- Beranda
- Komunitas
- News
- Sejarah & Xenology
Mengenal Leonardus Benyamin Moerdani, "Raja Intelejen Indonesia"
TS
LordFaries4.0
Mengenal Leonardus Benyamin Moerdani, "Raja Intelejen Indonesia"
Jenderal TNI (Purn.) Leonardus Benyamin Moerdani, atau L.B. Moerdani, atau kerap disebut Benny Moerdani (2 Oktober 1932 – 29 Agustus 2004) adalah salah satu tokoh militer Indonesia paling berpengaruh di era Orde Baru. Benny Moerdani dikenal sebagai perwira TNI yang banyak berkecimpung di dunia intelijen, sehingga sosoknya banyak dianggap misterius.
Moerdani merupakan perwira yang ikut terjun langsung di operasi militer penanganan pembajakan pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 206 di Bandara Don Mueang, Bangkok, Kerajaan Thai pada tanggal 28 Maret 1981, peristiwa yang kemudian dicatat sebagai peristiwa pembajakan pesawat pertama dalam sejarah maskapai penerbangan Republik Indonesia dan terorisme bermotif jihad pertama di Indonesia. Ia juga dianggap banyak kalangan sebagai sosok yang bertanggung jawab terhadap peristiwa Tanjung Priok dan penembakan misterius pada tahun 1980-an .
Dalam posisi pemerintahan, selain sebagai Panglima ABRI, ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dan juga Pangkopkamtib.
Awal kehidupan
Moerdani lahir pada 2 Oktober 1932 di Cepu, Blora, Jawa Tengah dari pasangan R.G. Moerdani Sosrodirjo, seorang pekerja kereta api dan istrinya yang seorang Indo Eurasia Jeanne Roech, yang memiliki darah setengah Jerman. Moerdani adalah anak ke-3 dari 11 bersaudara. Meskipun seorang Muslim, Moerdani Sosrodirjo mentolerir istrinya dan iman Katolik anak-anaknya.
Jenderal TNI L.B. Moerdani menjadi warga kehormatan Korps Marinir.
Karier militer
Spoiler for Isi:
Karier militer awal
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Moerdani terjebak dalam gelombang nasionalisme. Pada bulan Oktober 1945, ketika berusia 13, Moerdani mengambil bagian dalam serangan terhadap markas Kempetai di Solo setelah Kempetai menolak untuk menyerah kepada pasukan Indonesia. Ketika Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal ABRI dibentuk, Moerdani bergabung dengan Tentara Pelajar yang berada di bawah otoritas dari Brigade ABRI. Dari brigade ini, Moerdani mengambil bagian dalam Revolusi Nasional Indonesia melawan Belanda, dia berpartisipasi dalam sebuah serangan umum yang sukses di Solo.
Setelah kemerdekaan Indonesia situasi berangsur aman, Moerdani mengambil kesempatan untuk menyelesaikan pendidikannya, lulus dari sekolah menengah pertama dan melanjutkan ke sekolah menengah atas; sementara itu ia mengambil pekerjaan paruh-waktu untuk membantu pamannya menjual barang. Pada tahun 1951, Pemerintah Indonesia mulai melakukan demobilisasi, brigade Moerdani dianggap telah melakukan tugas cukup baik dan para prajuritnya terus bertugas dengan ABRI. Moerdani, bersama dengan brigadenya terdaftar dalam Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) dan mulai pelatihan pada bulan Januari 1951. Pada saat yang sama, Moerdani juga mengambil bagian dalam Sekolah Pelatihan Infanteri (SPI).
Moerdani menyelesaikan pendidikan militernya dari P3AD pada bulan April 1952 dan dari SPI Mei 1952.[4] Ia juga diberi pangkat Pembantu Letnan Satu. 2 tahun kemudian, pada tahun 1954, Moerdani menerima pangkat Letnan Dua dan ditempatkan di TT/III Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat.
KKAD/RPKAD
Dalam upaya untuk menghadapi ancaman dari Darul Islam, Kolonel Alex Evert Kawilarang, Panglima TT/III Siliwangi membentuk Kesatuan Komando Tentara Territorium III/Siliwangi (KESKO TT III). Keberhasilan mereka menarik Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta untuk mendukung pembentukan Satuan Pasukan Khusus. Dengan demikian, pada tahun 1954, Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD) dibentuk. Moerdani ditugaskan sebagai pelatih bagi para prajurit yang ingin bergabung dengan KKAD dan diangkat sebagai Kepala Biro Pengajaran. Pada tahun 1956, KKAD mengalami perubahan nama menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Tidak lama setelah itu, Moerdani diangkat menjadi Komandan Kompi.
Sebagai anggota RPKAD, Moerdani menjadi bagian dari pertempuran untuk menekan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), kelompok separatis yang berbasis di Sumatra. Pada bulan Maret 1958, Moerdani diterjunkan ke bawah di belakang garis musuh di Pekanbaru dan Medan untuk mempersiapkan dasar bagi ABRI untuk mengambil alih dua kota. Sebulan kemudian, pada tanggal 17 April 1958, Moerdani mengambil bagian dalam Operasi 17 Agustus, sebuah operasi yang memukul para pemberontak PRRI.[6] Tugas Moerdani berikutnya adalah untuk mengurus Piagam Perjuangan Semesta (Permesta), kelompok separatis lain di Sulawesi. Mirip dengan apa yang dia lakukan di Sumatra, Moerdani dan pasukannya meletakkan dasar bagi semua serangan terhadap Permesta yang kemudian menyerah pada bulan Juni 1958.
Setelah penyerahan diri PRRI dan Permesta, Moerdani, ditempatkan di Aceh. Pada awal 1960, ia mempertimbangkan untuk menjadi pilot pesawat Angkatan Darat tetapi dibujuk oleh Ahmad Yani yang mengirimnya ke Amerika Serikat untuk bergabung dengan Sekolah Infanteri Angkatan Darat Amerika Serikat di Fort Benning. Di sana, Moerdani mengambil bagian dalam Kursus Lanjutan Perwira Infanteri dan berlatih dengan 101st Airborne Division.
Moerdani kembali ke Indonesia pada tahun 1961 ketika ABRI sedang mempersiapkan diri untuk pengambilalihan Irian Barat. Tugas pertamanya adalah melatih pasukan terjun payung yang seharusnya mendarat di belakang garis musuh dan menyusup. Bulan-bulan pun berlalu, infiltrasi tidak membawa hasil yang nyata. Pada bulan Mei 1962, Moerdani ditugaskan untuk memimpin penurunan pasukan terjun payung yang terdiri dari tentara RPKAD dan Kostrad. Setelah mendarat di Irian Barat pada akhir Juni 1962, Moerdani memimpin pasukannya dalam pertempuran-pertempuran melawan anggota Angkatan Laut Belanda sampai PBB ikut campur pada bulan Agustus 1962 dan memutuskan memberikan Irian Barat ke Indonesia. Setelah ada gencatan senjata, Moerdani ditempatkan untuk bertanggung jawab atas semua pasukan gerilya di Irian Barat.
Pada tahun 1964, Moerdani kembali ke Jakarta lagi. Prestasinya selama kampanye pembebasan Irian Barat telah menarik perhatian dari Presiden Soekarno yang ingin merekrutnya sebagai Ajudan Presiden dan menikahkannya dengan salah satu putrinya, namun Moerdani menolak kedua penawaran tersebut.
Pada tahun 1964, Moerdani dan Batalyon RPKAD dikirim ke Kalimantan untuk bertempur dalam perang gerilya melawan tentara Malaysia dan Inggris sebagai bagian dari konfrontasi Indonesia-Malaysia. Namun, ia tidak menghabiskan waktu yang lama di Kalimantan, kembali ke Jakarta pada bulan September. Pada tahap ini, Moerdani sekali lagi memikirkan pada perluasan kariernya kali ini ia mencoba untuk memutuskan antara karier sebagai komandan teritorial di Kalimantan atau sebagai atase militer. Dia memilih yang terakhir dan telah meminta untuk ditempatkan di Beijing.
