang sepertinya kukenal sambil berdoa dalam hati.
Aku terhenyak dan hampir hilang keseimbangan, begitu mengenali lelaki yang kini berdiri di hadapanku.
"Hamid !? "
Suara pria itu terdengar ragu. Dengan sepucuk pistol di tangan, matanya yang tajam mengamati jengkal demi jengkal wajahku yang penuh lebam.
Aku menelan ludah, cemas kalau pistol ditangannya meletus sewaktu-waktu.
"I-ia mang. Ini aku, anaknya mendiang Ramadhan." sahutku terbata.
Mang Atak memicingkan mata, seakan masih tak percaya bahwa aku masih hidup.
Kulihat, keadaan mang Atak tidak jauh berbeda denganku. Badannya penuh luka memar dan lebam, jelas sekali ia juga telah mengalami hal buruk.
Dengan memanggul tas punggung, jemarinya bergetar memegang pistol yang diarahkan ke tubuhku. Tapak tangannya terlihat basah karena keringat, membuat nyaliku semakin ciut. Bisa saja jarinya terselip dan pistol itu meletus tanpa sengaja.
"Duduklah, dan jangan coba-coba macam-macam." perintah mang Atak pelan. Matanya melotot menandakan ia serius.
Tak ingin gegabah, aku mengikuti perintahnya. Aku duduk dan menyandarkan punggung pada dinding kayu, agak dekat dengan posisi kapten Anang yang meringkuk.
"Rupanya kau tangguh juga Hamid. Lebih tangguh dari ayahmu."
Masih berdiri, bidikan pistol mang Atak tak pernah lepas menyasar badanku.
Aku mendongak, memperhatikan lubang ujung pistol yang kini tepat menyasar di tengah dahiku.
Darahku terasa mendidih dan amarahku membara. Ingin rasanya kuraih pistol itu, tapi luka di perut membuatku tidak berkutik.
Aku memaki dalam hati atas ketidak berdayaanku. Suasana ruangan tiba-tiba terasa pengap dan sesak. Entah karena takut akan kematian atau pondok ini terlalu sempit, aku sungguh-sungguh merasa lemah.
Di samping, kapten Anang terus berontak dengan tangan dan kaki terikat. Mulutnya yang tersumpal terus mengeluarkan suara, sepertinya makian dan sumpah serapah tertahan.
"Sebaiknya kau tetap diam di situ, Hamid. Aku tak ingin menghabisi nyawamu."
Mang Atak mundur beberapa langkah, lalu merogoh sesuatu dari dalam tas punggungnya. Sebotol air mineral yang sisa separo ia keluarkan, lalu dilempar ke arahku.
Buuk...
Botol itu terjatuh lalu menggelinding tepat di kakiku.
"Minumlah !" lanjut mang Atak datar.
Cuiih..!
Aku meludah ke botol yang ia berikan. Rasanya tak sudi aku menerima pemberian dari orang yang telah mencelakakan kami. Bagaimanapun juga, nasib buruk yang kami alami adalah karena ulah liciknya.
"Rupanya kau masih marah, Hamid. Harusnya kau marah pada bajingan di sebelahmu itu." Seloroh mang Atak sinis lalu mengarahkan moncong pistol ke arah kapten Anang.
Kapten Anang kembali berontak saat mang Atak perlahan mendekatinya. Matanya melotot penuh amarah dan kebencian.
Buukk...
Sebuah tendangan mendarat di ulu hati kapten Anang. Tubuhnya menggelepar bagai ikan di atas tanah, sedangkan darah dan liur kembali keluar dari mulutnya yang bersumpal kain. Aku coba menahan, tapi lagi-lagi moncong senjata diarahkan ke tubuhku.
"Eee...jangan macam-macam Hamid. Tak perlu kau bantu pembunuh ayahmu."
"Haaahh !?" Aku melongo tak percaya.
Bagai petir di siang bolong, aku sulit percaya ucapan mang Atak. Mataku melotot dan mulutku menganga.
