Quote:
"Arrrggghhhh...!!!" Galih mengerang lirih, saat berusaha menggeliat dan merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Perih dan ngilu bercampur menjadi satu. Juga rasa pening di kepala yang terasa begitu menyiksa.
"Dimana ini?" gumam pemuda itu sambil berusaha mengingat ingat apa yang barusan ia alami. Hal terakhir yang ia ingat adalah ia tengah mengintai Mbah Pariyem yang sedang ziarah di makam yang diatas gunung, lalu ketahuan, ia lari, dan....
"Hiiiiiii...!!! Galih bergidig ngeri saat mengingat sosok menyeramkan yang ia lihat sebelum ia jatuh ke jurang dan pingsan. Entah sudah berapa lama ia tak sadarkan diri.
Mungkin hampir setengah harian, mengingat sekarang sepertinya hari sudah malam. Hanya kegelapan yang nampak sejauh mata Galih memandang, diselingi cahaya berkelap kelip di kejauhan sana. Mungkin kunang kunang, atau...
Bukan! Cahaya itu terlalu besar untuk ukuran kunang kunang, dan tempat ini, sepertinya tak asing lagi di mata Galih. Ia mencoba bangkit, namun rasa pening di kepalanya, juga ngilu yang teramat sangat di pergelangan kakinya membuatnya kembali terhempas, menimbulkan suara berderit dari lincak tempatnya berbaring.
Lincak? Galih tertegun, lalu kembali mengedarkan pandangannya. Ah, syukurlah, rupanya ia telah berada di teras rumahnya sendiri, terbaring diatas lincak berbantalkan kain kumal yang dilipat alakadarnya.
"Siapa yang membawaku kemari?" batin Galih sambil kembali memejamkan matanya, berusaha mengurangi rasa pening di kepalanya. Mungkinkah Paklik? Atau Mbah Pariyem? Dan kenapa ia dibaringkan di teras seperti ini, bukannya dibawa masuk kedalam rumah? Seribu satu pertanyaan memenuhi benak Galih, membuat kepalanya semakin berdenyut, pusing bukan kepalang.
"Jeng!" seru Galih dengan suara serak. Tenggorokan terasa sangat kering dan ia butuh minum. Namun sekian lama menunggu, tak ada sahutan juga dari adiknya itu.
"Ah, kemana sih si Ajeng malam malam begini?" gumam Galih sambil kembali berusaha untuk bangun. Sebisa mungkin ditahannya rasa pusing dan ngilu di sekujur tubuhnya itu. Pelan pelan ia duduk, lalu berusaha berdiri untuk masuk kedalam rumah. Namun baru saja kedua kakinya menapak diatas tanah, rasa ngilu di pergelangan kakinya membuatnya lagi lagi harus terhempas ke permukaan lincak tempatnya berbaring.
"Arrrgghhh...!!!" lagi lagi Galih mengerang lirih, sambil memegangi pergelangan kakinya yang sepertinya terkilir itu. "Sial! Sakit sekali! Ajeeennnggg....!!!"
Galih merintih. Namun tetap saja tak ada sahutan dari dalam rumah. Pintu juga tertutup rapat, dan Ajeng sepertinya juga lupa menyalakan ting di teras rumah itu, membuat suasana menjadi gelap gulita.
"Asem! Kemana sih Ajeng?! Sudah tau kalau..."
"Astaga! Mas Galih?! Kenapa bisa ada disini? Dari siang kami mencari cari, dan..., Astagfirullah! Kenapa bisa babak belur begini sih?!" Ajeng yang tiba tiba muncul bersama Arum berteriak histeris, sambil mendekatkan oncor yang dibawanya ke tubuh sang kakak, hingga Ajeng bisa melihat dengan jelas kalau sekujur tubuh sang kakak dipenuhi oleh luka lecet dan lebam.
"Kamu darimana sih?! Tau kakaknya begini malah ditinggal keluyuran ndak jelas!" sentak Galih kesal.
