- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 19:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#292
Quote:
Original Posted By benbela►
Tanpa khawatir, mang Soleh melangkah gontai ke arah gapura. Tombak menyilang ia copot, ia ambil sebuah sebagai senjata lalu berjalan di bawah bentangan Hinting Pali menuju ke dalam kampung.
Aku dan Dayat hanya bisa saling pandang, sedangkan kapten Anang bergegas mengambil tombak yang tersisa dan menyusul mang Soleh.
Tidak ada pilihan, aku dan Dayat segera menyusul mereka berdua. Kami mempercepat langkah agar tidak jauh tertinggal, apalagi hari semakin gelap.
Pemandangan yang kami lihat di dalam kampung sungguh menciutkan nyali. Rumah-rumah penduduk terlihat porak poranda dan puing-puing berserakan di jalan yang berupa tanah merah.
Tulang-tulang dan tengkorak manusia bergelimpangan di mana-mana. Juga ada beberapa mayat yang masih utuh namun sisa tulang terbungkus pakaian.
Entah apa yang terjadi, sepertinya ada hal mengerikan yang menimpa kampung terpencil di tengah belantara ini. Beberapa yang selamat sepertinya berhasil melarikan diri.
Sejenak aku ragu, apakah memasuki kampung ini keputusan yang tepat. Mang Soleh dan kapten Anang yang memegang tombak bersikap waspada. Aku dan Dayat mengiringi di belakang dengan rasa cemas. Kayu telah kami pegang untuk berjaga-jaga. Entah kenapa, bulu kudukku kembali merinding. Sedari tadi aku merasa ada yang mengawasi kami entah dimana.
Sejauh mata memandang, daun-daun kering berserakan di sepanjang jalan.
Patung sapundu, patung berwujud manusia yang biasanya ada di depan rumah warga, bergeletakan di jalan.
Di kiri dan kanan, banyak rumah yang telah ambruk dan rata dengan tanah. Sebagian lagi tampak kosong tanpa penghuni, ditutupi tanaman merambat.
Apa yang kami lihat seperti kampung yang ada di film horor. Sepi, sunyi, dan berantakan.
"Kenapa kampung ini ?" tanya Dayat khawatir.
Tidak satu pun yang menjawab, Hinting Pali yang ada di gapura sepertinya pertanda yang cukup jelas.
Kami terus melangkah hati-hati agar tidak menginjak paku atau benda tajam lainnya.
Langkah kami terhenti ketika melewati sebuah tanah yang cukup lapang. Di tengahnya, berdiri tegak patung Sapundu yang biasa digunakan untuk mengikat hewan kurban saat ritual kematian.
Namun, bentuk ukirannya tidak lazim. Biasanya sapundu berwujud manusia, tapi yang di hadapan kami berwujud hewan melata. Melilit kayu ulin dengan barisan gigi dan taring tajam serta sisik yang menonjol, sapundu di depan kami berwujud ular naga raksasa yang sedang memangsa manusia.
"Tambun..." desis mang Soleh.
Kami semua tercekat. Saling pandang tanpa bersuara, seketika kami merasa ngeri. Hinting Pali yang ada gerbang, adalah peringatan agar tidak seorang pun memasuki kampung ini. Bila dilanggar, maka orang itu akan mati bersimbah darah.
Waktu terus berlalu dan langit semakin gelap. Kelaparan dan kelelahan, kami terpaksa menginap di kampung tanpa penghuni malam ini.
Setelah memeriksa beberapa rumah kosong, akhirnya kami menemukan sebuah rumah yang paling cocok untuk menginap.
Sebuah rumah yang paling kokoh, berbentuk panggung dan berbahan kayu. Peralatan dapurnya cukup lengkap, walau tidak ada kompor dan hanya menggunakan tungku. Ada sisa minyak tanah, juga pisau yang bisa dijadikan senjata. Jelas sekali kalau rumah ini ditinggalkan dalam keadaan buru-buru.