Pada akhir 1964, sebuah pertemuan perwira RPKAD diadakan dan Moerdani diundang bersama. Topik dari pertemuan ini adalah untuk membahas penghapusan tentara cacat dari RPKAD namun Moerdani keberatan.[9] Berita keberatan Moerdani sampai ke Yani, yang telah menjadi Panglima Angkatan Darat. Yani memanggil Moerdani dan menuduhnya melakukan pembangkangan. Pertemuan diakhiri dengan Yani memerintahkan Moerdani untuk berpindah dari RPKAD ke Kostrad. Moerdani menyerahkan komando batalyon RPKAD nya pada tanggal 6 Januari 1965.
Kostrad
Langkah Moerdani dari RPKAD ke Kostrad adalah hal yang tiba-tiba dan belum ada posisi yang disiapkan untuknya. Posisi pertamanya adalah sebagai seorang perwira Operasi dan Biro Pelatihan. Peruntungannya berubah ketika Letnan Kolonel Ali Moertopo mengetahui bahwa ia adalah bagian dari Kostrad. Setelah berkenalan dengan Moerdani selama operasi di Irian Barat, Ali mengakui potensi Moerdani dan ingin lebih mengembangkan hal itu. Kebetulan, Ali pada saat itu adalah Asisten Intelijen Komando Tempur 1, salah satu unit Kostrad yang ditempatkan di Sumatra dalam persiapan untuk menginvasi Malaysia. Ali merekrut Moerdani menjadi Wakil Asisten Intelijen dan memberinya pengalaman pertama kerja intelijen.
Selain menjadi Wakil Asisten Intelijen, Moerdani juga menjadi bagian dari tim intelijen Operasi Khusus (Opsus). Tugasnya adalah untuk mengumpulkan informasi intelijen di Malaysia dari Bangkok ia menyamar menjadi penjual tiket Garuda Indonesia.
Setelah Gerakan 30 September hancur pada 1 Oktober 1965 oleh Pangkostrad Mayjen Soeharto, kegiatan Moerdani diintensifkan. Dia bergabung dengan Ali dan bersama-sama mereka mulai bekerja meletakkan dasar untuk mengakhiri Konfrontasi tersebut. Upaya mereka memuncak pada tanggal 11 Agustus 1966 ketika Pemerintah Indonesia dan Malaysia menandatangani kesepakatan untuk menormalkan hubungan antara kedua negara.
Karier diplomatik
Meskipun perdamaian telah tercapai, Moerdani tinggal di Malaysia sebagai chargé d'affaires. Tugas pertamanya adalah untuk menjamin pembebasan tentara Indonesia dan para pejuang gerilya yang telah tertangkap selama Konfrontasi. Pada bulan Maret 1968, bersama seorang duta besar akhirnya ia ditugaskan di Malaysia, Moerdani menjadi kepala Konsulat Indonesia di Malaysia Barat. Pada saat yang sama, ia terus menjadi bagian dari Opsus dengan tugas melakukan pengawasan terhadap kejadian di dalam Perang Vietnam.
Pada akhir tahun 1969, Moerdani dipindahkan ke Seoul untuk menjadi Konsul Jenderal Indonesia di Korea Selatan. Pada tahun 1973, status Moerdani ditingkatkan dari Konsul Jenderal menjadi chargé d'affaires.
Perwira intelijen
Karier diplomatik Moerdani berakhir tiba-tiba ketika terjadi Peristiwa Malari di Jakarta pada bulan Januari 1974 dan dalam waktu seminggu setelah peristiwa itu, Moerdani telah kembali ke Jakarta. Presiden Soeharto segera memberinya posisi yang membuatnya memiliki banyak kekuasaan. Moerdani menjadi Asisten Intelijen Menteri Pertahanan dan Keamanan, Asisten Intelijen Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), Kepala Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), dan Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).
Pada tahun 1975, Moerdani menjadi sangat terlibat dengan masalah dekolonisasi Timor Timur. Pada bulan Agustus 1975, Moerdani mulai mengirimkan tentara Indonesia dengan kedok relawan untuk mulai menyusup ke Timor Timur. Situasi diintensifkan pada tanggal 28 November 1975 ketika Fretilin memproklamasikan kemerdekaan Timor Timur. Operasi intelijen berhenti dan operasi militer, Operasi Seroja dimulai sebagai gantinya. Meskipun operasi itu bukan sebuah operasi intelijen, Moerdani terus terlibat, kali ini sebagai perencana invasi. Metodenya dalam merencanakan invasi memicu kemarahan dari rekan-rekan karena dilakukan tanpa sepengetahuan perwira komando tinggi, seperti Wakil Panglima ABRI Surono Reksodimedjo dan Pangkostrad Leo Lopulisa yang seharusnya terlibat dalam proses perencanaan.
Pada 28 Maret 1981, Garuda Indonesia Penerbangan 206, yang seharusnya terbang dari Jakarta ke Medan dibajak. Berita itu tiba ketika Moerdani di Ambon di mana ia menghadiri pertemuan Pemimpin ABRI bersama Panglima ABRI M. Jusuf. Moerdani segera meninggalkan pertemuan itu untuk pergi ke Jakarta dan mempersiapkan untuk mengambil tindakan, pesawat yang dibajak telah mendarat di Bandara Don Mueang, Bangkok. Moerdani bertemu dengan Soeharto dan atas izin Presiden ia menggunakan kekuatan dalam upaya untuk membebaskan para sandera; dasar pemikirannya adalah bahwa para pembajak seharusnya tidak diperbolehkan untuk mengintimidasi pilot pesawat untuk terbang ke negara-negara lain.
Didampingi oleh pasukan dari Kopassandha, sebelumnya bernama RPKAD, Moerdani berangkat ke Thailand. Meskipun rencananya mengalami beberapa hambatan, terutama dari Pemerintah Thailand, pada akhirnya kesepakatan terjadi untuk mengambil tindakan militer. Pada pagi hari tanggal 31 Maret 1981, Moerdani secara pribadi memimpin pasukan Kopassandha menyerbu pesawat, mengambil kembali kendali itu, dan menyelamatkan para sandera.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Moerdani terjebak dalam gelombang nasionalisme. Pada bulan Oktober 1945, ketika berusia 13, Moerdani mengambil bagian dalam serangan terhadap markas Kempetai di Solo setelah Kempetai menolak untuk menyerah kepada pasukan Indonesia. Ketika Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal ABRI dibentuk, Moerdani bergabung dengan Tentara Pelajar yang berada di bawah otoritas dari Brigade ABRI. Dari brigade ini, Moerdani mengambil bagian dalam Revolusi Nasional Indonesia melawan Belanda, dia berpartisipasi dalam sebuah serangan umum yang sukses di Solo.
Setelah kemerdekaan Indonesia situasi berangsur aman, Moerdani mengambil kesempatan untuk menyelesaikan pendidikannya, lulus dari sekolah menengah pertama dan melanjutkan ke sekolah menengah atas; sementara itu ia mengambil pekerjaan paruh-waktu untuk membantu pamannya menjual barang. Pada tahun 1951, Pemerintah Indonesia mulai melakukan demobilisasi, brigade Moerdani dianggap telah melakukan tugas cukup baik dan para prajuritnya terus bertugas dengan ABRI. Moerdani, bersama dengan brigadenya terdaftar dalam Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) dan mulai pelatihan pada bulan Januari 1951. Pada saat yang sama, Moerdani juga mengambil bagian dalam Sekolah Pelatihan Infanteri (SPI).
Moerdani menyelesaikan pendidikan militernya dari P3AD pada bulan April 1952 dan dari SPI Mei 1952.[4] Ia juga diberi pangkat Pembantu Letnan Satu. 2 tahun kemudian, pada tahun 1954, Moerdani menerima pangkat Letnan Dua dan ditempatkan di TT/III Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat.
KKAD/RPKAD
Dalam upaya untuk menghadapi ancaman dari Darul Islam, Kolonel Alex Evert Kawilarang, Panglima TT/III Siliwangi membentuk Kesatuan Komando Tentara Territorium III/Siliwangi (KESKO TT III). Keberhasilan mereka menarik Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta untuk mendukung pembentukan Satuan Pasukan Khusus. Dengan demikian, pada tahun 1954, Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD) dibentuk. Moerdani ditugaskan sebagai pelatih bagi para prajurit yang ingin bergabung dengan KKAD dan diangkat sebagai Kepala Biro Pengajaran. Pada tahun 1956, KKAD mengalami perubahan nama menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Tidak lama setelah itu, Moerdani diangkat menjadi Komandan Kompi.
