Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Gua memandangi Larissa yang kini terbaring diatas ranjang. Rambutnya tergerai, sebagian menutupi wajahnya. Gua menarik selimut, menyelubungi tubuhnya yang masih mengenakan seragam SMA. Sebuah frame foto di atas meja kecil disebelah ranjang menarik mata gua. Dalam frame seukuran postcard itu terdapat 4 remaja dengan baju SMP yang tengah berpose mengacungkan dua jarinya. Gua mengenali keempatnya; Larissa, Dita, Sekar dan Rio.
‘Mereka memang sudah bersahabat sejak SMP’ gua membatin dalam hati.
Disebelah frame foto tersebut, terdapat frame berukuran sama yang menampilkan foto Larissa sendirian, tengah tersenyum, sementara dua jarinya menunjuk ke arah pipinya. Terlihat dari cahaya di belakang sosok Larissa, foto itu diambil saat sore hari di sebuah pantai.
Berawal dari frame foto tersebut, mata gua lalu ‘berkeliling’. Kamar Larissa terbilang cukup luas, mungkin 3 sampai 4 kali lebih luas dari kamar milik gua. Malah mungkin bisa dibilang kamar Larissa setengahnya luas rumah gua.
Di Sudut terjauh kamar terdapat jendela berukuran besar dengan tirai mewah putih bermotif garis vertikal. Disusul area kosong yang cukup luas, dengan lemari bercermin besar disalah satu sisi-nya. Sementara, posisi ranjang milik Larissa berada di tepat di tengah-tengah ruangan. Tepat di samping ranjang, terdapat meja kecil tempat frame-frame foto yang barusan gua lihat, disusul Meja belajar dengan sebuah monitor komputer besar di atasnya.
Sementara, di sisi seberang meja belajar terdapat satu set home theater berwarna hitam. Bagian dinding di belakang home theater terdapat poster-poster musik. Satu poster berukuran lebih besar dari poster-poster lainnya menarik perhatian gua. Menampilkan potret seperti kepala alien botak yang cukup aneh, poster album, Disturbed; The Sickness. Dan deretan poster-poster band lainnya, sebut saja Seether, Soundgarden, Silverchair dan masih banyak yang lainnya.
Melihat deretan poster-poster tersebut, gua yang tadinya merasa mengenal Larissa tiba-tiba merasa terasing. ‘Siapa cewek ini sebenernya?’ gua bertanya dalam hati.
“Kenapa, aneh ya kalo ada cewek demen band-band kayak gitu?”
Suara Kakak Larissa membuyarkan lamunan gua. Ia sudah kembali berdiri dan bersandar di ambang pintu.
Gua menggeleng.
“Lo udah makan belom?” Kakak Larissa bertanya ke gua.
Gua mengangguk pelan; ‘Bohong’.
“Boong, Makan dulu…”
“Nggak makasih..” Gua menolak tawarannya.
“Makan dulu” Kakak Larissa mengulang kata-katanya, kemudian menarik baju gua.
Lalu kami mulai berjalan, menyusuri tangga, hingga sampai ke bawah kemudian berbelok ke kiri melewati lorong yang kedua sisinya terdapat kaca-kaca besar dengan tirai yang senada dengan yang berada di kamar Larissa, berbelok ke kanan melewati sebuah taman outdoor dengan kolam ikan di sudutnya, hingga akhirnya kami berdua tiba di ruangan bernuansa hitam putih. Sebuah meja besar berwarna putih membentang sepanjang 3 meter, di masing-masing sisi meja terdapat kursi bersandaran tinggi dengan warna dan motif yang sama.
Di Atas meja beralas kaca terdapat bungkusan plastik berwarna putih berlogo restoran cepat saji.
Barulah ditempat ini, kakak Larissa melepas tangannya dari baju gua. Ia kemudian berjalan ke arah meja, membalik piring yang berada di tepi meja kemudian mulai mengeluarkan isi dalam bungkusan plastik tersebut. Dengan cekatan, seorang wanita seperempat baya berwajah ramah menghampirinya; sepertinya berniat membantu.
