Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
“Tapi cinta lo masih terbagi kan?” Tanyanya, masih dalam pelukan, ia mendongak menatap gua sambil tersenyum.
“Nggak tau deh…” Jawab gua.
“Atau gw cuma pelarian aja?” Ia kembali bertanya.
Gua tersenyum mendengar pertanyaannya barusan, nggak punya jawaban. Bisa aja hal itu benar, atau mungkin saja perlahan ‘cinta tumbuh kembali’. Untuk saat ini sepertinya, gua belum mau menjawab hal tersebut.
“... anyway, walau cuma pelarian aja, im okay with that…” Sekar bicara kemudian mempererat pelukannya.
Gua mengangguk, kemudian perlahan melepas pelukannya; “Udah malem, masuk sana, tidur…”
“Nggak ah, gw masih mau sama elo…” Jawabnya pelan, kemudian kembali memeluk gua.
Sisa malam itu kami habiskan dengan ngobrol ngalor-ngidul tentang kehidupan, masa lalu dan masa depan. Tentu saja, gua masih seperti Bian yang dulu, yang kikuk menghadapi obrolan. Namun, saat ini tingkat kekikukan gua nggak se-kronis sebelumnya. Seiring berjalanya waktu, gua semakin terlatih untuk berkomunikasi secara dua arah.
“Gw kan suka sama lo udah lama, bi…” Sekar mulai menguak cerita lalu.
“Pas acara lulus-lulusan?” Gua mencoba menebak.
Sekar menggelengkan kepala, kemudian menjawab; “Pas pertama ketemu elo…”
Gua mengernyitkan dahi, seakan nggak percaya dengan jawabannya barusan. “Pas baru masuk SMA berarti?” Tanya gua penasaran.
“Iya…” Jawabnya sambil mengangguk.
“...”
“... tapi dulu lo kan kaku banget, ngomong aja nggak pernah, gw jadi males. Udah gitu, ternyata Sasa juga suka sama elo…”
“...”
“... kalo dibandingin Sasa, gw jelas kalah di semua lini ya…”
Gua menoleh ke arahnya yang duduk tepat di sebelah gua. Matanya menggambarkan penyesalan yang mendalam.
“... Mungkin saat ini, saat Sasa udah nggak ada, gw masih tetep kalah sama dia, iya kan bi?” Tambahnya.
Gua diam, nggak menjawab. Masih menatap ke arahnya.
“... dulu, gw selalu berdiri ngeliat lo dari jauh. Pas elo duduk sendiri di dalam kelas, saat lo antri beli roti kacang ijo di koperasi, bahkan saat lo lagi berdua sama Sasa, makan bareng sama Sasa, dengerin musik bareng Sasa, nemenin Sasa di rumah sakit. Di momen-momen itu kadang gw berharap jadi Sasa…”
“...”
“...Eh, sekarang lo beneran ada disini. Di Sebelah gw…” Ucapnya sambil tersenyum, kemudian menyandarkan kepalanya di pundak gua.
“Gua juga sebenernya takut, kar…” Gua mulai angkat bicara.
“Takut kenapa?” Tanyanya.
“Jujur, gua susah move-on dari Sasa. Gua takut lo kecewa. Kayak yang tadi elo bilang, takutnya elo cuma pelarian aja…” Jawab gua sambil menatap kosong ke depan.
Sekar tersenyum, kemudian meraih tangan gua dan menggenggamnya.
“Gw nggak berharap elo ngelupain Sasa, Bi… dan tadi gw juga udah bilang kalo jadi pelarian lo juga nggak masalah buat gw.. karena gw cuma mau elo nggak sendirian…”
“...”
“... Tapi, nggak apa-apa kan kalo gw sesekali ngambek karena cemburu sama Sasa?” Tanyanya sambil menoleh dan menatap gua dan tersenyum.
Gua mengangguk dan membalas senyumnya.