Sebagai anggota RPKAD, Moerdani menjadi bagian dari pertempuran untuk menekan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), kelompok separatis yang berbasis di Sumatra. Pada bulan Maret 1958, Moerdani diterjunkan ke bawah di belakang garis musuh di Pekanbaru dan Medan untuk mempersiapkan dasar bagi ABRI untuk mengambil alih dua kota. Sebulan kemudian, pada tanggal 17 April 1958, Moerdani mengambil bagian dalam Operasi 17 Agustus, sebuah operasi yang memukul para pemberontak PRRI.[6] Tugas Moerdani berikutnya adalah untuk mengurus Piagam Perjuangan Semesta (Permesta), kelompok separatis lain di Sulawesi. Mirip dengan apa yang dia lakukan di Sumatra, Moerdani dan pasukannya meletakkan dasar bagi semua serangan terhadap Permesta yang kemudian menyerah pada bulan Juni 1958.
Setelah penyerahan diri PRRI dan Permesta, Moerdani, ditempatkan di Aceh. Pada awal 1960, ia mempertimbangkan untuk menjadi pilot pesawat Angkatan Darat tetapi dibujuk oleh Ahmad Yani yang mengirimnya ke Amerika Serikat untuk bergabung dengan Sekolah Infanteri Angkatan Darat Amerika Serikat di Fort Benning. Di sana, Moerdani mengambil bagian dalam Kursus Lanjutan Perwira Infanteri dan berlatih dengan 101st Airborne Division.
Moerdani kembali ke Indonesia pada tahun 1961 ketika ABRI sedang mempersiapkan diri untuk pengambilalihan Irian Barat. Tugas pertamanya adalah melatih pasukan terjun payung yang seharusnya mendarat di belakang garis musuh dan menyusup. Bulan-bulan pun berlalu, infiltrasi tidak membawa hasil yang nyata. Pada bulan Mei 1962, Moerdani ditugaskan untuk memimpin penurunan pasukan terjun payung yang terdiri dari tentara RPKAD dan Kostrad. Setelah mendarat di Irian Barat pada akhir Juni 1962, Moerdani memimpin pasukannya dalam pertempuran-pertempuran melawan anggota Angkatan Laut Belanda sampai PBB ikut campur pada bulan Agustus 1962 dan memutuskan memberikan Irian Barat ke Indonesia. Setelah ada gencatan senjata, Moerdani ditempatkan untuk bertanggung jawab atas semua pasukan gerilya di Irian Barat.
Pada tahun 1964, Moerdani kembali ke Jakarta lagi. Prestasinya selama kampanye pembebasan Irian Barat telah menarik perhatian dari Presiden Soekarno yang ingin merekrutnya sebagai Ajudan Presiden dan menikahkannya dengan salah satu putrinya, namun Moerdani menolak kedua penawaran tersebut.
Pada tahun 1964, Moerdani dan Batalyon RPKAD dikirim ke Kalimantan untuk bertempur dalam perang gerilya melawan tentara Malaysia dan Inggris sebagai bagian dari konfrontasi Indonesia-Malaysia. Namun, ia tidak menghabiskan waktu yang lama di Kalimantan, kembali ke Jakarta pada bulan September. Pada tahap ini, Moerdani sekali lagi memikirkan pada perluasan kariernya kali ini ia mencoba untuk memutuskan antara karier sebagai komandan teritorial di Kalimantan atau sebagai atase militer. Dia memilih yang terakhir dan telah meminta untuk ditempatkan di Beijing.
Pada akhir 1964, sebuah pertemuan perwira RPKAD diadakan dan Moerdani diundang bersama. Topik dari pertemuan ini adalah untuk membahas penghapusan tentara cacat dari RPKAD namun Moerdani keberatan.[9] Berita keberatan Moerdani sampai ke Yani, yang telah menjadi Panglima Angkatan Darat. Yani memanggil Moerdani dan menuduhnya melakukan pembangkangan. Pertemuan diakhiri dengan Yani memerintahkan Moerdani untuk berpindah dari RPKAD ke Kostrad. Moerdani menyerahkan komando batalyon RPKAD nya pada tanggal 6 Januari 1965.
Kostrad
Langkah Moerdani dari RPKAD ke Kostrad adalah hal yang tiba-tiba dan belum ada posisi yang disiapkan untuknya. Posisi pertamanya adalah sebagai seorang perwira Operasi dan Biro Pelatihan. Peruntungannya berubah ketika Letnan Kolonel Ali Moertopo mengetahui bahwa ia adalah bagian dari Kostrad. Setelah berkenalan dengan Moerdani selama operasi di Irian Barat, Ali mengakui potensi Moerdani dan ingin lebih mengembangkan hal itu. Kebetulan, Ali pada saat itu adalah Asisten Intelijen Komando Tempur 1, salah satu unit Kostrad yang ditempatkan di Sumatra dalam persiapan untuk menginvasi Malaysia. Ali merekrut Moerdani menjadi Wakil Asisten Intelijen dan memberinya pengalaman pertama kerja intelijen.
Selain menjadi Wakil Asisten Intelijen, Moerdani juga menjadi bagian dari tim intelijen Operasi Khusus (Opsus). Tugasnya adalah untuk mengumpulkan informasi intelijen di Malaysia dari Bangkok ia menyamar menjadi penjual tiket Garuda Indonesia.
Setelah Gerakan 30 September hancur pada 1 Oktober 1965 oleh Pangkostrad Mayjen Soeharto, kegiatan Moerdani diintensifkan. Dia bergabung dengan Ali dan bersama-sama mereka mulai bekerja meletakkan dasar untuk mengakhiri Konfrontasi tersebut. Upaya mereka memuncak pada tanggal 11 Agustus 1966 ketika Pemerintah Indonesia dan Malaysia menandatangani kesepakatan untuk menormalkan hubungan antara kedua negara.
Karier diplomatik
Meskipun perdamaian telah tercapai, Moerdani tinggal di Malaysia sebagai chargé d'affaires. Tugas pertamanya adalah untuk menjamin pembebasan tentara Indonesia dan para pejuang gerilya yang telah tertangkap selama Konfrontasi. Pada bulan Maret 1968, bersama seorang duta besar akhirnya ia ditugaskan di Malaysia, Moerdani menjadi kepala Konsulat Indonesia di Malaysia Barat. Pada saat yang sama, ia terus menjadi bagian dari Opsus dengan tugas melakukan pengawasan terhadap kejadian di dalam Perang Vietnam.
Pada akhir tahun 1969, Moerdani dipindahkan ke Seoul untuk menjadi Konsul Jenderal Indonesia di Korea Selatan. Pada tahun 1973, status Moerdani ditingkatkan dari Konsul Jenderal menjadi chargé d'affaires.
Perwira intelijen
Karier diplomatik Moerdani berakhir tiba-tiba ketika terjadi Peristiwa Malari di Jakarta pada bulan Januari 1974 dan dalam waktu seminggu setelah peristiwa itu, Moerdani telah kembali ke Jakarta. Presiden Soeharto segera memberinya posisi yang membuatnya memiliki banyak kekuasaan. Moerdani menjadi Asisten Intelijen Menteri Pertahanan dan Keamanan, Asisten Intelijen Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), Kepala Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), dan Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).
Pada tahun 1975, Moerdani menjadi sangat terlibat dengan masalah dekolonisasi Timor Timur. Pada bulan Agustus 1975, Moerdani mulai mengirimkan tentara Indonesia dengan kedok relawan untuk mulai menyusup ke Timor Timur. Situasi diintensifkan pada tanggal 28 November 1975 ketika Fretilin memproklamasikan kemerdekaan Timor Timur. Operasi intelijen berhenti dan operasi militer, Operasi Seroja dimulai sebagai gantinya. Meskipun operasi itu bukan sebuah operasi intelijen, Moerdani terus terlibat, kali ini sebagai perencana invasi. Metodenya dalam merencanakan invasi memicu kemarahan dari rekan-rekan karena dilakukan tanpa sepengetahuan perwira komando tinggi, seperti Wakil Panglima ABRI Surono Reksodimedjo dan Pangkostrad Leo Lopulisa yang seharusnya terlibat dalam proses perencanaan.
