Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta
Gue memejamkan mata dan meresapi suara angin yang beradu dengan rimbunnya dedaunan sebuah pohon besar di samping gerbong kereta yang sudah terbengkalai. Seperti alunan musik pengantar tidur; desiran angin membuat perlahan demi perlahan kesadaran gue melayang, menembus ruang tanpa batas, ke sebuah dimensi yang tidak beruntas.

"Woy mao magrib! PULANG!" Suara anak perempuan kecil membuyarkan semua mimpi yang rasanya baru saja dimulai.

"Ah, resek lo Ai! Gue baru mau tidur!" Gerutu gue.

"Baru mau tidur dari hongkong! Lo tidur dari siang, Tole!!!"

"Haaah!?"



Quote:



Itu salah satu pengalaman gue hampir dua dekade lalu. Di saat gue masih sering tidur siang di atap 'bangkai' kereta, di sebuah balai yasa (Bengkel Kereta) milik perusahaan plat merah yang saat itu masih bernama PT. KA. Untuk menghindari amukan 'Babeh' yang disebabkan karena gue membolos ngaji. Sebuah pengalaman, karena sebab dan lain hal, yang sudah pasti tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Oh iya, Nama gue Widi, jika itu terlalu keren; karena gue yakin kata pertama yang keluar dari lidah lo saat menemukan sesuatu yang keren itu adalah Anjay atau Widiiiiii... (krik). Maka you can call me, Anjay. Wait, lo bakal gue gebuk kalo manggil gue Anjay atau Anjayani. So, cukup panggil gue Tole.

"Iya, Anjay... Eh, Tolee."

emoticon-Blue Guy Bata (L)
Gue seorang laki-laki tulen, yang masih masuk dalam golongan Generasi Milenial. Seorang laki-laki keturunan (Sebenernya) Jawa, tapi karena dari gue nongol dari rahim Ibu gue sampe sekarang rasanya gue udah nyatu sama aspal jalanan Ibu Kota maka secara de jure gue menyatakan gue ini anak Betawi. Yang protes gue sarankan segera pamit baik-baik dan siapin surat wasiat!

Sekali lagi gue tegaskan, kalau gue lahir dan besar di Jakarta. Konon Bapak gue menghilang saat gue dilahirkan, sampai usia gue menginjak satu tahun bokap gue di temukan meregang nyawa dengan penuh luka di kali dekat rumah gue sebelum akhirnya meninggal dunia saat hendak di larikan ke rumah sakit. Semenjak saat itu gue hanya tinggal berdua dengan Ibu. Tunggu, lebih tepatnya gue memang sudah sejak lahir tinggal hanya bersama Ibu gue.

Hanya sedikit kenangan tentang Ibu di kepala gue. Sejauh-jauhnya gue mencoba mengingat, hanya Ibu gue yang selalu mengantar gue hingga depan sekolah sebelum akhirnya menjajakan 'permen sagu' dan mainan balon yang sebenarnya mempraktekan bagaimana hukum kapilaritas bekerja. Hanya sebatas itu ingatan gue pada Ibu, karena Ibu harus 'berpulang' pada Semesta sebelum gue mempunyai kemampuan mengingat suatu kejadian secara mumpuni di dalam otak gue. Ya, Ibu gue meninggal di saat gue masih 7 tahun setengah atau di pertengahan kelas 1 yang mana harus membuat gue hidup sebatang kara di tengah "kerasnya" kota Jakarta.

Gue tidak mempunyai keluarga dari Bapak. Konon Bapak gue adalah anak semata wayang dan Konon (lagi) Kakek dari Bapak gue meninggal akibat PETRUS, sedangkan Nenek dari Bapak gue meninggal beberapa bulan setelah Kakek gue.

Satu-satunya keluarga gue hanya Kakak dari Ibu gue, sebut saja Bude Ika. Beliau tinggal di Kota Kebumen Jawa tengah bersama (sebut saja) Pakde Nyoto, suami beliau. Dan mereka mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari 2 perempuan dan satu laki-laki. Yang dalam artian sebenarnya gue masih memiliki keluarga, tapi...