“Udah biarin, mbak istirahat aja sana…” ucapnya sedikit ketus. Seketika juga si Mbak berwajah ramah tersebut mengangguk, mundur dan kemudian pergi meninggalkan kami.
“Oi, Bian…” Panggilnya, seraya melambaikan tangan ke gua.
Kakak Larissa lalu meletakkan potongan ayam goreng berukuran besar dan nasi yang terbungkus kertas ke atas piring, kemudian menyodorkannya ke gua. Sementara, gua hanya bisa terdiam menerimanya. Jujur, ini merupakan kali kedua gua makan dirumah orang, yang pertama waktu malem minggu kemarin di rumah Dita. Dan kali ini, dirumah Larissa. Dan keduanya sama-sama disuguhkan ayam goreng.
“Gw udah cuci tangan, tenang aja..” Ucapnya, saat melihat gua nggak langsung menyantap makanan yang ia berikan.
“Udah, makan… ntar mati lo” Tambahnya.
Ia lalu duduk di sebelah gua, satu kakinya ia naikan ke kursi sementara tangannya memegang gelas karton berisi soda.
Dengan perasaan yang campur aduk; Grogi, kikuk, malu dan tentu saja lapar; akhirnya gua pun mulai makan.
“Lo nggak satu SMP sama Sasa ya?” tanyanya, sambil meminum soda melalui sedotan.
Gua menggeleng.
“Pantesan, gw baru liat…” Tambahnya.
“...”
“Lo suka ya sama Sasa?” Nggak ada hujan, nggak ada petir, ia lalu bertanya. Pertanyaan yang sama yang sempat diajukan Dita kala itu.
Hampir aja gua tersedak mendengar pertanyaan tersebut. Ia lalu mengambil Gelas karton berisi minuman lainnya dari bungkusan plastik, memasukkan sedotan dan menyerahkannya ke gua.
Seperti sengaja menunggu gua selesai minum, ia lalu mengulang pertanyaannya; “Lo suka sama Sasa?”
Gua terdiam sebentar kemudian menggeleng; “Nggak tau”
“Lah, kok bisa nggak tau, aneh..” Responnya.
Gua kembali terdiam, nggak tau harus menjawab apa. Iya, jujur sampai sekarang gua nggak tau perasaan terhadap Larissa seperti apa. Kalo patokan ‘suka’ cuma dari kangen karena 3 hari nggak ketemu, kok terasa ‘dangkal’ ya. Lalu, kalo khawatir memikirkan Larissa kemana aja selama 3 hari nggak masuk sekolah, lalu dibilang ‘suka’, kok ya nggak masuk nalar gua. Ah entahlah?
“Sasa beberapa kali ceritain lo..” tambahnya.
“Hah, cerita apa?” Gua balik bertanya.
“Nah, lo baru tertarik kayaknya nih…”
“...”
“... katanya dia ketemu temen baru disekolah, cowok, pendiem, trus … tunggu, lo jangan GeEr dulu ya, Ganteng katanya…”
“...” Gua terdiam, menunggu kelanjutan ceritanya.
“Udah.. gitu aja sih…” Ujar Kakak Larissa mengakhiri cerita.
Lah, gitu doang kok bisa-bisanya orang ini bilang kalo Larissa suka sama gua. Aneh.
Terdengar suara sedotan dari tetes terakhir di gelas kertas yang digenggam kakak Larissa. Sementara, gua pun hampir menyelesaikan porsi makanan milik gua.
“Lo kalo mau pulang, pamit dulu sama Sasa. Kalo dia tidur gapapa, pamitin aja..” ia berkata saat gua tengah mencuci tangan di wastafel.
Gua mengangguk setuju.
Beberapa menit kemudian, gua kembali menuju ke kamar Larissa di lantai atas. Membuka pintunya dan masuk. Hawa dingin dari penyejuk ruangan langsung merayapi tubuh, gua lalu berjongkok di sisi ranjang, kemudian berbisik; “Gua balik ya…” Seraya kembali menutupi tubuh Larissa dengan selimut yang hampir jatuh.
Saat hendak berbalik, terdengar panggilan dari Larissa. Pelan, sangat pelan; “Bi…”
“Ya..”