Pada 28 Maret 1981, Garuda Indonesia Penerbangan 206, yang seharusnya terbang dari Jakarta ke Medan dibajak. Berita itu tiba ketika Moerdani di Ambon di mana ia menghadiri pertemuan Pemimpin ABRI bersama Panglima ABRI M. Jusuf. Moerdani segera meninggalkan pertemuan itu untuk pergi ke Jakarta dan mempersiapkan untuk mengambil tindakan, pesawat yang dibajak telah mendarat di Bandara Don Mueang, Bangkok. Moerdani bertemu dengan Soeharto dan atas izin Presiden ia menggunakan kekuatan dalam upaya untuk membebaskan para sandera; dasar pemikirannya adalah bahwa para pembajak seharusnya tidak diperbolehkan untuk mengintimidasi pilot pesawat untuk terbang ke negara-negara lain.
Didampingi oleh pasukan dari Kopassandha, sebelumnya bernama RPKAD, Moerdani berangkat ke Thailand. Meskipun rencananya mengalami beberapa hambatan, terutama dari Pemerintah Thailand, pada akhirnya kesepakatan terjadi untuk mengambil tindakan militer. Pada pagi hari tanggal 31 Maret 1981, Moerdani secara pribadi memimpin pasukan Kopassandha menyerbu pesawat, mengambil kembali kendali itu, dan menyelamatkan para sandera.
Panglima ABRI
Spoiler for Isi:
Penunjukan
Pada bulan Maret 1983, Moerdani mencapai puncak karier militernya ketika Soeharto menunjuknya sebagai Panglima ABRI dan mempromosikan dirinya menjadi Jenderal.
Moerdani mencapai posisi ini dengan sedikit agak berbeda karena ia tidak pernah memerintah di unit yang lebih besar dari batalyon dan tidak menjabat sebagai Panglima Daerah Militer (Kodam) dan Kepala Staf Angkatan Darat. Selain sebagai pemimpin ABRI, Moerdani juga ditunjuk menjadi Pangkopkamtib, dan mempertahankan posisinya di Pusintelstrat, yang berganti nama menjadi Badan Intelijen Strategis (BAIS). Tidak seperti Panglima ABRI Orde Baru sebelumnya, Moerdani tidak memegang Departemen Pertahanan dan Keamanan.
Reorganisasi ABRI
Moerdani segera mengambil langkah untuk membenahi ABRI, pemotongan anggaran, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan profesionalisme sebagai tujuan langsungnya.
Berkaitan dengan struktur komando, pertama Moerdani menghilangkan Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan), struktur komando yang telah ada sejak 1969. Ia kemudian mengubah sistem komando daerah untuk Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Komando Daerah Militer (Kodam) dikurangi dari 16 menjadi 10, 8 Komando Daerah Angkatan Laut (Kodaeral) dirampingkan menjadi 2 Komando Armada, dan 8 Komando Daerah Angkatan Udara (Kodau) sama-sama dirampingkan menjadi 2 Komando Operasi. Polisi juga melakukan reorganisasi dengan pita merah yang dipotong untuk memungkinkan pasukan polisi di tingkat terendah untuk mengambil tindakan segera.
Moerdani juga mengurangi porsi kurikulum non-militer Akabri. Untuk meningkatkan kualitas input Akademi serta untuk memperkuat basis nasionalis, Moerdani mengonsep sekolah menengah atas untuk melatih bakat bangsa yang cerah untuk kemudian menjadi anggota kelompok elit nasional (SMA Taruna Nusantara, sekarang berjalan dan terletak bersamaan dengan Akademi ABRI di Magelang). Moerdani juga meningkatkan kerja sama antara Angkatan Bersenjata negara-negara ASEAN.
Peristiwa Tanjung Priok
Latar belakang Benny Moerdani yang beragama Katolik akan mencuat ke permukaan pada tahun 1984 ketika bersama-sama dengan Panglima Kodam V/Jayakarta, Mayor Jenderal TNI Try Sutrisno, memerintahkan untuk menggunakan tindakan keras terhadap demonstran Islam di Tanjung Priok, Jakarta yang mengakibatkan kematian. Moerdani mengklaim bahwa para demonstran telah terprovokasi dan tidak bisa dikendalikan secara damai dan sebagai hasilnya ia memerintahkan tindakan keras. Moerdani bersikeras bahwa dia tidak pernah ingin menganiaya Muslim dan melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah Muslim di seluruh Jawa untuk meningkatkan citranya dengan Muslim.
Sebagai Panglima ABRI, Moerdani bisa dibilang sebagai orang paling kuat kedua secara de facto dalam aspek sosial dan politik di Republik Indonesia saat itu, setelah Soeharto.
Pada bulan Maret 1983, Moerdani mencapai puncak karier militernya ketika Soeharto menunjuknya sebagai Panglima ABRI dan mempromosikan dirinya menjadi Jenderal.
Moerdani mencapai posisi ini dengan sedikit agak berbeda karena ia tidak pernah memerintah di unit yang lebih besar dari batalyon dan tidak menjabat sebagai Panglima Daerah Militer (Kodam) dan Kepala Staf Angkatan Darat. Selain sebagai pemimpin ABRI, Moerdani juga ditunjuk menjadi Pangkopkamtib, dan mempertahankan posisinya di Pusintelstrat, yang berganti nama menjadi Badan Intelijen Strategis (BAIS). Tidak seperti Panglima ABRI Orde Baru sebelumnya, Moerdani tidak memegang Departemen Pertahanan dan Keamanan.
Reorganisasi ABRI
Moerdani segera mengambil langkah untuk membenahi ABRI, pemotongan anggaran, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan profesionalisme sebagai tujuan langsungnya.
Berkaitan dengan struktur komando, pertama Moerdani menghilangkan Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan), struktur komando yang telah ada sejak 1969. Ia kemudian mengubah sistem komando daerah untuk Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Komando Daerah Militer (Kodam) dikurangi dari 16 menjadi 10, 8 Komando Daerah Angkatan Laut (Kodaeral) dirampingkan menjadi 2 Komando Armada, dan 8 Komando Daerah Angkatan Udara (Kodau) sama-sama dirampingkan menjadi 2 Komando Operasi. Polisi juga melakukan reorganisasi dengan pita merah yang dipotong untuk memungkinkan pasukan polisi di tingkat terendah untuk mengambil tindakan segera.
Moerdani juga mengurangi porsi kurikulum non-militer Akabri. Untuk meningkatkan kualitas input Akademi serta untuk memperkuat basis nasionalis, Moerdani mengonsep sekolah menengah atas untuk melatih bakat bangsa yang cerah untuk kemudian menjadi anggota kelompok elit nasional (SMA Taruna Nusantara, sekarang berjalan dan terletak bersamaan dengan Akademi ABRI di Magelang). Moerdani juga meningkatkan kerja sama antara Angkatan Bersenjata negara-negara ASEAN.
Peristiwa Tanjung Priok
Latar belakang Benny Moerdani yang beragama Katolik akan mencuat ke permukaan pada tahun 1984 ketika bersama-sama dengan Panglima Kodam V/Jayakarta, Mayor Jenderal TNI Try Sutrisno, memerintahkan untuk menggunakan tindakan keras terhadap demonstran Islam di Tanjung Priok, Jakarta yang mengakibatkan kematian. Moerdani mengklaim bahwa para demonstran telah terprovokasi dan tidak bisa dikendalikan secara damai dan sebagai hasilnya ia memerintahkan tindakan keras. Moerdani bersikeras bahwa dia tidak pernah ingin menganiaya Muslim dan melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah Muslim di seluruh Jawa untuk meningkatkan citranya dengan Muslim.
Sebagai Panglima ABRI, Moerdani bisa dibilang sebagai orang paling kuat kedua secara de facto dalam aspek sosial dan politik di Republik Indonesia saat itu, setelah Soeharto.
Karier politik
Spoiler for Isi:
Sidang Umum MPR 1988
Pada tahun 1988, hubungan Moerdani dengan Soeharto telah memburuk. Meskipun ia setia kepada Soeharto, Moerdani cukup tegas untuk mengkritik Presiden soal korupsi dan nepotisme dalam rezimnya. Pada saat ini, Moerdani menjadi musuh dari Prabowo Subianto, menantu Soeharto.
