- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 12:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#376
Quote:
Original Posted By benbela►
Mahluk melata itu menggeliat, bergerak-gerak dengan suara desis yang menjadi-jadi.
Monyet-monyet di atas pohon menjadi ribut, berteriak-teriak saling memberi pertanda bahaya. Dahan-dahan bergoyang-goyang karena sekumpulan monyet itu melompat ke sana kemari dalam keadaan panik.
Burung-burung segera berhamburan dan seisi hutan menjadi riuh karena ketakutan.
Tubuhku tersungkur tak berdaya di atas tanah, menahan sakit yang begitu menghujam di bagian perut dekat pinggang.
Aku merasa ngeri, saat kulihat perut ular itu bergerak-gerak membentuk tonjolan. Jelas sekali terlihat, perut hitam legam dengan sisik sebesar piring, membentuk tonjolan seperti lekuk tubuh manusia.
Ular itu sedang mencerna mangsa !
Kesempatan, batinku. Biasanya ular akan sulit bergerak bila ada mangsa di perutnya.
Tertatih, aku merayap menjauh dengan bertumpu pada kedua sikut. Tak kupedulikan perih di perut, aku merayap bagai kesetanan.
Pergerakanku seketika terhenti, saat sesuatu yang sangat berat tiba-tiba menindih punggung. Dada terasa sesak dan lukaku kembali mengeluarkan darah.
Hanya hitungan detik, tubuhku sudah terguling dalam belitan yang meremukan tulang. Mataku terbelalak dan hampir keluar, ketika belitan demi belitan semakin kuat mencengkeram.
Lidahku terjulur keluar dengan mulut terganga.
Celaka ! Ular besar itu hendak manjadikanku santapan !
Dengan lidah terjulur dan liur menetes, termegap-megap mulutku mencari udara. Keringat dingin mulai menetes di kening, tubuhku semakin lemas tak berdaya. Nafas semakin sesak dan belitan semakin kencang.
Lilitan itu mengangkat tubuhku ke udara, dibawa mendekat ke arah kepalanya yang jauh di depan.
Seesshh...sesshh...
Suara desisan terdengar kencang. Monyet-monyet terus berteriak ketakutan.
Sreekkk....
Dari belukar, kepala ular sebesar pinggang menyeruak. Dengan sisik-sisik menonjol, wajah ular itu terlihat bengis, liar dan lapar.
Lidahnya yang bercabang menjulur-julur keluar, menimbulkan bunyi desis yang menciutkan nyali. Sepasang mata sebesar bola kaki menatapku tajam. Di celah mulutnya, terlihat barisan gigi tajam dengan taring yang menekuk.
Jantungku rasanya copot dan imanku runtuh. Aku tidak tahu harus berpikir bagaimana lagi untuk meyakinkan diri, bahwa harapanku untuk hidup masih ada.
Kini jarakku dengan kepala ular itu hanya sejengkal. Mahluk itu mengamati tubuhku senti demi senti. Lidahnya terus menjulur-julur di samping wajahku, menyentuh kuping sebelah kiri. Aku bergidik ngeri dengan posisi tubuh terkunci.
Seesshhh.....sessshh...
Suara desisan terus bergema di dalam telingaku, masuk melalui aliran darah dan melemahkan jantung. Tiba-tiba aku merasa hening. Tidak ada apa pun yang bisa kudengar kecuali denging. Mungkinkah seperti ini rasanya sakratul maut ?
Tak mampu kutahan air mata. Lagi-lagi aku menangis karena putus asa.
Bruuukkk....
Tubuhku tersungkur di tanah menahan sakit. Lilitan itu terlepas begitu saja. Seakan tak percaya, tubuhku benar-benar bebas.
Ular naga itu bergerak entah kemana, meratakan belukar dan melindas rerumputan. Perut besarnya masih bergerak-gerak dengan tonjolan seperti manusia.
Entah kenapa mahluk itu melepasku. Entah kasihan atau sudah kenyang, aku tidak perduli.
