- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 12:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#308
Quote:
Original Posted By benbela►
Tak ingin beradu mata, aku balik badan dalam keadaan pura-pura tidur.
Belum hilang rasa takutku, ternyata ada sosok hitam lain yang bergerak di dalam rumah. Sosok itu seolah muncul dari kegelapan, terlihat lebih tinggi dari yang sedang bersimpuh menangis.
Kraaak...kraaak...
Lantai terasa bergetar seiring langkah kakinya yang mendekat ke arahku.
Celaka ! Batinku. Rupanya kami tidur di rumah berhantu.
Aku menahan nafas saat langkah demi langkah terlihat semakin dekat ke wajahku. Tubuhku tiba-tiba kaku, ketika salah satu kaki yang penuh bulu terangkat ke udara, siap menghantam kepalaku.
Kraak...
Kaki itu mendarat pelan di sampingku, melangkah melewati badanku dan terus mendekati sosok yang sedang menangis.
"Ssstt...jangan berisik." ucap sosok yang lebih tinggi. Suara yang kukenal, rupanya mang Soleh. Sedangkan yang menangis ternyata Dayat yang sedang ketakutan.
"Jangan bersuara, ada sesuatu di luar." desis mang Soleh.
Sialan, rasa takut membuat otakku tidak berpikir normal. Hanya siluet tubuh manusia malah kukira hantu. Bergegas aku bangkit dan menghampiri mereka berdua. Tidak lama kemudian kapten Anang sudah berdiri di samping kami dengan tombak di tangan.
Di luar, bunyi cakaran telah berganti dengan suara lemparan ke dinding rumah.
Tak...tak...
Suara teror semakin menjadi, entah manusia atau mahluk halus.
Kami mengintip di celah dinding, samar-samar terlihat tengkorak berambut panjang berdiri di antara pohon pisang.
Mang Soleh memberi kode, kami pun berpencar dengan masing-masing memegang senjata di tangan.
Kapten Anang dan Dayat keluar dari pintu depan, sedangkan aku dan mang Soleh keluar lewat pintu belakang.
Entah hantu atau manusia, kami bertekad meringkus mahluk itu.
Kami berjalan mengendap hingga hampir tidak bersuara. Di bawah sinar bulan, kami bergerak perlahan di semak-semak mendekati mahluk yang terus melempari rumah dengan batu.
Di depan, mang Soleh terlihat ragu melanjutkan langkah.
"Astagfirullah." ucap mang Soleh kaget.
Aku tidak melihat jelas karena tertutup kabut dan gelap malam. Samar-samar di antara rimbun pisang, tengkorak berambut panjang masih berdiri di situ.
Bulu-bulu halus di lengan dan tengkukku kembali merinding, ketika kepala tengkorak itu menoleh ke kiri dan kanan. Sepertinya, tengkorak itu menyadari kehadiran kami.
Mang Soleh lalu berjongkok dan mengambil sebongkah batu yang cukup besar.
"Bismillah." ucap mang Soleh sembari meniup batu di genggamannya. Setelah cukup yakin, batu itu ia lempar tepat ke arah kepala tengkorak tadi.
Praakk....
Kepala tengkorak itu hancur dan tubuhnya ambruk.
"Siapa di situ ?" teriak mang Soleh memecah kesunyian.
Tanpa takut, mang Soleh mendekati sisa tubuh yang tergeletak di antara rimbun pohon pisang.
Rasa takutku seketika hilang berganti keberanian. Aku segera mengiringi mang Soleh diikuti kapten Anang dan Dayat yang muncul dari arah lain.
Beberapa langkah dari posisi tubuh mahluk itu tergeletak, kami berempat
seketika kaget.
Tubuh itu tiba-tiba bangkit dan melompat ke arah hutan bagai kancil.
"Kejar !!!" pekik mang Soleh.
Kami berempat langsung menerobos rimbun semak, mengejar tubuh itu yang berusaha kabur.
Ada suatu kejanggalan yang membuatku heran, rambut panjangnya masih terurai. Padahal, tadi sangat jelas kalau tengkoraknya pecah berantakan.
Bruaakk...!!!
Terdengar suara benturan yang sangat keras dari arah depan. Dari semak, kapten Anang menerjang mahluk itu.
Semak belukar di hadapanku bergoyang hebat, lalu terdengar rintih kesakitan.
