Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

meisyajasmineAvatar border
TS
meisyajasmine
HASRAT SEORANG IPAR
Tibalah hari yang ditunggu-tunggu oleh keluarga besarku. Ya, hari itu adalah pernikahan Mbak Mel, putri kesayangan ibu dan almarhum bapak. Walau keduanya memiliki dua orang putri, Mbak Mel dan aku, namun jauh di relung hati ini aku sangat paham jika yang paling mereka cintai adalah Mbak Mel seorang.

Sejak kecil, ibu dan bapak selalu saja mendahulukannya. Membelikan barang-barang mahal untuknya, sampai menyekolahkan perempuan cantik itu hingga S-1. Sedang aku? Selalu mendapat lungsuran barang darinya dan hanya berkesempatan berkuliah hingga D-3. Alasan klasik, uang ibu dan bapak sudah tidak cukup jika menguliahkan dua anaknya ke jenjang sarjana.

Aku yang hanya berbeda usia setahun saja dengan Mbak Mel, sudah sangat paham dengan pembedaan perlakuan yang kami dapat dari kecil hingga dewasa. Jadi, aku tak akan heran lagi jika nikahan Mbak Mel hari ini sangat istimewa untuk keluarga kami. Dan dapat kupastikan, pernikahanku kelak mungkin akan disambut biasa saja oleh ibu dan sanak famili lain.

Aku mendesah letih. Dari subuh hingga malam hari berkutat dengan dapur dan segala pernak pernik hajatan. Jangan membayangkan jika sebagai adik aku berdiri di depan untuk menerima tamu atau minimal duduk anggun menjaga buku tamu lalu membagikan suvenir. Tidak sama sekali. Bahkan aku tak dapat berdandan cantik di hari bahagia Mbak Mel. Ketersediaan konsumsi adalah tanggung jawabku, begitu perintah Mbak Mel.

“Dek Ayu, pokoknya kamu standby di dapur. Cek makanan. Jangan sampai ada yang kurang. Tolong arahkan juga sinoman untuk memungut piring dan sampah-sampah, ya.” Saat itu aku jelas saja membelalak. Bagaimana bisa tugas itu diberikan padaku, sementara panitia acara itu ada banyak dan harusnya dapat diberikan kepada kerabat lain.

Tiba-tiba aku menyadari satu hal. Hidupku bagi Mbak Mel memang tidak berarti. Hanya sebagai pemeran pembantu yang melengkapi kemeriahan hidupnya. Aku yang adik kandungnya, lebih patut mengurusi dapur dan tetek bengek sepele dalam acara, ketimbang sebagai si empunya hajatan.

Oke, Mbak Mel. Apapun yang kau lakukan padaku hari ini, anggap saja sebuah kado untuk pernikahan manismu. Namun, aku tak dapat menjamin, sampai kapan aku harus berlaku manis di hadapanmu.

***

“Mas Wisnu akan tinggal di sini selamanya bersama kita, Yu. Jadi, ibu mohon kamu jaga sikap dan berpakaian yang sopan. Hormati iparmu.” Ibu membuka percakapan saat aku sibuk membereskan rumah sisa hajatan. Waktu masih pukul empat, angin berembus begitu dingin. Sedingin kalimat ibu barusan.

“Memangnya selama ini sikapku selalu buruk? Terus, pakaian seperti ini kurang sopan apalagi, Bu?” Kupingku tentu saja langsung memerah. Aku yang sebenarnya tak ingin berdebat sepagi ini, langsung tersulut amarah.

Mata Ibu seketika mendelik. Dia terlihat tak kalah geram. Tanpa bicara lagi, orang tua itu balik badan dan meninggalkanku sendirian di teras rumah.

Tangisku terakhir kali luruh akibat perlakuan ibu sudah sangat lama. Tepatnya waktu kelas sepuluh SMA. Saat itu aku ulang tahun dan ibu tak sama sekali mengucapkannya. Dia malah membelikan Mbak Mel kasur pegas baru berawarna merah muda, warna kesukaanku. Aku jelas saja marah, iri, dan merasa sedih yang tiada tara. Seharian kuhabiskan untuk menangis dan pada akhirnya kuharamkan air mataku keluar lagi untuk Ibu.