"Justru aku yang harusnya nanya, Mas Galih dari mana aja?! Pergi dari pagi ndak pulang pulang! Aku sampai cemas nyari kemana mana! Nggak taunya Mas Galih malah sudah ada disini! Mana Paklik sudah terlanjur berangkat ke gunung lagi buat nyari Mas Galih! Dan ini kenapa bisa sampai babak belur begini?!" Ajeng yang juga merasa sedikit kesal karena disalahkan oleh sang kakak segera mengeluarkan jurus merepetnya, memberondong Galih dengan kata kata yang nyaris tanpa jeda.
"Aku tergelincir dan jatuh ke jurang tadi," nada suara Galih sedikit menurun. Sedikit ngeri juga ia kalau sudah melihat mata Ajeng yang mulai mebeliak lebar begitu. "Dan sepertinya kakiku terkilir!"
"Astaga! Ada ada saja," sungut Ajeng. "Makanya, kalau jalan itu hati hati! Lagian ngapain juga Mas Galih pakai ke gunung segala! Mana...."
"Sudah sudah," Arum yang sejak tadi diam menengahi perdebatan kedua kakak beradik itu. "Ndak usah pada ribut. Lebih baik segera kita bawa masuk saja Mas Galih, dan kita obati luka lukanya."
Ajeng dan Arumpun akhirnya berusaha memapah Galih untuk membawanya masuk kedalam rumah. Namun karena tubuh Galih yang terlalu besar, kedua gadis itu sepertinya sedikit kewalahan. Bukannya berhasil membawa Galih masuk, namun justru membuat Galih semakin kesakitan karena rasa ngilu di pergelangan kakinya semakin menjadi jadi saat dipaksa untuk dipapah oleh Ajeng dan Arum. Alhasil, tubuh Galih kembali terhempas keatas lincak.
"Sepertinya kita butuh bantuan Mbak," ujar Arum kepada Ajeng.
"Mau minta bantuan siapa? Sudah jelas warga tadi ndak ada satupun yang mau saat diajak Paklik buat nyari Mas Galih ke gunung. Pasti kalau kita minta bantuan mereka juga ndak ada yang mau bantu! Keterlaluan memang! Dari sekian banyak warga hanya Mas Prapto yang mau membantu. Dan sekarang mereka sudah berangkat ke gunung. Bulik juga ikut lagi! Siapa coba yang...."
"Aku tau," sela Arum. "Kita minta tolong sama Mbah Pariyem saja."
"Mbah Pariyem? Siapa itu?" tanya Ajeng.
"Lho, kamu ndak inget to? Mbah Pariyem itu masih embah kita juga lho, neneknya Mbak Anjar!"
"Oh, yang dulu dukun pijat itu ya?"
"Bukan cuma dukun pijat Mbak, tapi juga bisa menyembuhkan banyak penyakit."
"Ya sudah kalau begitu, tolong ya Rum, kamu panggilkan Mbah Pariyem, biar aku menemani Mas Galih disini."
"Engggg..., nganu Mbak, aku..."
"Kenapa?"
"Aku ndak berani kesana sendiri. Mbak Ajeng temani aku ya? Mas Galih ndak papa kan kalau kami tinggal sebentar? Ndak lama kok!"
Galih yang sudah setengah mati menahan sakit itu hanya bisa mengangguk pelan. Meski sebenarnya ia agak ragu dengan usul Arum untuk memanggil Mbah Pariyem, tapi sepertinya mereka tak punya pilihan lain. Galih hanya bisa berharap, tadi siang nenek itu tak sempat melihat wajahnya saat sedang mengintipnya diatas gunung sana.
****
Nenek tua itu sedang duduk di teras sambil mengunyah sirih saat Ajeng dan Arum datang. Sikapnya acuh, seolah tak memperdulikan kedatangan kedua tamunya, membuat Ajeng sedikit ragu untuk meneruskan langkahnya.
