- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 12:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#332
Quote:
Original Posted By benbela►
Berdebar-debar rasa jantungku, melihat rumah tempat tadi istirahat berguncang hebat. Jerit kesakitan dan suara tubuh terbanting terdengar jelas dari dalam rumah.
Praakk.. braak...braak...
Atap tiba-tiba ambruk mengeluarkan bunyi menggelegar. Dinding-dinding kayu mulai koyak, beterbangan ke sana kemari.
Kreeeeeettt....
Sebuah tiang penyangga roboh, tepat menyasar tubuhku. Aku berguling ke kanan, menghindari hantaman kayu ulin yang meremukan tulang.
Braakkkk...!!!
"Aaaaaaaarrrgghhhh !!!"
Seketika aku menjerit. Kurasakan sakit di pergelangan kaki kiri. Kayu ulin sebesar paha menggenjet kakiku, menyebabkan perih sampai ke tulang.
Sekuat tenaga aku mengangkat kayu itu, namun sungguh berat bagai tiang besi.
"Aaaaaaarrrggghh !!!!"
Aku berteriak sekeras-kerasnya, berharap ada yang menolong. Percuma, tidak seorang pun datang. Hanya ada puing-puing kayu yang terlempar akibat amukan Tambun.
Kreekk...Kreeekk...
Aku semakin panik, saat tiang kedua mulai bergoyang-goyang. Tak ingin mati konyol, kukerahkan tenaga sampai nafasku sesak.
Kreek...kreek....
Tiang ulin terus bergoyang-goyang, membuat nyali semakin ciut.
Jantungku berdetak cepat dan nafasku memburu. Berpacu dengan waktu, kukumpulkan tenaga hingga keringatku mengucur.
Usahaku mulai membuahkan hasil, kayu ulin yang menimpa kaki perlahan terangkat.
Begitu ada celah, segera kutarik kaki dan kayu ulin itu kutendang menggunakan kaki kanan ke samping.
Dengan susah payah, akhirnya kakiku terbebas walau penuh luka. Segera aku bangkit, demi menyelamatkan nyawa yang di ujung tanduk.
Namun terlambat, baru saja berpijak pada dua kaki, tiang kedua roboh menyasar tubuhku. Kakiku gemetar tak bisa bergerak. Dalam kepalaku yang terbayang hanyalah kematian.
Kreeekkkk...
Suara tiang patah terdengar kencang Cumiakan telinga. Spontan aku menyilangkan kedua tangan, berusaha melindungi kepala.
Kreeekk....braaak...
Tanah terasa bergetar ketika tiang itu menghantam tanah, tepat sejengkal di samping tempatku berdiri. Aku bergidik ngeri dan bulu kudukku merinding. Nyaris saja, batinku.
Tanpa pikir panjang, aku mengambil langkah seribu. Menahan perih, kupaksakan kaki berlari secepat yang kubisa.
Mengandalkan cahaya bulan dan bintang, aku berlari sangat kencang mengejar mang Soleh yang telah jauh di depan. Di belakang, jerit memelas minta tolong sayup-sayup terdengar lalu menghilang. Terdengar sangat perih dan menyayat hati.
Entah siapa yang jadi korban, yang kupikirkan hanyalah keselamatan diri sendiri.
Tak kupedulikan nyeri di kaki, aku berlari dan terus berlari menembus pekat malam hingga tiba di pinggir sungai.
"Cepaaat...!!! Cepaatt...!!!" teriak Dayat dari atas jukung yang sudah mengapung di sungai.
Byuurrr...!!!
Aku melompat ke sungai dan segera berenang mengejar perahu jukung yang mulai menjauh.
Terlalu letih, kurasakan tenagaku semakin lemah hingga sepasang tangan menyeret paksa tubuhku ke atas jukung.
Braakk...
Tubuhku hempas tanpa tenaga. Di dalam jukung, aku menggigit bibir melawan dingin. Baru terasa tubuhku sakit semua dan ngilu di tiap sendi. Kurasa perih di pelipis kiri, rupanya darah menetes tanpa henti.
