Quote:
"Bapak! Ibu! Galih dan Ajeng pulang," Galih berbisik lirih sambil menjatuhkan tubuhnya, terduduk tepat di depan pintu. Isak tangisnya jelas terdengar, seiring dengan air mata yang membanjir di kedua belah pipinya.
Ajeng yang menyadari guncangan jiwa yang dialami sang kakak, mencoba menenangkan Galih dengan mengusap lembut bahu pemuda itu.
"Mas...!" bisik Ajeng lembut. "Kuatkan dirimu!"
"Ya!" Galih pelan pelan bangkit dan mengusap air matanya. "Aku ndak papa Jeng! Hanya..., ah, ndak papa! Ayo masuk! Ini rumah kita!"
Pelan Ajeng mengikut langkah Galih memasuki rumah yang terasa sangat asing baginya itu. Berbeda dengan Galih, ingatan Ajeng terhadap rumah itu memang hanya samar samar, karena dulu saat Pakdhe Margono membawa mereka pergi dari desa ini, usianya masih sangatlah belia. Baru lima tahun.
"Berantakan sekali!" desis Ajeng sambil mengamati seluruh penjuru ruangan itu. Rumah itu berbentuk limasan, menghadap ke arah selatan, dengan ruangan luas yang terbuka tanpa sekat. Dibagian belakang ada kamar berderet yang biasa disebut senthong. Tak banyak perabotan yang tersisa didalam ruangan itu. Hanya seperangkat meja kayu bulat yang dikelilingi oleh empat buah kursi rotan di tengah tengah ruangan, lalu dua buah lemari kayu yang berjajar di sisi bagian kanan ruangan, menjadi sekat untuk sebuah ruangan yang sepertinya dulunya difungsikan sebagai kamar tidur. Ada ranjang reot dibelakang barisan dua lemari itu. Di sisi sebelah kiri ruangan juga sama, ruangan yang hanya disekat dengan sebuah bufet panjang dengan ranjang kayu di bagian belakangnya. Semua perabotan itu terlihat kusam dan kotor, penuh dengan sarang laba laba. Ada pintu tembus di tembok sebelah kiri rumah, yang menghubungkan ruangan itu dengan ruangan dapur yang berada disebah timur bagian rumah.
"Itu dulu kamar tidur kita," Galih menunjuk kamar bersekat bufet yang berada di sebelah kiri ruangan. "Dan yang itu dulu kamar bapak dan ibu."
"Sepertinya hari ini kita harus bekerja keras untuk membereskan rumah ini Mas, agar nanti malam kita bisa beristirahat dengan nyaman," ujar Ajeng sambil terus menjelajahi setiap sudut rumah itu dengan pandangan matanya. Bias cahaya mentari yang menyelusup dari celah celah genting yang sepertinya telah bergeser dari tempatnya itu sedikit membantu pandangannya.
"Itu bisa kita lakukan nanti Jeng," Galih membuka pintu yang tembus ke arah dapur, dan melangkah pelan memasuki ruangan itu. Ajeng mengekor di belakangnya. Kondisi ruangan dapur sepertinya lebih berantakan lagi. Banyak perabotan berserakan diatas balai balai bambu besar yang ada di bagian belakang ruangan itu. Panci, kuali, wajan, bakul, dan beberapa perabotan dapur lainnya tertumpuk campur aduk menjadi satu di tempat itu. Di tengah tengah ruangan ada tungku tempat memasak yang terbuat dari tanah liat. Sepertinya masih bisa digunakan, meski di beberapa bagian terlihat telah sompral. Kompor minyak tanah yang telah berkarat tergeletak di samping tungku itu.
"Sebelumnya, aku mau ziarah dulu ke makam bapak dan ibu," lanjut Galih sambil membuka pintu tembus di belakang ruangan dapur itu. Pintu yang menghubungkan ruangan dapur dengan sebuah sumur tua yang ada di kebun belakang rumah.
"Apa tidak sebaiknya besok saja ziarahnya Mas?" Ajeng memperhatikan sumur dengan timba yang tergantung di katrol berkarat itu, dengan tali karet panjang yang salah satu ujungnya menjuntai masuk kedalam lubang sumur yang gelap dan dalam itu. "Kita sesegera mungkin harus membereskan rumah ini dulu, menyusun barang barang bawaan kita yang lumayan banyak, belum lagi nanti harus membeli beberapa keperluan yang kita butuhkan untuk...."
