AyraNFarzana91Avatar border
TS
AyraNFarzana91
Suamiku Direbut Nenek Dua Cucu
Mesin ATM

Oleh Ayra N Farzana

“Mas kamu bicara sama siapa sih?!” Shabira yang baru masuk, duduk di tepi ranjang seraya memandang suaminya.

“Teman,” jawab Baheen yang duduk bersandar ranjang.
Bersama mereka ada Azka yang sudah tertidur pulas. Beberapa kali, Baheen tertawa, membuat Azka terganggu tidurnya.

Usai membelai Azka agar tak terbangun, Shabira kembali bertanya siapa yang sedang berbicara dengan suaminya itu.

Tanpa menjawab, Baheen memilih keluar. Shabira pun mengikutinya.

Ketika keluar, tanpa sengaja Shabira mendengar suaminya memanggil lawan bicaranya dengan sebutan ‘Sayang’. Mendengar hal itu, dia merasakan sesak di dalam dada.
Didekatinya Baheen yang sedang duduk beralaskan tikar.

“Kamu selingkuh ya, Mas?”

Baheen segera mengakhiri panggilan via telepon. Di hadapan istrinya, pria itu tak segan mengucapkan kata-kata manis bahkan melalukan ciuman perpisahan, sebelum mengakhiri perbincangan.

Tak tahan dengan perbuatan suaminya, Shabira meraih paksa ponsel yang ada di tangan Baheen. Dia segera melihat, siapa yang baru saja berbicara dengan pria itu.
Pada panggilan terakhir, terlihat nama kontak Nenek Peyot. Segera Shabira menekan nomor untuk melihat siapa pemiliknya.

Pertama-tama yang dia lihat adalah foto profil pemilik nomor. Wanita cantik dengan rambut panjang hitam yang menjuntai.

Usai memeriksa profil wanita itu, Shabira beralih pada isi pesan percakapan mereka. Mata wanita itu membelalak sempurna ketika membaca pesan wa suaminya. Bukan hanya kata-kata mesra yang saling mereka lemparkan, tapi juga kata-kata tak seronok, perihal hubungan suami istri. Tak tahan membacanya segera Shabira kembali bertanya siapa wanita yang menelepon Baheen dan mengirim pesan-pesan mesra itu.

“Mas, jelaskan padaku siapa wanita bernama Nenek Peyot yang mengirimu kata-kata mesra ini.” Shabira menuju ponsel suaminya.

Baheen yang duduk bersandar ranjang segera bangun. Dia lantas menghampiri istrinya yang berdiri penuh amarah. Perlahan pria itu menyentuh bahu Shabira. Baheen hendak menjelaskan semuanya pada istrinya.

“Wanita itu bernama Diah.”

“Jadi, kamu benar-benar selingkuh? Tega kamu, Mas.” Shabira memukuli suaminya. Baheen hanya diam menerima pukulan demi pukulan dari Shabira.

“Dengar dulu.” Baheen memeluk istrinya dari belakang. Hingga Shabira tak bisa lagi memukulinya.

“Dia itu, sumber uang bagi kita.”

Mendengar hal itu, Shabira tak paham maksud pembicaraan suaminya.

“Apa maksud kamu, Mas?”

Dijelaskan Baheen pada istrinya kalau Diah hanya wanita yang haus akan kasih sayang. Suami wanita itu sudah tua. Sudah belasan tahun mereka tak bersama. Diah bekerja sebagai tenaga kerja wanita diuar negeri.

Dilepaskannya pelukan Baheen. Shabira membalikkan badan menatap pria yang menikahinya hampir lima tahun itu. “Mas, tapi tetap saja kamu itu selingkuh. Ingat Mas, selingkuh itu sama saja dengan zina yang merupakan perbuatan dosa.”

“Selingkuh itu kalau kamu tidak tahu. Sudahlah. Jangan bicarakan masalah dosa yang terpenting saat ini kita bisa makan.”

Beberapa bulan lalu Baheen diberhentikan dari pekerjaannya. Pembatasan kegiatan selama masa pandemi membuat produksi pabrik tempatnya bekerja menurun. Terpaksa ada pengurangan karyawan dalam skala besar. Parahnya tidak ada pesangon untuk mereka.

“Apa kamu tidak capek bekerja sebagai buruh cuci?”

Shabira hanya terdiam mendengar perkataan suaminya.
“Bayangin, Dek. Sebulan Nenek Peyot itu akan mengirimkan dua ribu dolar Hongkomg untukku. Coba aja kamu kalikan seribu delapan ratus. Tiga juta lebih,” terang Baheen dengan mata berbinar.