Dengan tertatih aku bangkit berdiri, berpegang pada akar-akar gantung dan batang-batang pohon.
Menahan luka di perut, aku melangkah menjauh meninggalkan tempat terkutuk ini.
Aku berjalan di dalam hutan tanpa arah, selangkah demi selangkah. Luka di perut membuat pergerakanku sangat lamban. Setiap kaki melangkah, luka semakin menganga dan mengeluarkan darah. Saking sakitnya, mataku sampai berair menahan perih.
Tidak, ucapku dalam hati. Aku tidak boleh terus bergerak. Aku harus segera mencari tempat istirahat atau mati kehabisan darah.
Di antara rimbun pakis, kulihat ada tumbuhan paku gelang. Aku segera mendekat dan meraih beberapa batang. Duduk di tanah, tumbuhan itu kukunyah dan lumatannya kutempelkan pada luka.
Dingin terasa saat tumbuhan itu menyerap darah yang keluar. Sementara, pendarahanku terhenti meski nyawaku belum selamat.
Di langit, matahari semakin tergelincir. Di antara pucuk pepohonan senja merah telah terlihat dan sebentar lagi gelap akan datang.
Aku berbaring di rimbun belukar dengan perasaan remuk redam. Tak kupedulikan duri-duri tajam yang menusuk. Tidak juga kuhiraukan gatal yang mengerayangi seluruh tubuh. Aku terbaring dengan keadaan yang sangat kacau.
Apa aku akan mati saat malam tiba ? Atau Tuhan sengaja mempermainkanku, menyiksaku sebelum nyawaku dicabut ? Segera kutepis pikiran-pikiran yang justru membuatku putus asa. Saat ini, aku hanya ingin istirahat.
Baru saja kupejamkan mata, aku terperanjat saat kurasakan sakit yang menyengat di bagian punggung. Spontan aku tertuduk, berusaha menyingkirkan sengatan yang menghunjam bertubi-tubi.
Aku merasakan sakit yang luar biasa bagai ditusuk besi panas. Sengatan itu tidak hanya di punggung, tapi menjalar ke leher hingga kepala.
Aku bergidik ngeri, saat kulihat ribuan semut merayap di kaki. Semut Salimbada, semut besar berwarna hitam kemerahan.
Semut-semut pradator itu merayap melalui celah celana dan baju, mengoyak sedikit demi sedikit luka yang menganga di perutku.
Celaka ! Mereka telah mencium aroma darah.
Seketika aku berhamburan menembus belukar, terbirit menyelamatkan diri di tengah belantara. Aku berlari ke sana kemari bagai orang kesurupan, berkejaran dengan langit yang semakin gelap.
Mulutku tidak berhenti berteriak kesakitan. Keringatku bercucur dengan nafas yang terengah-engah.
Aku memaki sejadinya karena benar-benar tersiksa.
Kupukul berkali-kali, sisa-sisa semut yang menempel di badan tak juga lepas. Setelah cukup jauh, aku berhenti untuk membunuh sisa-sisa semut yang menancap di kulit.
Terasa sangat sakit karena capit mulutnya yang tajam tidak hanya menusuk daging, tapi tubuhnya mengeluarkan bisa yang terasa bagaikan semburan api.
Dahiku mengernyit menahan perih, saat mencoba melepaskan sekumpulan semut yang mengerubungi kepala. Mataku sampai berair dan lututku gemetar karena perih yang luar biasa.
Teriak kesakitan kembali membahana ke segala penjuru hutan. Aku terus memaki sambil melepas satu-persatu semut yang menggumpal di rambut.
Terduduk di tanah, semut yang terlepas langsung kutekan dengan ibu jari dan telunjuk. Kutekan sekuat-kuatnya dengan penuh rasa benci.
Rupanya mahluk-mahluk jahanam itu belum juga jera menyiksa. Mataku terbelalak dan hampir copot. Beberapa ekor semut mencongkel luka di perutku. Dengan sadis, semut-semut ganas itu mengorek-ngorek luka yang menganga, memotong kecil-kecil daging segar bercampur darah.