"Ti-tidak mungkin. Kau pasti berdusta !" hardikku penuh emosi.
Aku ingin bangkit menerjang tapi luka di perut membuat tenagaku hilang.
"Kalau tak percaya, sebaiknya kau dengar langsung dari mulutnya."
Mang Atak melepas kain yang membungkam mulut kapten.
Cuih...!
Kapten Anang meludah, namun liurnya yang penuh lendir dan darah tak sampai mengenai tubuh mang Atak.
Liur penuh darah kehitaman hanya mendarat beberapa jengkal dari wajahnya.
Buuk...
Hantaman kembali menghujam perut kapten Anang. Ia merintih kesakitan sambil mengumpat dan mengutuk mang Atak.
Buuk...buuk...
Tendangan demi tendangan membuat kapten Anang hanya bisa meringis menahan sakit. Aku hanya bisa terdiam, mencoba mencerna tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Mengakulah ! Mengakulah, pembunuh !"
Mang Atak melotot, menghajar kapten Anang tanpa ampun. Hunjaman demi hunjaman membuat kapten Anang semakin terkulai tak berdaya.
"Berhenti ! Stooopp ! Cuukuup !" Jeritku sejadinya.
Bergegas aku menghampiri kapten, melindunginya dari kebrutalan mang Atak. Seketika mang Atak berhenti, membiarkanku membersihkan luka di tubuh kapten.
Kain kotor yang bergalayut di dagunya kulepas, lalu kugunakan untuk membersihkan darah yang menyiprat di mulut wajahnya.
Kapten Anang tertunduk lesu mengeluarkan air mata, tidak berani menatap wajahku. Kubersihkan wajahnya dengan hati-hati hingga tidak ada darah yang menempel. Bagaimanapun juga, tak tega aku melihatnya menderita.
"Hamid...maafkan aku." ujar kapten pelan. Suaranya terdengar pasrah dan penuh penyesalan.
Aku terdiam, kutatap wajahnya dalam-dalam. Kapten masih tertunduk dan bibirnya bergetar.
"Apa yang disampaikan Atak adalah kebenaran." lanjut kapten lemah.
Aku tersentak mendengar pengakuannya. Refleks kudorong tubuhnya hingga terbanting ke lantai.
Seketika duniaku rasanya runtuh, menyadari orang yang kuanggap ayah adalah pembunuh ayah kandungku.
Amarah dan kesedihan bercampur jadi satu sampai-sampai tak sanggup kubendung air mata. Tubuhku bergetar dan darahku mendidih.
Kuraih leher baju Kapten dan kuguncang-guncang tubuhnya.
"Kenapa ? Kenapa kau tega? Kenapa kau hancurkan keluargaku ? Arrrrggghhh !!!"
Aku menjerit bagai orang kesurupan. Gemuruh di dadaku menggelegak sejadinya. Hatiku sakit penuh amarah dan dendam.
Seketika wajah sedih ibu datang menghampiri. Kembali terbayang tubuh ringkihnya mengais rejeki kesana kemari semenjak kepergian abah.
Hari-hari kelam yang kami lewati, ternyata ulah beringas kapten Anang.
Tak sanggup lagi kubendung emosi, tinjuku mendarat di wajah kapten Anang. Pukulan bertubi-tubi membuat Kapten kembali terkulai penuh darah.
Ia hanya pasrah, tidak mengelak maupun menghindar. Kapten Anang seakan sengaja membiarkanku menuntut balas.
Sedangkan mang Atak, ia hanya membiarkanku menuntaskan dendam. Ia tersenyum sinis melihatku tiba-tiba berubah jadi brutal.
Aku tersungkur di lantai, beberapa jengkal dari kapten Anang. Aku menatap kosong ke arah langit-langit pondok yang terbuat dari anyaman daun nipah.
Dadaku terasa sesak dan nafasku memburu. Bukan hanya kepahitan hidup yang kusesali, tapi juga kehilangan seorang abah di usia belia. Apalagi, kepergian abah akibat direnggut paksa oleh orang yang kukira selama ini seorang pelindung.