Saat Ibu meninggal gue belum mempunyai kemampuan otak yang mumpuni untuk menggambarkan bagaimana isi hati gue saat itu. Namun yang bisa dipastikan saat itu gue menangis dalam waktu yang sangat lama, lama sekali!

Dan konon... (Ahh, semoga lo engga bosen denger kata konon, karena memang gue belum punya kemampuan yang untuk merekam dengan sempurna suatu kejadian di dalam otak gue saat itu. Yang gue tuliskan saat ini hanya berdasarkan cerita sepuh sekitar tentang saat itu.) ... Setelah Ibu meninggal gue diboyong ke Kebumen oleh Bude dan Pakde, tapi saat itu gue hanya bertahan semalam dan "membandel" kembali lagi ke Jakarta seorang diri.

Lo mau tau alasan gue membandel balik lagi ke Jakarta? Cuma karena takut! Ya, Takut! Untuk hal ini gue bisa mengingat hal itu. Gue takut buat tinggal di rumah Bude di kebumen. Jangan lo pikir gue takut menyusahkan atau takut merepotkan. Come on! Gue masih 7 setengah tahun saat itu mana mungkin gue berpikir seperti itu. Yang gue takutin cuma satu hal, SETAN! Ya karena tempat tinggal Bude di Kebumen (saat itu) masih banyak perkebunan dengan pohon-pohon yang besar. Ditambah kamar mandi untuk keperluan mandi dan buang air di rumah Bude berada terpisah dari bangunan utama rumah; Gue harus melewati deretan pepohonan besar terlebih dahulu sebelum sampai ke kamar mandi. Hal itu membuat gue takut untuk tinggal di sana, di rumah Bude.

Apa lo mau sekalian nanya gimana cara gue balik ke Jakarta seorang diri? Oke, jangan teriak, yah. Gue jalan kaki menyusuri rel dari Kebumen sampai Jakarta!

Kalo dipikir-pikir sekarang, kenapa yah saat itu gue engga naik kereta. Toh saat itu kereta belum seperti sekarang. Dulu pengamen sama pedagang asongan masih boleh berkeliaran di dalam kereta. Tapi kenapa gue malah jalan kaki, yah? Kan justru kesempatan buat ketemu setan-nya makin gede.

Yah, anak 7 tahun, Boss. 7 TAHUN! Mana ada kepikiran isi botol yakult pake beras terus ngamen. Itu baru kepikiran setelah akhirnya Bude dan Pakde nyerah karena kelakuan gue; tiap kali dijemput tiap itu juga gue bandel balik ke Jakarta. Sampai akhirnya gue dititipin sama Babeh, seorang sesepuh di daerah rumah gue tinggal yang juga akrab sama Almarhum Bapak semasa hidupnya.

Babeh ini sebenarnya seorang guru ngaji, tapi paling ogah dipanggil ustadz. Maunya dipanggil Babeh. "Babeh bukan ustadz cuma ngenalin anak-anak baca tulis Al-Qur'an doang. Ga pantes dipanggil ustadz apalagi kiyai" Salah satu omongan Babeh yang selalu gue inget. Tapi memang benar, setiap sore Babeh ngajar anak-anak kecil usia-usia sekolah SD baca tulis Al-Qur'an, mentok-mentok belajar ilmu fiqih yang awam ajah. Itu pun engga semua, cuma beberapa anak yang sekiranya Babeh sudah bisa dan siap diajari tentang itu. Jadi selama lo belom bisa baca Juz Terakhir Al-Qur'an dengan Makhroj yang benar jangan harap lo bisa naik ke tingkat selanjutnya. Maka daripada itu, kebanyakan anak-anak ngaji di Babeh engga kuat, paling beberapa bulan sudah cabut.

Dan gue salah satu anak yang beruntung (Gue bilang beruntung karena gue dititipin kepada Beliau jadi mungkin dulu karena keterpaksaan yang mau engga mau gue harus bisa, jadi bukan faktor kecerdasan) yang bisa diajarin beberapa kitab Fiqih sama Babeh.