Tanpa ampun, kapten Anang dan mang Soleh menghajar mahluk itu bergantian.
"Ampuunn...ampuunn."
Pukulan dan tendangan terhenti, ketika suara merintih itu terdengar tidak asing.
"Loh... Sugang ?" tanya kapten kaget.
Di dalam rumah, mas Sugang merintih karena luka di bibir dan pelipis. Bersandar pada dinding, matanya berkaca menahan perih. Jakunnya naik turun seolah susah menelan ludah.
Tak tega aku melihatnya, tapi di sisi lain aku juga jengkel degan ulahnya.
Aku dan Dayat membersihkan luka mas Sugang dengan air serta kain kotor yang kami temuka di dalam rumah.
Berkali-kali mas Sugang meminta maaf, namun rupanya kapten Anang masih gusar.
"Untuk apa kau menyamar jadi hantu !? Hampir saja kutombak perutmu."
Kapten Anang melotot menahan amarah.
Mas Sugang tertunduk, tidak berani menatap mata kapten.
"Ma-maaf kapten. Ku-kukira kalian hantu."
"Lalu kenapa kau berpura-pura jadi hantu !?" Hardik kapten masih dengan nada tinggi.
"Karena itu aku menyamar jadi hantu, karena kukira kalian hantu." jawab mas Sugang memelas.
"Sudah lah. Syukur kau masih hidup, kita bisa berkumpul kembali. Sebaiknya kau ceritakan apa yang terjadi denganmu." timpal mang Soleh seraya mendekati kapten Anang yang masih emosi.
Seketika raut wajah mas Sugang berubah. Matanya berbinar dengan senyum simpul di bibir.
Penuh semangat dan berapi-api, mas Sugang menceritakan detik demi detik peristiwa mengerikan yang ia alama.
"Untung saja aku jago berenang. Kalo gak, bisa mati aku digulung riam. Malam itu, berkilo-kilo aku terseret air deras. Rupanya gusti Allah masih sayang padaku. Sebatang pohon hanyut kupeluk hingga tertidur. Waktu tersadar, aku sudah ada di dekat kampung ini."
Mas Sugang mengatur nafasnya yang tersengal. Dilihatnya kami masih terdiam, mas Sugang kembali melanjutkan cerita.
"Waktu itu matahari belum tinggi. Kedinginan dan kelelahan, aku berjalan ke kampung ini untuk meminta pertolongan. Namun seketika aku kaget, ternyata kampung ini telah luluh lantak. Hanya ada tulang dan mayat yang telah mengering. Hiii..."
Mas Sugang bergidik dan matanya melotot.
"Jujur saja, kukira aku sudah mati dan jiwaku ditawan di kampung hantuen. Satu malam aku tidur disini dengan rasa takut dan ngeri. Ada suara tangis dan jerit kesakitan. Rasanya ingin kabur namun tubuhku terlalu lemah.
Lalu hari kedua, tubuhku sudah membaik. Saat kuintip, ada empat sosok yang mencurigakan. Kukira hantu, makanya aku pun menyamar jadi hantu agar tidak diganggu. Tengkorak dan tulang itu kutenteng kemana-mana. Konon, hantu akan tertipu bila ada manusia yang menyamar jadi hantu."
"Dasar jamet !" sentak kapten lantang, "apa kau tidak merasa ngeri menenteng tengkorak manusia kemana-mana !?"
Mas Sugang lagi-lagi tertunduk sambil menggigit bibir.
"Kenapa kau tidak berusaha mencari kami ?" tanya kapten pelan.
"Maaf kapten. Kukira kalian semua sudah mati."
Kapten menghela nafas panjang mendengar penuturan mas Sugang.
"Kapten, tunggu di sini. Ada sesuatu yang ingin kutunjukan untuk kalian."
Mas Sugang lalu bangkit dari duduk, lalu berlari kecil ke rumah sebelah. Kami berempat terheran-heran dengan tingkahnya yang ganjil.
Tidak berapa lama, mas Sugang sudah kembali dengan membawa benda aneh, diapit dengan dua tangan di dada. Berwarna putih pudar, benda ditangannya terlihat seperti kelambu usang.
"Hamid, Dayat, bantu aku membentang benda ini." ujar mas Sugang dengan nafas putus-putus.