"Uhuuk...uhuukk..."
Kapten Anang terbatuk dan memuntahkan darah. Ingin rasanya kucabut nyawanya saat itu juga, tapi di sisi lain aku tidak memiliki kemampuan menjadi pembunuh.
Bayang-bayang bagaimana kapten menjagaku dan ibu sewaktu kecil, mengantarkan ke sekolah serta memberi beras terasa menyakitkan. Rasanya aku hampir gila menyadari orang paling kupercaya, justru orang yang menghancurkan keluargaku.
Mang Atak memapah tubuhku dan disandarkan pada dinding. Botol air mineral yang tadi sisa separo ia serahkan padaku. Segera kuraih botol itu dan kutenggak hingga airnya tumpah-tumpah di mulut.
Dalam kondisi terikat, kapten Anang merintih kesakitan.
"Ayahmu adalah pencuri." Ucap kapten dengan suara serak. Matanya sembab dan di sekitar mulutnya penuh darah.
"Tutup mulutmu !" sahutku geram.
"Ayahmu pencuri ! Ia mencuri hasil emas kami. Karena itulah ia kami bunuh !"
"Kami !?"
"Iya, kami ! Aku, Soleh, Lai, Sugang dan lainnya. Berminggu-minggu kami bekerja di hutan, hasilnya digelapkan ayahmu. 3 ons emas ! "
"Tutup mulutmu !"
"Ayahmu punya banyak hutang, Hamid. Ia suka berjudi !"
"Diam kau, Anang !!!"
Aku bangkit berdiri dengan amarah. Mataku melotot dan gigiku bergemelutuk. Kukepal tinju sekuatnya hingga tanganku gemetar.
Aku dan Kapten Anang saling menatap. Wajahnya kini terlihat menantang membuat degup jantungku menjadi lebih cepat.
"Ayahmu itu suka berjudi, Hamid. Tidakkah kau sadar kemana uang hasil ia menambang emas ? Kenapa kalian masih tetap tinggal di gubuk padahal hasil menambang emas cukup besar ? Haah !?"
Aku terdiam penuh kebencian. Kemarahanku rasanya ingin meledak mendengar tuduhan kapten. Apapun alasannya, ia tidak berhak merenggut nyawa ayahku.
"Kalau bukan kami, pastilah bandar-bandar itu yang akan menghabisi ayahmu."
"Cukup ! Aku muak mendengar ocehanmu. Hari ini, aku yang akan mencabut nyawamu !"
"Pakai ini."
Mang Atak menyerahkan pistol rakitan yang sedari tadi ia genggam. Telapak tanganku terasa dingin begitu menyentuh benda itu. Terasa lebih berat dari yang kuduga, hingga tanganku gemetaran saat pertama kali menggengamnya.
Kupandang wajah kapten dalam-dalam. Tekadku sudah bulat, darah dibalas darah. Kuarahkan pistol itu tepat ke pelipisnya.
Aku mengatur nafas agar tanganku tidak gemetar. Degub jantungku mulai teratur dan tarikan nafasku mulai tenang.
Dooorr...!!!
Sepersekian detik, tarikan pelatuk telah berubah menjadi suara ledakan yang Cumiakkan telinga. Peluru melesat kencang membelah udara.
Di lantai, kapten Anang terkapar tidak berdaya. Seketika kurasakan jiwaku kosong, antara marah dan juga benci pada diri sendiri.
...bersambung...
Bab 21: Karma
Meski tertatih menahan perih, aku bergegas mendekat untuk meloloskan ikatan kapten. Baru beberapa langkah, instingku mengatakan ada yang tidak beres di belakang, terdengar suara langkah kaki mengendap-endap. Aku menarik nafas panjang, mengucap asma Allah dalam hati.
Ceklek...
Benar saja, terdengar suara kokangan senjata yang sepertinya diarahkan tepat ke kepalaku. Seketika aku mengangkat tangan tanpa menoleh sedikitpun ke belakang.