Balutan paku gelang tadi sudah terlepas entah dimana. Mungkin saja saat tadi aku berlari.
"Aaaaaaarrrrrgggghhhhhhhh !!!"
Aku berteriak sekeras-kerasnya melepas amarah.
Dengan sangat hati-hati, semut itu kulepas perlahan-lahan. Namun rasanya aku sungguh tersiksa. Mulutnya mencapit luka sangat kuat hingga tubuhku berkelojotan tidak karuan.
Bergeser sedikit saja, rasa sakit terasa hingga ke tulang. Gigiku sampai bergemelutuk karena perih yang tak sanggup kusandang.
Sesaat aku terdiam, mengatur nafas dan mengumpulkan keberanian.
Setelah mengucap basmallah, semut itu kulepas paksa satu-persatu. Perih yang teramat sangat menjalar ke seluruh tubuhku.
"Aaaaaaarrrrrgggghhhhhhhh !!!"
Mulutku meracau menahan perih, saat semut-semut itu berhasil terlepas satu-persatu.
Penuh dendam, semut-semut itu kubunuh dengan kejam. Kutekan kepalanya hingga gepeng dan kocopot tanpa ampun, demi melampiaskan amarah yang berkepanjangan.
Akhirnya semua semut berhasil kusingkirkan. Memegang luka di perut, aku tertatih berjalan di tengah hutan, menerobos gelap yang telah datang.
Setelah ini, entah siksaan apalagi yang akan kualami. Sendirian di tengah hutan saat gelap, benar-benar pertaruhan antara hidup dan mati.
Di atas pepohonan, burung-burung hantu mulai berkumpul. Hewan malam itu saling bersahutan, berlomba-lomba mengeluarkan bunyi yang paling nyaring. Seolah memberi peringatan, aku pun menjadi waspada.
Dan sepertinya peruntunganku semakin menipis, seiring malam yang semakin mencekam.
...bersambung...
Bab 19 : Siksaan Tanpa Henti
Mahluk melata itu menggeliat, bergerak-gerak dengan suara desis yang menjadi-jadi.
Monyet-monyet di atas pohon menjadi ribut, berteriak-teriak saling memberi pertanda bahaya. Dahan-dahan bergoyang-goyang karena sekumpulan monyet itu melompat ke sana kemari dalam keadaan panik.
Burung-burung segera berhamburan dan seisi hutan menjadi riuh karena ketakutan.
Tubuhku tersungkur tak berdaya di atas tanah, menahan sakit yang begitu menghujam di bagian perut dekat pinggang.
Aku merasa ngeri, saat kulihat perut ular itu bergerak-gerak membentuk tonjolan. Jelas sekali terlihat, perut hitam legam dengan sisik sebesar piring, membentuk tonjolan seperti lekuk tubuh manusia.
Ular itu sedang mencerna mangsa !
Kesempatan, batinku. Biasanya ular akan sulit bergerak bila ada mangsa di perutnya.
Tertatih, aku merayap menjauh dengan bertumpu pada kedua sikut. Tak kupedulikan perih di perut, aku merayap bagai kesetanan.
Pergerakanku seketika terhenti, saat sesuatu yang sangat berat tiba-tiba menindih punggung. Dada terasa sesak dan lukaku kembali mengeluarkan darah.
Hanya hitungan detik, tubuhku sudah terguling dalam belitan yang meremukan tulang. Mataku terbelalak dan hampir keluar, ketika belitan demi belitan semakin kuat mencengkeram.
Lidahku terjulur keluar dengan mulut terganga.
Celaka ! Ular besar itu hendak manjadikanku santapan !
Dengan lidah terjulur dan liur menetes, termegap-megap mulutku mencari udara. Keringat dingin mulai menetes di kening, tubuhku semakin lemas tak berdaya. Nafas semakin sesak dan belitan semakin kencang.
Lilitan itu mengangkat tubuhku ke udara, dibawa mendekat ke arah kepalanya yang jauh di depan.
Seesshh...sesshh...
Suara desisan terdengar kencang. Monyet-monyet terus berteriak ketakutan.