Hari ini, air mata itu tak dapat kubendung. Tangisan yang sama. Air mata kekecewaan. Mengalir deras hingga membuat dadaku berguncang. Lemas, tubuhku duduk memeluk tiang penyangga teras.

“Sejak kecil hingga dewasa, ibu seakan memperlakukan aku bagai anak tirinya. Dia selalu saja mengganggap aku salah dan bahkan tidak memberikan kasih sayang layaknya seorang ibu pada anak bungsu. Terus, sebenarnya aku ini anak mereka atau bukan?” Dalam kegetiran, aku berkata-kata sambil menutup wajah dengan kedua belah tangan. Perasaanku hancur sehancurnya. Kerja kerasku semalam bagai tiada arti di mata ibu.

Setelah lama aku menangis dan matahari mulai naik menyinari bumi, aku bangkit dari duduk. Takut-takut akan banyak orang lewat di depan sini lalu menjadikanku sebuah tontonan. Sudah cukup selama ini mereka membicarakan ku di belakang, tak perlu lagi para tetangga melihat secara langsung betapa mirisnya kehidupanku.

Saat akan berbalik, aku kaget luar biasa. Sosok lelaki tinggi dengan kaus putih dan celana hitam selutut. Wajahnya tampak cerah dengan senyuman yang hangat. Aku cepat-cepat mengusap sisa air mata dan membuang muka.

“Dek Ayu, kamu kenapa?” Dia mencegatku. Tangannya berusaha meraih sisi lenganku, namun aku mundur untuk menjaga jarak.

“Nggak apa-apa, Mas.” Gara-gara manusia ini, ibu telah menyakiti perasaanku secara lisan.

“Dek, kamu tau nggak tempat bubur ayam langganan Mbakmu? Aku disuruh beli sama dia. Tapi aku takut nyasar. Kamu mau nemenin?” Suara lembutnya mengalun di telingaku. Harusnya aku senang mendapatkan kata-kata halus dari orang di rumah ini, karena Ibu dan Mbak Mel jelas saja jarang bahkan tak pernah melakukannya padaku. Namun, karena mood-ku sedang rusak, ucapan Mas Wisnus tetap saja bikin muak.

Terpaksa, aku mengangkat kepala. Berdecak kesal dan memasang wajah tak suka. “Bilang aja kalau mau nyuruh aku yang belikan. Banyak basa-basi.” Aku berucap ketus, lalu melangkah ke arah luar dan membuka pagar. Ternyata Mas Wisnu mengejar dan menahan tanganku.

“Dek, maaf. Aku nggak maksud begitu. Serius. Maksudku kamu tunjukkan arahnya. Kalau tidak merepotkan, temenin aku. Bisa?” Mas Wisnu mengeluarkan senyuman manisnya. Wajah putih dengan bulu-bulu halus di pipi, dagu, dan bagian atas bibirnya begitu tampan saat tertimpa sinar mentari. Aku hampir saja terpana dengan kegantengan pria tiga puluh tahun ini, tapi segera kutepis saat membayangkan bahwa dia adalah suami dari perempuan yang sangat kubenci nomor dua setelah ibu.

“Hmm.” Hanya itu yang keluar dari bibirku. Kakiku malas untuk berjalan menuju gerobak bubur ayam Pak Min yang berjarak hampir lima puluh meter dari rumah. Sepanjang jalan, kami berdua hanya membisu. Hanya bunyi derap langkah kaki yang saling beradu di udara.

“Ini tempatnya.” Jutek aku berkata.

“Makasih ya, Dek. Maaf aku merepotkan. Oh, ya, kamu pesan juga. Kita sarapan bareng di rumah.” Geligi putih bersih milik Mas Wisnu tampil dari balik senyum lebarnya. Ya Tuhan, setan apa yang membujuk seorang Wisnu hingga dia harus menikah dengan Mbak Mel? Orang sebaik ini tak pantas membersamai perempuan pemarah, tukang perintah, dan selalu merasa superior di mana pun.

“Terserah.” Aku buru-buru duduk di samping gerobak. Di sebelahku ada seorang ibu-ibu yang ikut mengantre. Tetangga juga, tapi aku tidak hafal namanya. Tidak penting.

“Eh, ini Ayu anaknya Bu Mayang kan?” Ibu-ibu berdaster hijau lumut dengan jilbab oranye—sangat tidak matching—itu menegurku dengan suara yang sok akrab. Aku mengerling malas. Tersenyum terpaksa dan mengangguk kecil.