"Tidak Jeng!" sela Galih tegas. "Ziarah ke makam bapak dan ibu, itu lebih penting dari apapun juga. Soal membereskan rumah ini, nanti bisa kita cicil! Kita bereskan yang sekiranya penting penting dulu! Yang lainnya bisa kita lanjutkan besok!"
"Tapi Mas...!"
"Dimana Arum tadi?" kembali Galih menyela, seolah tak memberi kesempatan kepada Ajeng untuk memprotes kata katanya.
"Ada diluar," Ajeng memberengut, menyadari bahwa sifat keras kepala sang kakak mulai kambuh. Dan mau tak mau ia sepertinya harus mengikuti apa yang menjadi kemauan Galih itu. "Sepertinya sedang membantu Kang Pardi membereskan barang barang kita."
Galih lalu kembali masuk ke ruangan dapur, terus melangkah menuju ke ruang tengah, dimana nampak Kang Pardi dengan dibantu oleh Arum tengah sibuk menyusun kotak kotak kardus dan tas tas besar di sudut ruangan itu. Paklik Harno dan Bulik Parni yang ternyata juga sudah menyusul ke rumah itu juga nampak ikut sibuk membereskan barang barang mereka.
Mengetahui bahwa sang Paklik sudah datang, Galing dan Ajeng secara bergantian segera menyalami dan mencium tangan laki laki itu, yang segera disambut dengan pelukan hangat oleh Paklik Harno. Suasana haru kembali terasa. Paman dan keponakan yang sudah hampir sepuluh tahun l tak bertemu itu saling melepas kerinduan yang telah sekian lama mereka pendam di hati mereka masing masing.
"Ya ndak papa kalau kalian mau ziarah dulu," ujar Paklik Harno saat Galih menyatakan niatnya untuk berziarah dulu ke makam kedua orang tua mereka. "Biar diantar sama Arum! Soal rumah ini, serahkan saja pada Paklik. Paklik jamin, begitu kalian pulang ziarah nanti, rumah ini sudah bersih dan siap untuk kalian tempati!"
"Eeeee, anu Paklik, sepertinya, kami tak perlu diantar," sanggah Galih. "Galih masih ingat kok jalan ke arah pemakaman! Biar Arum disini saja, bantu bantu Paklik dan Kang Pardi beres beres, biar cepet selesai."
"Beneran ndak mau diantar?" Arum menyela. "Sudah lama banget lho kalian ndak pulang kesini. Nanti kalau tersesat gimana?"
"Ah, kamu ini Rum, kami kan bukan anak kecil lagi. Dan ini adalah desa tempat aku dilahirkan dulu. Tempat aku bermain setiap hari, mana mungkin aku tersesat di kampungku sendiri?"
"Hahaha...! Siapa tau saja kamu sudah lupa sama jalan jalan di desa ini Mas!" Arum tergelak.
"Ndak lah! Aku masih ingat kok! Ya sudah kalau begitu, kami ke makam dulu ya Paklik, Bulik!" pamit Galih.
Berdua, Galih dan Ajeng lalu menyusuri jalanan desa yang becek dan licin itu ke arah timur. Suasana desa terasa begitu sepi. Hanya sesekali mereka berpapasan dengan warga yang sepertinya baru pulang dari sawah atau ladang mereka. Galih dan Ajeng berusaha bersikap ramah dengan menyapa mereka. Namun tanggapan yang mereka dapat dari orang orang itu sungguh diluar dugaan. Sikap ramah yang ditunjukkan oleh Galih dan Ajeng mereka tanggapi dengan sikap dingin. Beberapa hanya menyahuti sapaan mereka sekenanya, tanpa senyum sama sekali. Bahkan beberapa diantara mereka malah melengos dan tak menyahut sama sekali saat Galih dan Ajeng menyapa mereka.
"Aneh! Apakah sikap orang orang di desa ini memang seperti itu Mas?" gumam Ajeng saat langkah mereka mulai memasuki jalan setapak yang menuju ke arah pemakaman desa.
"Aneh gimana maksudmu Jeng?" Galih balik bertanya, sambil memperlambat langkahnya. Jalan setapak yang menuju ke arah makam, kondisinya memang lumayan parah. Becek berlumpur dan sangat licin. Sepertinya jalan itu sangat jarang dilalui orang.
