- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 12:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#406
Quote:
Original Posted By benbela►
Langit telah sepenuhnya gelap dan tak sedikitpun cahaya terlihat. Mungkin seperti inilah rasanya jadi orang buta, hanya bisa meraba-raba.
Tak ingin cari perkara, aku merangkak dalam gelap untuk mencari tempat yang sekiranya lapang untuk merebahkan badan.
Tanpa penerangan, sungguh usaha yang sangat sulit. Akhirnya aku berbaring seadanya, menahan perih di sekujur tubuh. Aroma khas dasar hutan yang berupa daun busuk, lumut dan tanah langsung menyengat hidung.
Aku menekuk badan untuk menahan dingin. Tubuhku menggigil hingga gigiku bergemelutuk, padahal badan telah basah dengan peluh keringat.
Dunia terasa sangat senyap, jauh dari hiruk pikuk dan keculasan manusia. Di tengah hutan ini, hanya ada suara serangga dan binatang malam dengan aktifitasnya. Sepertinya mereka sudah tidak sabar menantiku melepas ajal, lalu menjadikan bangkaiku sebagai santapan.
Aku meringkuk, memeluk lutut sambil menggigit bibir. Tanpa terasa aku pun tertidur lelap di tengah belantara, di antara pohon-pohon besar berselimut kegelapan.
Riuhnya suara hutan di pagi hari membuatku terbangun. Kurasakan perih di perut, rupanya lukaku mulai membusuk. Darahnya telah mengering berwarna kehitaman, dirubungi sekumpulan lalat hitam yang besar.
Sepertinya matahari sudah cukup tinggi. Kabut tipis yang biasanya menutup hutan sudah tidak terlihat lagi.
Aku mencoba bergerak, berusaha untuk duduk. Namun, baru saja aku mengangkat tangan, otot-otot tubuhku menegang hingga terasa sangat sakit bila bergerak sedikit saja.
Aku kembali terkapar di dasar hutan dengan tubuh yang membiru karena memar. Wajahku memucat dan bibir terasa kering.
Saat ini, aku berharap ada seseorang yang menolong. Tapi aku juga tahu, tidak ada yang bisa diandalkan kecuali diri sendiri.
Aku mencoba duduk meski perih terasa menusuk di bagian perut. Meski bersusap payah, aku berhasil menghempaskan pantat di atas tanah.
Kubersihkan dedaunan yang menempel di badan dan menepis lalat yang masih saja beterbangan di sekitar luka yang menganga.
Berpegang pada kayu yang kujadikan tongkat, aku bangkit berdiri. Tak kupedulikan rasa sakit hingga aku benar-benar bisa berpijak pada dua kaki.
Tertatih, aku berjalan tanpa arah di dalam hutan. Aku berdoa dalam hati dan melantunkan ayat-ayat suci yang kuhafal, berharap bisa menemukan sungai.
Ya, sungai. Biasanya bila ada sungai, maka akan ada perkampungan. Atau setidaknya ada pondok milik pemburu atau orang yang mencari ikan.
Aku terus melangkah menerobos belukar dan rumput liar, sambil mengingat-ingat arah sungai tempat kami diserang Tambun kemarin.
Sebenarnya aku khawatir bila tersesat, tapi berdiam diri di tengah hutan juga bukan pilihan tepat. Akhirnya aku melangkah sekenanya saja, setapak demi setapak tanpa tahu harus kemana.
Beberapa waktu berlalu, akhirnya kudengar sayup-sayup gemericik air di kejauhan. Seketika semangatku tumbuh, kupercepat langkah menuju sumber suara.
Rasa optimis kembali datang saat suara gemericik terdengar semakin jelas. Tak kuhiraukan rasa sakit, aku terus melangkah hingga akhirnya tiba di pinggir sungai yang jernih.
Untuk sesaat rasa sakit dan khawatir terlupakan, saat sungai dengan barisan batu kali membentang di depan mata. Masih memegang tongkat, aku berjalan hati-hati di antara barisan batu tajam.
Setelah mendapatkan tempat berpijak yang cukup kokoh, aku lalu membungkuk dan menangkupkan kedua tapak tangan ke sungai.
Dengan hati-hati, air di kedua tapak tangan kutiup lalu kedekatkan ke mulut. Segera kureguk air sebanyak-banyaknya untuk membasahi tenggorokan yang kering. Rasa segar membasahi kerongkongan hingga dahagaku hilang.