“Kerja di mana? Kok kelihatannya nggak pernah pergi ke kantor, ya?”

Telingaku langsung berdiri. Hebat, pertanyaannya seperti seorang wartawan majalah gosip yang kehabisan berita.

“Adik ipar saya ini pengusaha online, Bu. Kantornya di rumah. Iya, kan, Dek?” Mas Wisnu tiba-tiba bergabung dan duduk di hadapanku.

“Eh?” Aku salah tingkah. Terlebih memperhatikan Mas Wisnu yang meminta pembenaran dengan senyum khasnya.

“I-iya,” jawabku sambil terbata. Pipiku langsung terasa merah rasanya. Antara malu, senang, dan hmm... sebuah perasaan yang tak dapat dijelaskan.

“Lho, ini siapa? Bukannya suami kakaknya, ya?” Ibu itu tiba-tiba terdengar syok. Perasaanku jadi merasa tak enak. Urusan bakal panjang, pikirku.

“Iya. Saya Wisnu, suami Melani.” Mas Wisnu dengan penuh keramah-tamahan menjabat tangan ibu berjilbab oranye itu.

“Saya Srinti, teman pengajian ibu kalian. Lho, mana Melani? Kok malah pergi sama iparnya?” Kedua Alis si Srinti bertautan. Mukanya tampak heran. Aku jelas saja memperhatikan wajahnya dengan malas dan muak.

“Bu, pertanyaannya banyak sekali? Aku pusing. Lebih baik ibu diam saja biar udaranya tidak tercemar karbondioksida.” Akhirnya kata-kata tajamku keluar. Aku santai saja. Sementara Mas Wisnu berubah muka menjadi tak enak. Begitu pula si Srinti yang terlihat keki.

“Yo wis!” Tanpa kuusir akhirnya si Srinti kabur juga. Lega. Seperti barusan buang air besar setelah setahun konstipasi.

“Dek, kok jawabnya seperti itu?” Mas Wisnu berbisik pelan.

“Jangan terlalu diladeni orang-orang sini, Mas. Tukang gosip dan nyebar hoax.” Mukaku datar. Lalu aku bangkit dan menyambar pesanan yang sudah siap.

“Aku yang bayar, Dek.” Mas Wisnu buru-buru merogoh dompetnya.

“Ya memang harusnya seperti itu, Mas.” Aku ngeloyor pergi dengan langkah kaki cepat. Sementara Mas Wisnu berlari kecil mengejarku. Bodo amat.

***

“Lho? Berduaan perginya?” Mata Mbak Mel membulat saat melihat aku dan Mas Wisnu tiba di dapur bersamaan.

“Suamimu yang maksa minta ditemenin.” Aku menatap tajam pada Mbak Mel. Oke, kalau mau bertikai hari ini, aku punya energi lebih untuk melawanmu. Mbak Mel mendengus dan mengalihkan pembicaraan

“Maaf, ya, aku nggak nemenin?” Kata-kata Mbak Mel halus lembut bagai putri keraton. Tidak biasanya. Hmm, tunggu saja kau Wisnu, bulan depan sifat aslinya pasti akan keluar.

“Nggak apa-apa. Mas tahu kamu capek, Sayang.”

Aku menelan liur. Seketika bergidik geli. Apa-apaan dua orang ini? Jika mau bermesraan, apa wajib 'ain kalau harus di depanku?

Setelah menyiapkan bubur ke dalam mangkuk-mangkuk, secepat kilat aku beridiri dan melangkah pergi. Tapi, lagi-lagi Mas Wisnu mencegah.

“Dek, kita makan bareng. Sini!”

Aku balik badan. Kelihatan wajah Mbak Mel keberatan. Hatiku tersenyum. Oke, akan kurusak makan pagi pertama kalian kali ini.

“Baiklah.” Aku duduk di seberang Mbak Mel. Mata perempuan berkulit Langsat itu bertumbuk padaku. Menyiratkan sebuah ketidaksukaan dan seolah memintaku untuk pergi.