Selain ngenalin baca tulis Al-Qur'an kepada anak-anak sekitaran rumah. Babeh ini sebenarnya mantan guru silat tapi karena usianya sudah tua, (saat itu usia Babeh 63 tahun) Beliau sudah tidak lagi mengajar silat. Dan konon Bapak gue adalah salah satu murid silatnya Babeh.

Babeh memiliki banyak anak, kalau gue tidak salah hitung (maaf jika gue salah hitung) ada sekitar 12. Namun karena beberapa anaknya sudah meninggal, tersisa 8 anak dan dari 8 anak; yang hampir semua sudah menikah. Hanya dua anak dan satu menantu yang tinggal bersama Babeh. Mereka adalah Bang Zaki, anak nomor 7 Babeh. Mbak Wati, Istrinya Bang Zaki dan Mpo Juleha anak bontot-nya Babeh, satu-satunya anak Babeh yang belum menikah. Usia Bang Zaki beberapa tahun lebih muda dari Mendiang Bapak gue. Sedangkan Mpok Leha saat itu usia-nya masih 18 tahun dan saat itu baru saja masuk sebuah Universitas Negeri di Depok.

Rumah Babeh berjarak sekitar 100 meter dari rumah yang pernah gue tinggali bersama Ibu sebelum Ibu meninggal (Saat itu gue belum mengerti status kepemilikan rumah itu). Di sebuah kawasan yang pernah menjadi kunci kesuksesan Pemerintahan Hindia Belanda mengurangi titik banjir yang ada di Batavia pada masanya.

Rumah Babeh tidaklah besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Kamar pertama sudahlah pasti ditempati Babeh dan satu kamar lainnya di tempati Bang Zaki dan istrinya. Sementara Mpok Leha (sebelumnya) biasa tidur "ngaprak" di ruang tengah yang jika waktu sudah masuk waktu Ashar akan disulap menjadi ruang kelas Babeh. Itu kondisi sebelum gue dititipkan pada Babeh. Setelah gue dititipkan pada Babeh susunan itu berubah. Bang Zaki tidur di bale kayu yang ada di depan rumah, sementara Mpok Leha tidur bersama Mba Wati dan gue tidur "ngaprak" di ruang tengah.

Mungkin gue terlihat "menyusahkan" untuk keluarga Babeh. Tapi percayalah mereka sekeluarga adalah tipe "orang betawi" asli yang menjunjung tinggi adat dan istiadat mereka. Walaupun suara mereka tinggi, bahasa mereka terkadang "nyeleneh" tapi perlakuan mereka benar-benar menunjukan bagaimana Indonesia bisa dikenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sekeluarga benar-benar berhati malaikat.

Anyway... Bicara menyusahkan, kesadaran apa yang bisa ditimbulkan anak berusia kurang dari 8 tahun? Bahkan saat itu gue sama sekali tidak merasa kalau gue ini menyusahkan. Namun seiring waktu, rasa sungkun perlahan timbul. Perasaan "kalau gue sudah banyak menyusahkan dan menjadi beban tambahan untuk keluarga Babeh" perlahan timbul seiring bertambahnya usia gue.

Mulai detik ini, gue berani menjamin kalau apa yang gue tuliskan berdasarkan apa yang sudah otak gue rekam dan berdasarkan apa yang telah tangan gue catatkan semenjak gue belajar bagaimana menulis sebuah buku harian saat duduk di sekolah dasar. So here we go!

Spoiler for They don’t give you a right:



Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 13:09
joewan
joyanwoto
adityakp9
adityakp9 dan 115 lainnya memberi reputasi
110
220.2K
1.2K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#486
Part 50-a
10 hari bersama Tante Elsa di safe house-nya benar-benar membonding hubungan gue dengan Tante Elsa. Gue tidak lagi ragu menceritakan bagaimana dan siapa saja circle pertemanan yang gue punya, walau tidak semuanya gue ceritakan. Gue juga tidak lagi ragu menceritakan masalah percintaan gue yang terkadang Tante Elsa juga memberikan saran. Pun sebaliknya, gue makin mengenal Tante Elsa, dan pandangan gue pada Tante Elsa benar-benar telah berubah. Dia baik, dia tulus menyayangi gue sebagai keponakannya, dia juga peduli terhadap masa depan dan keselamatan gue pastinya. 