Setelah haus hilang, aku lalu mencuci muka berkali-kali seperti orang berwudhu. Dalam posisi duduk, badan serta luka kubersihkan dengan hati-hati.
Setelah kurasa cukup, aku kembali ke tepi sungai untuk mencari tempat istirahat. Aku berjalan sedikit terpincang menuju sebatang pohon yang agak besar tapi rindang.
Begitu sampai, kusandarkan punggung secara perlahan karena luka di perut kembali berdarah. Sesekali aku meringis menahan perih.
Kaki kuselonjorkan begitu saja sambil terus menatap ke arah sungai dengan pandangan kosong.
Aku merasa bingung harus berbuat apa dan bagaimana. Pikiranku benar-benar buntu dan mulai tidak waras.
Aku merasa ular naga itu sengaja melepasku begitu saja untuk kemudian kembali diburu.
Lalu bagaiman dengan Kapten ? Apakah ia telah mati atau masih hidup? Atau ia sengaja mengorbankan aku agar bisa selamat sendiri ?
Berbagai pikiran buruk menghantui pikiranku. Anehnya suasana di pinggir sungai ini begitu sepi. Tidak ada apapun yang terdengar kecuali gemericik air sungai yang mengalir di antara celah-celah batu.
Suara dahan-dahan pohon yang bergoyang tertiup angin pun juga tidak terdengar. Aku merasa berada di ruang hampa.
Firasatku mengatakan ada yang tidak beres. Tidak ingin celaka, aku lalu bangkit meninggalkan tempat itu. Aku berjalan menyusuri sungai ke arah hilir, berharap bertemu manusia yang bisa menolong.
Waktu berlalu, entah sudah berapa lama aku berjalan di bawah batang-batang pohon, memijakkan kaki di antara batu setapak demi setapak. Yang jelas, pergerakanku sangat lambat.
Kondisi tubuh yang terluka dan penuh memar, membuat langkah kakiku tidak lebih cepat dari kura-kura.
Selama perjalanan, aku beberapa kali beristirahat. Namun tidak lama, karena aku merasa ada yang mengikuti.
Kekhawatirankun menjadi-jadi ketika kulihat di belakang tiba-tiba sekumpulan burung berhamburan di antara pucuk-pucuk pohon, diiringi suara berisik monyet yang ketakutan.
Pohon-pohon itu bergoyang bagai ada gempa, membuat ketakutanku menjadi-jadi. Entah itu pertanda ada Tambun atau hewan buas lainnya, yang jelas ada bahaya mendekat.
Aku berjalan terpincang dalam keadaan panik. Jantungku berdebar-debar bagaikan orang yang ikut lomba lari. Meskipun keadaanku penuh luka, keinginan untuk tetap hidup membuatku bisa bertahan sejauh ini.
Aku mempercepat langkah hingga tanpa sadar menapak pada batu kali yang licin. Tubuhku seketika hilang keseimbangan dan terjatuh dengan posisi kepala terlebih dahulu.
Buuk...!!!
Kurasakan sakit bukan main di kepala belakang. Aku ingin berteriak tapi masih bisa kutahan, takut teriakanku justru memancing Tambun untuk mendekat.
Aku menggigit bibir sambil meringis hingga mataku berair. Aku meraba kepala sepertinya tidak ada yang luka. Namun, ada benjolan yang cukup besar, sebesar pola pingpong.
Aku sempat tidak ingin melanjutkan perjalanan dan berdiam saja di situ. Aku hanya bisa merintih menahan sakit bagai perempuan yang hendak melahirkan. Luka di perut kembali menganga mengucurkan darah segar.
Hampir saja aku hilang kesadaran, saar kudengar samar-samar riuh suara monyet berteriak di kejauhan. Aku kembali bangkit dan beranjak dari tempat itu.
Bagai kakek renta, aku berjalan terseok-seok ke arah hilir. Saat berjalan aku menengok ke kiri dan kanan, takut kalau ada binatang buas atau Tambun yang mengintai.
Perkiraanku sudah lebih satu jam aku menyusuri sungai ini, namun belum ada tanda-tanda keberadaan manusia yang kutemukan.
Aku sedikit lega, setidaknya suara gerombolan monyet sudah tidak lagi terdengar di belakang.
Setelah belokan, aku seketika menghentikan langkah. Di kiri sungai, terlihat sebuah pondok di kejauhan.
Meski menahan sakit, langkah kupercepat agar segera tiba di pondok. Semakin dekat dengan pondok, semakin aku yakin bahwa peluang untuk hidup bertambah besar.