—
Suasana Coffee-shop semakin ramai. Sekar masih menyandarkannya kepalanya di pundak gua, sementara kedua tangannya mengamati CD Paramore yang baru saja gua berikan.
Ponsel milik Sekar berdering, ia meraih tas dan mengeluarkan ponsel miliknya. Tatapan bingung tersirat di wajahnya begitu melihat ke layar ponsel lalu menjawabnya.
“Nih…” Sekar menyerahkan ponselnya ke gua.
Sekilas gua melihat ‘unknown caller’ pada layar ponsel.
“Halo…” Gua menyapa.
“Halo, Cad… saya telpon kamu kok nggak bisa ya…”
“Eh, Pak Deni… Waduh kayaknya HP saya mati deh…” Jawab gua seraya mengeluarkan ponsel dari dalam saku dan menatap layarnya yang hitam; mati.
“Oh, pantesan… jadi gini Cad…” Pak Deni lalu mulai bicara dan menjelaskan situasi.
Setelah selesai bicara, gua mengembalikan ponsel ke Sekar.
“Siapa, Bi?” Tanya Sekar penasaran.
“Pak Deni, Bos gua…” Jawab gua.
“Kok bisa tau nomer gw?” Tanya Sekar masih penasaran.
“Iya, waktu itu dia minta nomer keluarga yang bisa dihubungin, takut ada apa-apa pas kerja…”
Pak Deni merupakan pimpinan dari tempat gua bekerja. Iya, untuk bayar biaya hidup dan kuliah saat ini gua bekerja di salah satu perusahaan kecil milik Pak Deni. Saat gua bilang ‘perusahaan kecil’ punya arti yang bener-bener kecil. ‘Perusahaan’ ini bahkan nggak punya kantor resmi. Semua alamat administrasi diarahkan ke rumah Pak Deni, yang juga mencakup sebagai workshop, gudang dan tempat meeting. Jumlah karyawannya pun sedikit. Saking sedikitnya, kami bahkan nggak bisa membentuk dua tim futsal.
Tempat kerja gua ini bergerak dibidang jasa instalasi, entah itu instalasi listrik, jaringan internet, telepon atau CCTV. Biasanya kami mengerjakan instalasi untuk kantor atau pabrik kecil. Kebanyakan pekerjaan dilakukan di malam hari atau saat hari libur, agar nggak mengganggu karyawan yang sedang bekerja. That’s why, gua bisa terus bekerja tanpa mengganggu jadwal kuliah gua. Tentu saja, ada hal lain yang gua korbankan; waktu istirahat!
“‘Takut ada apa-apa’ tuh maksudnya?”
“Ya bisa aja gua lagi kerja terus kesetrum atau jatoh dari tangga…”
“Ih.. Nggak usah kerja deh bi…”
“Lo mau nanggung hidup gua?”
“Mau…” Jawabnya yakin.
“Pake duit bokap lo?” Tanya gua sambil tersenyum ke arahnya. Yang lalu dijawabnya dengan anggukan kepala.
“Anyway, tapi gw seneng deh lo nganggep gw keluarga…”
“Siapa lagi yang gua punya, lo doang…”
Sekar tersenyum mendengar ucapan gua barusan. Ia lalu kembali bertanya; “Terus kenapa dia nelpon? ada kerjaan?”
“Iya…” Jawab gua singkat.
“Sekarang?” Ia menambahkan. Gua lalu menjawabnya dengan anggukan.
“Yaudah, yuk gw anter…” Ucap Sekar, sambil memasukkan CD Paramore ke dalam Tas dan bersiap pergi.
Buat sebagian besar orang, mungkin pekerjaan ini bukan jenis pekerjaan terbaik yang bisa dibayangkan. Kadang gua harus berkutat di atas plafon berdebu yang pengap semalaman, menggigil kedinginan di dalam ruang server atau terpanggang matahari kala harus melakukan pekerjaan di atap bangunan. Tapi, dari pekerjaan ini gua akhirnya menemukan penghasilan untuk biaya hidup dan yang terpenting; gua menemukan keluarga baru.