Aku dan Dayat kemudian membantu membentang benda itu. Sangat panjang, hingga ujung ruangan rumah ini hanya cukup untuk separo benda itu. Kalau dibentangkan semua, mungkin panjangnya lebih dari 20 meter. Sedangkan lebarnya kutaksir sekitar 3 meter.
Kami lalu berdiri di samping benda itu.
Di balik cahaya lampu teplok yang temaram, kami semua tercekat begitu menyadari benda apa yang dibawa mas Sugang.
"Kulit Tambun" ucap mang Soleh lirih.
"Mahluk itu rupanya baru berganti kulit. Mungkin ia ada di sekitar sini." Lanjut mang Soleh sambil menatap wajah kami bergantian. Kulirik, wajahnya terlihat tegang.
Kecemasan kami bertambah, ketika lantai tempat kami berpijak mulai bergetar. Dari luar, suara desisan yang tidak asing kembali terdengar.
Seeessh....seesshhh...
Persis suara desisan tempo hari, suara desisan yang merenggut nyawa.
Deg ! Deg ! Deg !
Jantungku berdetak kencang, menyadari tambun sudah ada di sekitar kami.
Kami semua menahan nafas dan tidak bergerak sejengkal pun, karena suara desisan itu terdengar semakin nyaring.
Kraak...kraak...
Tiang-tiang penyanga di sisi kanan bergemeretak, saat suara desisan bergerak perlahan ke atas atap.
Lantai mulai miring dan dinding pecah satu persatu karena tidak sanggup menahan beban.
Dengan wajah tegang, kami berlima menatap langit-langit.
Bruaaak....!!!
Langit-langit rumah tiba-tiba hancur berantakan. Mulut besar dengan barisan gigi tajam menganga lebar mencari mangsa.
Sekuat tenaga aku berlari menerjang pintu. Tubuhku terpelanting dan tersungkur di tanah. Darah mengucur dari sikut dan pelipis.
Di belakang, jerit kematian menggema di kampung yang sunyi ini.
...bersambung...
Bab 16 : Teror Hantuen
Tak ingin beradu mata, aku balik badan dalam keadaan pura-pura tidur.
Belum hilang rasa takutku, ternyata ada sosok hitam lain yang bergerak di dalam rumah. Sosok itu seolah muncul dari kegelapan, terlihat lebih tinggi dari yang sedang bersimpuh menangis.
Kraaak...kraaak...
Lantai terasa bergetar seiring langkah kakinya yang mendekat ke arahku.
Celaka ! Batinku. Rupanya kami tidur di rumah berhantu.
Aku menahan nafas saat langkah demi langkah terlihat semakin dekat ke wajahku. Tubuhku tiba-tiba kaku, ketika salah satu kaki yang penuh bulu terangkat ke udara, siap menghantam kepalaku.
Kraak...
Kaki itu mendarat pelan di sampingku, melangkah melewati badanku dan terus mendekati sosok yang sedang menangis.
"Ssstt...jangan berisik." ucap sosok yang lebih tinggi. Suara yang kukenal, rupanya mang Soleh. Sedangkan yang menangis ternyata Dayat yang sedang ketakutan.
"Jangan bersuara, ada sesuatu di luar." desis mang Soleh.
Sialan, rasa takut membuat otakku tidak berpikir normal. Hanya siluet tubuh manusia malah kukira hantu. Bergegas aku bangkit dan menghampiri mereka berdua. Tidak lama kemudian kapten Anang sudah berdiri di samping kami dengan tombak di tangan.
Di luar, bunyi cakaran telah berganti dengan suara lemparan ke dinding rumah.
Tak...tak...
Suara teror semakin menjadi, entah manusia atau mahluk halus.
Kami mengintip di celah dinding, samar-samar terlihat tengkorak berambut panjang berdiri di antara pohon pisang.
Mang Soleh memberi kode, kami pun berpencar dengan masing-masing memegang senjata di tangan.
Kapten Anang dan Dayat keluar dari pintu depan, sedangkan aku dan mang Soleh keluar lewat pintu belakang.
Entah hantu atau manusia, kami bertekad meringkus mahluk itu.
Kami berjalan mengendap hingga hampir tidak bersuara. Di bawah sinar bulan, kami bergerak perlahan di semak-semak mendekati mahluk yang terus melempari rumah dengan batu.