Dayat membantuku membersihkan luka dengan air dan kain kotor yang ia temukan dalam jukung. Aku hanya bisa meringis hingga mataku berair.
Di depan dan belakang, mang Soleh dan Kapten Anang terus mendayung mengikuti arus sungai ke arah hilir. Jukung kecil ini bergerak bergerak cepat walau hanya ada cahaya bulan dan bintang sebagai penerang.
Aku terkesiap demi menyadari mas Sugang tidak ada di antara kami. Hatiku rasanya remuk redam, karena kami baru saja berjumpa beberapa saat lalu.
Ada getir yang tidak terucap, karena besar harapan kami semua akan pulang dalam keadaan selamat. Namun takdir berkata lain, rupanya mas Sugang telah benar-benar pergi untuk selamanya.
Kami berempat mendayung perahu jukung dengan panik, berusaha pergi sejauh mungkin dari monster ganas yang ada di belakang. Di bagian depan, mang Soleh penuh waspada mengawasi agar jukung bergerak lurus atau menghindari batu dan batang kayu.
Sesekali ia berteriak, memerintahkan jukung berbelok ke kiri atau ke kanan mengikuti alur sungai.
Membawa jukung dengan hanya mengandalkan cahaya bulan dan bintang memang penuh resiko, bagai berjalan dalam gelap.
Tapi tidak ada pilihan, menjauh secepat mungkin dari monster ganas yang lapar adalah satu-satunya kesempatan kami untuk tetap hidup.
Waktu berlalu, tidak ada pembicaraan di antara kami. Yang ada di pikiran hanyalah menyelamatkan diri. Kami terus mendayung tanpa istirahat walau tapak tangan terasa sakit dan bahu terasa remuk.
Dayat meringis karena tapak tangannya lecet dan berdarah. Mang Soleh terlihat tegang hingga urat-urat lehernya menonjol. Sedangkan kapten Anang, ia hanya membisu dengan tatapan kosong. Mungkin ia menyesal, tadi telah memarahi mas Sugang.
Aku sendiri masih kalut, tetap mendayung dengan perasaan campur aduk. Aku berdoa dalam hati, agar kami bisa selamat dari petaka ini dan bisa kembali berkumpul dengan anak dan istri.
Angin dingin berhempus, namun tubuhku basah dengan peluh keringat. Teringat anak, istri dan ibu di rumah, semangatku kembali menggelora. Apapun yang terjadi, aku harus kembali ke rumah dalam keadaan selamat.
Kabut tipis menutupi badan sungai dan malam terasa semakin angker. Suara serangga terdengar sahut menyahut diiringi suara burung hantu.
Kutaksir, mungkin sudah lebih dari tiga jam kami mendayung bagai orang gila.
Akhirnya jukung bergerak lambat dan hanya mengikuti arus sungai. Tidak ada seorang pun dari kami yang mendayung. Semua kelelahan dan kehabisan tenaga.
Braakk....
Dayat terkulai lemas di dalam jukung. Hidungnya kembang kempis dan dadanya naik turun mencari udara.
"Sepertinya mahluk itu tidak mengikuti. Kita biarkan jukung ini hanyut dibawa arus. Kita istirahat sebentar sembari memulihkan tenaga."
Kami mengangguk setuju dengan perkataan kapten Anang. Di tengah malam buta, jukung bergerak pelan, hanyut terombang ambing dibawa arus sungai.
Entah sudah berapa jauh kami meninggalkan kampung tadi, tapi sepertinya monster itu tidak mengejar.
Tidak ada tanda-tanda sungai bergelombang, tidak ada juga hewan-hewan ribut karena ketakutan.
Mungkin saja ular naga itu telah kenyang, atau sengaja melepaskan kami untuk nanti diburu lagi. Yang jelas, untuk sementara kami masih selamat.
Matahari belum terlalu tinggi, kami melanjutkan mendayung dengan sisa tenaga. Perut kurasakan perih karena lapar. Keroncongan dan menusuk-nusuk, namun tidak ada yang bisa dimakan.