Penuh ketegangan, aku mengatur nafas agar tidak gugup dan salah langkah.
"Berbalik pelan-pelan kalau ingin selamat."
Suara di belakang terdengar berat, namun sepertinya tidak asing. Perlahan, aku mengikuti perintah suara yang sepertinya kukenal sambil berdoa dalam hati.
Aku terhenyak dan hampir hilang keseimbangan, begitu mengenali lelaki yang kini berdiri di hadapanku.
"Hamid !? "
Suara pria itu terdengar ragu. Dengan sepucuk pistol di tangan, matanya yang tajam mengamati jengkal demi jengkal wajahku yang penuh lebam.
Aku menelan ludah, cemas kalau pistol ditangannya meletus sewaktu-waktu.
"I-ia mang. Ini aku, anaknya mendiang Ramadhan." sahutku terbata.
Mang Atak memicingkan mata, seakan masih tak percaya bahwa aku masih hidup.
Kulihat, keadaan mang Atak tidak jauh berbeda denganku. Badannya penuh luka memar dan lebam, jelas sekali ia juga telah mengalami hal buruk.
Dengan memanggul tas punggung, jemarinya bergetar memegang pistol yang diarahkan ke tubuhku. Tapak tangannya terlihat basah karena keringat, membuat nyaliku semakin ciut. Bisa saja jarinya terselip dan pistol itu meletus tanpa sengaja.
"Duduklah, dan jangan coba-coba macam-macam." perintah mang Atak pelan. Matanya melotot menandakan ia serius.
Tak ingin gegabah, aku mengikuti perintahnya. Aku duduk dan menyandarkan punggung pada dinding kayu, agak dekat dengan posisi kapten Anang yang meringkuk.
"Rupanya kau tangguh juga Hamid. Lebih tangguh dari ayahmu."
Masih berdiri, bidikan pistol mang Atak tak pernah lepas menyasar badanku.
Aku mendongak, memperhatikan lubang ujung pistol yang kini tepat menyasar di tengah dahiku.
Darahku terasa mendidih dan amarahku membara. Ingin rasanya kuraih pistol itu, tapi luka di perut membuatku tidak berkutik.
Aku memaki dalam hati atas ketidak berdayaanku. Suasana ruangan tiba-tiba terasa pengap dan sesak. Entah karena takut akan kematian atau pondok ini terlalu sempit, aku sungguh-sungguh merasa lemah.
Di samping, kapten Anang terus berontak dengan tangan dan kaki terikat. Mulutnya yang tersumpal terus mengeluarkan suara, sepertinya makian dan sumpah serapah tertahan.
"Sebaiknya kau tetap diam di situ, Hamid. Aku tak ingin menghabisi nyawamu."
Mang Atak mundur beberapa langkah, lalu merogoh sesuatu dari dalam tas punggungnya. Sebotol air mineral yang sisa separo ia keluarkan, lalu dilempar ke arahku.
Buuk...
Botol itu terjatuh lalu menggelinding tepat di kakiku.
"Minumlah !" lanjut mang Atak datar.
Cuiih..!
Aku meludah ke botol yang ia berikan. Rasanya tak sudi aku menerima pemberian dari orang yang telah mencelakakan kami. Bagaimanapun juga, nasib buruk yang kami alami adalah karena ulah liciknya.
"Rupanya kau masih marah, Hamid. Harusnya kau marah pada bajingan di sebelahmu itu." Seloroh mang Atak sinis lalu mengarahkan moncong pistol ke arah kapten Anang.
Kapten Anang kembali berontak saat mang Atak perlahan mendekatinya. Matanya melotot penuh amarah dan kebencian.
Buukk...
Sebuah tendangan mendarat di ulu hati kapten Anang. Tubuhnya menggelepar bagai ikan di atas tanah, sedangkan darah dan liur kembali keluar dari mulutnya yang bersumpal kain. Aku coba menahan, tapi lagi-lagi moncong senjata diarahkan ke tubuhku.
