Di sekolah, hari-hari berjalan seperti biasa; Lambat. Nggak ada hal menarik yang membuat gua punya adiksi terhadap segala sesuatu berbau sekolah, kecuali Larissa tentunya. Ia masih tetap hadir membawa keceriaan seperti biasa. Tak lupa Sekar dan Dita yang selalu hadir di antara gua dan Larissa dalam setiap kesempatan; waktu istirahat, jam kosong dan sepulang sekolah.
Semua berjalan normal, terkecuali Rio, sejak konflik kecil dengan gua beberapa waktu yang lalu, ia kini jarang terlihat bermain bersama Larissa, Sekar dan Dita. Ya walaupun, sesekali Rio ikut nimbrung dalam obrolan, namun langsung pergi begitu melihat gua.
Dan gua merasa Dita juga Sekar tau akan konflik yang terjadi antara gua dengan Rio. Namun, kabar ini belum sampai ke telinga Larissa.
Bukan Larissa namanya kalau doi nggak bisa menyadari hal-hal kecil seperti ini.
“Lo sama Rio kenapa?” Tanya-nya suatu hari, sepulang sekolah.
“Kenapa apanya?”
“Gw perhatiin belakangan Rio jarang ngumpul, trus langsung pergi kalo ada elo…” Larissa berasumsi, matanya menatap gua. Mencoba membaca ekspresi yang bakal gua keluarkan.
“Ga ada apa-apa…” Gua menjawab; berbohong.
“Nah, bohong lo... “
“Bener…”
“Itu, lobang idung lo mekar…” Ujarnya
“Eh…” Gua menyentuh hidung.
“Buruan cerita…” Tagihnya sambil menarik narik baju seragam gua.
“Cerita apaa?”
“Ceritain ada apa lo sama Rio…”
“Nggak ada apa-apa, Saaa…”
“Pasti ada dooong….” Ucapnya sambil mencubit pinggang gua.
Larissa duduk di teras kecil yang terletak tepat di depan pos satpam. Ia meletakkan tas punggung disebelahnya dan mulai mengikat rambutnya. Sementara matanya masih menatap gua, berharap secuil detail perihal sesuatu antara gua dengan Rio.
Gua duduk disebelahnya.
“Rio marah sama gua, dipikirnya; gara-gara gua ngajak lo jalan, lo jadi sakit…” Gua mencoba menjelaskan.
“Trus…”
“Ya udah…”
“Rio ngomong apa ke elo?”
“Lupa…”
Larissa menyentil dahi gua; “Yeee… gitu aja lupa…”
“...”
“Yaudah ntar gw yang ngomong ke Rio…” Ucapnya, sambil menyisir perlahan rambutnya dengan jari tangan.
Ia lalu menatap ke arah jemarinya, beberapa helai rambut terberai di sela-sela jari tangan. Larissa lalu berpaling dan menatap gua.
“Dari pagi, rambut gw rontok terus…” Ucapnya pelan.
“...” Gua hanya terdiam menatapnya.
Salah satu efek samping kemoterapi yang paling umum adalah Kerontokan pada rambut pasiennya. Kemoterapi sejatinya merupakan salah satu solusi untuk pengobatan kanker. Dalam hal ini prosedur Kemo bisa membunuh sel kanker, tapi juga bisa membunuh sel lain yang ada di dalam tubuh. Misalnya; sel rambut.
“Kalo gw botak gimana, Bi…”
“Lo tau Sinéad O'Connor?”
“Dari dulu penghiburan lo itu-itu aja… nggak ada yang laen? Ucapnya.
“Ntar juga tumbuh lagi…” Gua berusaha menghiburnya.
“Tapi kan lamaaa…”
“Pake shampo kuda, cepet numbuh…” Gua berkelakar. Shampo dengan botol putih bernuansa kuning biru bergambar kuda ini memang sejak lama terkenal karena keampuhannya menyuburkan rambut. Atau jika ingin mundur sedikit kebelakang, sebelum era Shampo kuda booming, ada brand shampo lain yang punya khasiat sama; Shampo Metal.