“Cuk… hape mu muni wae ket mau…” Ucap Mas Karlan dengan bahasa jawa yang artinya kurang lebih ‘Cuk, Hp lo bunyi terus dari tadi’ sambil menunjuk kebawah.
Gua bergegas turun dari atap plafon melalui lubang kecil dan melompat ke tangga alumunium yang berada tepat di bawahnya. Layar ponsel gua yang tengah di charge berkelap-kelip, menandakan adanya panggilan masuk. Zaman berganti, teknologi semakin maju. Sementara, gua masih terjebak dengan ponsel jadul yang penuh kenangan.
Nama Sekar muncul pada layar ponsel gua.
“Halo…”
“Dari tadi di SMS nggak bales, di telpon nggak diangkat…” Suara Sekar merajuk terdengar.
“Tadi kan HP nya mati, ini masih di charge…” Jawab gua.
“Iya, sorry… ini udah sampe, udah mulai kerja juga…”
“Yaudah, Ati-ati kerjanya, jangan sampe kesetrum, jangan lupa makan, ntar mati…” Ucapnya dari ujung sana, kemudian mengakhiri panggilan.
Gua meletakkan ponsel, kemudian kembali melanjutkan pekerjaan.
Mas Karlan, melongok dari lubang di atas plafon; “Cuk, Jipokno tang neng tas sisan..” ucapnya sambil menunjuk ke arah tas berisi peralatan miliknya.
Mas Karlan ini salah satu dari anggota ‘keluarga baru’ yang tadi gua maksud. Salah satu rekan kerja yang juga selalu bersikap layaknya seorang kakak. Menjadi kakak bukan hanya buat gua, tapi juga buat rekan-rekan kerja yang lain. Dari luar, ia hanya mas-mas berpenampilan biasa, terlihat acuh dan tak peduli dengan orang lain. Tapi, jauh di lubuk hatinya, Mas Karlan adalah sosok yang teramat baik dan mengayomi.
Dari sosok Mas Karlan, gua belajar kalau pendidikan bukan jaminan sosok manusia bisa jadi pintar dan berbuat baik. Dari dirinya juga gua belajar kalau nggak perlu jadi kaya untuk bisa berbagi. Ia cuma lulusan SD dari salah satu desa kecil di pelosok Jawa Timur, pendidikannya rendah, penghasilannya pun pas-pasan. Namun, nggak sedikit ilmu yang bisa gua dapat darinya, dan mungkin tak terhitung berapa rupiah yang ia habiskan hanya untuk meminjami gua uang untuk bayar kuliah, sementara ia sendiri kesulitan.
Nggak cuma Mas Karlan saja yang jadi ‘keluarga’ gua. Ada Mas Bobi, Mas Andri, Mas Anto, dan beberapa mas-mas lainnya yang semuanya berusia jauh di atas gua. Disini, gua selalu diperlakukan layaknya adik bungsu, dimanja dan disayang. Hal, yang selama ini nggak penah gua dapatkan.
Salah satu hal yang paling menyentuh hati gua adalah kala mereka patungan hanya untuk menalangi uang biaya kuliah gua yang tertunggak. Saat itu, Pak Deni tengah kesulitan. Beberapa tagihan ‘macet’ dan beberapa proyek di-cancel sepihak padahal bahan baku sudah terlanjur dibeli. Hal itu berimbas ke pembayaran gaji kami yang akhirnya harus di cicil.
Pada saat itu, gua juga tahu Mas Karlan dan kawan-kawan lainnya juga punya beban hidup, punya keluarga yang harus diberi makan. Mereka bahkan rela memangkas jatah kopi, makan sebungkus berdua, sementara gua dibiarkan makan sebungkus sendirian dan berpuasa merokok selama beberapa hari. Semuanya dilakukan buat gua.
Sejak saat itu, gua nggak pernah lagi merasa sendirian.