"Eee...jangan macam-macam Hamid. Tak perlu kau bantu pembunuh ayahmu."
"Haaahh !?" Aku melongo tak percaya.
Bagai petir di siang bolong, aku sulit percaya ucapan mang Atak. Mataku melotot dan mulutku menganga.
"Ti-tidak mungkin. Kau pasti berdusta !" hardikku penuh emosi.
Aku ingin bangkit menerjang tapi luka di perut membuat tenagaku hilang.
"Kalau tak percaya, sebaiknya kau dengar langsung dari mulutnya."
Mang Atak melepas kain yang membungkam mulut kapten.
Cuih...!
Kapten Anang meludah, namun liurnya yang penuh lendir dan darah tak sampai mengenai tubuh mang Atak.
Liur penuh darah kehitaman hanya mendarat beberapa jengkal dari wajahnya.
Buuk...
Hantaman kembali menghujam perut kapten Anang. Ia merintih kesakitan sambil mengumpat dan mengutuk mang Atak.
Buuk...buuk...
Tendangan demi tendangan membuat kapten Anang hanya bisa meringis menahan sakit. Aku hanya bisa terdiam, mencoba mencerna tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Mengakulah ! Mengakulah, pembunuh !"
Mang Atak melotot, menghajar kapten Anang tanpa ampun. Hunjaman demi hunjaman membuat kapten Anang semakin terkulai tak berdaya.
"Berhenti ! Stooopp ! Cuukuup !" Jeritku sejadinya.
Bergegas aku menghampiri kapten, melindunginya dari kebrutalan mang Atak. Seketika mang Atak berhenti, membiarkanku membersihkan luka di tubuh kapten.
Kain kotor yang bergalayut di dagunya kulepas, lalu kugunakan untuk membersihkan darah yang menyiprat di mulut wajahnya.
Kapten Anang tertunduk lesu mengeluarkan air mata, tidak berani menatap wajahku. Kubersihkan wajahnya dengan hati-hati hingga tidak ada darah yang menempel. Bagaimanapun juga, tak tega aku melihatnya menderita.
"Hamid...maafkan aku." ujar kapten pelan. Suaranya terdengar pasrah dan penuh penyesalan.
Aku terdiam, kutatap wajahnya dalam-dalam. Kapten masih tertunduk dan bibirnya bergetar.
"Apa yang disampaikan Atak adalah kebenaran." lanjut kapten lemah.
Aku tersentak mendengar pengakuannya. Refleks kudorong tubuhnya hingga terbanting ke lantai.
Seketika duniaku rasanya runtuh, menyadari orang yang kuanggap ayah adalah pembunuh ayah kandungku.
Amarah dan kesedihan bercampur jadi satu sampai-sampai tak sanggup kubendung air mata. Tubuhku bergetar dan darahku mendidih.
Kuraih leher baju Kapten dan kuguncang-guncang tubuhnya.
"Kenapa ? Kenapa kau tega? Kenapa kau hancurkan keluargaku ? Arrrrggghhh !!!"
Aku menjerit bagai orang kesurupan. Gemuruh di dadaku menggelegak sejadinya. Hatiku sakit penuh amarah dan dendam.
Seketika wajah sedih ibu datang menghampiri. Kembali terbayang tubuh ringkihnya mengais rejeki kesana kemari semenjak kepergian abah.
Hari-hari kelam yang kami lewati, ternyata ulah beringas kapten Anang.
Tak sanggup lagi kubendung emosi, tinjuku mendarat di wajah kapten Anang. Pukulan bertubi-tubi membuat Kapten kembali terkulai penuh darah.
Ia hanya pasrah, tidak mengelak maupun menghindar. Kapten Anang seakan sengaja membiarkanku menuntut balas.
Sedangkan mang Atak, ia hanya membiarkanku menuntaskan dendam. Ia tersenyum sinis melihatku tiba-tiba berubah jadi brutal.
Aku tersungkur di lantai, beberapa jengkal dari kapten Anang. Aku menatap kosong ke arah langit-langit pondok yang terbuat dari anyaman daun nipah.