Tahun 1988 merupakan tahun yang penting karena itu adalah tahun digelarnya Sidang Umum MPR, tempat di mana Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Sidang Umum hampir tiba, Soeharto mulai membuat tanda-tanda bahwa ia ingin Sudharmono sebagai Wakil Presidennya. Menurut Kivlan Zen, rekan dekat Prabowo, hal ini berlawanan dengan Moerdani, yang ingin agar dirinya menjadi Wakil Presiden. Dengan demikian, hal ini tampaknya telah menjadi alasan pemberhentian Moerdani dari posisi Panglima ABRI pada Februari 1988, meskipun menurut Robert Elson, hal ini dilakukan lebih karena Soeharto tidak ingin Moerdani mengendalikan ABRI ketika Sudharmono dinominasikan. Robert Elson berteori kemungkinan masa Wakil Kepresidenan Sudharmono menjadi langkah terakhir sebelum dirinya menjadi Presiden Indonesia.
Moerdani tampaknya tidak menyerah. Pada bulan yang sama petinggi Golkar bertemu untuk membahas Sidang Umum MPR. Soal calon Wakil Presiden, fraksi-fraksi sepakat untuk mencalonkan Sudharmono. Nominasi fraksi ABRI ditunda, Moerdani terus menunda-nunda dengan mengklaim bahwa ia tidak membahas pencalonan Wakil Presiden Soeharto. Ketika ditekan, Moerdani menyatakan keprihatinan tentang pencalonan Sudharmono meskipun ia tidak memberikan alasan tertentu. Pada satu tahap, ia mulai memberikan sinyal bawah sadar bahwa Try Sutrisno harus dinominasikan sebagai Wakil Presiden. Try tidak menangkap ini dan bersama dengan perwira lainnya meyakinkan Moerdani bahwa calon Wakil Presiden fraksi ABRI adalah Sudharmono.
Banyak yang percaya bahwa Moerdani bertanggung jawab atas kontroversi pencalonan Sudharmono. Diyakini bahwa serangan Brigjen Ibrahim Saleh kepada Sudharmono dan pencalonan Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Djaelani Naro sebagai Wakil Presiden adalah pekerjaan Moerdani. Namun, keinginan Suharto terwujud pada akhirnya Sudharmono terpilih menjadi Wakil Presiden.
Menteri Pertahanan dan Keamanan
Meskipun ada upaya untuk menggagalkan Sudharmono, Soeharto tidak menurunkan Moerdani dan menunjuknya sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Namun, Moerdani kehilangan sebagian dari kekuasaannya pada bulan September 1988 dengan dibubarkannya Kopkamtib.
Selama masa jabatannya sebagai Menteri, Moerdani dituduh merencanakan kudeta terhadap Soeharto. Hal ini mendorong Soeharto menjanjikan tindakan keras terhadap siapa saja yang berani menggantikannya secara inkonstitusional.
Sidang Umum MPR 1993
Sebelum Sidang Umum MPR 1993, Moerdani dipandang sebagai insinyur pencalonan Try Sutrisno sebagai Wakil Presiden. Soeharto tidak senang dengan pencalonan itu dan menerima Try dengan berat hati. Penghiburan bagi Soeharto adalah bahwa ia tidak memasukan nama Moerdani ke kabinet berikutnya.
Pada tahun 1988, hubungan Moerdani dengan Soeharto telah memburuk. Meskipun ia setia kepada Soeharto, Moerdani cukup tegas untuk mengkritik Presiden soal korupsi dan nepotisme dalam rezimnya. Pada saat ini, Moerdani menjadi musuh dari Prabowo Subianto, menantu Soeharto.
Tahun 1988 merupakan tahun yang penting karena itu adalah tahun digelarnya Sidang Umum MPR, tempat di mana Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Sidang Umum hampir tiba, Soeharto mulai membuat tanda-tanda bahwa ia ingin Sudharmono sebagai Wakil Presidennya. Menurut Kivlan Zen, rekan dekat Prabowo, hal ini berlawanan dengan Moerdani, yang ingin agar dirinya menjadi Wakil Presiden. Dengan demikian, hal ini tampaknya telah menjadi alasan pemberhentian Moerdani dari posisi Panglima ABRI pada Februari 1988, meskipun menurut Robert Elson, hal ini dilakukan lebih karena Soeharto tidak ingin Moerdani mengendalikan ABRI ketika Sudharmono dinominasikan. Robert Elson berteori kemungkinan masa Wakil Kepresidenan Sudharmono menjadi langkah terakhir sebelum dirinya menjadi Presiden Indonesia.
Moerdani tampaknya tidak menyerah. Pada bulan yang sama petinggi Golkar bertemu untuk membahas Sidang Umum MPR. Soal calon Wakil Presiden, fraksi-fraksi sepakat untuk mencalonkan Sudharmono. Nominasi fraksi ABRI ditunda, Moerdani terus menunda-nunda dengan mengklaim bahwa ia tidak membahas pencalonan Wakil Presiden Soeharto. Ketika ditekan, Moerdani menyatakan keprihatinan tentang pencalonan Sudharmono meskipun ia tidak memberikan alasan tertentu. Pada satu tahap, ia mulai memberikan sinyal bawah sadar bahwa Try Sutrisno harus dinominasikan sebagai Wakil Presiden. Try tidak menangkap ini dan bersama dengan perwira lainnya meyakinkan Moerdani bahwa calon Wakil Presiden fraksi ABRI adalah Sudharmono.
Banyak yang percaya bahwa Moerdani bertanggung jawab atas kontroversi pencalonan Sudharmono. Diyakini bahwa serangan Brigjen Ibrahim Saleh kepada Sudharmono dan pencalonan Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Djaelani Naro sebagai Wakil Presiden adalah pekerjaan Moerdani. Namun, keinginan Suharto terwujud pada akhirnya Sudharmono terpilih menjadi Wakil Presiden.
Menteri Pertahanan dan Keamanan
Meskipun ada upaya untuk menggagalkan Sudharmono, Soeharto tidak menurunkan Moerdani dan menunjuknya sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Namun, Moerdani kehilangan sebagian dari kekuasaannya pada bulan September 1988 dengan dibubarkannya Kopkamtib.
Selama masa jabatannya sebagai Menteri, Moerdani dituduh merencanakan kudeta terhadap Soeharto. Hal ini mendorong Soeharto menjanjikan tindakan keras terhadap siapa saja yang berani menggantikannya secara inkonstitusional.
Sidang Umum MPR 1993
Sebelum Sidang Umum MPR 1993, Moerdani dipandang sebagai insinyur pencalonan Try Sutrisno sebagai Wakil Presiden. Soeharto tidak senang dengan pencalonan itu dan menerima Try dengan berat hati. Penghiburan bagi Soeharto adalah bahwa ia tidak memasukan nama Moerdani ke kabinet berikutnya.
Luhut Binsar Panjaitan Ziarah ke makam LB Moerdani
Wafat
Spoiler for Isi:
Moerdani meninggal dunia sekitar pukul 01.00 WIB, Minggu 29 Agustus 2004 di RSPAD Gatot Subroto, Moerdani sudah dirawat di rumah sakit tersebut sejak 7 Juli 2004 karena stroke dan infeksi paru-paru.[22] Dia meninggalkan seorang istri, satu putri, dan lima cucu. Jenazahnya disemayamkan rumah duka Jalan Terusan Hang Lekir IV/43, Jakarta Selatan dan kemudian di Markas Besar TNI Angkatan Darat. Upacara penghormatan jenazah di Mabes AD dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu. Ia dimakamkan hari itu pula pukul 13.45 WIB di Taman Makam Pahlawan Kalibata, dengan inspektur upacara Panglima TNI, Jenderal TNI Endriartono Sutarto.
Diubah oleh LordFaries4.0 28-11-2021 17:08
ik54n54 dan 56 lainnya memberi reputasi
57
15.9K
Kutip
136
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
LordFaries4.0
#2
LB Moerdani dan Kisah Pengadaan Senjata dari Israel
Letnan Jenderal TNI (Purn) Sintong Panjaitan (kiri) bersama eks Panglima ABRI, L. Benny Moerdani. Foto: Dok. Pribadi
LB Moerdani & Bantuan AK-47 untuk Mujahidin Afghanistan
Sumber:
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Leonardus_Benyamin_Moerdani
https://m.tribunnews.com/amp/nasional/2021/06/18/sudah-punya-pacar-benny-moerdani-menolak-jadi-menantu-bung-karno?page=all
https://nasional.sindonews.com/read/610455/14/lb-moerdani-jenderal-kesayangan-yang-berani-mengusik-kekuasaan-soeharto-1637878284?showpage=all
https://m.kumparan.com/kumparannews/lb-moerdani-dan-kisah-pengadaan-senjata-dari-israel-1vmu5Mlqnol/full
https://tirto.id/benny-moerdani-bantuan-ak-47-untuk-mujahidin-afghanistan-giF5
Letnan Jenderal TNI (Purn) Sintong Panjaitan (kiri) bersama eks Panglima ABRI, L. Benny Moerdani. Foto: Dok. Pribadi
Spoiler for Isi:
Sampai detik ini Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik resmi dengan Pemerintah Israel. Namun, ada fakta mencengangkan soal hubungan rahasia antara Israel dan Indonesia.