—
“Udah saya sampe sini aja mas…” Ucap gua ke mas Karlan sambil menepuk pundaknya. Gua langsung turun dari boncengan begitu Mas Karlan menepikan sepeda motor.
“Nduwe ongkos, ra?” Tanyanya sambil merogoh dompet dari saku celana bagian belakang.
“Punya dong mas…” Seru gua sambil berlari menjauh darinya. Jika nggak segera menjauh, dipastikan ia bakal memaksa gua menerima udang ‘ongkos’ darinya.
Gua berdiri di tepi jalan, menunggu bus umum menuju ke kos-kosan. Nggak seperti hari kerja, saat ini, minggu pagi. Jalanan masih terlihat sepi, bus dan angkutan umum lainnya juga sepertinya nggak sebanyak seperti biasanya. Hampir setengah jam lamanya gua habiskan hanya untuk menunggu bus.
Sekar dengan kaos hitam yang dibalut flanel kotak-kotak berwarna merah, dipadukan celana jeans selutut, duduk tepat di salah satu anak tangga di area kos-kosan gua. Disebelahnya terdapat tas ransel miliknya dan juga sebuah bungkusan plastik berwarna putih. Sambil membetulkan letak kacamatanya; ia menatap gua kemudian bertanya; “Capek ya?”
Gua mengangguk sambil tersenyum, kemudian menjulurkan tangan kepadanya. Sekar meraih lengan gua, berdiri dan berjalan menyusul gua ke arah kamar kos. Dari belakang, ia menepuk-nepuk kaos gua yang penuh debu yang bercampur dengan keringat.
Sekar menghambur masuk kedalam kamar begitu gua selesai membuka kunci pintu. Sementara gua masuk ke kamar mandi, terlihat ia membereskan kamar gua yang masih dalam kondisi sama saat kami tinggalkan kemarin pagi. Selepas mandi, kamar gua terlihat ‘sedikit’ lebih rapi dan bersih. Sekar duduk manis diatas kasur, dihadapannya, terhidang aneka makanan dalam wadah plastik, diatas sebuah meja kayu lipat bergambar spongebob. Meja belajar lipat yang dulu gua beli di pasar malam seharga 25 ribu, dan biasa gua gunakan sebagai alas laptop.
“Beli?” Tanya gua sambil duduk disebelahnya.
“Enak aja.. Bikin sendiri lah..” Jawabnya, kemudian menyodorkan salah satu wadah plastik berwarna ungu berisi bubur kacang ijo.
Saat gua tengah menikmati bubur kacang ijo buatannya, ia menyodorkan sebungkus rokok ke arah gua. “Nih…”
“Buat gua?” Tanya gua bingung.
“Iya…” Jawabnya, terlihat kurang ikhlas.
“Beneran?” Gua bertanya, memastikan. Sejak dulu, ia selalu menentang gua merokok. Tiba-tiba, hari ini ia membelikan gua sebungkus rokok. ‘Pasti ada udang dibalik batu’ batin gua dalam hati, sambil menatap penuh curiga ke arahnya.
“Udah, jangan diabisin buburnya…” Ucap Sekar, kemudian menarik dengan paksa wadah berisi bubur kacang ijo dari tangan gua.
“Lah…” Gua semakin bingung dengan perilakunya.
Sekar lalu membuka salah satu wadah di depannya, kemudian menyerahkannya ke gua; Sepotong kue tart.
Gua tersenyum, meletakan wadah berisi kue tart tersebut kemudian memeluknya. “Happy birthday ya, kar…”
Ia menoleh ke arah gua; “Makasih…” ucapnya sambil tersenyum.
“Makasih juga udah kasih early birthday gift kemaren…” Tambahnya.
“Terus, ini rokok… apa maksudnya?” Tanya gua sambil menunjuk ke arah rokok yang kini berada tepat di sebelah kaki gua.