Kami juga tidak berhenti untuk sekedar mencari ikan atau hewan yang bisa dimakan. Hanya meminum air sungai untuk mengganjal perut.
Anehnya, rasa lapar tidak terasa dibandingkan semangat untuk tetap hidup. Keinginan untuk berjumpa anak dan istri di rumah menjadi motivasi kami untuk terus menyusuri sungai ini.
Dayungan kami semakin menjadi, ketika sungai semakin melebar pertanda akan bertemu muara.
"Lihat, di depan sepertinya muara. Mungkin saja di dekat situ ada desa." seru mang Soleh dengan mata berbinar.
Kami mempercepat dayungan hingga jukung kecil ini bergoyang-goyang membelah arus. Melewati tikungan, muara yang kami tuju akhirnya terlihat.
Di kejauhan, terlihat muara bertemu induk sungai. Kami semakin semangat memacu jukung kecil ini bagai orang kesetanan.
Berhasil melewati muara, kami segera berbelok ke arah hilir berharap ada kampung atau desa yang kami temui.
Baru saja beberapa meter melewati muara, semangat kami seketika padam.
Di tengah sungai, sebuah kelotok dengan posisi tertelungkup terlihat mengapung. Kelotok itu timbul tenggelam, bergerak pelan dibawa arus.
Kami semua tercekat dan saling pandang. Kelotok itu sudah sangat kami kenal bentuknya.
"Kapten, mungkinkah....?" tanyaku ragu.
"Iya... Itu kelotok kita yang dibawa kabur oleh si Atak. Sepertinya, mereka tidak berhasil selamat."
Kelotok itu hanyut hanya beberapa meter di depan kami. Seolah ada yang menggerakan, kelotok itu perlahan-lahan bergerak memutari kami.
"Kapten, ada yang tidak beres." ucap mang Soleh setengah berteriak.
"Cepat, kita harus ke pinggir sekarang !"
Kami segera mendayung ke pinggir sungai dalam keadaan panik. Di belakang, kelotok tadi terus berputar membentuk pusaran air. Pusaran air semakin lama semakin besar dan menimbulkan suara berderak.
Kraaakk....
Kelotok itu tenggelam dihisap arus berputar.
Air sungai semakin keruh, bercampur lumpur serta dedaunan dan kayu yang terangkat ke permukaan.
Jukung kami terombang ambing dihantam gelombang besar. Air mulai menggulung, menyeret jukung ke sana kemari. Air sungai bergemuruh, menggelar bagai gunung runtuh.
Kedua tanganku mencengkram sisi jukung agar tidak terjatuh ke sungai. Dayung yang kupegang sudah terlempar entah kemana.
Dayat menjerit histeris, tubuhnya terlempar keluar jukung. Untung saja, kedua tangannya berhasil memegang erat sisi jukung yang licin.
Aku dan Kapten Anang bergerak cepat, meraih tangannya agar tidak terlepas. Gelombang air menghantam tubuhnya, membuat genggaman tangannya semakin longgar.
"Haamiidd...tolong aku Mid. Jangan lepaskan Mid, kasian anak-anakku."
Tangis Dayat pecah, suaranya hampir tidak terdengar di tengah terjangan gelombang yang datang bertubi-tubi.
Di sisi depan, Mang Soleh terus mendayung, berusaha menyeimbangkan jukung agar tidak tenggelam. Tiba-tiba tubuh mang Soleh terjungkal ke belakang, ketika jukung mendadak bergerak mundur. Refleks tangannya mencengkram sisi jukung agar tidak terlempar keluar.
Pekik kepanikan semakin menggema, seiring jukung yang mulai tersedot ke dalam pusaran air. Jukung berputar-putar bagai dalam mesin cuci raksasa.
Byuuuurrrr....!!!
Di tengah pusaran air, tiba-tiba muncul mahluk raksasa. Aku menengadah, sebuah kepala besar melayang 3 meter di udara. Itu adalah kepala ular. Bukan sembarang ular, karena ukuran kepalanya sebesar lebar perahu. Ular naga berwarna hitam bercorak emas.