“Jangan pulaang…” Pintanya.
“Emang orang suru nemenin lo aja, saa…” Terdengar suara Kakak Larissa dari belakang gua
“Besok pulang sekolah gua kesini lagi…” Gua berjanji ke Larissa, yang kemudian dijawab dengan anggukan dan senyum kecil diwajahnya yang terlihat pucat.
Gua lalu berdiri dan berjalan meninggalkan kamar.
“Biar dianter sama Supir, bian…” Ucap kakak Larissa saat kami menuju ke pintu keluar.
“Nggak usah, makasih. Gua naek ojek aja…” Gua menolak tawarannya.
“Emang masih ada ojek jam segini?” Tanya Kakak Larissa sambil melihat ke arah jam kayu berukuran besar yang berada di sudut ruang tamu.
“Taksi..” Gua menjawab.
“Owh, okey…”
Setelah pamit, gua berjalan cepat menuju ke gerbang.
“Bian…” Si kakak Larissa memanggil kemudian berjalan menyusul gua.
“Lo tau kenapa gw bisa nebak kalo Sasa suka sama lo?” Tanyanya.
Gua menggeleng.
“Sasa, nggak pernah sekalipun cerita tentang cowok ke gw… Nggak pernah sekalipun…” Ucapnya.
“...”
“... Sejak masuk SMA, setiap hari yang di ceritain ke gw cuma elo; ‘Bian hari ini gini’, ‘Bain hari ini gitu’, ‘Bian hari ini gini’, ‘Bian hari ini gitu’, nggak pernah seharipun dia nggak cerita tentang elo…”
“...”
“... So, kalo lo suka juga sama Sasa, Please jangan nyakitin dia…”
“...”
“... Dia udah terlalu sakit untuk disakitin..” Ujarnya menutup cerita, kemudian menggeser pintu pagar. Sambil menyunggingkan senyum. Senyum yang sama seperti milik Larissa.
Sepanjang jalan pulang, dibangku belakang sebuah Taksi, pikiran gua nggak henti-henti nya mencoba mencerna kata-kata yang terlontar dari Kakaknya Larissa tadi. Jujur, gua nggak terlalu memusingkan tebakan kakaknya tentang ‘Larissa suka Gua’, entah kenapa kalimatnya; ‘Dia udah terlalu sakit untuk disakitin’ selalu berputar-putar di kepala.
---
Esoknya, di sekolah, meja Larissa kembali terlihat kosong. Hadir kembali rasa yang mencekat dihati. Perasaan aneh yang sebelumnya belum pernah gua rasakan, rasa-nya lebih menyiksa dari sejak tak berjumpa dengannya 3 hari yang lalu.
Rasa apa lagi ini?
Bel tanda berakhirnya mata pelajaran terakhir berbunyi. Gua membereskan buku pelajaran dan memasukkannya ke dalam tas. Bersiap untuk ke rumah Larissa. Kemarin, gua udah berjanji kepadanya untuk kembali hari ini.
Di depan pintu kelas terlihat Sekar berdiri sambil bersandar pada dinding, tangannya ia lipat di dada, sementara tas punggung-nya ia biarkan bergantung di salah satu bahunya. Bibirnya terus bergerak mengunyah permen karet, dan kacamatanya ia naikkan, mengalihkan fungsinya sebagai penahan poni rambut.
“Lo kemaren jalan sama Sasa kan?” Tanya Sekar sambil beranjak dan mendekat.
Gua nggak langsung menjawab, terdiam sesaat, kemudian mengangguk pelan. Kemudian mengalihkan pandangan ke bawah, ke arah sepatu gua yang sudah cukup usang.
“Lo emang nggak tau kalo dia abis sakit?” Tanya-nya lagi.
“Ternyata emang susah ya ngomong sama elo?” Ucapnya sambil menghela nafas kemudian beranjak pergi.
“Gua nggak ngajak dia” Gua bicara, melakukan pembelaan. Sementara tatapan masih ke arah sepatu gua.
Mendengar jawaban gua, Sekar lalu menghentikan langkahnya. “Jadi, Sasa yang ngajak elo?”