Hal pertama yang kami cari adalah sisa-sisa bahan makanan, entah beras atau ikan asin. Namun usaha kami sia-sia. Tidak ada satu pun yang bisa di makan. Begitu juga rumah yang kami periksa sebelumnya. Hanya ada beberapa bumbu dapur seperti garam dan gula.
Untung saja ada singkong yang tidak terurus. Daunnya kami petik dan umbinya kami cabut. Karena langit semakin gelap, kami terpaksa harus meraba-raba.
Saat mengambil setundun pisang yang tumbuh liar di dekat dapur, tiba-tiba perasaanku tidak nyaman. Aku kembali merasa ada yang mengawasi.
Di rumah kosong sebelah, terdengar suara langkah kaki. Aku berhenti memotong tundun pisang karena penasaran. Aku sangat yakin, tiap jengkal rumah kosong di sebelah sudah kami telusuri. Tak ada apapun yang kami temui kecuali rumah usang yang ditinnggal pergi. Namun, kini di rumah itu terdengar seperti ada penghuni.
Kupasang mata baik-baik karena bisa saja aku berhalusinasi. Pandangan kuarahkan untuk mengawasi tiap sudut rumah yang hampir roboh.
Pandanganku terhenti saat menatap ke arah jendela. Jantungku rasanya hampir copot, saat kulihat ada sosok seperti manusia berjalan di dalam rumah. Samar-samar dalam gelap, sosok itu terlihat sangat kurus berwarna putih pucat, dengan rambut panjang terurai. Sosok itu berjalan ke sana kemari, seolah sudah lama menghuni rumah itu.
Tubuhku tiba-tiba kaku dan mati rasa, saat sosok itu bergerak perlahan ke arah jendela. Sorot wajahnya mengerikan, karena tidak ada kulit yang membungkus daging. Matanya berlubang dan barisan giginya yang tajam terlihat jelas.
Hanya mematung dalam gelap, jelas sekali yang kulihat adalah tengkorak berambut panjang.
Jantungku berdetak sangat kencang, karena tengkorak itu terus menatap ke arahku di balik jendela.
Aku ingin menjerit tapi mulutku terkunci. Seumur hidup, baru kali ini aku melihat hantuen. Tubuhku gemetar dan kakiku terasa lemas.
Aku mulai membaca ayat kursi dalam hati, hingga tengkorak itu mundur perlahan dan menghilang dalam gelap.
"Alhamdulillah." Akhirnya aku bisa bernafas lega.
"Jangan melamun !" sentak kapteng Anang memukul pundakku. Di sampingnya, mang Soleh sudah berdiri dengan tombak, menatap tajam ke rumah kosong itu.
"Sebaiknya kita segera masuk. Terlalu berbahaya bila kita di berada luar saat gelap."
Mang Soleh lantas berbalik, lalu melangkah ke dalam rumah tempat kami menginap.
Kami bertiga yang di belakang segera menyusul. Namun tetap saja perasaanku tidak nyaman. Sekali lagi aku melirik ke rumah kosong itu. Di balik jendela, tengkorak itu ternyata masih mengawasi kami dengan tatapannya yang kosong.
Langit seutuhnya gelap, lampu teplok yang kami temukan jadi satu-satunya penerang. Di luar, keadaan benar-benar mencekam. Suara gemerisik daun yang tertiup angin terdengar sayup-sayup. Dari arah hutan, suara binatang malam kembali terdengar dan semakin berisik.
Makanan yang kami temukan telah habis tak bersisa. Kuah rebusan daun singkong pun kami seruput bergantian.
Setelah cukup kenyang, tidak banyak perbincangan yang kami lakukan. Kami tidak berminat membahas atau mencoba menebak-nebak tentang peristiwa mengerikan yang dialami penduduk kampung ini.
Kami hanya membahas perihal rencana esok pagi supaya bisa pergi secepatnya dari kampung ini dalam keadaan selamat.