"Ta-tambun." desis mang Soleh tercekat.
Kepala itu bergerak maju mundur, seakan siap menyerang. Tubuhnya menggeliat di dalam air membentuk pusaran.
Seeessshhh...sessshhh...
Mahluk itu mendesis sehingga tubuhku kaku seketika. Otot-otot tubuhku mendadak lemas dan badanku tidak bisa bergerak.
Seeesshhh....seeshhh....
Mahluk itu terus mendesis dan menjulurkan lidah. Desisannya benar-benar mengerikan, bagaikan hipnotis yang membuat tubuh tiba-tiba mematung. Tidak ada seorangpun di antara kami yang sanggup bergerak.
Kepala ular naga itu mundur perlahan, mengambil ancang-ancang. Lalu...
Braaakkk....
Sekali hempas, jukung kami terbelah dua. Seperkian detik, kurasakan tubuhku melayang di udara. Belum sadar apa yang terjadi, tubuhku sudah terhempas dalam pusaran air. Sangat cepat dan mengerikan.
Tubuhku tenggelam dalam gulungan air, berguling kesana kemari terseret arus berputar. Aku berusaha berontak, tapi tenagaku kalah kuat.
Air yang menggulung tubuh terasa makin bertambah. Tubuhku terasa sakit bagai ditindih tanah longsor. Kaku dan tidak bisa bergerak. Tenggorokanku tercekik dan nafasku sesak.
Belum hilang kengerianku, tiba-tiba ada sesuatu yang membelit kakiku. Aku meronta-ronta, tapi belitan itu sangat kuat. Semakin berontak, semakin usahaku sia-sia.
Akhirnya tubuhku melemah dan tak berdaya, saat belitan itu menyeret tubuhku ke dasar sungai. Kehabisan tenaga, aku pasrah menanti ajal.
...bersambung...
Bab 17 : Ular Naga
Berdebar-debar rasa jantungku, melihat rumah tempat tadi istirahat berguncang hebat. Jerit kesakitan dan suara tubuh terbanting terdengar jelas dari dalam rumah.
Praakk.. braak...braak...
Atap tiba-tiba ambruk mengeluarkan bunyi menggelegar. Dinding-dinding kayu mulai koyak, beterbangan ke sana kemari.
Kreeeeeettt....
Sebuah tiang penyangga roboh, tepat menyasar tubuhku. Aku berguling ke kanan, menghindari hantaman kayu ulin yang meremukan tulang.
Braakkkk...!!!
"Aaaaaaaarrrgghhhh !!!"
Seketika aku menjerit. Kurasakan sakit di pergelangan kaki kiri. Kayu ulin sebesar paha menggenjet kakiku, menyebabkan perih sampai ke tulang.
Sekuat tenaga aku mengangkat kayu itu, namun sungguh berat bagai tiang besi.
"Aaaaaaarrrggghh !!!!"
Aku berteriak sekeras-kerasnya, berharap ada yang menolong. Percuma, tidak seorang pun datang. Hanya ada puing-puing kayu yang terlempar akibat amukan Tambun.
Kreekk...Kreeekk...
Aku semakin panik, saat tiang kedua mulai bergoyang-goyang. Tak ingin mati konyol, kukerahkan tenaga sampai nafasku sesak.
Kreek...kreek....
Tiang ulin terus bergoyang-goyang, membuat nyali semakin ciut.
Jantungku berdetak cepat dan nafasku memburu. Berpacu dengan waktu, kukumpulkan tenaga hingga keringatku mengucur.
Usahaku mulai membuahkan hasil, kayu ulin yang menimpa kaki perlahan terangkat.
Begitu ada celah, segera kutarik kaki dan kayu ulin itu kutendang menggunakan kaki kanan ke samping.
Dengan susah payah, akhirnya kakiku terbebas walau penuh luka. Segera aku bangkit, demi menyelamatkan nyawa yang di ujung tanduk.