Di depan, mang Soleh terlihat ragu melanjutkan langkah.
"Astagfirullah." ucap mang Soleh kaget.
Aku tidak melihat jelas karena tertutup kabut dan gelap malam. Samar-samar di antara rimbun pisang, tengkorak berambut panjang masih berdiri di situ.
Bulu-bulu halus di lengan dan tengkukku kembali merinding, ketika kepala tengkorak itu menoleh ke kiri dan kanan. Sepertinya, tengkorak itu menyadari kehadiran kami.
Mang Soleh lalu berjongkok dan mengambil sebongkah batu yang cukup besar.
"Bismillah." ucap mang Soleh sembari meniup batu di genggamannya. Setelah cukup yakin, batu itu ia lempar tepat ke arah kepala tengkorak tadi.
Praakk....
Kepala tengkorak itu hancur dan tubuhnya ambruk.
"Siapa di situ ?" teriak mang Soleh memecah kesunyian.
Tanpa takut, mang Soleh mendekati sisa tubuh yang tergeletak di antara rimbun pohon pisang.
Rasa takutku seketika hilang berganti keberanian. Aku segera mengiringi mang Soleh diikuti kapten Anang dan Dayat yang muncul dari arah lain.
Beberapa langkah dari posisi tubuh mahluk itu tergeletak, kami berempat
seketika kaget.
Tubuh itu tiba-tiba bangkit dan melompat ke arah hutan bagai kancil.
"Kejar !!!" pekik mang Soleh.
Kami berempat langsung menerobos rimbun semak, mengejar tubuh itu yang berusaha kabur.
Ada suatu kejanggalan yang membuatku heran, rambut panjangnya masih terurai. Padahal, tadi sangat jelas kalau tengkoraknya pecah berantakan.
Bruaakk...!!!
Terdengar suara benturan yang sangat keras dari arah depan. Dari semak, kapten Anang menerjang mahluk itu.
Semak belukar di hadapanku bergoyang hebat, lalu terdengar rintih kesakitan.
Tanpa ampun, kapten Anang dan mang Soleh menghajar mahluk itu bergantian.
"Ampuunn...ampuunn."
Pukulan dan tendangan terhenti, ketika suara merintih itu terdengar tidak asing.
"Loh... Sugang ?" tanya kapten kaget.
*****
Di dalam rumah, mas Sugang merintih karena luka di bibir dan pelipis. Bersandar pada dinding, matanya berkaca menahan perih. Jakunnya naik turun seolah susah menelan ludah.
Tak tega aku melihatnya, tapi di sisi lain aku juga jengkel degan ulahnya.
Aku dan Dayat membersihkan luka mas Sugang dengan air serta kain kotor yang kami temuka di dalam rumah.
Berkali-kali mas Sugang meminta maaf, namun rupanya kapten Anang masih gusar.
"Untuk apa kau menyamar jadi hantu !? Hampir saja kutombak perutmu."
Kapten Anang melotot menahan amarah.
Mas Sugang tertunduk, tidak berani menatap mata kapten.
"Ma-maaf kapten. Ku-kukira kalian hantu."
"Lalu kenapa kau berpura-pura jadi hantu !?" Hardik kapten masih dengan nada tinggi.
"Karena itu aku menyamar jadi hantu, karena kukira kalian hantu." jawab mas Sugang memelas.
"Sudah lah. Syukur kau masih hidup, kita bisa berkumpul kembali. Sebaiknya kau ceritakan apa yang terjadi denganmu." timpal mang Soleh seraya mendekati kapten Anang yang masih emosi.
Seketika raut wajah mas Sugang berubah. Matanya berbinar dengan senyum simpul di bibir.
Penuh semangat dan berapi-api, mas Sugang menceritakan detik demi detik peristiwa mengerikan yang ia alama.
"Untung saja aku jago berenang. Kalo gak, bisa mati aku digulung riam. Malam itu, berkilo-kilo aku terseret air deras. Rupanya gusti Allah masih sayang padaku. Sebatang pohon hanyut kupeluk hingga tertidur. Waktu tersadar, aku sudah ada di dekat kampung ini."
Mas Sugang mengatur nafasnya yang tersengal. Dilihatnya kami masih terdiam, mas Sugang kembali melanjutkan cerita.