Indonesia pernah membeli sejumlah alutsista produksi Israel untuk memperkuat pertahanan mereka. Sebut saja pesawat A4 Skyhawk hingga senjata berjenis IMI Uzi pernah mempersenjatai militer Indonesia.
Lantas siapa ya membuat hal itu dapat terjadi?
Dia adalah Jenderal TNI Leonardus Benyamin Moerdani, atau L.B. Moerdani, atau yang lebih dikenal dengan Benny Moerdani adalah sosok di balik masuknya sejumlah senjata dan alutsista dari Israel ke tanah air.
Lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah pada 2 Oktober 1932 dan meninggal di Jakarta pada 29 Agustus 2004 di usia 71 tahun, Moerdani dikenal sebagai salah satu tokoh militer Indonesia yang paling berpengaruh di era Orde Baru.
Di suatu masa saat Orde baru menguasai tanah air Moerdani pernah menjadi orang terkuat nomor dua di Indonesia, setelah Presiden Soeharto.
Moerdani dikenal sebagai perwira TNI yang banyak berkecimpung di dunia intelijen, sehingga sosoknya banyak dianggap misterius.
Pria yang pernah dikenal sebagai loyalis Presiden Soeharto ini jadi kunci dari suksesnya sejumlah misi yang diperintahkan Soeharto kala itu.
Misi Pengadaan Pesawat hingga Senjata
Semasa Moerdani menjabat sebagai Kepala badan Intelijen Strategis ABRI kemudian dipromosikan menjadi Panglima ABRI, militer Indonesia disebut memiliki hubungan baik dengan Israel.
Akan tetapi kerja sama tersebut lepas dari sorotan publik. Karena itulah kerja sama yang digagas Moerdani kebanyakan didominasi operasi intelijen yang penuh dengan kerahasiaan tingkat tinggi.
Hubungan baik Moerdani dengan Israel pertama terlihat dari upaya pengadaan pesawat A4 Skyhawk dari Israel. Dengan berbagai bentuk upaya mengaburkan informasi terkait pengadaan pesawat, akhirnya sebanyak 32 pesawat Skyhawk pun berhasil didatangkan Moerdani ke Indonesia.
Tak hanya membeli, Indonesia saat itu diketahui juga turut mengirimkan orang ke Israel untuk menjalani pelatihan pilot. Total ada 10 penerbang yang dikirim Moerdani untuk menjalani pendidikan di Tel Aviv, Israel.
Operasi tersebut turut diungkap oleh mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) Marsda Djoko Poerwoko lewat biografinya berjudul 'Menari di Angkasa'. Menurut Poerwoko, peristiwa tersebut adalah merupakan 'operasi clandestine (rahasia) terbesar yang dilakukan oleh ABRI'. Kendati demikian, TNI tidak pernah mengakuinya hingga saat ini.
Untuk dapat tiba ke Indonesia, pesawat itu diketahui dikirim secara berkala melalui jalur laut. Empat pesawat di antaranya dikirim langsung dari Israel menggunakan kapal.
Untuk mengelabui sejumlah pihak, selama pengiriman di perjalanan nama pesawat Skyhawk dibungkus plastik bertuliskan F-5, jenis pesawat tempur buatan Amerika. Hal itu dikarenakan di saat yang bersamaan kala itu pemerintah Indonesia juga membeli pesawat jenis F-5 dari Amerika Serikat.
Selain pesawat, Indonesia diketahui juga membeli secara khusus senapan semi otomatis dari Israel. Senapan IMI Uzi atau yang memiliki nama internasional MP-2 ini merupakan jenis senjata mesin ringan yang menyerupai pistol. Senjata ini dikembangkan sejak 1949 dan mulai digunakan oleh militer Israel sejak tahun 1954.
Tak main-main, kecepatan menembak dari senjata pabrikan Israel ini diketahui mencapai 60 butir peluru per menit, sedangkan ketika melakukan tembakan beruntun akan mencapai 100 sampai 120 peluru per menit. Sedangkan untuk jarak menembak otomatis senjata ini dapat mencapai 100 meter dan akan meningkat ketika melakukan tembakan salvo hingga 200 meter.
Peluru yang dipergunakan adalah Parabellum 9x19 mm, dengan magasen mulai dari isi 25 peluru sampai 32 peluru. Karena keefektifannya dalam menembak, senjata ini pernah digunakan Kopassus dalam operasi pembebasan sandera di Woyla, Thailand.
Masih soal sepak terjang Moerdani, pengamat militer senior Salim Said dalam buku 'Dari Gestapu ke Reformasi', ia menuliskan bahwa Moerdani bahkan pernah meminta untuk meminjam roket dari Israel.
Hal itu dilakukan Moerdani untuk menangkal serangan pada pesawat kepresidenan saat Presiden Soeharto mengadakan perjalanan ke Timur Tengah. Namun rupanya ketakutan Benny soal serangan yang mengancam Soeharto tak pernah terbukti.
Namun hingga berita ini diturunkan tak ada pengakuan secara resmi oleh pemerintah Indonesia terkait benar tidaknya pengadaan sejumlah alutsista tersebut.
Indonesia pernah membeli sejumlah alutsista produksi Israel untuk memperkuat pertahanan mereka. Sebut saja pesawat A4 Skyhawk hingga senjata berjenis IMI Uzi pernah mempersenjatai militer Indonesia.
Lantas siapa ya membuat hal itu dapat terjadi?
Dia adalah Jenderal TNI Leonardus Benyamin Moerdani, atau L.B. Moerdani, atau yang lebih dikenal dengan Benny Moerdani adalah sosok di balik masuknya sejumlah senjata dan alutsista dari Israel ke tanah air.
Lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah pada 2 Oktober 1932 dan meninggal di Jakarta pada 29 Agustus 2004 di usia 71 tahun, Moerdani dikenal sebagai salah satu tokoh militer Indonesia yang paling berpengaruh di era Orde Baru.
Di suatu masa saat Orde baru menguasai tanah air Moerdani pernah menjadi orang terkuat nomor dua di Indonesia, setelah Presiden Soeharto.
Moerdani dikenal sebagai perwira TNI yang banyak berkecimpung di dunia intelijen, sehingga sosoknya banyak dianggap misterius.
Pria yang pernah dikenal sebagai loyalis Presiden Soeharto ini jadi kunci dari suksesnya sejumlah misi yang diperintahkan Soeharto kala itu.
Misi Pengadaan Pesawat hingga Senjata
Semasa Moerdani menjabat sebagai Kepala badan Intelijen Strategis ABRI kemudian dipromosikan menjadi Panglima ABRI, militer Indonesia disebut memiliki hubungan baik dengan Israel.
Akan tetapi kerja sama tersebut lepas dari sorotan publik. Karena itulah kerja sama yang digagas Moerdani kebanyakan didominasi operasi intelijen yang penuh dengan kerahasiaan tingkat tinggi.
Hubungan baik Moerdani dengan Israel pertama terlihat dari upaya pengadaan pesawat A4 Skyhawk dari Israel. Dengan berbagai bentuk upaya mengaburkan informasi terkait pengadaan pesawat, akhirnya sebanyak 32 pesawat Skyhawk pun berhasil didatangkan Moerdani ke Indonesia.
Tak hanya membeli, Indonesia saat itu diketahui juga turut mengirimkan orang ke Israel untuk menjalani pelatihan pilot. Total ada 10 penerbang yang dikirim Moerdani untuk menjalani pendidikan di Tel Aviv, Israel.
Operasi tersebut turut diungkap oleh mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) Marsda Djoko Poerwoko lewat biografinya berjudul 'Menari di Angkasa'. Menurut Poerwoko, peristiwa tersebut adalah merupakan 'operasi clandestine (rahasia) terbesar yang dilakukan oleh ABRI'. Kendati demikian, TNI tidak pernah mengakuinya hingga saat ini.