Namun terlambat, baru saja berpijak pada dua kaki, tiang kedua roboh menyasar tubuhku. Kakiku gemetar tak bisa bergerak. Dalam kepalaku yang terbayang hanyalah kematian.
Kreeekkkk...
Suara tiang patah terdengar kencang Cumiakan telinga. Spontan aku menyilangkan kedua tangan, berusaha melindungi kepala.
Kreeekk....braaak...
Tanah terasa bergetar ketika tiang itu menghantam tanah, tepat sejengkal di samping tempatku berdiri. Aku bergidik ngeri dan bulu kudukku merinding. Nyaris saja, batinku.
Tanpa pikir panjang, aku mengambil langkah seribu. Menahan perih, kupaksakan kaki berlari secepat yang kubisa.
Mengandalkan cahaya bulan dan bintang, aku berlari sangat kencang mengejar mang Soleh yang telah jauh di depan. Di belakang, jerit memelas minta tolong sayup-sayup terdengar lalu menghilang. Terdengar sangat perih dan menyayat hati.
Entah siapa yang jadi korban, yang kupikirkan hanyalah keselamatan diri sendiri.
Tak kupedulikan nyeri di kaki, aku berlari dan terus berlari menembus pekat malam hingga tiba di pinggir sungai.
"Cepaaat...!!! Cepaatt...!!!" teriak Dayat dari atas jukung yang sudah mengapung di sungai.
Byuurrr...!!!
Aku melompat ke sungai dan segera berenang mengejar perahu jukung yang mulai menjauh.
Terlalu letih, kurasakan tenagaku semakin lemah hingga sepasang tangan menyeret paksa tubuhku ke atas jukung.
Braakk...
Tubuhku hempas tanpa tenaga. Di dalam jukung, aku menggigit bibir melawan dingin. Baru terasa tubuhku sakit semua dan ngilu di tiap sendi. Kurasa perih di pelipis kiri, rupanya darah menetes tanpa henti.
Dayat membantuku membersihkan luka dengan air dan kain kotor yang ia temukan dalam jukung. Aku hanya bisa meringis hingga mataku berair.
Di depan dan belakang, mang Soleh dan Kapten Anang terus mendayung mengikuti arus sungai ke arah hilir. Jukung kecil ini bergerak bergerak cepat walau hanya ada cahaya bulan dan bintang sebagai penerang.
Aku terkesiap demi menyadari mas Sugang tidak ada di antara kami. Hatiku rasanya remuk redam, karena kami baru saja berjumpa beberapa saat lalu.
Ada getir yang tidak terucap, karena besar harapan kami semua akan pulang dalam keadaan selamat. Namun takdir berkata lain, rupanya mas Sugang telah benar-benar pergi untuk selamanya.
*****
Kami berempat mendayung perahu jukung dengan panik, berusaha pergi sejauh mungkin dari monster ganas yang ada di belakang. Di bagian depan, mang Soleh penuh waspada mengawasi agar jukung bergerak lurus atau menghindari batu dan batang kayu.
Sesekali ia berteriak, memerintahkan jukung berbelok ke kiri atau ke kanan mengikuti alur sungai.
Membawa jukung dengan hanya mengandalkan cahaya bulan dan bintang memang penuh resiko, bagai berjalan dalam gelap.
Tapi tidak ada pilihan, menjauh secepat mungkin dari monster ganas yang lapar adalah satu-satunya kesempatan kami untuk tetap hidup.
Waktu berlalu, tidak ada pembicaraan di antara kami. Yang ada di pikiran hanyalah menyelamatkan diri. Kami terus mendayung tanpa istirahat walau tapak tangan terasa sakit dan bahu terasa remuk.
Dayat meringis karena tapak tangannya lecet dan berdarah. Mang Soleh terlihat tegang hingga urat-urat lehernya menonjol. Sedangkan kapten Anang, ia hanya membisu dengan tatapan kosong. Mungkin ia menyesal, tadi telah memarahi mas Sugang.
Aku sendiri masih kalut, tetap mendayung dengan perasaan campur aduk. Aku berdoa dalam hati, agar kami bisa selamat dari petaka ini dan bisa kembali berkumpul dengan anak dan istri.