"Ya aneh! Apa Mas Galih ndak merasa, saat kita menyapa mereka tadi, tanggapan mereka begitu dingin, seolah mereka tak menyukai kehadiran kita di desa ini," jawab Ajeng sambil berjalan berjingkat jingkat menghindari genangan lumpur di jalanan yang licin itu.
"Ah, mungkin itu hanya perasaanmu saja Jeng," ujar Galih yang berjalan di depan. "Wajar kalau mereka bersikap seperti itu, mengingat kita adalah orang baru disini. Mungkin mereka masih merasa asing dan belum mengetahui siapa kita sebenarnya, mangkanya mereka bersikap seperti itu."
"Oh ya?" Ajeng memungut sebatang dahan kayu kering yang tergeletak di sisi jalan dan menggunakannya ssbagai tongkat untuk menyangga tubuhnya agar tak sampai jatuh terpeleset di jalanan yang licin itu. "Apa tidak sebaliknya Mas?"
"Sebaliknya gimana maksudmu?" Galih terus melangkah.
"Mereka sudah tau siapa kita sebenarnya. Budhe Katmi pernah bilang kan kalau kebanyakan warga desa ini sangat membenci bapak dan ibu kita. Bukan tak mungkin kalau mereka juga membenci kita, karena mereka sudah tau bahwa kita adalah anak dari bapak dan ibu."
"Hush! Jangan berprasangka buruk begitu!" Galih mulai sibuk menyibak dan mematahkan ranting ranting pohon bambu yang mulai banyak menjuntai ke tengah jalan setapak yang mereka lalui itu, agar tak menghalangi langkah mereka. Di kiri kanan jalan setapak itu memang dipenuhi oleh tanaman rumpun bambu liar yang tumbuh di kebun milik warga. "Apa yang dikatakan oleh Budhe Katmi itu belum tentu benar. Lagipula, kita baru datang ke desa ini setelah sepuluh tahun meninggalkannya. Wajar kalau banyak warga yang sudah tak mengenali kita dan menganggap kita orang asing. Nanti kalau sudah ada waktu, kita sempatkan diri untuk berkeliling desa dan berkenalan dengan para tetangga. Mudah mudahan, mereka bisa menerima kita dengan baik, dan melupakan kebencian mereka terhadap kedua orang tua kita."
"Yach, mudah mudahan saja Mas," desah Ajeng pelan. "Tapi perasaanku mulai tak enak Mas. Aku merasa, bahwa keputusan kita untuk kembali ke desa ini adalah salah. Entah kenapa, aku merasa sesuatu yang buruk akan menimpa kita di desa ini."
"Jangan berpikir yang macam macam," sela Galih. "Kamu..."
"Tunggu Mas!" suara Ajeng terdengar meninggi, membuat Galih yang berjalan di depan berhenti dan berbalik, menatap sang adik yang nampak cemas celingak celinguk memandang ke sekeliling tempat itu.
"Ada apa?" tanya Galih heran.
"Sepertinya ada yang mengikuti kita," bisik Ajeng sambil matanya nanar mengawasi kerimbunan tanaman bambu di sisi jalan.
"Mengikuti?" Galih ikut menatap ke arah kerimbunan pohon bambu itu.
"Iya! Tadi aku seperti mendengar suara langkah kaki di kebun bambu itu. Seperti orang yang berjalan mengendap endap menginjak daun daun bambu kering yang berserakan di kebun itu."
Galih kembali menatap ke arah kerimbunan kebun bambu itu. Desau angin sepoi sepoi yang menggoyangkan ranting ranting pohon bambu itu menimbulkan suara bergemerisik. Sesekali juga terdengar suara kriyet kriyet dari dua batang pohon bambu yang bergesekan karena dipermainkan angin.
"Tak ada apa apa," bisik Galih setelah memastikan bahwa memang tak ada apa apa dibalik kerimbunan pohon bambu itu. "Mungkin hanya musang, atau binatang liar lainnya yang kebetulan melintas."
"Tapi Mas...."
"Ayolah Jeng, jangan terlalu berprasangka begitu. Siapa juga yang kurang kerjaan sampai harus mengikuti kita di siang bolong begini."