Tapi seperti beberapa hal yang ada di dunia ini, semakin kita mengetahui maka akan semakin banyak yang tidak kita mengerti; 10 hari bersama, Tante Elsa juga banyak menceritakan hidup serta pengalamannya. Di titik ini gue akhirnya banyak mengetahui tentangnya. Namun seraya dengan itu semua gue makin tidak mengerti kenapa Tante Elsa pada akhirnya menjadi dirinya yang seperti saat ini.

Sebenarnya gue memiliki jawaban atas ketidakmengertian gue ini, Tante Elsa tidak menceritakan semuanya. Tapi itu semua tidak masalah buat gue dan gue tidak berkeinginan untuk mencari tahu lebih. Biar bagaimanapun Tante Elsa yang nantinya akan menjadi wali gue, orang tua gue dan dia berhak memfilter apa saja yang ingin dia bagi untuk menjadi pelajaran dalam hidup gue ini. Pun gue melakukan hal yang sama, tidak semua gue ceritakan. Dan gue yakin kalian juga tidak seluruhnya menceritakan apa yang kalian alami dan rasakan pada orang tua kalian, kan? Seperti itu diri gue melakukan pembelaan.

Setelah 10 hari di safe house, gue dan Tante Elsa kembali ke Jakarta. Namun kami berdua berpencar, gue kembali ke Jakarta menggunakan kereta api dari Stasiun Solo Balapan sedangkan Tante Elsa menggunakan pesawat dari Bandara Adi Sucipto.

Sesampainya di Jakarta gue langsung menuju ke rumah, istirahat lalu bangun menjelang pagi pada keesokan harinya. Gue menghela nafas sejenak sambil sedikit memejamkan mata lalu melihat ke sekeliling bangunan rumah yang ternyata tanpa gue sadari sudah agak termakan usia; cat tembok sudah banyak yang mengelupas, beberapa tembok bahkan retak belum lagi atap yang terdapat beberapa titik bocor yang walaupun sudah gue coba perbaiki posisi gentingnya atau gue tambal seadanya masih saja air merembes kala hujan datang.

Bersamaan dengan suara rekaman pengajian dari masjid gue bangkit lalu beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka kemudian memasak air untuk menyeduh segelas kopi. Sambil menunggu air matang, gue sedikit membongkar isi lemari di dalam kamar. Gue mengeluarkan beberapa ransel yang gue punya lalu memasukan hampir semua pakaian yang punya ke dalamnya.

Total ada 3 tas ransel yang dulu pernah gue gunakan saat sekolah dan satu carrier ukuran 50 liter yang semuanya sudah terisi pakaian dan beberapa pasang sepatu yang gue punya. Entah bagaimana gue menyusunnya semua ke dalam tas, seharusnya jika gue menyusunnya secara benar mungkin cukup menggunakan 2 tas saja. Setelahnya gue kembali ke dapur, karena air sudah mendidih dan hampir asat.

Setelah menyeduh kopi sambil menertawai kebodohan sendiri yang lupa pada air yang sedang gue masak, gue kembali ke kamar untuk memasukan hal terakhir yang terpenting ke dalam tas, surat-surat penting.

Gue terdiam saat melihat surat kematian nyokap gue, tanpa sadar gue menitikan air mata. "Bu, apa Ibu setuju kalo Tole pergi dari sini. Dari rumah ini, rumah Bapak sama Ibu?" Ucap gue dalam hati di tengah derai air mata yang semakin lama semakin deras mengalir. Gue membiarkan diri gue hanyut dalam kerinduan dan kesedihan ini dan mungkin segala yang gue rasakan ini akan lebih besar terasa di kemudian hari. Tapi tidak apa, manusia memang butuh menangis sekali waktu di tengah-tengah tawa yang mungkin atau bisa saja hanya pura-pura.