Mang Soleh akhirnya menyuruh kami segera tidur, karena tidak mau esok hari kami bangun kesiangan. Menurutnya, semakin cepat meninggalkan tempat ini maka semakin besar peluang kami untuk pulang dalam keadaam hidup.
Dayat dan kapten Anang sudah terlelap. Mungkin karena kelelahan ditambah kondisi tubuh yang belum pulih, membuat mereka berdua cepat tertidur.
Kulihat mang Soleh, ia masih sibuk mengutak-atik beberapa senjata tajam yang ditemukan di dalam rumah.
Sedangkan aku, dari tadi masih belum bisa tertidur. Meski sudah memejamkan mata, pikiranku melayang kemana-mana. Suara cicak juga terdengar sangat keras, membuat nyaliku jadi ciut. Konon, bunyi cicak adalah pertanda kehadiran jin atau setan.
Aku kembali teringat tengkorak berambut panjang tadi. Semakin diusir, malah semakin menghantui. Aku berdoa dalam hati, berharap mahluk mengerikan itu pergi dari pikiranku. Namun, sorot matanya yang berlubang justru seolah-olah ada di hadapanku.
Mungkinkah ia hantuen, arwah penduduk kampung ini yang bergentayangan ? Apakah ia sendiri atau ada hantuen lain? Membayangkannya membuat bulu kudukku tiba-tiba bergidik.
Aku tiba-tiba terbangun saat suara-suara janggal terdengar dari luar. Awalnya suara yang kudengar masih samar, namun semakin lama terdengar semakin jelas.
...kreek....kreekkk...
Suara gesekan dinding kayu, seperti suara mencakar. Aku menutup telinga dan pura-pura tidur. Namun suara cakaran masih tetap terdengar.
Aku semakin panik saat mendengar suara lain, suara isak tangis tertahan. Suara isak terdengar sangat dekat, seolah-olah ada di antara kami yang sedang tidur.
Perlahan kubuka mata untuk memastikan sumber suara. Aku terkejut setengah mati, di sudut ruangan ada sosok seperti manusia sedang meringkuk.
Diterpa cahaya temaram, sosok bayangan hitam itu terisak pilu menyayat hati. Suara tangisnya terdengar sangat sedih seperti sedang meratapi nasib.
Seolah sadar sedang diperhatikan, sosok itu tiba-tiba mendongak, menatap tajam ke arahku.
Seketika tengkukku merinding dan jantung berdetak tidak karuan.
Di luar, suara cakaran di dinding terdengar di mana-mana hingga rumah bergetar. Kini kusadari, kami tidak sendirian di kampung ini.
...bersambung...
Bab 15 : Kampung Hantuen
Tanpa khawatir, mang Soleh melangkah gontai ke arah gapura. Tombak menyilang ia copot, ia ambil sebuah sebagai senjata lalu berjalan di bawah bentangan Hinting Pali menuju ke dalam kampung.
Aku dan Dayat hanya bisa saling pandang, sedangkan kapten Anang bergegas mengambil tombak yang tersisa dan menyusul mang Soleh.
Tidak ada pilihan, aku dan Dayat segera menyusul mereka berdua. Kami mempercepat langkah agar tidak jauh tertinggal, apalagi hari semakin gelap.
*****
Pemandangan yang kami lihat di dalam kampung sungguh menciutkan nyali. Rumah-rumah penduduk terlihat porak poranda dan puing-puing berserakan di jalan yang berupa tanah merah.
Tulang-tulang dan tengkorak manusia bergelimpangan di mana-mana. Juga ada beberapa mayat yang masih utuh namun sisa tulang terbungkus pakaian.
Entah apa yang terjadi, sepertinya ada hal mengerikan yang menimpa kampung terpencil di tengah belantara ini. Beberapa yang selamat sepertinya berhasil melarikan diri.