Angin dingin berhempus, namun tubuhku basah dengan peluh keringat. Teringat anak, istri dan ibu di rumah, semangatku kembali menggelora. Apapun yang terjadi, aku harus kembali ke rumah dalam keadaan selamat.
*****
Kabut tipis menutupi badan sungai dan malam terasa semakin angker. Suara serangga terdengar sahut menyahut diiringi suara burung hantu.
Kutaksir, mungkin sudah lebih dari tiga jam kami mendayung bagai orang gila.
Akhirnya jukung bergerak lambat dan hanya mengikuti arus sungai. Tidak ada seorang pun dari kami yang mendayung. Semua kelelahan dan kehabisan tenaga.
Braakk....
Dayat terkulai lemas di dalam jukung. Hidungnya kembang kempis dan dadanya naik turun mencari udara.
"Sepertinya mahluk itu tidak mengikuti. Kita biarkan jukung ini hanyut dibawa arus. Kita istirahat sebentar sembari memulihkan tenaga."
Kami mengangguk setuju dengan perkataan kapten Anang. Di tengah malam buta, jukung bergerak pelan, hanyut terombang ambing dibawa arus sungai.
Entah sudah berapa jauh kami meninggalkan kampung tadi, tapi sepertinya monster itu tidak mengejar.
Tidak ada tanda-tanda sungai bergelombang, tidak ada juga hewan-hewan ribut karena ketakutan.
Mungkin saja ular naga itu telah kenyang, atau sengaja melepaskan kami untuk nanti diburu lagi. Yang jelas, untuk sementara kami masih selamat.
*****
Matahari belum terlalu tinggi, kami melanjutkan mendayung dengan sisa tenaga. Perut kurasakan perih karena lapar. Keroncongan dan menusuk-nusuk, namun tidak ada yang bisa dimakan.
Kami juga tidak berhenti untuk sekedar mencari ikan atau hewan yang bisa dimakan. Hanya meminum air sungai untuk mengganjal perut.
Anehnya, rasa lapar tidak terasa dibandingkan semangat untuk tetap hidup. Keinginan untuk berjumpa anak dan istri di rumah menjadi motivasi kami untuk terus menyusuri sungai ini.
Dayungan kami semakin menjadi, ketika sungai semakin melebar pertanda akan bertemu muara.
"Lihat, di depan sepertinya muara. Mungkin saja di dekat situ ada desa." seru mang Soleh dengan mata berbinar.
Kami mempercepat dayungan hingga jukung kecil ini bergoyang-goyang membelah arus. Melewati tikungan, muara yang kami tuju akhirnya terlihat.
Di kejauhan, terlihat muara bertemu induk sungai. Kami semakin semangat memacu jukung kecil ini bagai orang kesetanan.
Berhasil melewati muara, kami segera berbelok ke arah hilir berharap ada kampung atau desa yang kami temui.
Baru saja beberapa meter melewati muara, semangat kami seketika padam.
Di tengah sungai, sebuah kelotok dengan posisi tertelungkup terlihat mengapung. Kelotok itu timbul tenggelam, bergerak pelan dibawa arus.
Kami semua tercekat dan saling pandang. Kelotok itu sudah sangat kami kenal bentuknya.
"Kapten, mungkinkah....?" tanyaku ragu.
"Iya... Itu kelotok kita yang dibawa kabur oleh si Atak. Sepertinya, mereka tidak berhasil selamat."
Kelotok itu hanyut hanya beberapa meter di depan kami. Seolah ada yang menggerakan, kelotok itu perlahan-lahan bergerak memutari kami.
"Kapten, ada yang tidak beres." ucap mang Soleh setengah berteriak.
"Cepat, kita harus ke pinggir sekarang !"
Kami segera mendayung ke pinggir sungai dalam keadaan panik. Di belakang, kelotok tadi terus berputar membentuk pusaran air. Pusaran air semakin lama semakin besar dan menimbulkan suara berderak.
Kraaakk....
Kelotok itu tenggelam dihisap arus berputar.