Pikiran Baheen dipenuhi uang, uang, dan uang. Ketika dia masih bekerja, uang hasil kerjanya juga digunakan untuk foya-foya. Pria itu sering nongkrong dengan teman-temannya. Tak jarang pula Baheen mentraktir mereka. Sedangkan untuk uang belanja, pria itu hanya memberi tiga ratus ribu setiap bulannya untuk Shabira. Maka dari itu Shabira bekerja sebagai buruh cuci untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

“Mas, aku tak masalah kalau kamu tak bekerja. Aku juga ikhlas menjadi buruh cuci. Aku hanya ingin putra kita makan dari uang halal!”

“Masa bodo kamu mau bilang apa. Yang penting tiap hari aku bisa ongkang-ongkang kaki, Duduk di warung kopi, haha hihi sama teman-temanku.”

Tak tahan mendegar petuah istrinya, Baheen memilih pergi meninggalkan Shabira.

“Mas!” Tak menyerah, Shabira hendak menyusul suaminya. Sayangnya baru beberapa langkah, Azka—putra mereka—menangis. Wanita itu mengurungkan langkahnya dan memilih untuk menyusul putranya.



Hampir tiap malam, Baheen asyik berbincang dengan wanita bernama Diah. Shabira tak pernah lelah untuk mengingatkan suaminya.

Semenjak tahu suaminya selingkuh dan mendapatkan uang dari wanita itu, Shabira tak menerima sepeser pun uang pemberian suaminya. Seperti hari itu. Ketika Baheen hendak memberinya uang satu juta dan memintanya berhenti bekerja sebagai buruh cuci.

“Ambil uangmu, Mas. Aku tidak sudi menerima uang panas itu.”

“Sombong! Gaji lima ratus ribu tiap bulan aja sudah sombong,” sindir Baheen. Pria itu kembali menawari Shabira untuk berhenti bekerja dengan menambahkan lima ratus ribu dari jumlah uang yang ditawarkannya tadi.


herry8900
johny251976
anton2019827
anton2019827 dan 10 lainnya memberi reputasi
11
4.8K
69
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
AyraNFarzana91Avatar border
TS
AyraNFarzana91
#9
Suamiku Direbut Nenek Dua Cucu Part 2
Lebih Baik Bersenang-senang daripada Berbagi denganmu

Lagi-lagi, Shabira menolaknya. “Mas, putuskan hubungan dengan wanita itu.”
Mendengar permintaan Shabira, Baheen tertawa terbahak-bahak. “Jaminan apa yang akan kamu berikan kalau aku putus dengan mesin ATM-ku?”

Shabira terdiam. Dia memang tak bisa menghasilkan uang sebanyak Diah. Wanita itu tak bisa memberikan uang pada Baheen. Gajinya sebagai buruh cuci hanya cukup untuk membeli lauk sehari-hari.

Bukan tak ingin Shabira bekerja keluar negeri untuk mengubah nasib mereka. Akan tetapi, dia tidak tega kalau meninggalkan putra satu-satunya sendiri. Apalagi dalam asuhan Baheen. Dia khawatir, Azka meniru perilaku buruk ayahnya.

“Apa kamu bisa menghasilkan uang untukku?” Baheen menggesekkan jari telunjuk dan ibu jarinya di depan wajah Shabira. “Tidak ‘kan?”

Sesaat Shabira terdiam.

Baheen yang sedari tadi berdiri, duduk bersandar di kursi kayu yang sudah mulai lapuk. Dia menaikkan kaki kanan ke atas kaki kirinya. Pria itu kembali memasukkan uang yang ditolak oleh Shabira ke dalam tas kecil yang berada di depan dada.

Pagi tadi, Diah meminta nomor rekening Baheen. Beruntung, nomor rekening yang biasa digunakan untuk transfer gajinya masih aktif.

Shabira mengangkat kepala. Wanita itu menatap suaminya. “Bukan kodratku untuk menjadi tulang punggung. Kodratku menjadi tulang rusuk yang seharusnya kamu lindungi. Mencari nafkah itu bukan tugasku, tapi kamu!” Shabira menunjuk suaminya.

“Aku!” Baheen menunjuk dirinya sendiri. Pria itu lantas tertawa terbahak-bahak. “Enak aja. Lebih baik aku gunakan uangku untuk foya-foya dari pada untuk kalian!”

“Terus apa gunanya kamu menjadi seorang suami?”
“Ada.” Pria itu menunjukkan senyum menjijikkan.

“Kamu memang benar-benar gila, Mas!” Sabhira memilih pergi meninggalkan pria itu.

Tak henti-hentinya Shabira beristigfar agar amarah di dadanya mereda. Segera wanita itu menghapus air mata yang mulai menetes di pipi sebelum tiba di rumah tetangga.