Setelah puas menghanyutkan diri dalam kerinduan dan kesedihan. Gue langsung menghubungi Excel, sebelumnya gue sudah menyuruhnya untuk ke rumah gue sebelum subuh tapi hingga Adzan berkumandang dia belum juga datang.

Belasan kali gue menghubunginya tapi Excel tidak juga menjawab panggilan telepon gue yang pada akhirnya gue menyerah. Lalu tanpa mandi gue langsung segera keluar dari rumah ini dengan membawa empat tas sekaligus.

"Bangkek nih Excel!" Gumam gue dalam hati.

Sejenak setelah beberapa langkah yang gue dapat gue kembali menoleh ke belakang, melihat lagi rumah yang hampir 17 tahun gue tempati, sebuah rumah sederhana yang penuh kenangan dan menjadi saksi bagaimana gue tumbuh hingga sampai di titik ini. (Gue tidak akan pernah bilang sampai dewasa karena hingga gue menulis cerita ini, gue merasa kalau gue belum sepenuhnya dewasa) pada titik yang akhirnya gue bisa mengintip sedikit bagaimana dunia ini bekerja. Pada titik dimana gue bisa menimbang, walau tidak adil dan bijaksana pada keputusan-keputusan untuk hidup gue kedepannya.

"Haahh." Gue menghela nafas untuk menahan air mata yang seakan terus memberontak keluar. Di saat bersamaan gue melihat Bang Bento keluar dari ujung gang. Dia melihat gue namun gue langsung bergegas pergi sebelum dia sempat melempar tanya atau bahkan sekedar menyapa. Dan disaat itu gue mendengar Bang Bento memanggil gue namun gue mengacuhkannya dan menambah kecepatan langkah gue saat berbelok ke sebuah gang.

Gue tidak tahu apa ini hanya perasaan gue atau memang Bang Banto mencoba mengejar gue. Namun untuk menghindari itu gue sengaja memutar arah, melewati gang yang tidak seharusnya gue lewati untuk menuju ke jalan raya. Dan benar saja, saat gue berhenti sejenak untuk memastikan gue melihat Bang Bento berjalan agak cepat (mungkin) mencoba menyusul langkah gue. Dan karena gue tidak ingin bertemu dengannya di depan jalan raya nanti akhirnya gue mengambil jalan keluar lain. Walau agak lebih jauh tapi setidaknya nanti gue tidak akan bertemu dengan Bang Bento.

Sambil berjalan gue memberi tahu Tante Elsa yang sudah menunggu gue di jalan raya untuk maju beberapa ratus meter ke depan. Tante Elsa tidak bertanya kenapa dia langsung mengiyakan. Setelah keluar jalan raya gue langsung masuk ke dalam mobil Tante Elsa, "Aunty kan udah bilang gak usah bawa banyak." Ucap Tante Elsa melihat apa yang gue bawa.

"Yakali aku bawa lemari sama perabotan, ini tuh baju semua, Tant!" Sahut gue.

"Ya harusnya gak usah bawa banyak-banyak. Yang penting itu kamu bawa KK, sama surat-surat penting lainnya ajah. Baju kan bisa dibeli."

"Yaudahlah yah, udah terlanjur dibawa yakali dibuang."

"Anty malah lebih seneng itu dibuang…"

"Tante, ah! Mulai deh." Sambar gue karena setelah 10 hari melalui hari bersama, Tante Elsa mempunyai kebiasaan baru dia senang sekali dengan sengaja beradu argumen dengan gue padahal apa yang kami perdebatkan bukanlah sesuatu yang penting. Sedikit contohnya saat di safe house Tante Elsa memperdebatkan kenapa setiap gue makan telur selalu kuningnya yang gue makan terakhir. 

"Hahaha, kamu tuh lucu abisnya kalo lagi kesel-kesel gondok begitu." 

"Oukeee." Sahut gue sambil meledek Tante Elsa yang kemudian dibalas dengan sedikit jambakan di rambut gue. "Kenapa sih semua cewe kayanya demen banget ngejambak rambut, elah!" Sahut gue.

"Loh kan emang yang dijambak yah rambut. Masa mau jambak mata."