Aku menyebrang ke arah kiri sungai, melewati arus air yang jernih. Untung saja sekarang musim kemarau, jadi ketinggian air sungai hanya beberapa senti di atas mata kaki.
Kali ini aku melangkah hati-hati agar tidak terpeleset. Berhasil menyeberang, kakiku kini melangkah diatas rerumputan kering.
Setelah beberapa meter berjalan, kini di depanku tampak pondok kecil yang sudah usang. Sebuah pondok yang biasanya digunakan oleh pemburu untuk tempat istirahat.
Baru selangkah kakiku berpijak pada tangga, keraguan tiba-tiba muncul begitu saja. Aku merasa ada yang tidak beres, karena di dalam terdengar suara gaduh.
Entah suara manusia atau binatang, yang pasti suara rintihan tertahan. Kupasang telinga baik-baik untuk memastikan, namun suara gaduh itu justru menghilang.
Kutunggu beberapa saat untuk memastikan, tapi lagi-lagi hanya kesunyian.
Mungkin hanya halusinasi, batinku. Ketakutan dan kelelahan membuat otakku tidak bisa berpikir waras.
Dengan gontai aku meniti tangga yang tidak terlalu tinggi. Setelah anak tangga terakhir, pintu langsung kubuka saja.
Kreet....
Rupanya pintu tidak terkunci. Seketika tenggorokanku tercekat begitu melihat kondisi di dalam pondok. Aku merasa ngeri, karena lantai penuh ceceran darah.
Di pojok ruangan, terlihat seorang pria terkapar dengan tubuh bersimbah darah. Tangannya terikat di belakang, begitu pula kakinya tertekuk dengan simpul tali tambang.
Takut-takut, aku mendekat untuk melihat kondisi pria itu. Mulutnya tersumpal kain lusuh, penuh darah dan liur. Seluruh wajahnya lebam dan biru, sepertinya telah dihajar oleh siapapun yang menyekapnya.
Pria di depanku tiba-tiba bergerak dan merintih. Aku terkejut dan menelan ludah berkali-kali, karena aku mengenal pria yang ada di depanku ini.
"Kapten !?" decakku tak percaya.
...bersambung...
Bab 20 : Berjalan Tanpa Arah
Langit telah sepenuhnya gelap dan tak sedikitpun cahaya terlihat. Mungkin seperti inilah rasanya jadi orang buta, hanya bisa meraba-raba.
Tak ingin cari perkara, aku merangkak dalam gelap untuk mencari tempat yang sekiranya lapang untuk merebahkan badan.
Tanpa penerangan, sungguh usaha yang sangat sulit. Akhirnya aku berbaring seadanya, menahan perih di sekujur tubuh. Aroma khas dasar hutan yang berupa daun busuk, lumut dan tanah langsung menyengat hidung.
Aku menekuk badan untuk menahan dingin. Tubuhku menggigil hingga gigiku bergemelutuk, padahal badan telah basah dengan peluh keringat.
Dunia terasa sangat senyap, jauh dari hiruk pikuk dan keculasan manusia. Di tengah hutan ini, hanya ada suara serangga dan binatang malam dengan aktifitasnya. Sepertinya mereka sudah tidak sabar menantiku melepas ajal, lalu menjadikan bangkaiku sebagai santapan.
Aku meringkuk, memeluk lutut sambil menggigit bibir. Tanpa terasa aku pun tertidur lelap di tengah belantara, di antara pohon-pohon besar berselimut kegelapan.
*****
Riuhnya suara hutan di pagi hari membuatku terbangun. Kurasakan perih di perut, rupanya lukaku mulai membusuk. Darahnya telah mengering berwarna kehitaman, dirubungi sekumpulan lalat hitam yang besar.
Sepertinya matahari sudah cukup tinggi. Kabut tipis yang biasanya menutup hutan sudah tidak terlihat lagi.
Aku mencoba bergerak, berusaha untuk duduk. Namun, baru saja aku mengangkat tangan, otot-otot tubuhku menegang hingga terasa sangat sakit bila bergerak sedikit saja.
Aku kembali terkapar di dasar hutan dengan tubuh yang membiru karena memar. Wajahku memucat dan bibir terasa kering.
Saat ini, aku berharap ada seseorang yang menolong. Tapi aku juga tahu, tidak ada yang bisa diandalkan kecuali diri sendiri.
Aku mencoba duduk meski perih terasa menusuk di bagian perut. Meski bersusap payah, aku berhasil menghempaskan pantat di atas tanah.