“Shampo buat kuda maksud looo?” Tanyanya memastikan, matanya melotot ke arah gua.
“Nggak, itu tuh Merk shampo, gambarnya Kuda..”
“...”
“Bukan shampo buat kuda…”
“Oooh…” Ucap Larissa sambil membulatkan bibirnya.
Suasana di sekolah mulai sepi, siswa-siswi yang tersisa berjalan melintasi kami menuju ke gerbang sekolah. Beberapa dari mereka menyapa Larissa sambil berlalu, dijawab dengan ramah dan diiringi dengan senyuman atau lambaian tangannya.
“Duluan ya, Sa… Duluan ya, Bian…” Sapa salah seorang siswi yang menyebut nama gua.
Tak bisa dipungkiri, menjadi ‘teman’ Larissa sedikit-banyak berpengaruh ke gua. Beberapa kali kedapatan siswa-siswi yang gua nggak kenal melempar senyum ke arah gua. Diantaranya bahkan ada yang tak sungkan untuk menyapa; “Mau kemana Bian?” atau mungkin sekedar “Hi Bian…”
Larissa menyenggol lengan gua dengan siku-nya. Memberikan kode agar gua membalas sapaan cewek tersebut.
“Eh.. iya, bye…” Gua merespon cepat.
“Ada yang nyapa bukannya di bales malah bengong…” Hardik Larissa.
“Sorry, gua kan nggak biasa di sapa…”
“Ya biasain doong…” Tambahnya.
“Oiya, Sa…”
“...”
“Ntar kalo lo cerita ke Rio masalah tadi… Dia bakal ngira gua ngadu ke elo…” Gua menyampaikan kekhawatiran perihal konflik antara gua dan Rio.
Sudah jadi gentle agreement dikalangan para pria, kalau ada sesuatu masalah jangan pernah libatkan wanita sebagai penengahnya. Entah nanti si wanita bakal bikin masalah tambah keruh atau si wanita yang malah jadi korbannya. Dan jujur, gua nggak mau Larissa menjadi wanita dalam dua skenario tersebut.
“Ya terus gimana? gw juga males kali bi, ngeliat Rio sama Lo diem-dieman saling menghindar gitu…” Ucap Larissa.
“Gua nggak masalah kok…”
“Gw yang enek ngeliatnya…” Tambahnya, matanya menatap tajam ke arah gua.
“Yaudah…”
‘Tin.. Tin…’ Suara klakson SUV Hitam membahana dari luar gerbang sekolah. Dari Jendela mobil bagian penumpang yang baru saja diturunkan terlihat Pak Sam menoleh ke arah kami.
“Ayok, Bi…” Ajak Larissa.
“Gua kan mau latihan, lo balik aja…”
“Yah, yaudah gw ikut lo latihan…”
“Nggak usah, ntar kecapean… lo balik aja istirahat…” Ucap gua.
Larissa menundukkan kepalanya, sementara kedua tangannya ia genggam; “Yah, ntar gw kangen dong…”
“Kan ada ini…” Gua mengeluarkan ponsel baru dari saku celana. Ponsel yang kemarin baru dibelikan Larissa, dengan uang tabungannya. Yang harus gua cicil senilai; Seribu per hari selama batas waktu yang ditentukan oleh Larissa sendiri.
“Oiya… Okedeh, kalo gitu nanti gw telpon ya…” Ucap Larissa sambil berlalu.
Baru saja mobil yang membawa Larissa hilang dari pandangan. Terdengar suara dari kejauhan memanggil, gua nggak langsung menoleh. Perlahan suara samar tersebut semakin jelas, diiringi suara derap langkah mendekat ke arah gua.
Gua menoleh. Rio bersama entah 3 atau 4 siswa yang gua nggak kenal namanya berdiri di depan gua.
“Gw mau ngomong sama elo…” Ucap Rio sambil menunjuk ke arah gua.
Gua nggak menjawab, hanya memberikan isyarat agar ia melanjutkan bicaranya.
“Jangan disini…” Ia menambahkan.
Rio lalu berjalan, diikuti oleh teman-temannya. Salah satunya, yang bertubuh paling besar dan tegap merangkul gua. Kami lalu berjalan mengikuti Rio, melewati gang kecil yang berada di samping sekolah.