“...”
“Terus, kenapa lo mau?” Tanyanya lagi. Kali ini ia kembali mendekat.
“...”
“Sasa kan abis sakit, klo dia ngajak lo jalan, harusnya lo tolak dong…” Tambahnya sambil jarinya menekan-nekan dada gua.
“...” Gua terdiam, nggak punya jawaban. Disisi lain terjawab juga rasa menyiksa yang sejak tadi hinggap di dada; Rasa bersalah. Kenapa gua ‘iyakan’ ajakan Larissa, kenapa gua biarkan Larissa mengikuti gua ke tempat latihan, kenapa?
“Lagian apa yang dilihat Sasa dari elo sih, kuper, aneh, nggak bisa ngomong…” Sekar bicara kemudian pergi. Sementara dari kejauhan terlihat Rio dan Dita berdiri menunggunya.
Gua hanya terdiam mendengar penghakiman dari Sekar. Gua lalu bersandar pada dinding yang sebelumnya disandari oleh Sekar, kemudian mulai berpikir dua kali untuk mengunjungi Larissa. Apa yang dibilang Sekar barusan ada benernya juga sih, apa coba yang dilihat dari gua; gua kuper, aneh, dan bahkan nggak bisa ngomong.
Deg!
‘Loh, sejak kapan gua mulai peduli dengan apa yang dikatakan orang?’ Ucap gua dalam hati seraya memandang ke arah telapak tangan, seperti meratapi sebuah perubahan yang terjadi dalam diri gua; sebuah perubahan yang aneh.
---
Hampir satu jam berikutnya, gua sudah berada di depan gerbang besar rumah Larissa. Cukup lama gua menunggu setelah menekan bel, lalu disusul dengan seorang perempuan seperempat baya, berwajah ramah yang berlari tergopoh-gopoh kemudian bergegas membukakan pintu.
Sambil membukakan pintu pagar, wanita tersebut buka suara; “Kalo cari Non Sasa nggak ada mas?” Ujarnya.
“Kemana?” Gua berhenti, membatalkan langkah menuju ke dalam.
“Ke rumah sakit, mas” Imbuhnya.
“Rumah sakit mana?”
“Aduh lupa saya nama rumah sakitnya apa…rumah sakit internasional apa gitu” Jawabnya ragu sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Gua meng-oh-kan tanpa suara. Dari nama yang disebutkan tadi, Gua berhasil mengantongi nama Rumah Sakit yang dimaksud si mbak barusan. Gua tau satu-satunya rumah sakit yang menggunakan nama itu.
“Makasih mbak” Gua lalu berbalik dan melangkah keluar dari komplek perumahan Larissa dan menuju ke Rumah Sakit.
Sampai di Rumah Sakit, gua duduk di kursi panjang tempat biasa para calon pasien menunggu untuk proses administrasi. Sambil memandang kosong ke arah pintu kaca otomatis tempat gua masuk tadi, gua berusaha keras mencari cara menemukan lokasi kamar tempat Larissa dirawat. Tadi, gua udah sempat bertanya ke petugas yang berjaga di front office, namun nyatanya mereka nggak bisa memberikan informasi tersebut ke gua. Entah untuk alasan keamanan atau hanya sekedar males melayani sosok pemuda SMA kayak gua.
“Kenapa nggak naek?” Sebuah suara mengagetkan. Gua menoleh, Kakaknya Larissa berdiri dihadapan gua, sambil menyodorkan botol air mineral.
“Nggak tau kamarnya…” Gua menjelaskan.
“314, udah sana…” ucapnya, seraya menunjukkan arah ke elevator dengan menggunakan dagu-nya.
“Thank you..” Gua mengucapkan terima kasih sambil meraih botol air mineral yang sejak tadi ia sodorkan kemudian bergegas menuju ke lantai atas.