Kubersihkan dedaunan yang menempel di badan dan menepis lalat yang masih saja beterbangan di sekitar luka yang menganga.
Berpegang pada kayu yang kujadikan tongkat, aku bangkit berdiri. Tak kupedulikan rasa sakit hingga aku benar-benar bisa berpijak pada dua kaki.
Tertatih, aku berjalan tanpa arah di dalam hutan. Aku berdoa dalam hati dan melantunkan ayat-ayat suci yang kuhafal, berharap bisa menemukan sungai.
Ya, sungai. Biasanya bila ada sungai, maka akan ada perkampungan. Atau setidaknya ada pondok milik pemburu atau orang yang mencari ikan.
Aku terus melangkah menerobos belukar dan rumput liar, sambil mengingat-ingat arah sungai tempat kami diserang Tambun kemarin.
Sebenarnya aku khawatir bila tersesat, tapi berdiam diri di tengah hutan juga bukan pilihan tepat. Akhirnya aku melangkah sekenanya saja, setapak demi setapak tanpa tahu harus kemana.
Beberapa waktu berlalu, akhirnya kudengar sayup-sayup gemericik air di kejauhan. Seketika semangatku tumbuh, kupercepat langkah menuju sumber suara.
Rasa optimis kembali datang saat suara gemericik terdengar semakin jelas. Tak kuhiraukan rasa sakit, aku terus melangkah hingga akhirnya tiba di pinggir sungai yang jernih.
Untuk sesaat rasa sakit dan khawatir terlupakan, saat sungai dengan barisan batu kali membentang di depan mata. Masih memegang tongkat, aku berjalan hati-hati di antara barisan batu tajam.
Setelah mendapatkan tempat berpijak yang cukup kokoh, aku lalu membungkuk dan menangkupkan kedua tapak tangan ke sungai.
Dengan hati-hati, air di kedua tapak tangan kutiup lalu kedekatkan ke mulut. Segera kureguk air sebanyak-banyaknya untuk membasahi tenggorokan yang kering. Rasa segar membasahi kerongkongan hingga dahagaku hilang.
Setelah haus hilang, aku lalu mencuci muka berkali-kali seperti orang berwudhu. Dalam posisi duduk, badan serta luka kubersihkan dengan hati-hati.
Setelah kurasa cukup, aku kembali ke tepi sungai untuk mencari tempat istirahat. Aku berjalan sedikit terpincang menuju sebatang pohon yang agak besar tapi rindang.
Begitu sampai, kusandarkan punggung secara perlahan karena luka di perut kembali berdarah. Sesekali aku meringis menahan perih.
Kaki kuselonjorkan begitu saja sambil terus menatap ke arah sungai dengan pandangan kosong.
Aku merasa bingung harus berbuat apa dan bagaimana. Pikiranku benar-benar buntu dan mulai tidak waras.
Aku merasa ular naga itu sengaja melepasku begitu saja untuk kemudian kembali diburu.
Lalu bagaiman dengan Kapten ? Apakah ia telah mati atau masih hidup? Atau ia sengaja mengorbankan aku agar bisa selamat sendiri ?
Berbagai pikiran buruk menghantui pikiranku. Anehnya suasana di pinggir sungai ini begitu sepi. Tidak ada apapun yang terdengar kecuali gemericik air sungai yang mengalir di antara celah-celah batu.
Suara dahan-dahan pohon yang bergoyang tertiup angin pun juga tidak terdengar. Aku merasa berada di ruang hampa.
Firasatku mengatakan ada yang tidak beres. Tidak ingin celaka, aku lalu bangkit meninggalkan tempat itu. Aku berjalan menyusuri sungai ke arah hilir, berharap bertemu manusia yang bisa menolong.
*****
Waktu berlalu, entah sudah berapa lama aku berjalan di bawah batang-batang pohon, memijakkan kaki di antara batu setapak demi setapak. Yang jelas, pergerakanku sangat lambat.
Kondisi tubuh yang terluka dan penuh memar, membuat langkah kakiku tidak lebih cepat dari kura-kura.
Selama perjalanan, aku beberapa kali beristirahat. Namun tidak lama, karena aku merasa ada yang mengikuti.
Kekhawatirankun menjadi-jadi ketika kulihat di belakang tiba-tiba sekumpulan burung berhamburan di antara pucuk-pucuk pohon, diiringi suara berisik monyet yang ketakutan.
Pohon-pohon itu bergoyang bagai ada gempa, membuat ketakutanku menjadi-jadi. Entah itu pertanda ada Tambun atau hewan buas lainnya, yang jelas ada bahaya mendekat.