“Kenapa, Mbak? Ada yang mau diceritakan?” Aku tersenyum tipis. Aku mengerti jika Mbak Mel pasti ingin melempari dengan sendok atau bubur yang panas ini. Namun, tidak mungkin itu terjadi. Mana dia mau reputasinya hancur di depan suami gantengnya itu?

“Tidak.” Mbak Mel ketus. Dia beralih pada suaminya dan sibuk memuji-muji betapa ganteng dan baik hatinya seorang Wisnu. Dia ingin mempertegas bahwa dia telah menikah dan menemukan suami sempurna, tidak seperti aku yang masih sendiri.

“Lho, kok makan bertiga begini? Ayu, kamu harusnya kan beres-beres dulu. Masa mengganggu mbak dan masmu?” Oke, sekarang negara api telah menyerang. Akhirnya si pawang ular datang untuk menjinakkan peliharaannya yang tak lain adalah aku.

“Beres-beresnya nanti setelah sarapan saja, Bu. Nanti Wisnu bantu juga. Ibu, ayo kita makan bersama. Wisnu dan Dek Ayu juga belikan untuk Ibu.” Ibu menatapku tajam. Seolah tak terima dengan perkataan Wisnu barusan.

“Kamu dan Ayu? Kalian pergi berdua ke tempat Pak Min?” Mata Ibu membelalak. Ekspresinya beda tipis dengan si Srinti kawan karibnya tadi.

“Kenapa Bu, memangnya? Kami Cuma pergi beli bubur, bukan berduaan di kamar hotel atau tempat remang-remang.” Aku langsung menembak tepat sasaran. Aku tidak bodoh dan sangat mengerti apa yang ditakutkan oleh Ibu.

“Sudah-sudah. Nggak perlu diperpanjang. Besok-besok Mas Wisnu kalau pergi ajak aku aja, jangan Dek Ayu. Nggak elok dilihat tetangga sini.” Mbak Mel segera melerai. Matanya lagi-lagi melirik ke arahku dengan kesal.

“Bu, Mbak Mel. Kalian boleh aja nggak suka sama aku. Tapi, dengan curiga dan ketakutan aku ngapa-ngapain dengan iparku sendiri itu picik. Kamu Mbak Mel, percuma sekolah tinggi dan kerja di tempat yang katamu oke itu kalau pikiranmu sama saja kaya orang kampung.” Aku merasa puas. Selama ini aku hanya diam dan manggut-manggut saja saat Ibu maupun Mbak Mel bersikap buruk. Namun hari ini aku memiliki kesempatan untuk balas dendam serta mempermalukan mereka di hadapan orang baru.

Semua orang terdiam. Mbak Mel dan Ibu dengan muka merah padamnya serta Mas Wisnu dengan wajah bingungnya.

“Oh ya, Mas Wisnu. Jangan heran ya kalau tinggal di sini. Aku memang diperlakukan berbeda. Jangan terlalu dekat denganku. Istri dan mertuamu pasti sangat tidak suka.” Aku berdiri dari kursi makan dan beranjak meninggalkan mereka. Terdengar derap kaki menyusul. Aku menoleh. Ternyata Ibu.

“Perempuan tidak tahu malu!” Sebuah tamparan mulus mendarat di pipiku.

Aku tercengang. Sangat-sangat kaget luar biasa. Setelah sekian lama Ibu tak berani menamparku, kini dia melakukannya lagi. Kemudian diri ini tersenyum. Tidak banyak berbicara. Kutatap wajahnya yang berlinang air mata.

“Terima kasih, Bu.” Aku melangkah lagi dan masuk ke dalam kamar. Hari ini benar-benar begitu spesial untukku.

KELANJUTANNYA AKAN DIPOSTING DI KOMENTAR YA GAN. PANTAU AJA TERUS BIAR GAK KETINGGALAN,

INSYA ALLAH AKAN DIUPDATE SETIAP HARI ANTARA JAM 10.00-13.00

MAKASIH AGAN .....

HASRAT SEORANG IPAR
Diubah oleh meisyajasmine 21-11-2021 04:56
tjawetkendor
oceu
Araka
Araka dan 39 lainnya memberi reputasi
40
22.4K
191
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
meisyajasmineAvatar border
TS
meisyajasmine
#25
BAB 2
Seharian kuhabiskan mendekam dalam kamar. Rasa benci dan marah berkecamuk memenuhi kepala. Tumben sekali aku merasa seemosional ini. Padahal, lama sudah aku tak acuh pada sikap Ibu dan Mbak Mel. Mengganggap keduanya angin lalu. Tak patut untuk digubris. Namun, entah mengapa hari ini terasa berbeda. Niat awal ingin mempermalukan keduanya di hadapan orang baru, malah aku yang kalah telak terlebih dahulu.