"Ah, entahlah Mas. Tempat ini...., rasanya sangat menyeramkan! Sepi dan..."
"Sudah! Jangan berpikir yang macam macam! Kalau benar ada yang berani macam macam sama kamu, biar kuhajar mereka!"
"Ish! Mas Galih ini! Jangan asal kalau ngomong! Ini kita di kuburan lho! Kalau ada setan lewat yang dengar..."
"Hahaha...!!! Ajeng Ajeng! Mana ada setan keluar di siang bolong begini!" Galih tergelak. "Sudah ah, yuk lanjut jalan lagi. Pemakaman sudah dekat tuh. Nanti keburu sore dan hujan, bisa repot kita."
Dengan wajah cemberut Ajeng akhirnya kembali melagkah mengikuti sang kakak yang mulai memasuki area pemakaman desa itu. Mata gadis itu dengan nanar terus mengawasi suasana di sekitarnya. Perasaannya yang begitu peka mengatakan bahwa apa atau siapa yang telah mengikuti mereka secara diam diam itu masih mengawasi mereka dari tempat persembunyiannya.
"Menyeramkan sekali pemakaman ini Mas," bisik Ajeng saat menyadari bahwa area pemakaman itu nampak sangat tak terawat. Dikelilingi oleh rimbunan pohon bambu liar yang tumbuh subur, dan rerumputan liar yang juga tumbuh subur diantara sela sela gundukan makam dan batu nisan.
"Yach, namanya juga pemakaman di desa Jeng, nggak ada juru kunci yang merawat. Jadi wajar kalau kondisinya seperti ini. Itu, makam bapak dan ibu disebelah sana," Galih menuntun langkah sang adik menuju ke arah dua buah makam yang juga nampak tak terawat itu. Rumput rumput liar setinggi betis tumbuh subur disela sela batu nisan berwarna kehitaman itu.
"Bapak! Ibu! Maaf kalau Galih dan Ajeng baru sempat berkunjung kesini," kedua kakak beradik itu lalu duduk bersimpuh di sisi kedua makam itu dan mulai sibuk membersihkan dan mencabuti rumput rumput liar yang tumbuh di sekeliling makam itu. Setelah bersih, keduanya lalu khusyu' memanjatkan doa dan menabur bunga bungaan yang tadi sempat mereka petik dalam perjalanan.
Suasana syahdu kembali terasa. Isak tangis samar terdengar dari kedua kakak beradik itu, diiringi suara desau angin yang menggoyangkan pucuk pucuk ranting bambu dan kicau burung tekukur yang terdengar dari kejauhan, membuat siapapun yang mendengarnya akan ikut terhanyut oleh suasana yang membeku itu.
"Jeng..." desis Galih pelan, begitu keduanya telah selesai memanjatkan doa.
"Ada apa Mas?" Ajeng yang merasakan nada suara sang kakak menjadi sedikit aneh itu terkejut. Apalagi saat ia menoleh ke arah Galih, ia mendapati kakak laki lakinya itu melirik serius ke arah kerimbunan pohon bambu disisi pemakaman.
"Diam dulu!" bisik Galih sambil tangannya diam diam meraba raba tanah di sekitar tempatnya bersimpuh. Sebongkah batu sebesar kepalan tangan yang ia temukan, ia genggam erat erat. Lalu dengan sentakan cepat Galih berdiri sambil berteriak lantang dan melemparkan bongkahan batu yang dipegangnya ke arah rimbunan pohon bambu di sisi pemakaman itu.
"Siapa disitu?!"
"Gusrrraakkkkk...!!!"
"Krosaakkk...!!! Krosaakkk...!!! Krosaakkk...!!!"
Suara Galih menggema di area pemakaman yang sunyi itu, disusul dengan suara berkemerosak dari bongkahan batu yang dilemparnya yang mengenai rimbunan semak semak dan suara langkah kaki yang berlari menjauh diatas tumpukan dedaunan bambu kering yang bertebaran di kebun kosong itu.
"Hei! Jangan lari!" sentak Galih sambil melesat mengejar sekelebatan bayangan berpakaian biru yang sempat tertangkap oleh indera pengelihatannya berlari menjauh itu.
"Mas Galih! Tunggu! Ndak usah dikejar! Ah! Sial!"
bersambung