"Ih, Tant, ih. Kok ngeri yah Tante aku yang satu ini. Jambak mata mainnya. Horor!" Sahut gue.

"Mulaiii…" Sahut Tante Elsa yang pada akhirnya gue harus mengakui 10 hari sebelumnya juga membuat gue memiliki kebiasaan baru, kesenangan baru tepatnya, gue suka melihat raut wajah Tante Elsa saat sedang sedikit kesal atau gondok dengan gue.

"Hahaha…" Gue tertawa lalu sedikit menoleh kebelakang saat mobil melaju pergi. 


Dan hari itu adalah hari terakhir gue tercatat sebagai warga di tempat dimana gue dibesarkan
emoticon-Big Grinemoticon-Big Grinemoticon-Big Grin




Karena jalanan Ibu Kota masih sepi tidak butuh waktu lama untuk Gue dan Tante Elsa tiba di tempat tujuan, di sebuah pemukiman penduduk yang bisa dikatakan kawasan permukiman menengah yang rata-rata bangunan rumahnya sudah permanen. Gue juga bisa menilai kawasan ini sebagai kawasan pemukiman menengah karena hampir di setiap rumah gue melihat ada satu mobil di dalam garasi atau diparkir begitu saja di depan rumahnya.

Tante Elsa lalu menghentikan laju mobil yang sedari tadi dikendarainya di depan sebuah rumah tanpa pagar namun terdapat banyak tanaman di halamannya yang seolah menjadi pagar alami rumah ini. Di depan jalan setapak yang menjadi akses masuk ke rumah ini terdapat sebuah tulisan, "Taman hatinya PKK RWxxx". Gue sedikit tertawa membaca tulisan itu.

"Apa yang kamu ketawain?" Tanya Tante Elsa. 

"Ga ada." Jawab gue.

"Yee! Kamu jangan salah itu tuh ada artinya." Ucap Tante Elsa sambil mematikan mesin kendaraan. "Taman Hatinya itu singkatan dari Halaman Asri Teratur Indah dan Nyaman. Kamu jangan asal ketawain gitu. Aunty kasih tau kamu, yah. Yang punya rumah ini tuh aktif banget berorganisasi. Kamu jangan macem sama beliau bisa-bisa di dongengin berjam-jam nanti kamu, hahaha."

"Aku suka dongeng, Tant. Serius. Dengerin dongeng itu lebih menyenangkan dari pada dengerin pelajaran, hahaha." 

"Hahaha, bisa ajah kamu." Sahut Tante Elsa sambil melepas seatbealt.

"Tant, I wanna ask you…"

"Yap."

"Why here? Maksud aku untuk tinggal sendiri tuh bukan begini sebenernya…"

"No no no. Anty ngerti maksud kamu. Tapi belum saatnya untuk kamu tinggal bener-bener sendiri. Walaupun Anty tau banget kelakuan kamu gimana, gaya hidup kamu gimana. Anty ngerti, sangat sangat ngerti. Tapi jujur Anty ngerasa sangat sangat berdosa di dalam hati Anty. You know like… emm… rasanya Ayah kamu lagi maki-maki Anty dari sana ngeliat Anty diem ajah atas kelakuan kamu. BUTTT!!! sekali lagi Anty ngerti apa yang kamu rasain, Anty pernah muda dan kurang lebih masa muda Anty sama kamu nggak jauh beda lebih-lebih saat ini kita ada dikehidupan yang sama. Anty makin ngerti lagi. Untuk sekarang Anty gak mungkin nyuruh kamu berenti dan Anty yakin saat ini kamu enggak mau berenti."

"Yap pasti!"

"Karena itu dan karena kamu enggak mau tinggal bareng Anty untuk yang satu ini Anty sama kamu, please nurut sama Anty. Sampe nanti Anty bisa dan yakin buat ngebiarin kamu tinggal bener-bener sendiri, yah! Anty gak bermaksud taking control hidup kamu. Tapi ada tanggung jawab Anty yang harus jadi alarm signal buat kamu kalo kamu ngelangkah terlalu jauh dan salah. Walaupun sejujurnya, Anty juga enggak ngerti dimana batasan salah atau engganya karena Anty dan kamu sedang berada di jalan yang sama. Maka itu disini Anty rasa tempat yang tepat untuk Anty jadi pengingat untuk kamu tanpa ada kesan munafik. Tentunya melalui pemilik rumah ini nantinya."