"Rum, kamu serius mau minta tolong sama nenek itu?" bisik Ajeng ragu, sambil mengamit lengan Arum, saat keduanya telah memasuki halaman rumah nenek itu.
"Kenapa memangnya Mbak? Cuma dia satu satunya di desa ini yang bisa mengobati orang," jawab Arum, juga sambil berbisik.
"Ndak papa sih, tapi kok kayaknya serem gitu orangnya?"
"Tenang aja! Mbah Pariyem memang agak galak orangnya, tapi dia baik kok. Kalau dimintai tolong untuk mengobati orang, biar sudah tengah malam juga dia ndak bakalan nolak."
"Emmm, begitu ya...., ya sudah, kamu jalan duluan Rum, aku takut," Ajeng sedikit mendorong rubuh Arum agar berjalan terlebih dahulu sementara ia mengikuti dari belakang sambil sesekali melihat ke arah si nenek dengan pandangan takut takut.
"Kulonuwuunnn Mbah...!" Arum mengucap salam saat telah tiba di dekat si nenek itu.
"Siapa?!" sahut si nenek tanpa menoleh. Kedua tangan keriputnya masih sibuk melipat lembaran daun sirih yang telah dicampur dengan gambir dan kapur sirih, lalu memasukkan kedalam mulutnya dan mengunyahnya dengan rakus.
"Kulo (kulo = saya) Mbah, Arum," jawab Arum sopan.
"Arum? Arum siapa?" lagi lagi si nenek bertanya tanpa sedikitpun menoleh ke arah Arum.
"Arum, anaknya Pak Harno," jawab Arum lagi.
"Oh," si nenek meludahkan cairan kemerahan bekas kunyahan sirih kedalam tempolong (tempolong = kaleng bekas). "Ada apa?"
"Anu Mbah, mau minta tolong...."
"Minta tolong apa?"
Gila! Ajeng yang sejak tadi diam semakin merasakan suasana yang tak enak. Nenek tua itu, memang seperti itukah cara berbicarnya? Ketus dan seolah tak menghargai lawan bicaranya sama sekali.
"Mau minta tolong simbah buat ngurut Mas Galih. Kakinya terkilir, dan..."
"Mas Galih?" untuk pertama kalinya nenek tua itu menoleh ke arah Ajeng dan Arum, membuat Ajeng kembali surut kebelakang tanpa sadar. Tatapan mata nenek tua itu, benar benar mampu membuat darahnya tersirap. Tajam penuh selidik! "Siapa Mas Galih?!"
"Anaknya Pakdhe Marsudi!"
"BRUAAKKK...!!!" tiba tiba Mbah Pariyem terlonjak bangkit sambil menggebrak permukaan lincak yang didudukinya, menimbulkan suara berderak yang membuat Ajeng yang berdiri dibelakang Arum terlonjak kaget dengan tubuh gemetar.
"Marsudi?!" suara si nenek terdengar meninggi. "Marsudi si pengkhianat itu?! Apa otakmu sudah kaupindah ke dengkul hah?! Kau suruh aku untuk mengobati anak dari orang yang telah membunuh anak dan menantuku?! Emoh! 'Ra sudi! Kalau disuruh mencekiknya sampai mampus aku mau!"
"Tapi Mbah...."
"Pergi! Dan jangan pernah sebut sebut nama orang orang terkutuk itu dihadapanku!" bentak si nenek kasar.
"Tapi...."
"Pergi kataku! Atau kuhajar kalian sampai mampus!"
"Kabuuurrrr...!!!" Sontak Arum dan Ajeng lari tunggang langgang saat melihat Mbah Pariyem menyambar tongkat bambu yang biasa ia pakai untuk menopang tubuh rentanya saat berjalan dan menyabetkannya ke arah kedua tamunya itu.
"Cah edan!" dengus si nenek dengan nafas kembang kempis menahan amarah.
bersambung