Menit berikutnya, gua sudah berada di depan kamar dengan nomor 314 tertempel pada pintunya. Terdengar samar, suara tawa dari dalam kamar. Melalui jendela kaca berukuran kecil yang terdapat di pintu, terlihat sosok Sekar, Dita dan Rio mengelilingi sebuah ranjang. Dita duduk diatas ranjang pasien, Sekar duduk dibangku kecil sementara tangan dan dagunya ia sandarkan di ranjang, dan Rio terlihat duduk santai di Sofa panjang yang terletak di seberang ranjang sambil sesekali membolak-balik majalah yang tengah dibacanya.
Gua menurunkan tangan kanan gua dari gagang pintu. Kemudian berbalik dan berjalan menjauh.
Hampir setengah jam gua menunggu di lobi lantai dasar rumah sakit, sambil sesekali memandangi dari jauh ke arah elevator. Berniat, menunggu Dita, Sekar dan Rio pulang, barulah gua naik ke atas dan menemui Larissa.
15 menit kemudian, pintu elevator terbuka; Dita dan Sekar terlihat keluar dari elevator.
Gua bergegas menuju ke elevator begitu melihat Dita dan Sekar hilang dari pandangan.
‘Ting’, lampu tombol angka 3 yang tadi gua tekan mati. Menandakan telah sampai di lantai yang gua tuju. Pintu elevator terbuka; Sosok Rio berdiri dihadapan gua. Matanya menatap gua tajam, sementara kedua tangannya mengepal, seperti menahan amarah.
Gua mengabaikannya dan bergegas keluar dari elevator. Namun, Rio meraih kerah seragam SMA gua dan mendorong gua kembali masuk ke dalam. Tanpa penjelasan, ia melayangkan tinju ke wajah gua. Pukulan yang seharusnya bisa gua hindari, namun gua sadar, sepertinya pukulan ini pantas gua terima. Sepertinya, Rio telah menerima informasi dari Sekar kalau gara-gara gua lah Larissa kembali drop dan masuk rumah sakit.
Ia lalu melayangkan pukulan berikutnya ke arah kepala, dengan cepat gua membentuk siku dengan lengan kiri dan menutupi bagian kepala. Terhitung lebih dari 5 pukulan yang ia layangkan ke gua, bunyi ‘ting’ dari speaker di elevator kemudian menghentikan aksinya. Elevator sudah membawa kami kembali ke lantai dasar. Rio terlihat merapikan seragam SMA yang ia kenakan kemudian bergegas pergi begitu pintu elevator terbuka. Sementara, rombongan orang yang bersiap naik ke lantai atas langsung masuk menyesaki elevator.
Gua menyentuh sudut bibir gua yang pecah akibat pukulan dari Rio. Sebelum ke kamar Larissa, gua menyempatkan diri ke Kamar mandi untuk sekedar membersihkan luka dan seragam SMA gua yang terkena darah.
Menit berikutnya gua sudah kembali berada di depan kamar Larissa.
‘Cklek’ gua membuka pintunya pelan.
Terlihat Larissa tengah mengibaskan kertas kecil di tangannya.
“Biaaaannn….” Teriak Larissa begitu menyadari kehadiran gua.
Gua mendekat sambil tetap membuang muka ke sebelah kanan, berharap Larissa nggak menyadari luka di bibir gua.
“Hah, lo kenapa?” Tanya Larissa, seraya meraih tiang infus yang berada di sebelahnya dan turun dari ranjang.
Percuma, Mata Larissa lebih tajam dari yang gua kira.
“Gapapa..” Gua menjawab singkat. Kemudian menuntun kembali Larissa aga kembali ke ranjangnya.
Ia lalu pasang tampang cemberut. Baru gua sadari ternyata kertas yang sejak tadi ia kibaskan merupakan kertas polaroid. Terlihat dari meja kecil di sebelahnya, tergeletak deretan foto yang sepertinya baru saja diambil. Di foto tersebut, nampak Dita, Sekar, dan Rio tengah berpose mengelilingi Larissa yang berada di ranjang pasien.
“Lo berantem ya bi?” tanyanya, sementara matanya tak henti-henti menatap ke arah luka di sudut bibir gua.
Gua menggeleng pelan, sambil menyunggingkan senyum. Berusaha agar Larissa nggak khawatir dengan luka di bibir gua.