Gue mencoba memahami Tante Elsa dan sejujurnya gue paham maksudnya. Mungkin ini sama halnya dengan Bude gue selepas kepergian nyokap gue ke sisi Semesta, Bude merasa memiliki tanggung jawab atas gue namun gue selalu saja kabur dari itu semua. Dan Tante Elsa pasti merasakan hal yang sama, terlebih lagi ini jauh lebih rumit karena kami berada di sisi gelap yang sama. Namun gue memahami itu semua Bude dan juga Tante Elsa. Tapi yang tidak gue mengerti dari Tante Elsa adalah kenapa mesti disini dan siapa orang ini?

Gue terdiam sejenak sambil mengingat obrolan gue dan Tante Elsa saat di safe house tentang (sebut saja) Mbah Manisem. 

Quote:


Lalu gue dan Tante Elsa keluar dari mobil. Bersamaan dengan itu gue menyadari pintu rumah di hadapan gue ini terbuka dan tak lama kemudian gue melihat sosok wanita tua namun masih terlihat segar dan sehat sedang keluar dari dalam rumah mengenakan semacam setelan pakaian olahraga lengkap dengan penutup rambutnya (semacam kupluk atau penutup rambut yang sering dipakai nenek-nenek).

"IBUUUUU…." Tante Elsa setengah kegirangan lalu berjalan cepat menghampiri wanita tua itu yang sudah pasti beliau adalah Ibu atau Mbah Manisem yang dimaksud.

"Elsaaaa." Mbah Manisem tak kalah terlihat girang melihat Tante Elsa dan mereka berdua langsung berpelukan. Gue yang masih tertinggal di belakang pun langsung memperhatikan keduanya. Ternyata Tante Elsa tidak berbohong tentang sudah menganggap Mbah Manisem seperti ibunya sendiri. Gue melihat ekspresi keduanya dan memang terlihat jelas kalau mereka berdua memiliki ikatan perasaan yang kuat.

"Haaah." Gue menghela nafas lalu berjalan hingga langkah gue tiba dihadapan mereka berdua.

"Sa… inii???" Mbah Manisem menunjuk gue sambil tersenyum.

"Iyah, Bu. Ini Widi." Ucap Tante Elsa sambil merangkul gue. "Ponakan aku yang sering aku ceritain." Lanjut Tante Elsa.

"What the…" Ucap gue dalam hati.

"Oalah, gagah, yaaa." Ucap Mbah Manisem.

"Wid, salim dong sama Ibu. Eh, Mbah dong yah harusnya." Ucap Tante Elsa cengengesan dan itu benar-benar aneh melihat Tante Elsa seperti itu. "Mbah apa Nenek, nih. Bu? Hahaha." Lanjut Tante Elsa.

Dan gue pun langsung meraih Tante telapak tangan Mbah Manisem untuk sungkem pada beliau, "Mbah ajahlah. Nenek kaya apa." Ucap Mbah Manisem menyambut gue lalu mengusap-usap pundah gue. "Mbah punya cucu." Lanjut Mbah Manisem terdengar lirih dan gue pun sedikit melirik ke arah wajah beliau yang ternyata matanya sedikit berkaca-kaca dan gue melihat hal yang sama di mata Tante Elsa.

Gue tidak mengerti perasaan seperti apa yang dirasakan Mbah Manisem namun tiba-tiba saja beliau memeluk gue dan gue membiarkan itu. Dalam peluknya gue merasakan kalau Mbah Manisem sedikit menangis. Gue langsung melirik ke arah Tante Elsa gue melihat ekspresi wajahnya dan gue yakin kalau diantara mereka, Tante Elsa dan Mbah Manisem ada sebuah hubungan yang bukan hanya sekedar dua orang yang bertemu tanpa sengaja dalam sebuah moment di suatu tempat.