Sreekkk....
Dari belukar, kepala ular sebesar pinggang menyeruak. Dengan sisik-sisik menonjol, wajah ular itu terlihat bengis, liar dan lapar.
Lidahnya yang bercabang menjulur-julur keluar, menimbulkan bunyi desis yang menciutkan nyali. Sepasang mata sebesar bola kaki menatapku tajam. Di celah mulutnya, terlihat barisan gigi tajam dengan taring yang menekuk.
Jantungku rasanya copot dan imanku runtuh. Aku tidak tahu harus berpikir bagaimana lagi untuk meyakinkan diri, bahwa harapanku untuk hidup masih ada.
Kini jarakku dengan kepala ular itu hanya sejengkal. Mahluk itu mengamati tubuhku senti demi senti. Lidahnya terus menjulur-julur di samping wajahku, menyentuh kuping sebelah kiri. Aku bergidik ngeri dengan posisi tubuh terkunci.
Seesshhh.....sessshh...
Suara desisan terus bergema di dalam telingaku, masuk melalui aliran darah dan melemahkan jantung. Tiba-tiba aku merasa hening. Tidak ada apa pun yang bisa kudengar kecuali denging. Mungkinkah seperti ini rasanya sakratul maut ?
Tak mampu kutahan air mata. Lagi-lagi aku menangis karena putus asa.
Bruuukkk....
Tubuhku tersungkur di tanah menahan sakit. Lilitan itu terlepas begitu saja. Seakan tak percaya, tubuhku benar-benar bebas.
Ular naga itu bergerak entah kemana, meratakan belukar dan melindas rerumputan. Perut besarnya masih bergerak-gerak dengan tonjolan seperti manusia.
Entah kenapa mahluk itu melepasku. Entah kasihan atau sudah kenyang, aku tidak perduli.
Dengan tertatih aku bangkit berdiri, berpegang pada akar-akar gantung dan batang-batang pohon.
Menahan luka di perut, aku melangkah menjauh meninggalkan tempat terkutuk ini.
*****
Aku berjalan di dalam hutan tanpa arah, selangkah demi selangkah. Luka di perut membuat pergerakanku sangat lamban. Setiap kaki melangkah, luka semakin menganga dan mengeluarkan darah. Saking sakitnya, mataku sampai berair menahan perih.
Tidak, ucapku dalam hati. Aku tidak boleh terus bergerak. Aku harus segera mencari tempat istirahat atau mati kehabisan darah.
Di antara rimbun pakis, kulihat ada tumbuhan paku gelang. Aku segera mendekat dan meraih beberapa batang. Duduk di tanah, tumbuhan itu kukunyah dan lumatannya kutempelkan pada luka.
Dingin terasa saat tumbuhan itu menyerap darah yang keluar. Sementara, pendarahanku terhenti meski nyawaku belum selamat.
Di langit, matahari semakin tergelincir. Di antara pucuk pepohonan senja merah telah terlihat dan sebentar lagi gelap akan datang.
Aku berbaring di rimbun belukar dengan perasaan remuk redam. Tak kupedulikan duri-duri tajam yang menusuk. Tidak juga kuhiraukan gatal yang mengerayangi seluruh tubuh. Aku terbaring dengan keadaan yang sangat kacau.
Apa aku akan mati saat malam tiba ? Atau Tuhan sengaja mempermainkanku, menyiksaku sebelum nyawaku dicabut ? Segera kutepis pikiran-pikiran yang justru membuatku putus asa. Saat ini, aku hanya ingin istirahat.
Baru saja kupejamkan mata, aku terperanjat saat kurasakan sakit yang menyengat di bagian punggung. Spontan aku tertuduk, berusaha menyingkirkan sengatan yang menghunjam bertubi-tubi.
Aku merasakan sakit yang luar biasa bagai ditusuk besi panas. Sengatan itu tidak hanya di punggung, tapi menjalar ke leher hingga kepala.
Aku bergidik ngeri, saat kulihat ribuan semut merayap di kaki. Semut Salimbada, semut besar berwarna hitam kemerahan.