“Gapapa… lo lagi gak punya duit kan? kemaren gw ngintip pas lo buka dompet.. hehe..” Sekar menjelaskan.
“Iya, kar…” Jawab gua sambil terus menghabiskan kue tart darinya.
“...”
“Eh, kalo kue tart ini lo pasti beli dong, nggak mungkin bikin?” Tanya gua.
“Jangan salah, itu gw bikin sendiri juga…” Jawabnya sambil menaikkan dagu, membanggakan diri.
“Masa, kok enak?” Ledek gua.
“Maksud lho? kalo gw yang bikin nggak mungkin enak?” Sekar menatap gua sambil melotot.
“Haha, becanda kar…”
Sekar meraih lembaran tisu dari dalam tasnya, kemudian dengan lembut menyeka sisa krim kue tart di bibir gua. Saat itu wajah kami berada sangat dekat, amat dekat hingga kacamatanya nyaris menyentuh hidung gua. Gua meraih tangan Sekar yang masih berusaha menyeka sisa krim kue tart di bibir gua dan menariknya perlahan. Sedikit demi sedikit wajah kami semakin dekat. Masih dalam keraguan, gua lalu mencium bibirnya.
Kemesraan kami terganggu dengan suara denting logam yang menyentuh lantai. Mata gua lalu tertuju ke arah pintu kamar yang memang gua biarkan sedikit terbuka. Sosok Edi berdiri, mematung disana, matanya menatap kosong ke arah kami berdua, sementara kunci motor milik gua kini berada di lantai, tepat di kakinya.
Melihat kehadiran Edi, gua dan Sekar buru-buru menjauh. Sama-sama salah tingkah, gua berlagak pusing sambil memegang kepala, sementara Sekar berlagak membereskan sisa makanan yang berada di depan kami. Edi, tanpa kata, masih dengan tatapannya yang kosong, berbalik dan kembali masuk ke kamarnya.
“Aduuuh… mampus dah gua..” Ucap gua sambil menjambak rambut sendiri.
“Edot, ember nggak Bi?” Tanya Sekar yang masih terlihat kikuk dan kebingungan.
“Bukan ember lagi, dia tuh Kolaaam…” Jawab gua, masih sambil mengutuki diri sendiri.
Gua lalu bergegas keluar dan mulai mengetuk pintu kamar Edi. Pintu kamar perlahan terbuka, wajah Edi muncul, masih dengan tatapan kosong.
“Gw nggak nyangka, apa yang gw liat barusan… sebuah dosa…” Ucapnya datar.
“Heh, elu jangan ember ya…” Ancam gua ke Edi yang wajahnya masih terlihat tanpa ekspresi.
“Harusnya pintu elo tutup dooong…” Ia menambahkan, kemudian kembali masuk dan menutup pintu.
Gua menghela nafas, kemudian kembali ke kamar gua. Terlihat Sekar telah membereskan semua barang bawaannya dan bersiap untuk pulang. “Mau kemana?” Tanya gua.
“Pulang…” Jawabnya singkat.
“Buru-buru banget…” Keluh gua.
“Iya…” Ucap Sekar, kemudian bergegas pergi.
—
Closing Time - Semisonic
Closing time
Open all the doors and let you out into the world
Closing time
Turn all of the lights on over every boy and every girl
Closing time
One last call for alcohol so finish your whiskey or beer
Closing time
You don't have to go home but you can't stay here
I know who I want to take me home
I know who I want to take me home
I know who I want to take me home
Take me home
Closing time
Time for you to go out to the places you will be from
Closing time
This room won't be open 'til your brothers or your sisters come
So gather up your jackets, move it to the exits
I hope you have found a friend
Closing time
Every new beginning comes from some other beginning's end
I know who I want to take me home
I know who I want to take me home
I know who I want to take me home
Take me home
Closing time
Time for you to go out to the places you will be from
I know who I want to take me home
I know who I want to take me home
I know who I want to take me home
Take me home
Closing time
Every new beginning comes from some other beginning's end