Beberapa menit kemudian kami sudah tiba di sebuah warung kecil yang posisinya berada tepat di belakang bangunan sekolah. Di depan warung terdapat meja kayu dimana diatasnya terdapat sebuah nampan besar yang berisi aneka macam gorengan yang beralaskan koran bekas. Gelas-gelas besar berisi minuman energi terlihat berada disisi nampan, sebagian telah kosong karena habis diminum, sebagian sisanya masih terisi setengah dengan posisi sedotan dilipat kedalam gelas.
Di sisi meja terdapat sepasang bangku kayu panjang yang dipenuhi dengan kumpulan anak berseragam SMA. Sementara yang nggak kebagian duduk di bangku kayu, memenuhi sisi kiri dan kanan warung dengan nongkrong atau duduk beralas batu bata.
Begitu kami tiba, hampir semua mata memandang ke arah kami. Gua memandang sekeliling, mencoba membaca situasi dan mempersiapkan kemungkinan terburuk. Sebagian besar dari siswa yang ‘nongkrong’ disini merupakan kakak kelas kami, sisanya gua kenali dari wajahnya merupakan anak kelas 1.
Namun, yang justru menarik perhatian gua adalah sosok siswa jangkung dan kurus yang tengah bersandar pada dinding warung. Di atas telinga kanannya ia selipkan sebatang rokok sementara tangannya menggenggam plastik hitam dengan sebuah sedotan. Kami saling beradu pandang, pemuda tersebut tersenyum ke arah gua sambil menganggukkan kepalanya.
Rio menghentikan langkahnya, ia lalu duduk tanpa alas dan bersandar pada tembok sekolah, menghadap tepat ke arah muka warung. Ia memberikan kode agar gua duduk di sebelahnya.
“Lo ada apaan sama Sasa?” Tanyanya begitu gua duduk disebelahnya.
Gua menggelengkan kepala. Sementara mata gua masih membaca situasi, mencari-cari rekan Rio yang sekarang menghilang.
“Jangan bohong…” Tambahnya.
“Kenapa gua harus bohong?” gua balik bertanya pelan.
“Soalnya gw perhatiin lo sama Sasa terus… Gw bahkan dapet info kalo lo sempet beberapa kali maen ke rumahnya dan dia maen ke rumah lo…”
“...” Gua kembali nggak menjawab.
Kali ini beberapa rekan Rio telah terlihat kembali beberapa diantaranya berdiri di hadapan kami dengan posisi kedua tangan berada dibelakang. Sementara, beberapa siswa lain terlihat saling berbisik, seperti tau kalau bakal terjadi sesuatu.
“Lo tau nggak kalo gw suka sama Sasa?”
Gua menggeleng.
“... dan Sasa juga suka sama gw, sebelum akhirnya gara-gara elo…” Belum sempat Rio menyelesaikan kalimatnya, salah satu rekan Rio yang bertubuh paling besar mengangkat salah satu tangannya dan mulai mengayunkannya ke arah kepala gua.
Cepat, gua melindungi kepala dengan tangan kanan, sementara Rio dengan cepat menggenggam lengan kiri gua.
‘Prak!!!’
Sebuah batu bata merah pecah menjadi kepingan setelah menghantam kepala gua. Terasa nyeri pada pergelangan tangan gua yang terhantam langsung batu bata tersebut. Belum sempat gua bangkit dan berdiri, Rio dan beberapa rekannya mulai menendang bertubi-tubi. Bahkan tak hanya Rio dan geng-nya, siswa lain melihat hal ini sebagai keseruan tentu dengan senang hati ikut menyumbang satu atau dua pukulan.
Sambil terus melindungi kepala dengan tangan, mata gua mulai mencari sosok alpha pada gerombolan yang saat ini masih memukuli gua. Well, biasanya dalam sebuah gerombolan, sosok Alpha merupakan sosok paling disegani, atau dengan bahasa lain bisa dibilang sosok terkuat dalam perkumpulan. Mirip seperti serigala yang memiliki Alpha Male dalam kawanannya, jika ingin melumpuhkan kawanan serigala, cukup incar si Alpha.