Pukul sebelas malam, aku masih saja berada di dalam kamar. Tanpa makan dan minum. Oh, bodohnya aku. Mana sifat cuek dan tegar Ayu yang dulu? Yang diam dan abai saat Ibu atau Mbak Mel melukai perasaan dengan kata-kata bak sembilu? Mengataiku tak laku, tak punya bakat, pengangguran atau patut jadi pembantu. Aku ingin seperti hari kemarin, yang beku dan abai pada kalimat pahit empedu.

Saat aku masih merenung di atas tempat tidur dan mengabaikan ratusan pesan masuk di WhatsApp yang kebanyakan dari grup jual beli dan beberapa pelanggan yang memesan barang, tiba-tiba terdengar sebuah ketukan. Sekali kuabaikan. Dua kali aku mulai penasaran. Tiga kali rasanya tak tahan. Aku bangkit dan mulai mencari tahu siapa yang mengetuk tiga kali di pintu.

“Mas Wisnu?” Aku tercengang saat mengintip dari celah yang kubuka sedikit.

“Ssst!” Dia meletakan jemarinya di depan bibir. Memberi kode agar aku mengecilkan volume.

“Kenapa?” Mataku membelalak. Aku sungguh tidak mau malam-malam begini masalah datang lagi. Sudah cukup. Aku capek.

“Bisa bicara sebentar? Di ruang makan?” Mas Wisnu meminta.

Aku berpikir sejenak. Menimbang risiko dan segala kemungkinan. Hati kecilku mengatakan bukan saatnya untuk berbincang dengan lelaki ini. Tapi satu sisi entah mengapa diri ini begitu ingin sekadar ngobrol untuk mengobati luka hati.

“Lima menit.” Aku menawar. Mas Wisnu langsung mengangguk. Aku langsung mengikuti langkahnya menuju dapur.

Suasana rumah begitu hening. Ibu dan Mbak Mel pasti sudah terlelap dalam mimpi indahnya. Kami duduk saling berhadapan di meja makan. Lampu kuning temaram menyala di tengah-tengah, membuat suasana begitu syahdu. Bunyi jangkrik dan cecak bergantian mengisi kesunyian.

“Minum, Dek.” Mas Wisnu mendorong secangkir coklat panas ke hadapanku. Asapnya mengepul dengan aroma manis yang menggoda. Perasaanku dipenuhi dengan keheranan. Ada apa dengannya? Malam-malam begini bukannya tidur bersama istri? Kok, malah mengajakku ngobrol sambil minum coklat?

“Langsung saja, Mas. Jangan sampai Ibu atau Mbak Mel memergoki kita. Aku malas bertengkar.”

Mas Wisnu terlihat tak enak. Mungkin dia merasa bersalah.

“Aku baru sehari di sini dan sudah bikin masalah. Aku minta maaf, Dek Ayu. Sungguh, nggak ada maksud.”

“Oke. Jadi, kamu sudah tahu kan bagaimana keadaan rumah ini? Lama-lama kamu juga bakalan tahu sifat Mbak Mel.” Aku meraih cangkir dan menghirup isinya perlahan. Nikmat. Manis bercampur pahit bercampur jadi satu.

“Hmm, masalah Mbak Mel-mu, aku sudah paham bagaimana sifat aslinya. Ah, tidak perlu dibahas. Aku harap dia mau berubah.” Mas Wisnu melempar pandangannya jauh ke depan. Seolah sedang menerawang.

Aku memang baru mengenal lelaki ini. Sebelum menikah, dua tahun belakangan dia memang berpacaran dengan Mbak Mel. Lelaki lembut dan penurut ini kudengar sering sekali menjadi sasaran kemarahan Mbak Mel jika sedang ada masalah di kantor. Mereka memang rekan satu pekerjaan. Mbak Mel staf pemasaran, sedang Mas Wisnu adalah kepala divisi riset pasar dan promosi. Mereka bekerja di perusahaan retail ternama.