Semua perasaan ini terlalu dalam untuk sebuah ketidaksengajaan. Namun, bukankah kita manusia sering dikelabui ketidaksengajaan yang sesungguhnya adalah jelmaan takdir Tuhan.


Setelah moment haru yang tidak gue mengerti itu, gue dipersilahkan masuk. Mbah Manisem menunjukan kamar gue yang berada di sebelah ruang makan…

Gue sedikit memberi gambaran tempat ini. Di depan sudah jelas terdapat sebuah halaman yang cukup luas yang dijadikan taman yang ditumbuhi banyak tanaman-tanaman obat dan beberapa jenis bunga serta ada satu pohon sawo, satu pohon belimbing dan dua pohon cemara yang cukup tinggi. Bangunan rumah jika dilihat dari depan terlihat kecil namun saat masuk ternyata rumah ini cukup luas walau hanya terdapat satu lantai saja.

Total kamar di rumah ini ada 5. Satu kamar ada dibagian depan di sebelah ruang tamu dan kamar itu yang ditempati Mbah Manisem. Dua kamar ada dibagian tengah saling berhadapan dan dipisahkan oleh ruang makan, satu kamar di sebelah kiri dari arah depan rumah ini adalah kamar yang nantinya akan gue tempati dan satu kamar yang sejajar dengan kamar Mbah Manisem yang berada di sebelah kanan ruang makan atau di seberang kamar gue adalah kamar bekas kamar anaknya Mbah Manisem yang sudah diakusisi menjadi kamarnya Tante Elsa. 

Sedangkan dua kamar lagi berada di belakang di dekat dapur kotor yang di salah satunya ditempati oleh (sebut saja) Mbak Sun, assistant rumah tangga di rumah ini lalu satu kamar sisanya dijadikan gudang yang isinya banyak sekali alat olahraga di dalamnya. Sedangkan di bagian paling belakang rumah ini ada sedikit ruang kosong yang biasa digunakan Mbak Sun untuk menjemur pakaian. 

"Kamar kamu ini, kalau ada yang kurang bilang saja nanti Mbah lengkapi." Ucap Mbah Manisem sambil menunjukan kamar yang akan gue tempati.

"Iya, Anty udah pesenin komputer buat kamu paling nanti siang dateng." Timpal Tante Elsa sambil menepuk meja kosong yang memang sepertinya diperuntukan untuk komputer.

"Hmmmm." Gue hanya memasang tampang lugu sambil mengangguk-nganggukan kepala.

"Kamu udah sarapa?" Tanya Mbah Manisem pada gue dan Tante Elsa. 

"Belum, Bu. Hehehe." Jawab Tante Elsa seperti anak kecil.

"Kamu?" 

"..." Gue hanya menggelengkan kepala sambil cengar-cengir.

"Yaudah, Mbah suruh Mbak Sun beli sarapan. Sekalian ke pasar dia. Kalian mau makan siang apa nanti?" Tanya Mbah Manisem.

"Aku mau itu dong, Bu. Arem-arem kaya biasa itu, loh."

"Siap, gampang! Buat anak Ibu apa sih yang engga. Kamu, Wid? Cucu Mbah mau makan siang apa nanti?" 

"Aku mah apa, Mbah." Jawab gue.

"Dia sih. Kerikil juga doyan, Bu!" Celetuk Tante Elsa.

"Husss! Kamu nih. Yaudah Mbah kebelakang dulu bilangin Mbak Sun. Kamu istirahat ajah dulu. Nanti siang ketemu Pak RT. Biar diurusin nama kamu masuk ke KK Mbah sama kaya si Elsa." Ucap Mbah Manisem yang lalu beliau berjalan keluar kamar.

Gue memandang tajam ke arah Tante Elsa. "Apa?" Tanya Tante Elsa. "Wait! Kamu enggak mikir Anty manfaatin Ibu buat urusan administratif, kan?" 

"Aku gak mikir, Tante yang barusan ngasih tau."
Diubah oleh nyunwie 08-11-2021 23:44
kakangprabu99
MFriza85
joyanwoto
joyanwoto dan 18 lainnya memberi reputasi
19
Tutup