"Waktu itu matahari belum tinggi. Kedinginan dan kelelahan, aku berjalan ke kampung ini untuk meminta pertolongan. Namun seketika aku kaget, ternyata kampung ini telah luluh lantak. Hanya ada tulang dan mayat yang telah mengering. Hiii..."
Mas Sugang bergidik dan matanya melotot.
"Jujur saja, kukira aku sudah mati dan jiwaku ditawan di kampung hantuen. Satu malam aku tidur disini dengan rasa takut dan ngeri. Ada suara tangis dan jerit kesakitan. Rasanya ingin kabur namun tubuhku terlalu lemah.
Lalu hari kedua, tubuhku sudah membaik. Saat kuintip, ada empat sosok yang mencurigakan. Kukira hantu, makanya aku pun menyamar jadi hantu agar tidak diganggu. Tengkorak dan tulang itu kutenteng kemana-mana. Konon, hantu akan tertipu bila ada manusia yang menyamar jadi hantu."
"Dasar jamet !" sentak kapten lantang, "apa kau tidak merasa ngeri menenteng tengkorak manusia kemana-mana !?"
Mas Sugang lagi-lagi tertunduk sambil menggigit bibir.
"Kenapa kau tidak berusaha mencari kami ?" tanya kapten pelan.
"Maaf kapten. Kukira kalian semua sudah mati."
Kapten menghela nafas panjang mendengar penuturan mas Sugang.
"Kapten, tunggu di sini. Ada sesuatu yang ingin kutunjukan untuk kalian."
Mas Sugang lalu bangkit dari duduk, lalu berlari kecil ke rumah sebelah. Kami berempat terheran-heran dengan tingkahnya yang ganjil.
Tidak berapa lama, mas Sugang sudah kembali dengan membawa benda aneh, diapit dengan dua tangan di dada. Berwarna putih pudar, benda ditangannya terlihat seperti kelambu usang.
"Hamid, Dayat, bantu aku membentang benda ini." ujar mas Sugang dengan nafas putus-putus.
Aku dan Dayat kemudian membantu membentang benda itu. Sangat panjang, hingga ujung ruangan rumah ini hanya cukup untuk separo benda itu. Kalau dibentangkan semua, mungkin panjangnya lebih dari 20 meter. Sedangkan lebarnya kutaksir sekitar 3 meter.
Kami lalu berdiri di samping benda itu.
Di balik cahaya lampu teplok yang temaram, kami semua tercekat begitu menyadari benda apa yang dibawa mas Sugang.
"Kulit Tambun" ucap mang Soleh lirih.
"Mahluk itu rupanya baru berganti kulit. Mungkin ia ada di sekitar sini." Lanjut mang Soleh sambil menatap wajah kami bergantian. Kulirik, wajahnya terlihat tegang.
Kecemasan kami bertambah, ketika lantai tempat kami berpijak mulai bergetar. Dari luar, suara desisan yang tidak asing kembali terdengar.
Seeessh....seesshhh...
Persis suara desisan tempo hari, suara desisan yang merenggut nyawa.
Deg ! Deg ! Deg !
Jantungku berdetak kencang, menyadari tambun sudah ada di sekitar kami.
Kami semua menahan nafas dan tidak bergerak sejengkal pun, karena suara desisan itu terdengar semakin nyaring.
Kraak...kraak...
Tiang-tiang penyanga di sisi kanan bergemeretak, saat suara desisan bergerak perlahan ke atas atap.
Lantai mulai miring dan dinding pecah satu persatu karena tidak sanggup menahan beban.
Dengan wajah tegang, kami berlima menatap langit-langit.
Bruaaak....!!!
Langit-langit rumah tiba-tiba hancur berantakan. Mulut besar dengan barisan gigi tajam menganga lebar mencari mangsa.
Sekuat tenaga aku berlari menerjang pintu. Tubuhku terpelanting dan tersungkur di tanah. Darah mengucur dari sikut dan pelipis.
Di belakang, jerit kematian menggema di kampung yang sunyi ini.
...bersambung...
Sampai jumpa malam Senen ye gansist. Moga gak bosen en terhibur am thread ane yang absurd.
Jangan lupa sakrep, komeng dan syer ewer-ewer 😁



bruno95 dan 61 lainnya memberi reputasi
62
Kutip
Balas
Tutup