Berbicara secara intens dengan Mas Wisnu memang belum pernah kulakukan. Kami hanya bertegur sapa biasa saat dia mengapel Mbak Mel atau kebetulan mengantar-jemput istrinya tersebut. Malam ini, adalah kali pertama kami duduk hanya berdua saja dan berbicara layaknya sahabat lama.

“Aku Cuma mau minta maaf atas kejadian tadi pagi. Seharian tadi Melani jadi marah-marah saja kerjaannya. Begitu juga dengan Ibu. Aku jadi serba tidak enak. Jangan-jangan karena kehadiranku semua jadi seperti ini.” Mas Wisnu menunduk.

“Terus? Kenapa harus minta maaf ke aku?”

“Gara-gara tadi pagi kita pergi bersama, masalahnya jadi panjang. Salahku yang memaksa kamu untuk menemani ke sana. Aku minta maaf.”

Aku mengendurkan bahu. Menyesap coklat hingga tandas, lalu mengelap sudut bibir yang tumpahan di tepian gelas.

“Sebenarnya ini bukan hal yang baru. Puluhan tahun kami memang hidup seperti ini. Jauh dari kata rukun. Selalu aku yang jadi sebab uring-uringan mereka. Entah ya, mereka itu selalu benci padaku. Alasannya apa, aku tidak ngerti juga.” Aku hendak bangkit dari duduk, tapi Mas Wisnu mencekatku.

“Maafkan, Melani, Dek. Dia istriku dan mulai sekarang adalah tanggung jawabku untuk membimbingnya.”

“Jadi, Cuma ini kan yang Mas mau sampaikan?” Aku ingin segera menyudahi percakapan basa-basi tak berfaedah ini, sebelum dua singa betina bangun dari peraduannya.

“Hmm, sebenarnya aku mau cerita banyak. Tapi, sudahlah. Kapan-kapan saja.”

Aku membalik badan dan pergi meninggalkan Mas Wisnu. Saat itu, aku langsung geleng-geleng kepala. Mas Wisnu itu sebenarnya kenapa sih? Repot-repot sekali dia meminta maaf padaku atas perilaku istri dan mertuanya? Sampai harus menyogok dengan coklat segala. Padahal, aku ini sudah kebal diinjak-injak oleh Ibu dan Mbak Mel sejak dulu. Bahkan, almarhum Bapak pun tak pernah sampai minta maaf atau membujukku segala. Diam adalah sikapnya saat mereka menyakitiku.

***

Pagi-pagi sekali aku bangun untuk melakukan rutinitas harian di rumah. Mulai dari menyapu, menyiram tanaman, sampai memasak. Kerjaan ini adalah tugas utamaku di rumah. Kalau Mbak Mel? Jangankan memegang sapu, meliriknya saja dia tak peduli.

Jadi, sebenarnya apa yang membuatku terus bertahan di rumah ini? Bukankah aku bisa saja lari jauh dan mengontrak rumah? Toh, walaupun tak banyak, penghasilanku dari berdagang lumayan juga.

Jika lari, itu artinya Ibu dan Mbak Mel akan merasa puas. Semua aset Bapak jatuh ke tangan mereka. Tidak, semua ini bukan masalah harta. Ini masalah wasiat yang harus ditunaikan. Meski Bapak terlihat tak begitu sayang padaku, tapi dia telah berpesan bahwa tanah ini adalah milikku. Sedang Mbak Mel mendapat bagian lima hektar sawah yang penghasilannya dimakan sendiri olehnya bersama Ibu. Aku tidak Sudi untuk lari lalu menyerahkan rumah ini pada Ibu dan Mbak Mel. Jika memang harus pergi, mereka berdua lah yang harusnya angkat kaki. Namun, aku bukanlah iblis yang tega melakukan hal demikian. Aku masih punya hati dan mempersilakan Ibu tinggal di sini bahkan sampai beliau tutup usia.

Saat tengah asyik merawat tanaman mawar di halaman depan, aku terkaget-kaget melihat Mas Wisnu datang sembari membawa sapu dan pengki. Mau apa dia?

“Ngapain Mas?” Mataku membelalak melihatnya yang cekatan membersihkan dedaunan di tanah.

“Nyuci piring. Hehe.” Dia malah terkekeh. Cowok aneh.