Semut-semut pradator itu merayap melalui celah celana dan baju, mengoyak sedikit demi sedikit luka yang menganga di perutku.
Celaka ! Mereka telah mencium aroma darah.
Seketika aku berhamburan menembus belukar, terbirit menyelamatkan diri di tengah belantara. Aku berlari ke sana kemari bagai orang kesurupan, berkejaran dengan langit yang semakin gelap.
Mulutku tidak berhenti berteriak kesakitan. Keringatku bercucur dengan nafas yang terengah-engah.
Aku memaki sejadinya karena benar-benar tersiksa.
Kupukul berkali-kali, sisa-sisa semut yang menempel di badan tak juga lepas. Setelah cukup jauh, aku berhenti untuk membunuh sisa-sisa semut yang menancap di kulit.
Terasa sangat sakit karena capit mulutnya yang tajam tidak hanya menusuk daging, tapi tubuhnya mengeluarkan bisa yang terasa bagaikan semburan api.
Dahiku mengernyit menahan perih, saat mencoba melepaskan sekumpulan semut yang mengerubungi kepala. Mataku sampai berair dan lututku gemetar karena perih yang luar biasa.
Teriak kesakitan kembali membahana ke segala penjuru hutan. Aku terus memaki sambil melepas satu-persatu semut yang menggumpal di rambut.
Terduduk di tanah, semut yang terlepas langsung kutekan dengan ibu jari dan telunjuk. Kutekan sekuat-kuatnya dengan penuh rasa benci.
Rupanya mahluk-mahluk jahanam itu belum juga jera menyiksa. Mataku terbelalak dan hampir copot. Beberapa ekor semut mencongkel luka di perutku. Dengan sadis, semut-semut ganas itu mengorek-ngorek luka yang menganga, memotong kecil-kecil daging segar bercampur darah.
Balutan paku gelang tadi sudah terlepas entah dimana. Mungkin saja saat tadi aku berlari.
"Aaaaaaarrrrrgggghhhhhhhh !!!"
Aku berteriak sekeras-kerasnya melepas amarah.
Dengan sangat hati-hati, semut itu kulepas perlahan-lahan. Namun rasanya aku sungguh tersiksa. Mulutnya mencapit luka sangat kuat hingga tubuhku berkelojotan tidak karuan.
Bergeser sedikit saja, rasa sakit terasa hingga ke tulang. Gigiku sampai bergemelutuk karena perih yang tak sanggup kusandang.
Sesaat aku terdiam, mengatur nafas dan mengumpulkan keberanian.
Setelah mengucap basmallah, semut itu kulepas paksa satu-persatu. Perih yang teramat sangat menjalar ke seluruh tubuhku.
"Aaaaaaarrrrrgggghhhhhhhh !!!"
Mulutku meracau menahan perih, saat semut-semut itu berhasil terlepas satu-persatu.
Penuh dendam, semut-semut itu kubunuh dengan kejam. Kutekan kepalanya hingga gepeng dan kocopot tanpa ampun, demi melampiaskan amarah yang berkepanjangan.
Akhirnya semua semut berhasil kusingkirkan. Memegang luka di perut, aku tertatih berjalan di tengah hutan, menerobos gelap yang telah datang.
Setelah ini, entah siksaan apalagi yang akan kualami. Sendirian di tengah hutan saat gelap, benar-benar pertaruhan antara hidup dan mati.
Di atas pepohonan, burung-burung hantu mulai berkumpul. Hewan malam itu saling bersahutan, berlomba-lomba mengeluarkan bunyi yang paling nyaring. Seolah memberi peringatan, aku pun menjadi waspada.
Dan sepertinya peruntunganku semakin menipis, seiring malam yang semakin mencekam.
...bersambung...
Sampai jumpa update berikutnya yak. Update agak selow karena kesibukan RL. Jangan lupa sakrep, komeng dan syer ewer-ewer 😁



doelviev dan 66 lainnya memberi reputasi
67
Kutip
Balas
Tutup