Untuk dapat tiba ke Indonesia, pesawat itu diketahui dikirim secara berkala melalui jalur laut. Empat pesawat di antaranya dikirim langsung dari Israel menggunakan kapal.
Untuk mengelabui sejumlah pihak, selama pengiriman di perjalanan nama pesawat Skyhawk dibungkus plastik bertuliskan F-5, jenis pesawat tempur buatan Amerika. Hal itu dikarenakan di saat yang bersamaan kala itu pemerintah Indonesia juga membeli pesawat jenis F-5 dari Amerika Serikat.
Selain pesawat, Indonesia diketahui juga membeli secara khusus senapan semi otomatis dari Israel. Senapan IMI Uzi atau yang memiliki nama internasional MP-2 ini merupakan jenis senjata mesin ringan yang menyerupai pistol. Senjata ini dikembangkan sejak 1949 dan mulai digunakan oleh militer Israel sejak tahun 1954.
Tak main-main, kecepatan menembak dari senjata pabrikan Israel ini diketahui mencapai 60 butir peluru per menit, sedangkan ketika melakukan tembakan beruntun akan mencapai 100 sampai 120 peluru per menit. Sedangkan untuk jarak menembak otomatis senjata ini dapat mencapai 100 meter dan akan meningkat ketika melakukan tembakan salvo hingga 200 meter.
Peluru yang dipergunakan adalah Parabellum 9x19 mm, dengan magasen mulai dari isi 25 peluru sampai 32 peluru. Karena keefektifannya dalam menembak, senjata ini pernah digunakan Kopassus dalam operasi pembebasan sandera di Woyla, Thailand.
Masih soal sepak terjang Moerdani, pengamat militer senior Salim Said dalam buku 'Dari Gestapu ke Reformasi', ia menuliskan bahwa Moerdani bahkan pernah meminta untuk meminjam roket dari Israel.
Hal itu dilakukan Moerdani untuk menangkal serangan pada pesawat kepresidenan saat Presiden Soeharto mengadakan perjalanan ke Timur Tengah. Namun rupanya ketakutan Benny soal serangan yang mengancam Soeharto tak pernah terbukti.
Namun hingga berita ini diturunkan tak ada pengakuan secara resmi oleh pemerintah Indonesia terkait benar tidaknya pengadaan sejumlah alutsista tersebut.
LB Moerdani & Bantuan AK-47 untuk Mujahidin Afghanistan
Spoiler for Isi:
Suatu hari di bulan Maret 1983, Wakil Komandan Detasemen 81 Antiteror Kapten Prabowo Subianto tampak sibuk. Tanpa sepengetahuan Mayor Luhut Binsar Panjaitan, komandannya, Prabowo memerintahkan satuannya untuk “siaga". Perintah “siaga" itu terang membuat Luhut kaget.
Menurut perwira operasi dari detasemen yang dipimpinnya, Prabowo membuat rencana untuk mengamankan Letnan Jenderal Benny Moerdani, Letnan Jenderal Sudharmono, Letnan Jenderal Moerdiono, dan Marsekal Madya Ginandjar Kartasasmita. Malam itu Luhut pun tidur di kantor. Segala senjata dan radio dikumpulkan ke kamar kerjanya. Tak lupa, Prabowo pun dipanggil.
“Ada apa, Wo?" tanya Luhut yang kemudian ditarik Prabowo ke luar ruangan.
“Ini bahaya, Bang. Seluruh ruangan kita sudah disadap. Pak Benny mau melakukan coup d’etat," kata Prabowo.
“Coup d’etat apa?" tanya Luhut.
“Pak Benny sudah memasukkan senjata."
“Senjata untuk apa?"
“Ada, Bang. Senjata dari anu mau dibawa ke sini untuk persiapan coup d’etat."
Begitu percakapan Luhut dan Prabowo sebagaimana dicatat Hendro Subroto dalam buku Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009, hlm. 451-452). Luhut tahu bahwa Benny Moerdani memang memasukkan senjata. Namun, kekhawatiran Prabowo sebenarnya berlebihan. Senjata-senjata itu bukan untuk kudeta, melainkan untuk dikirim ke Pakistan dan kemudian dimasukkan ke Afghanistan.
Senjata itu merupakan bantuan untuk para Mujahidin Afghanistan yang kala itu tengah melawan invasi Uni Sovyet. Senjata untuk Afghanistan itu di antaranya jenis senjata laras panjang SKS buatan Israel dan senapan serbu AK-47 yang terkenal praktis bagi negara miskin. Bagi kaum Mujahidin, AK-47 adalah senjata yang sangat andal untuk bergerilya melawan Sovyet.
“Kami berikan senjata buatan Uni Sovyet itu agar mereka mudah memanfaatkan peluru yang mereka sita dari tentara Uni Sovyet di Afghanistan," aku Marsekal Muda Teddy Rusdy, seperti dicatat Salim Haji Said dalam Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016, hlm. 148).
Senjata-senjata itu adalah senjata bekas pakai milik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dari Operasi Trikora (pembebasan Irian barat). Banyak senjata Uni Sovyet mangkrak setelah 1965.
“Senjata Rusia banyak tergeletak dan Taliban butuh, ya kami kasih saja," aku Teddy dalam sebuah wawancara dengan awak majalah Tempo (12/10/2014).
Bantuan senjata itu adalah bagian dari operasi intelijen yang digalang Benny Moerdani. Pengiriman pada 1983 itu bukanlah kali pertama. Sebelumnya, sekitar 1981, sudah ada pengiriman senjata dari Indonesia ke Afghanistan. Pada 18 Februari 1981, Benny sendirilah yang pergi ke Islamabad, Pakistan, untuk bertemu kepala intelijen Pakistan.
“Pertemuan itu membahas permintaan pejuang Afghanistan dan intelijen Pakistan untuk penyediaan logistik, obat-obatan, dan persenjataan buat pejuang Afghanistan," kata Teddy.
Kala itu, Teddy memang ikut mendampingi Benny ke Pakistan. Menurut Direktur E/Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan BAIS ABRI, dalam Thinking Ahead (2009), jumlah senjata yang terkumpul dan siap dikirim ke Afghanistan mencapai 2000 pucuk senapan. Jumlah itu setidaknya cukup untuk mempersenjatai dua batalyon di Afghanistan.
Senjata itu lalu diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusumah. Sebelum diterbangkan, nomor seri senjata-senjata itu dihapus dan dikemas dalam peti-peti berlambang Palang Merah—tentu untuk menyamarkannya sebagai bantuan makanan atau obat-obatan.
Teddy sendirilah yang mengantar bantuan persenjataan tersebut. Semua kegiatan Teddy dalam operasi itu dilaporkan kepada Benny lewat saluran khusus intelijen. Pesawat yang pembawa senjata itu tidak melewati India yang kala itu sedang mesra dengan Uni Sovyet. Ia diterbangkan melalui pangkalan militer gabungan Amerika Serikat dan Inggris di Diego Garcia, Kepulauan Chagos, di Samudra Hindia.
Setelah mandarat di Pakistan, peti-peti senjata itu diangkut dengan sejumlah truk menuju perbatasan Afghanistan. Operasi intelijen ini tak dikoordinasikan dengan Atase Militer Indonesia untuk Pakistan yang kala itu dijabat oleh Kolonel Kavaleri Harjanto.
Menurut Hendro Subroto, operasi itu dilakukan dalam rangka mencari dana dan memberi peran pada Indonesia dalam “Perjuangan di Asia". Waktu itu, Indonesia memang menjadi bagian dari Gerakan Non Blok. Namun, operasi intelijen itu menjadi tengara bahwa Indonesia secara tak langsung dan diam-diam mendukung Amerika Serikat yang merupakan saingan Uni Sovyet.
Jadi, konteks Perang Dingin berlaku di sini. Uni Sovyet pada akhirnya memang gagal menduduki Afghanistan. Kegagalan itu tentu menjadi kabar gembira bagi Amerika Serikat.
Tak hanya membantu Afghanistan, Indonesia juga pernah mengirimi senjata AK-47 kepada Presiden Kamboja Lon Nol pada 1970-an. Bantuan itu dikirim dalam rangka memberantas kelompok komunis Khmer Merah di Kamboja. Korps Baret Merah Indonesia bahkan pernah memberi pelatihan pada tentara Kamboja untuk melawan kelompok komunis tersebut.