Air sungai semakin keruh, bercampur lumpur serta dedaunan dan kayu yang terangkat ke permukaan.
Jukung kami terombang ambing dihantam gelombang besar. Air mulai menggulung, menyeret jukung ke sana kemari. Air sungai bergemuruh, menggelar bagai gunung runtuh.
Kedua tanganku mencengkram sisi jukung agar tidak terjatuh ke sungai. Dayung yang kupegang sudah terlempar entah kemana.
Dayat menjerit histeris, tubuhnya terlempar keluar jukung. Untung saja, kedua tangannya berhasil memegang erat sisi jukung yang licin.
Aku dan Kapten Anang bergerak cepat, meraih tangannya agar tidak terlepas. Gelombang air menghantam tubuhnya, membuat genggaman tangannya semakin longgar.
"Haamiidd...tolong aku Mid. Jangan lepaskan Mid, kasian anak-anakku."
Tangis Dayat pecah, suaranya hampir tidak terdengar di tengah terjangan gelombang yang datang bertubi-tubi.
Di sisi depan, Mang Soleh terus mendayung, berusaha menyeimbangkan jukung agar tidak tenggelam. Tiba-tiba tubuh mang Soleh terjungkal ke belakang, ketika jukung mendadak bergerak mundur. Refleks tangannya mencengkram sisi jukung agar tidak terlempar keluar.
Pekik kepanikan semakin menggema, seiring jukung yang mulai tersedot ke dalam pusaran air. Jukung berputar-putar bagai dalam mesin cuci raksasa.
Byuuuurrrr....!!!
Di tengah pusaran air, tiba-tiba muncul mahluk raksasa. Aku menengadah, sebuah kepala besar melayang 3 meter di udara. Itu adalah kepala ular. Bukan sembarang ular, karena ukuran kepalanya sebesar lebar perahu. Ular naga berwarna hitam bercorak emas.
"Ta-tambun." desis mang Soleh tercekat.
Kepala itu bergerak maju mundur, seakan siap menyerang. Tubuhnya menggeliat di dalam air membentuk pusaran.
Seeessshhh...sessshhh...
Mahluk itu mendesis sehingga tubuhku kaku seketika. Otot-otot tubuhku mendadak lemas dan badanku tidak bisa bergerak.
Seeesshhh....seeshhh....
Mahluk itu terus mendesis dan menjulurkan lidah. Desisannya benar-benar mengerikan, bagaikan hipnotis yang membuat tubuh tiba-tiba mematung. Tidak ada seorangpun di antara kami yang sanggup bergerak.
Kepala ular naga itu mundur perlahan, mengambil ancang-ancang. Lalu...
Braaakkk....
Sekali hempas, jukung kami terbelah dua. Seperkian detik, kurasakan tubuhku melayang di udara. Belum sadar apa yang terjadi, tubuhku sudah terhempas dalam pusaran air. Sangat cepat dan mengerikan.
Tubuhku tenggelam dalam gulungan air, berguling kesana kemari terseret arus berputar. Aku berusaha berontak, tapi tenagaku kalah kuat.
Air yang menggulung tubuh terasa makin bertambah. Tubuhku terasa sakit bagai ditindih tanah longsor. Kaku dan tidak bisa bergerak. Tenggorokanku tercekik dan nafasku sesak.
Belum hilang kengerianku, tiba-tiba ada sesuatu yang membelit kakiku. Aku meronta-ronta, tapi belitan itu sangat kuat. Semakin berontak, semakin usahaku sia-sia.
Akhirnya tubuhku melemah dan tak berdaya, saat belitan itu menyeret tubuhku ke dasar sungai. Kehabisan tenaga, aku pasrah menanti ajal.
...bersambung...
Sampai jumpa update berikutnya yak. Update agak selow karena kesibukan RL. Jangan lupa sakrep, komeng dan syer ewer-ewer 😁
Diubah oleh benbela 07-11-2021 12:05



bruno95 dan 66 lainnya memberi reputasi
67
Kutip
Balas
Tutup