Larissa menggeser tubuhnya, lalu menepuk ranjang, memberikan gua kode agar duduk disana. Gua pun menurutinya.
Ia menyentuh bagian kancing atas seragam gua, yang tadi sempat gua basuh karena bernoda merah terkena darah. Ia lalu memukul pelan dada gua, dan menyandarkan kepalanya disana.
“Lo ngapain pake berantem segala sih bi…?” ucapnya.
“Gua nggak berantem…” Gua menjawab pelan.
“...”
“Tadi naek ojek terus jatoh…” Jawab gua berbohong
“Kaaaaan…. besok-besok naek taksi aja laah…” Rengeknya.
Kepala Larissa masih disandarkan di dada gua, sementara tangannya masih menggenggam kertas polaroid yang berisi foto dirinya sendiri. Kami terdiam cukup lama, hingga terdengar suara pintu kamar Larissa terbuka. Gua berpaling.
“Ups Sorry…” Kakak Larissa muncul dari pintu, kemudian bergegas kembali keluar begitu melihat gua berada disana.
Dengan posisi kepala masih bersandar di dada gua, Larissa mengangkat tangannya; “Nih…” Ucapnya sambil menyodorkan kertas polaroid yang berisi foto dirinya.
“Buat gua?” Gua memastikan.
“Iya buat elo lah…” Jawabnya, saat ini ia sudah kembali duduk tegak di ranjangnya, matanya terlihat berkaca-kaca.
“Lo diem…” Larissa memberi perintah, kemudian mengambil kamera polaroid hitam dari meja di sebelahnya dan mulai membidik gua.
“Senyum bi…” Ujarnya memberi instruksi.
Gua lalu memaksakan senyuman.
‘Ckrek’ Larissa berhasil mengambil gambar gua, disusul sebuah kertas keluar dari bagian bawah kamera. Larissa mengambilnya kemudian mengibasnya beberapa kali. Perlahan-lahan, kertas polos berwarna putih tersebut secara ajaib menampilkan potret diri gua yang tengah pose senyum ‘terpaksa’.
“Yeay.. Ini gw simpen, itu foto gw lo simpen…” ujarnya.
“Sekarang kita foto berdua…” Lagi-lagi Larissa memberi instruksi.
“...”
---
“Nih, elo satu, gw satu…” Larissa memberikan salah satu dari dua hasil jepretan-nya barusan. Potret kami berdua yang sama sekali kurang proper; di foto tersebut Larissa berpose mengangkat dua jarinya, sambil menjulurkan lidah, sementara gua terlihat menutup mata karena silaunya kilat dari kamera. Tentu saja dengan mengabaikan, luka di bibir, noda merah di seragam, selang infus dan gelang pasien Larissa yang terlihat jelas.
“Lo sebenernya sakit apa?” Gua bertanya kepadanya, setelah tawanya selesai karena melihat pose kami berdua.
“Gw tuh cuma anemia ajaa, bi... makanya nih di tambahin darah…” Ia memberikan penjelasan kemudian menunjuk ke arah tiang infus yang berisi kantong berisi cairan berwarna merah.
Gua sadar akan kebohongan yang nggak bisa disembunyikan dari wajahnya. Namun, gua juga nggak mau memaksa mengatakan hal yang sebenarnya.
“Gw kayak vampir ya bi? pucet, terus butuh darah…” Tanyanya sambil memaksakan senyum.
Saat sebelum gua pulang, Larissa menggapai tangan gua. “Bi, kalo gw jadi vampir gimana?” tanyanya, sambil pasang ekspresi lucu.
Gua tersenyum, lalu menjawab: “Ya, lo cuma boleh nyedot darah gua...”
Insatiable - Darren Hayes
When moonlight crawls along the street
Chasing away the summer heat
Footsteps outside somewhere below
The world revolves I've let it go
We built our church above the street
We practiced love between these sheets
The candy sweetness scent of you
It bathes my skin I'm stained in you
And all I have to do is hold you
There's a racing within my heart
And I am barely touching you
Turn the lights down low
Take it off
Let me show
My love for you
Insatiable
Turn me on
Never stop
Wanna taste every drop
My love for you
Insatiable