Mata gua tertuju kesosok paling besar yang tadi merangkul gua. Tunggu, bukan! Ada satu sosok lagi yang terlihat lebih besar dengan tampang yang lebih beringas. Gua menepis beberapa tendangan dengan tangan sebelum akhirnya menendang ke arah ulu hatinya. Remaja berbadan bongsor itu rubuh. Gua beralih ke salah satu rekan Rio yang tadi menghajar gua dengan batu bata, kemudian menarik kepalanya dan mulai memukulnya tepat di sisi rahang kanan.
Gerombolan tersebut perlahan melangkah mundur, beberapa diantaranya mencoba mengambil apapun dari sekitarnya untuk dijadikan senjata; mulai dari ikat pinggang, batu hingga potongan bambu yang entah berasal dari mana. Sementara, sorak sorai siswa yang nggak ikut perkelahian terdengar semakin riuh, entah memberikan semangat ke gua atau ke pihak lawan.
Sosok remaja jangkung dengan sempilan rokok di telinganya menyeruak kerumunan. Ia berdiri di depan gua dan mulai menunjuk satu persatu gerombolan di hadapan kami.
“Elu.. elu.. elu.. elu.. elu.. mau jadi jagoan?” Tanyanya.
Dan tak ada satupun yang menjawab.
Rio melangkah maju dan mulai bicara; “Bukan gitu, Le... ni anak ‘nikung’ gw…”
“Ya one by one dong…” Jawab remaja jangkung tersebut.
“Gini, Le” Ucap salah satu dari rekan Rio, berusaha melakukan pembelaan.
Sementara dari arah depan warung terdengar teriakan keras; “Adu aja, Le…”
Lalu disambut dengan sorak sorai yang lain. Remaja jangkung tersebut mengangkat telunjuknya dan menempelkannya ke bibir, memberi kode agar diam. Sontak, suasana mendadak hening.
“Udah cabut lu pada…” Ia bicara pelan.
Rio dan rekan-rekannya dengan sigap pergi.
---
“Elu ngapa nggak ngelawan, Bi?” tanya remaja jangkung tersebut.
“Percuma...” Gua menjawab sambil menyeka debu dan kotoran dari seragam gua.
“Lah, nggak kebalik! lo buat apa latian taekwondo tapi nggak dipake buat bela diri?” Ia bicara.
Gua mengangkat kedua bahu. Nggak punya jawaban akan pertanyaannya.
Lalu, hangat terasa di kening gua, sesuatu mengalir dari dahi dan mulai mengenai mata. Gua mengusapnya dengan punggung tangan; Darah.
“Bocor tuh, ayok…” Remaja tersebut kemudian mengajak gua pergi dari sana.
Remaja jangkung ini merupakan salah satu adik kelas gua di perguruan Taekwondo. Sebelumnya kami belum pernah ngobrol sekalipun, gua bahkan nggak tau namanya. Kami hanya saling mengenal karena acap kali tatap muka saat latihan, dan jujur, gua baru tau kalau ternyata ia merupakan kakak kelas gua.
“Tile…” Panggil salah satu siswa dari arah warung. Ia menoleh kemudian melambaikan tangannya.
Gua menatap ke arahnya, sambil tetap memegangi bagian kepala yang bocor.
“Ya lo tau lah kenapa gua dipanggil Tile…” Ia memberi informasi, seakan-akan tatapan gua penuh tanya perkara nama panggilannya. Ia lalu tersenyum; Anjir.. gua baru sadar, saat ia mengumbar senyumnya, mirip banget sama
Pak Tile.
“Nama asli Gua Agus Kurniawan; by the way…Tapi kalo lo panggil gua Tile kayak yang alen gapapa…” Ucapnya mengenalkan diri, sebuah perkenalan yang terlambat.
“Bian…” Gua menyebut nama pelan.
Ia tertawa. “Iyalah gua tau elo, siapa yang nggak kenal Bian… satu-satunya bocah SMP yang udah Dan-2 Taekwondo…”