“Jadi, Pak Benny memainkan peranan itu," kata Luhut menampik kekhawatiran Probowo. Detasemen 18 Antiteror sempat ribut gara-gara hal itu. Tapi, masalah itu akhirnya diselesaikan secara “kekeluargaan" oleh para petinggi ABRI, termasuk Presiden daripada Soeharto—yang merupakan mertua dari Kapten Prabowo Subianto.
Setelah gegeran itu, Soeharto mengangkat Benny Moerdani menjadi Panglima ABRI. Dia menggantikan Jenderal M. Jusuf.
Prabowo beruntung kasus itu tidak berlarut-larut dan kariernya terus naik. Keributan pada 1983 itu pun segera terlupakan. Kisah operasi pengiriman bantuan senjata ke Afghanistan itu pun tampak hanya sebuah cerita kecil belaka di kalangan ABRI.
Menurut perwira operasi dari detasemen yang dipimpinnya, Prabowo membuat rencana untuk mengamankan Letnan Jenderal Benny Moerdani, Letnan Jenderal Sudharmono, Letnan Jenderal Moerdiono, dan Marsekal Madya Ginandjar Kartasasmita. Malam itu Luhut pun tidur di kantor. Segala senjata dan radio dikumpulkan ke kamar kerjanya. Tak lupa, Prabowo pun dipanggil.
“Ada apa, Wo?" tanya Luhut yang kemudian ditarik Prabowo ke luar ruangan.
“Ini bahaya, Bang. Seluruh ruangan kita sudah disadap. Pak Benny mau melakukan coup d’etat," kata Prabowo.
“Coup d’etat apa?" tanya Luhut.
“Pak Benny sudah memasukkan senjata."
“Senjata untuk apa?"
“Ada, Bang. Senjata dari anu mau dibawa ke sini untuk persiapan coup d’etat."
Begitu percakapan Luhut dan Prabowo sebagaimana dicatat Hendro Subroto dalam buku Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009, hlm. 451-452). Luhut tahu bahwa Benny Moerdani memang memasukkan senjata. Namun, kekhawatiran Prabowo sebenarnya berlebihan. Senjata-senjata itu bukan untuk kudeta, melainkan untuk dikirim ke Pakistan dan kemudian dimasukkan ke Afghanistan.
Senjata itu merupakan bantuan untuk para Mujahidin Afghanistan yang kala itu tengah melawan invasi Uni Sovyet. Senjata untuk Afghanistan itu di antaranya jenis senjata laras panjang SKS buatan Israel dan senapan serbu AK-47 yang terkenal praktis bagi negara miskin. Bagi kaum Mujahidin, AK-47 adalah senjata yang sangat andal untuk bergerilya melawan Sovyet.
“Kami berikan senjata buatan Uni Sovyet itu agar mereka mudah memanfaatkan peluru yang mereka sita dari tentara Uni Sovyet di Afghanistan," aku Marsekal Muda Teddy Rusdy, seperti dicatat Salim Haji Said dalam Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016, hlm. 148).
Senjata-senjata itu adalah senjata bekas pakai milik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dari Operasi Trikora (pembebasan Irian barat). Banyak senjata Uni Sovyet mangkrak setelah 1965.
“Senjata Rusia banyak tergeletak dan Taliban butuh, ya kami kasih saja," aku Teddy dalam sebuah wawancara dengan awak majalah Tempo (12/10/2014).
Bantuan senjata itu adalah bagian dari operasi intelijen yang digalang Benny Moerdani. Pengiriman pada 1983 itu bukanlah kali pertama. Sebelumnya, sekitar 1981, sudah ada pengiriman senjata dari Indonesia ke Afghanistan. Pada 18 Februari 1981, Benny sendirilah yang pergi ke Islamabad, Pakistan, untuk bertemu kepala intelijen Pakistan.
“Pertemuan itu membahas permintaan pejuang Afghanistan dan intelijen Pakistan untuk penyediaan logistik, obat-obatan, dan persenjataan buat pejuang Afghanistan," kata Teddy.
Kala itu, Teddy memang ikut mendampingi Benny ke Pakistan. Menurut Direktur E/Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan BAIS ABRI, dalam Thinking Ahead (2009), jumlah senjata yang terkumpul dan siap dikirim ke Afghanistan mencapai 2000 pucuk senapan. Jumlah itu setidaknya cukup untuk mempersenjatai dua batalyon di Afghanistan.
Senjata itu lalu diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusumah. Sebelum diterbangkan, nomor seri senjata-senjata itu dihapus dan dikemas dalam peti-peti berlambang Palang Merah—tentu untuk menyamarkannya sebagai bantuan makanan atau obat-obatan.
Teddy sendirilah yang mengantar bantuan persenjataan tersebut. Semua kegiatan Teddy dalam operasi itu dilaporkan kepada Benny lewat saluran khusus intelijen. Pesawat yang pembawa senjata itu tidak melewati India yang kala itu sedang mesra dengan Uni Sovyet. Ia diterbangkan melalui pangkalan militer gabungan Amerika Serikat dan Inggris di Diego Garcia, Kepulauan Chagos, di Samudra Hindia.
Setelah mandarat di Pakistan, peti-peti senjata itu diangkut dengan sejumlah truk menuju perbatasan Afghanistan. Operasi intelijen ini tak dikoordinasikan dengan Atase Militer Indonesia untuk Pakistan yang kala itu dijabat oleh Kolonel Kavaleri Harjanto.
Menurut Hendro Subroto, operasi itu dilakukan dalam rangka mencari dana dan memberi peran pada Indonesia dalam “Perjuangan di Asia". Waktu itu, Indonesia memang menjadi bagian dari Gerakan Non Blok. Namun, operasi intelijen itu menjadi tengara bahwa Indonesia secara tak langsung dan diam-diam mendukung Amerika Serikat yang merupakan saingan Uni Sovyet.
Jadi, konteks Perang Dingin berlaku di sini. Uni Sovyet pada akhirnya memang gagal menduduki Afghanistan. Kegagalan itu tentu menjadi kabar gembira bagi Amerika Serikat.
Tak hanya membantu Afghanistan, Indonesia juga pernah mengirimi senjata AK-47 kepada Presiden Kamboja Lon Nol pada 1970-an. Bantuan itu dikirim dalam rangka memberantas kelompok komunis Khmer Merah di Kamboja. Korps Baret Merah Indonesia bahkan pernah memberi pelatihan pada tentara Kamboja untuk melawan kelompok komunis tersebut.
“Jadi, Pak Benny memainkan peranan itu," kata Luhut menampik kekhawatiran Probowo. Detasemen 18 Antiteror sempat ribut gara-gara hal itu. Tapi, masalah itu akhirnya diselesaikan secara “kekeluargaan" oleh para petinggi ABRI, termasuk Presiden daripada Soeharto—yang merupakan mertua dari Kapten Prabowo Subianto.
Setelah gegeran itu, Soeharto mengangkat Benny Moerdani menjadi Panglima ABRI. Dia menggantikan Jenderal M. Jusuf.
Prabowo beruntung kasus itu tidak berlarut-larut dan kariernya terus naik. Keributan pada 1983 itu pun segera terlupakan. Kisah operasi pengiriman bantuan senjata ke Afghanistan itu pun tampak hanya sebuah cerita kecil belaka di kalangan ABRI.
Sumber:
Spoiler for Link:
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Leonardus_Benyamin_Moerdani
https://m.tribunnews.com/amp/nasional/2021/06/18/sudah-punya-pacar-benny-moerdani-menolak-jadi-menantu-bung-karno?page=all
https://nasional.sindonews.com/read/610455/14/lb-moerdani-jenderal-kesayangan-yang-berani-mengusik-kekuasaan-soeharto-1637878284?showpage=all
https://m.kumparan.com/kumparannews/lb-moerdani-dan-kisah-pengadaan-senjata-dari-israel-1vmu5Mlqnol/full
https://tirto.id/benny-moerdani-bantuan-ak-47-untuk-mujahidin-afghanistan-giF5
Diubah oleh LordFaries4.0 28-11-2021 19:32
ik54n54 dan 17 lainnya memberi reputasi
18
Kutip
Balas