Shabira memandang putranya yang sedang bermain dengan Doni, putra Darsini, tetangganya. Wanita itu hendak menjemput Azka dan mengajaknya menuju rumah tempatnya bekerja. Wanita itu sudah biasa membawa anaknya serta.

Setiap pagi Shabira datang ke rumah bosnya untuk membereskan rumah dan mencuci pakaian. Dia akan kembali pada siang menjelang sore untuk mengangkat dan menyetrika pakaian. Azka selalu ikut bersamanya. Bocah berusia empat tahun itu selalu anteng dan bermain sendiri di dekat ibunya.

“Yuk, Sayang. Mainnya udahan dulu, dilanjut besok lagi.” Shabira mengulurkan telunjuk pada bocah kecil yang sedang bermain mobil-mobilan itu.

Tanpa banyak drama, Azka menurut pada ibunya. Bocah kecil itu meraih uluran tangan Shabira. Mereka pun bersama, berjalan menuju rumah tempat Shabira bekerja.
Sesakit, sesedih apa pun, Shabira tak pernah menunjukkannya di hadapan Azka. Dia berusaha tetap tegar menghadapi semua. Wanita itu tak ingin, karena masalah kedua orang tuanya akan mempengaruhi daya kembang putranya.

Tak butuh lama, Shabira tiba di rumah bercat biru tua. Dia masuk lewat pintu belakang langsung menuju tempat dia menjemur pakaian. Pintar, Azka mengambil keranjang untuk tempat pakaian yang kering. Setelahnya wanita itu membawanya masuk untuk disetrika.

“Mbak Shabira.” Ketika sedang menyetrika, Pak Dhamar—pemilik rumah, menghampirinya.

“Ini gaji, Mbak Shabira bulan ini.” Pak Damar menyerahkan amplop putih pada Shabira. Wanita itu mengambil alih amplop dari tangan Dhanar.

Kebetulan sekali, saat ini uang yang ada di kantongnya sudah habis. Hanya tersisa beberapa lembar uang seribuan.

“Pak, kan belum tanggalnya.” Biasanya, Shabira akan menerima gaji pada tanggal 4 setiap bulannya, tapi kali ini baru tanggal 1, pria itu sudah membayarnya. Mumpung ada, katanya.

Shabira melirik Azka yang sedang asyik bermain mobil-mobilan seharga lima ribu yang dibelinya di pinggir jalan.
Mata wanita itu berbinar. Dia merasa bersyukur atas rezeki yang didapat.

Rencana, uang yang didapatnya itu hendak digunakannya untuk membeli lauk pauk. Awalnya dengan empat lembar uang ribuan itu, dia hendak membeli tempe sepapan dan cabe. Dia ingin membuat sambal tempe untuk lauk malam hari.

“Terima kasih, Pak.”

Sudah dua tahun Shabira bekerja di rumah Pak Damar. Istri Pak Damar merupakan wanita karier. Mereka sudah sepuluh tahun menikah, tapi belum punya anak. Bukan karena mandul, tapi karena memang Deera—istri Damar—tak mau memiliki anak. Menurutnya anak akan membuat tubuhnya melar.

“Azka, ikut bapak sebentar, yuk!” Karena sudah lama mengenal, Azka tak takut pada Dhamar. Bocah kecil itu berlari ke arahnya. Dhamar pun membawa bocah itu keluar, meninggalkan ibunya.

Tak berselang lama, Azka kembali. Di tangannya ada tas keresek berwarna putih dengan merek sebuah minimarket.
Bocah kecil itu berlari ke arah ibunya. Menceritakan pada wanita itu dari mana saja mereka pergi.

Sekali lagi, Shabira berterima kasih pada Dhamar yang telah membelikan putranya es krim, jajanan, dan susu. Kebetulan waktu itu pekerjaan Shabira sudah selesai. Wanita itu lantas berpamitan untuk pulang
Sepanjang perjalanan pulang, Azka begitu menikmati es krim di tangannya. Shabira memang jarang membelikannya. Karena untuk kebutuhan sehari-hari saja pas-pasan.

Tanpa sengaja, ketika melewati sebuah warung yang biasa digunakan untuk nongkrong. Shabira melihat suaminya sedang berbincang dengan seseorang.
Melihat hal itu, dada Shabira naik turun. Amarah sudah memenuhi hatinya. Wanita itu lantas meminta putranya dia. dan menunggu di tempatnya berdiri. Cepat, Shabira berjalan menghampiri Baheen.


Bersambung ....
rakatanaka707
redrices
phyu.03
phyu.03 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup