Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

aisyahzshaki053Avatar border
TS
aisyahzshaki053
MISTERI HUTAN LARANGAN
Ada sesuatu yang berbeda dari hutan ini, desas-desus tentang angker dan berbahaya. Hutan
yang kata warga sekitar penuh dengan mistis dan cerita horor.

Aku Naya, seorang gadis pendiam yang berusia 22 tahun, bekerja di sebuah pabrik yang terletak di pinggir hutan. Tak menyangka, kemampuanku melihat mahluk tak kasat mata, membawa pada terungkapnya sebuah misteri dan rahasia besar di hutan itu. Pernyataan warga berbanding terbalik dengan apa yang kusaksikan, ada apakah sebenarnya?


Bisakah aku dan teman-teman menguak misteri di baliknya?
Diubah oleh aisyahzshaki053 25-10-2021 08:29
gembogspeed
bukhorigan
itkgid
itkgid dan 13 lainnya memberi reputasi
12
5.8K
65
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
aisyahzshaki053Avatar border
TS
aisyahzshaki053
#5
Anak Hilang
Teman-tamanku keheranan, katanya mereka tak melihat apa yang tengah kulihat saat ini, mereka saling tatap bertanya-tanya.

"Mana ih? Aku nggak ada apa-apa juga." Lilis celingukan mendekati jendala kaca.

"Ta-tadi." Telunjukku mengambang di udara, di sana tak ada siapa-siapa, tapi jelas tadi aku melihat seseorang di luar sana. Apa itu makhluk tak kasat mata?

"Minum, Nay." Zul menyerahkan minuman yang ia bawa.

"Kamu ngantuk, Nay?"

"Iya mungkin, aku tadi kayak lihat ... ah atau mungkin cuma halusinasi." Aku yakin dengan apa yang aku lihat, tapi jika diperpanjang malah akan membuat teman-temanku gusar.

"Eh, tapi dengar deh, suara itu masih ada, itu suara sepatu kan?" Tiyas menatap kami, dan aku juga sama mendengar hal itu, cuma sekarang jauh.

Zul dan Muzi bergegas ke luar untuk melihat, tak lama kemudian mereka kembali.

"Nggak ada orang," kata Muzi menggelengkan kepalanya.

Aku yang masih tak percaya mengusap dada yang detaknya tak beraturan melihat sosok perempuan gaun merah yang pernah kulihat di toilet waktu itu, tapi kali ini wajahnya menakutkan, penuh belatung.

"Kok aku merinding ya, jangan-jangan...." Zul menakuti lalu dia tergelak  melihat wajah kami yang tegang karena ketakutan.

"Zul, jangan bercanda. Tadi siapa sih? Beneran nggak ada orang? tanya Tiyas.

"Nggak tau, memang di luar nggak ada orang kok. Sudahlah nggak usah dipikirin, mungkin kucing narik-narik kresek," tandasnya. Zul mengajak kami ngobrol untuk menghilangkan ketegangan.

***

     Jam sembilan malam pekerjaan kami selesai, aku membereskan meja dan alat-alat tempurku. Setelah semua selesai, kami berjalan keluar.

Ratu datang menghampiri kami. Ya kata Zul dia juga masih ada kerja di kantor, jadi ikut kerja lembur.

"Aku nggak jadi nginep di kontrakan mereka ah Zul, masih belum larut kok.  Anterin aku pulang ke rumah aja ya, Sayang?" Ratu merengek pada Zul, tangannya menggandeng erat tangan Zul.

"Nanti aku sampai ke kontrakan aku kemalaman, Ratu. Cuma malam ini aja kamu tidur di kontrakan mereka, ya?" pinta Zul, memasang wajah memelas.

Ratu merungut tanda tak setuju. "Aku nggak mau, pokoknya mau pulang!" kukuhnya.

"Ih, saha oge nu hayang kaendongan ku jelama ganjen," (siapa juga yang mau dia nginep) gerutu Nining berisik padaku.

Aku meletakkan telunjuk di bibir sambil menahan tawa, agar Nining tak cari masalah dengan Ratu.

"Ya sudah, ayo aku antar," sungut Zul terpaksa ketika melihat Ratu merengut.

"Makasih, Sayang." Ratu tersenyum manja.

"Hueeek!" Nining mengejek.

"Apa Lo?" Ratu melihat Nining.

Nining mengedikkan bahu. Lilis dan Tiyas menahan tawa melihat gelagat teman kami satu itu.

"Ayo ah pulang, aku lapar," ajakku sambil melangkahkan kaki menuju ke arah pintu gerbang menarik tangan Nining dan teman-teman lain.

Kami berjalan beriringan, sedangkan pikiranku masih pada pemandangan di kaca jendela tadi. Aku menoleh ke arah kantor yang sudah sepi, sepertinya semua pekerja sudah pulang, lampu di dalam kantor sudah terlihat gelap.

Mataku menangkap sesuatu, sesosok perempuan berjalan menyeret kakinya di samping kantor. Langkahku terhenti, apa itu sosok perempuan tadi? Tapi kenapa dia menuju ke belakang, ke arah hutan, keningku bertaut. Sebenarnya siapa itu? Manusia atau?

"Zi, di kantor  masih ada orang kah?" tanyaku pada Muzi. Penasaran dengan apa yang aku lihat.

Semua yang berjalan terhenti menoleh ke arahku, lalu mereka ikut menoleh ke arah kantor mengikut arah kepalaku yang masih memandang ke sana.

"Nggak ada, tuh sudah sepi. Semua sudah pulang," jawab Muzi. "Kenapa memang?" lanjutnya.

"Ng-nggak, ayo pulang," ajakku.

Zul menatap, seakan menelisik tingkahku saat ini.

Aku membuang muka, lalu mengajak yang lain melanjutkan berjalan ke rumah kontrakan.

Mungkin saja itu salah satu makhluk yang bisa kulihat, harus bisa menahan takut agar tak menyebabkan geger di sekitar pabrik terutama teman-teman. Lagi pula hal itu sudah sering aku saksikan, dan biasanya tak mengganggu, hanya memperlihatkan diri dan hilang begitu saja.

-----------

    Keesokan harinya, kami beraktivitas seperti  biasa. Bergelut dengan kain yang  akan kami jahit, belum ada baju yang bisa kami kerjakan untuk di repair, kemarin sudah selesai semua.

Hari ini datang barang baru berupa kain yang siap untuk dijahit menjadi baju sesuai model yang sudah dicontohkan. 

Waktu makan siang tiba, aku dan teman-teman berjalan pulang untuk makan siang di kontrakan.

"Naya, tunggu!"

Aku menoleh ke arah suara  yang memanggilku.

"Ada apa, Zul?" tanyaku yang melihat Zul berlari ke arahku.

"Ada yang mau aku bicarakan sama kamu, kita makan siang bareng di kantin, aku traktir," sahut Zul, napasnya tersengal karena berlari tadi.

Aku melirik ke arah teman-temanku, solah-olah meminta pendapat tanpa bicara bahwa aku tak bisa pulang makan bareng dengan mereka.

"Yaudah, Nay, ikut saja, nggak apa-apa," ulas Tiyas seakan mengerti kode dariku.

"Ehem, roman-romannya ada sesuatu nih," usik Lilis.

"Kahade aya nu ngadat (hati-hati ada yang ngamuk)," timpal Nining mengusik sambil cekikikan.

Aku mengerti siapa yang mengamuk yang dimaksud Nining.

"Apaan sih kalian ini," kesalku pada isikan mereka.

"Kita duluan ya, Nay, moga sukses," goda Tiyas. Mereka tertawa lalu berjalan meninggalkanku dan Zul.

Aku dan Zul berjalan menuju kantin.

"Kamu pesan apa?" tanyanya.

"Apa aja."

"Ok, cari meja, aku ke sana pesan makanan." Lelaki itu memesankan makanan dan minuman untukku. Sedangkan aku mencari tempat duduk sesuai permintaannya.

Tak lama Zul datang membawa makanan yang dia pesan, satu porsi nasi campur dan segelas air teh manis dingin di serahkan ke arahku yang sudah duduk lebih dulu.

"Makasih, Zul."

"Sama-sama, selamat makan."

"Ada apa, Zul? Kamu bilang ada yang mau diomongin?" tanyaku memulai percakapan. Aku menyuap makanan ke mulutku menunggu sambil menunggu jawaban dari Zul.

"Ayo di makan dulu ," ajaknya belum menjawab pertanyaanku. Padahal tanpa dia suruh, aku sudah menyantap duluan.

"Malam tadi, aku lihat juga apa yang kami lihat."

Aku yang sedang mengunyah, berhenti seketika. "Maksud kamu suara sepatu sama yang ada di jendela?" tanyaku sedikit terkejut dengan pengakuan Zul.

"Iya, sama yang berjalan di dekat kantor."

"Jadi kamu juga...."

Aku menghentikan  pertanyaanku dan menatap penasaran pada Zul.

"Iya, aku juga bisa lihat," jawab Zul sambil terus menyuap makanan ke mulutnya. Dia seperti tak merasa heran.

"Sejak kapan?"

"Sejak kecil, sama seperti kamu, aku tahu kamu bisa lihat hal itu dari dulu. Kamu ingat kakek aku? Dulu aku sering ikut kakek kalau kebetulan Kakek dipanggil ke rumah kamu."

Aku tak terlalu ingat apa yang diceritakan Zul, tapi memang dulu Ayah dan Bunda sering memanggil seseorang untuk meruqiyah, dan itu Kakek Zul.

"Jadi kamu tahu kekurangan aku?" Ya bagiku itu suatu kelemahan.

"Kita sama kok, bisa melihat hal-hal seperti itu, malah mungkin aku lebih dari itu," lanjutnya. Zul menyeruput teh manis di hadapannya yang isi gelasnya penuh dengan es batu.

Aku yang tak mengerti dengan maksud Zul, aku bertanya. "Maksudnya gimana? Lebih apanya?"

"Kamu pernah nggak, melihat bayangan orang lain yang geraknya berbeda dengan si pemilik tubuh?"

"Aku nggak ngerti," jawabku yang memang masih belum bisa menangkap arah pembicaraan Zul.

"Begini ... kalau kita berdiri, bayangan  kita pasti ikut berdiri juga, kan? Kalau duduk, bayangan kita duduk, kan?"

Aku mengangguk mendengar  pernyataan Zul.

"Nah, aku pernah lihat beberapa kali orang yang kerja di pabrik ini, bayangannya bergerak-gerak nggak sejalan sama orangnya. Beberapa hari setelahnya, aku dengar ada orang tua yang mencari anaknya ke pabrik ini karena anaknya sudah tiga hari nggak pulang," jelas Zul yang masih saja mengunyah makanannya.

"Orang hilang?" Aku sama sekali tak pernah mendengar kabar itu.

"Iya, orang kantor bilang sama si ibu yang mencari anaknya itu, katanya si anak sudah tiga hari mengundurkan diri, sudah nggak kerja lagi di pabrik ini. Awalnya aku pikir biasa aja, mungkin anaknya minggat dari rumah karena ada masalah atau apa."

"Terus?" Aku penasaran dengan cerita Zul.

"Ternyata bukan sekali itu saja, Nay. Selama empat bulan ini sudah ada empat  orang yang datang ke pabrik, mencari anaknya yang nggak pulang, aneh nggak?" tanya Zul. Makan nya malah semakin lahap.

"Kok bisa? Berarti ... dalam satu bulan ada yang hilang satu orang, gitu?" tanyaku yang masih belum mengerti juga maksud pembicaraan ini.

"Iya, kamu percaya nggak, Nay. Mungkin saja kehilangan anak mereka ada hubungannya dengan hutan di belakang pabrik," ujarnya.

Ah, makin tak paham saja aku dengan cerita Zul.

"Selama ini warga percaya, orang yang pergi ke hutan itu nggak akan balik lagi. Tapi apa yang aku rasa, hal ini lebih dari itu, Nay."

"Maksud kamu, mereka yang hilang itu, pergi ke hutan dan nggak balik lagi? Seperti rumor warga selama ini?"

"Nanti deh aku sambung lagi ceritanya, kamu kayaknya masih bingung dan belum menangkap cerita aku," timpalnya menghabiskan makanan.

"Ya kamu cerita harus jelas, yang detail, biar aku ngerti." Memang aku belum juga mengerti apa yang dimaksud  oleh Zul.

"Iya nanti deh, aku jelaskan sejelasnya, waktunya harus tenang dan tepat, bukan di sini."

Aku dan Zul menyelesaikan makan siang kami, lalu kembali ke pabrik untuk Salat dzuhur. Kulihat Ratu sudah berkacak pinggang di pintu masuk, aku tak menghiraukannya.

Ratu menarik tanganku ketika lewat di dekatnya.

"Kamu ngapain jalan bareng sama pacar aku?" tanyanya ketus.