Aku berjalan terpincang dalam keadaan panik. Jantungku berdebar-debar bagaikan orang yang ikut lomba lari. Meskipun keadaanku penuh luka, keinginan untuk tetap hidup membuatku bisa bertahan sejauh ini.
Aku mempercepat langkah hingga tanpa sadar menapak pada batu kali yang licin. Tubuhku seketika hilang keseimbangan dan terjatuh dengan posisi kepala terlebih dahulu.
Buuk...!!!
Kurasakan sakit bukan main di kepala belakang. Aku ingin berteriak tapi masih bisa kutahan, takut teriakanku justru memancing Tambun untuk mendekat.
Aku menggigit bibir sambil meringis hingga mataku berair. Aku meraba kepala sepertinya tidak ada yang luka. Namun, ada benjolan yang cukup besar, sebesar pola pingpong.
Aku sempat tidak ingin melanjutkan perjalanan dan berdiam saja di situ. Aku hanya bisa merintih menahan sakit bagai perempuan yang hendak melahirkan. Luka di perut kembali menganga mengucurkan darah segar.
Hampir saja aku hilang kesadaran, saar kudengar samar-samar riuh suara monyet berteriak di kejauhan. Aku kembali bangkit dan beranjak dari tempat itu.
Bagai kakek renta, aku berjalan terseok-seok ke arah hilir. Saat berjalan aku menengok ke kiri dan kanan, takut kalau ada binatang buas atau Tambun yang mengintai.
Perkiraanku sudah lebih satu jam aku menyusuri sungai ini, namun belum ada tanda-tanda keberadaan manusia yang kutemukan.
Aku sedikit lega, setidaknya suara gerombolan monyet sudah tidak lagi terdengar di belakang.
Setelah belokan, aku seketika menghentikan langkah. Di kiri sungai, terlihat sebuah pondok di kejauhan.
Meski menahan sakit, langkah kupercepat agar segera tiba di pondok. Semakin dekat dengan pondok, semakin aku yakin bahwa peluang untuk hidup bertambah besar.
Aku menyebrang ke arah kiri sungai, melewati arus air yang jernih. Untung saja sekarang musim kemarau, jadi ketinggian air sungai hanya beberapa senti di atas mata kaki.
Kali ini aku melangkah hati-hati agar tidak terpeleset. Berhasil menyeberang, kakiku kini melangkah diatas rerumputan kering.
Setelah beberapa meter berjalan, kini di depanku tampak pondok kecil yang sudah usang. Sebuah pondok yang biasanya digunakan oleh pemburu untuk tempat istirahat.
Baru selangkah kakiku berpijak pada tangga, keraguan tiba-tiba muncul begitu saja. Aku merasa ada yang tidak beres, karena di dalam terdengar suara gaduh.
Entah suara manusia atau binatang, yang pasti suara rintihan tertahan. Kupasang telinga baik-baik untuk memastikan, namun suara gaduh itu justru menghilang.
Kutunggu beberapa saat untuk memastikan, tapi lagi-lagi hanya kesunyian.
Mungkin hanya halusinasi, batinku. Ketakutan dan kelelahan membuat otakku tidak bisa berpikir waras.
Dengan gontai aku meniti tangga yang tidak terlalu tinggi. Setelah anak tangga terakhir, pintu langsung kubuka saja.
Kreet....
Rupanya pintu tidak terkunci. Seketika tenggorokanku tercekat begitu melihat kondisi di dalam pondok. Aku merasa ngeri, karena lantai penuh ceceran darah.
Di pojok ruangan, terlihat seorang pria terkapar dengan tubuh bersimbah darah. Tangannya terikat di belakang, begitu pula kakinya tertekuk dengan simpul tali tambang.
Takut-takut, aku mendekat untuk melihat kondisi pria itu. Mulutnya tersumpal kain lusuh, penuh darah dan liur. Seluruh wajahnya lebam dan biru, sepertinya telah dihajar oleh siapapun yang menyekapnya.
Pria di depanku tiba-tiba bergerak dan merintih. Aku terkejut dan menelan ludah berkali-kali, karena aku mengenal pria yang ada di depanku ini.
"Kapten !?" decakku tak percaya.
...bersambung...
Sampai jumpa update berikutnya yak. Update agak selow karena kesibukan RL. Jangan lupa sakrep, komeng dan syer ewer-ewer 😁



bruno95 dan 66 lainnya memberi reputasi
67
Kutip
Balas
Tutup