Dadaku terasa sesak dan nafasku memburu. Bukan hanya kepahitan hidup yang kusesali, tapi juga kehilangan seorang abah di usia belia. Apalagi, kepergian abah akibat direnggut paksa oleh orang yang kukira selama ini seorang pelindung.
"Uhuuk...uhuukk..."
Kapten Anang terbatuk dan memuntahkan darah. Ingin rasanya kucabut nyawanya saat itu juga, tapi di sisi lain aku tidak memiliki kemampuan menjadi pembunuh.
Bayang-bayang bagaimana kapten menjagaku dan ibu sewaktu kecil, mengantarkan ke sekolah serta memberi beras terasa menyakitkan. Rasanya aku hampir gila menyadari orang paling kupercaya, justru orang yang menghancurkan keluargaku.
Mang Atak memapah tubuhku dan disandarkan pada dinding. Botol air mineral yang tadi sisa separo ia serahkan padaku. Segera kuraih botol itu dan kutenggak hingga airnya tumpah-tumpah di mulut.
Dalam kondisi terikat, kapten Anang merintih kesakitan.
"Ayahmu adalah pencuri." Ucap kapten dengan suara serak. Matanya sembab dan di sekitar mulutnya penuh darah.
"Tutup mulutmu !" sahutku geram.
"Ayahmu pencuri ! Ia mencuri hasil emas kami. Karena itulah ia kami bunuh !"
"Kami !?"
"Iya, kami ! Aku, Soleh, Lai, Sugang dan lainnya. Berminggu-minggu kami bekerja di hutan, hasilnya digelapkan ayahmu. 3 ons emas ! "
"Tutup mulutmu !"
"Ayahmu punya banyak hutang, Hamid. Ia suka berjudi !"
"Diam kau, Anang !!!"
Aku bangkit berdiri dengan amarah. Mataku melotot dan gigiku bergemelutuk. Kukepal tinju sekuatnya hingga tanganku gemetar.
Aku dan Kapten Anang saling menatap. Wajahnya kini terlihat menantang membuat degup jantungku menjadi lebih cepat.
"Ayahmu itu suka berjudi, Hamid. Tidakkah kau sadar kemana uang hasil ia menambang emas ? Kenapa kalian masih tetap tinggal di gubuk padahal hasil menambang emas cukup besar ? Haah !?"
Aku terdiam penuh kebencian. Kemarahanku rasanya ingin meledak mendengar tuduhan kapten. Apapun alasannya, ia tidak berhak merenggut nyawa ayahku.
"Kalau bukan kami, pastilah bandar-bandar itu yang akan menghabisi ayahmu."
"Cukup ! Aku muak mendengar ocehanmu. Hari ini, aku yang akan mencabut nyawamu !"
"Pakai ini."
Mang Atak menyerahkan pistol rakitan yang sedari tadi ia genggam. Telapak tanganku terasa dingin begitu menyentuh benda itu. Terasa lebih berat dari yang kuduga, hingga tanganku gemetaran saat pertama kali menggengamnya.
Kupandang wajah kapten dalam-dalam. Tekadku sudah bulat, darah dibalas darah. Kuarahkan pistol itu tepat ke pelipisnya.
Aku mengatur nafas agar tanganku tidak gemetar. Degub jantungku mulai teratur dan tarikan nafasku mulai tenang.
Dooorr...!!!
Sepersekian detik, tarikan pelatuk telah berubah menjadi suara ledakan yang Cumiakkan telinga. Peluru melesat kencang membelah udara.
Di lantai, kapten Anang terkapar tidak berdaya. Seketika kurasakan jiwaku kosong, antara marah dan juga benci pada diri sendiri.
...bersambung...
Sampai jumpa update berikutnya yak. Update agak selow karena kesibukan RL. Jangan lupa sakrep, komeng dan syer ewer-ewer 😁



bruno95 dan 64 lainnya memberi reputasi
65
Kutip
Balas
Tutup