"Ada yang kami bincangkan, kami nggak ngapa-nagapain kok."

"Bohong! Kamu sengaja kan pengen selalu deket sama Zul?"

"Ratu! Aku sengaja ajak dia makan siang, ada kerjaan dari kantor untuk Naya sama teman-temannya." Zul yang datang barengan membantah tuduhan Ratu.

Perempuan itu tak mengindahkan ucapan Zul, ia terus memaksaku agar mengatakan kenapa kami bisa makan bersama.

Aku melepas paksa tanganku dari cengkeraman Ratu, dan berlalu tanpa menjawab pertanyaannya.

Seperti biasa dia berhambur ke arah Zul sambil merengek, sempat aku melirik ke arah mereka, sepet melihat Ratu.

Hueek. Kutiru gaya Nining. Kesal rasanya melihat Ratu dengan Zul hari ini. Apa aku cemburu? Ah, tak mungkin. Kenapa juga harus cemburu? Aku menggeleng-geleng kepala.

----------

      Aku dan teman-teman pulang kerja seperti biasa jam empat sore, berjalan pulang sambil bercerita hal-hal lucu, tak terasa kami sampai di  kontrakan. Di depan rumah tetangga depan rumah sudah berkumpul beberapa orang, mereka mengobrol satu sama lain, sementara Mbak Rani--tetangga depan rumah--terlihat menangis meraung-raung. Kami yang baru sampai, bergegas menghampiri.

"Ada apa ini, Pak?" Aku bertanya  pada  salah satu tetangga yang sedang berkumpul.

"Anaknya Mbak Rani hilang, sudah dicari ke tiap kampung terdekat, belum juga ketemu," jawabnya.

Aku dan teman-temanku keheranan dan saling bertanya.

Zul dan Muzi baru sampai, melihat kami berkumpul, dia menghampiri dan ikut bertanya. Aku ceritakan  pada Zul dan Muzi yang diceritakan tatangga tadi.

"Biar pun dia itu anak tiri, tapi Akang nggak pantes memarahinya begitu! Lihat  Kang, sekarang anakku pergi nggak tau ke mana!" ucap mbak Rani yang masih terus menangis dan terlihat kesal pada suaminya.

Kang Ujang hanya diam saja, anteng menghisap rokoknya tanpa peduli pada ocehan istrinya dan kerumunan warga.

Kesal rasanya melihat tingkah Kang Ujang yang tak acuh begitu saat melihat istrinya panik dan menangis.

"Ternyata Ardi itu anak tirinya kang Ujang ya, Nay. Pantesan aja sikapnya sama Ardi, hare-hare (tak peduli)," bisik Nining padaku.

Aku juga baru tahu kalau Ardi anak tirinya kang Ujang.

"Kira-kira Ardi ke mana ya?" Tiyas bertanya padaku yang jelas tak tahu jawabannya.

Seorang perempuan tua warga kampung ini, datang tergopoh-gopoh menuju ke arah kami. Dia mendekatkan tubuhnya ke tubuhku.

"Tadi siang saya ke hutan cari kayu bakar, Neng. Di jalan ada seorang anak masuk ke dalam hutan, sudah dilarang sama mang Karta, tapi anak itu maksa dan lari masuk ke hutan, apa mungkin itu anaknya si Mbak yang hilang, ya?" ujar si Ibu sedikit  berbisik ke arah kami.

"Jadi Ibu lihat anak itu?" tanyaku.

"Nggak tau sih anak siapa, tapi emang ke hutan dan nggak bisa dilarang."

"Kira-kira anaknya umur berapa tahun, Bu?" tanya Zul membantu bertanya. Karena kami tau dari perkenalan hari itu, Mbak Rani bercerita usia anaknya sebelas tahun.

"Kira-kira sepuluh tahunan lah, kurang tau persisnya, tinggi kurus anaknya. Kalau bisa cari saja ke hutan sekarang mumpung  belum malam. Kalau nunggu besok pagi, takut udah nggak  bisa ketemu," jawab Ibu itu, seperti takut mau bicara.

Apa mungkin  anak yang masuk ke hutan itu adalah anak mbak Rani? Aku dan Zul saling tatap.

***
Diubah oleh aisyahzshaki053 25-10-2021 08:37
jenggalasunyi
ariefdias
JabLai cOY
JabLai cOY dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Tutup