“Mas masuk aja. Nanti istrimu marah.”

“Masa aku tinggal di sini nggak boleh ngapa-ngapain? Nanti aku obesitas karena nggak bergerak.” Senyumannya terulas dengan lebar. Membuat jantungku tiba-tiba berdebar.

“Hei, Dek Ayu, kok diam?”

“Hah?” Betapa malunya aku. Ternyata beberapa detik tadi aku terpana memperhatikan sosok di hadapanku ini.

“Nggak apa-apa. Lupakan.” Aku langsung kembali menyibukkan diri. Sementara Mas Wisnu terus menyapu sambil bersiul riang.

“Kalian nggak bulan madu? Masa penganten baru di rumah aja?” Aku mulai membuka percakapan. Berusaha agar kami tak lagi canggung.

“Rencananya pas tahun baru aja. Lusa sudah mulai masuk kerja. Ada projek besar di kantor yang nggak bisa ditinggal.”

Aku mengangguk pelan. Pura-pura mengerti dengan ucapan Mas Wisnu. Padahal pikiranku terbang ke sana ke mari entah ke mana. Sekilas aku membayangkan jika memiliki suami sebaik Mas Wisnu. Indahnya jika setiap pagi pekerjaan rumah selalu dibantu berdua begini.

“Mas Wisnu?!” Sebuah teriakan lantang terdengar dari arah belakang.

Aku kaget setengah mati. Begitu pula Mas Wisnu.

“Kamu ngapain?!” Mbak Mel terlihat gusar. Matanya menyala. Si tempramental itu sepertinya lagi-lagi tersulut amarah.

“Aku lagi bersih-bersih halaman, Sayang. Maaf aku nggak bangunin kamu tadi. Soalnya kamu kelihatan capek.” Mas Wisnu segera menghampiri Mbak Mel, sampai-sampai sapu dan pengki yang dipegangnya tadi dibuang sembarang.Dasar bucin, pikirku. Seperti itu saja sudah kaya kucing kesiram air panas.

“Mas, kamu harusnya kalau mau ngapa-ngapain itu bilang ke aku. Lagian, ngapain nyapu segala? Kalau tetangga ngeliatin gimana? Mereka bakal ngomong yang enggak-enggak.” Mbak Mel terus nyerocos seperti radio dengan frekuensi tidak tepat, berisik dan bikin sakit telinga.

“Ya sudah, suamimu simpan di lemari aja, Mbak. Jadikan hiasan, supaya nggak ngapa-ngapain.” Mulutku akhirnya gatal untuk tidak ikut campur. Mengganggu acara bersih-bersihku saja.

“Heh, Dek Ayu, kamu itu kok nyampurin urusan rumah tangga orang, sih? Makanya nikah, biar ada yang diurusin!” Mbak Mel makin sewot. Mulutnya mecucu seperti habis dicium tronton.

Aku hanya tersenyum, lalu sibuk dengan aktifitasku. Karepmu, Mbak. Ngomong sampai muntah paku juga aku nggak peduli.

“Mas, ingat ya, aku nggak suka kamu nyapu-nyapu gini, apalagi kalau Cuma berduaan sama Dek Ayu. Awas kalau terulang lagi!” Mbak Mel menghentakkan kakinya, lalu pergi meninggalkan aku dan Mas Wisnu.

Dengan wajah putus asa, Mas Wisnu mengemasi daun-daun yang telah terkumpul dalam pengki untuk dibuang ke tong sampah besar di dekat pohon mangga.

“Semua selalu aja salah di mata Melani. Aku bingung kalau begini terus.” Mas Wisnu mengeluh sembari berjalan menenteng perkakas bersih-bersihnya.

Tanpa membalas omongannya, aku membiarkan Mas Wisnu berlalu. Saat dia telah jauh, kuperhatikan punggung bidangnya. Laki-laki itu, entah mengapa aku jadi merasa kasihan padanya. Sebuah rasa tiba-tiba muncul dalam benakku. Cepat, aku menggeleng kepala. Menepis hal aneh barusan. Tidak, aku bukan seorang wanita yang gampang untuk memiliki rasa, apalagi terhadap ipar sendiri.

Diubah oleh meisyajasmine 21-11-2021 03:25
ngetamjum_07
genji32
oceu
oceu dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Tutup