Sejenak aku ragu, apakah memasuki kampung ini keputusan yang tepat. Mang Soleh dan kapten Anang yang memegang tombak bersikap waspada. Aku dan Dayat mengiringi di belakang dengan rasa cemas. Kayu telah kami pegang untuk berjaga-jaga. Entah kenapa, bulu kudukku kembali merinding. Sedari tadi aku merasa ada yang mengawasi kami entah dimana.
Sejauh mata memandang, daun-daun kering berserakan di sepanjang jalan.
Patung sapundu, patung berwujud manusia yang biasanya ada di depan rumah warga, bergeletakan di jalan.
Di kiri dan kanan, banyak rumah yang telah ambruk dan rata dengan tanah. Sebagian lagi tampak kosong tanpa penghuni, ditutupi tanaman merambat.
Apa yang kami lihat seperti kampung yang ada di film horor. Sepi, sunyi, dan berantakan.
"Kenapa kampung ini ?" tanya Dayat khawatir.
Tidak satu pun yang menjawab, Hinting Pali yang ada di gapura sepertinya pertanda yang cukup jelas.
Kami terus melangkah hati-hati agar tidak menginjak paku atau benda tajam lainnya.
Langkah kami terhenti ketika melewati sebuah tanah yang cukup lapang. Di tengahnya, berdiri tegak patung Sapundu yang biasa digunakan untuk mengikat hewan kurban saat ritual kematian.
Namun, bentuk ukirannya tidak lazim. Biasanya sapundu berwujud manusia, tapi yang di hadapan kami berwujud hewan melata. Melilit kayu ulin dengan barisan gigi dan taring tajam serta sisik yang menonjol, sapundu di depan kami berwujud ular naga raksasa yang sedang memangsa manusia.
"Tambun..." desis mang Soleh.
Kami semua tercekat. Saling pandang tanpa bersuara, seketika kami merasa ngeri. Hinting Pali yang ada gerbang, adalah peringatan agar tidak seorang pun memasuki kampung ini. Bila dilanggar, maka orang itu akan mati bersimbah darah.
*****
Waktu terus berlalu dan langit semakin gelap. Kelaparan dan kelelahan, kami terpaksa menginap di kampung tanpa penghuni malam ini.
Setelah memeriksa beberapa rumah kosong, akhirnya kami menemukan sebuah rumah yang paling cocok untuk menginap.
Sebuah rumah yang paling kokoh, berbentuk panggung dan berbahan kayu. Peralatan dapurnya cukup lengkap, walau tidak ada kompor dan hanya menggunakan tungku. Ada sisa minyak tanah, juga pisau yang bisa dijadikan senjata. Jelas sekali kalau rumah ini ditinggalkan dalam keadaan buru-buru.
Hal pertama yang kami cari adalah sisa-sisa bahan makanan, entah beras atau ikan asin. Namun usaha kami sia-sia. Tidak ada satu pun yang bisa di makan. Begitu juga rumah yang kami periksa sebelumnya. Hanya ada beberapa bumbu dapur seperti garam dan gula.
Untung saja ada singkong yang tidak terurus. Daunnya kami petik dan umbinya kami cabut. Karena langit semakin gelap, kami terpaksa harus meraba-raba.
Saat mengambil setundun pisang yang tumbuh liar di dekat dapur, tiba-tiba perasaanku tidak nyaman. Aku kembali merasa ada yang mengawasi.
Di rumah kosong sebelah, terdengar suara langkah kaki. Aku berhenti memotong tundun pisang karena penasaran. Aku sangat yakin, tiap jengkal rumah kosong di sebelah sudah kami telusuri. Tak ada apapun yang kami temui kecuali rumah usang yang ditinnggal pergi. Namun, kini di rumah itu terdengar seperti ada penghuni.
Kupasang mata baik-baik karena bisa saja aku berhalusinasi. Pandangan kuarahkan untuk mengawasi tiap sudut rumah yang hampir roboh.
Pandanganku terhenti saat menatap ke arah jendela. Jantungku rasanya hampir copot, saat kulihat ada sosok seperti manusia berjalan di dalam rumah. Samar-samar dalam gelap, sosok itu terlihat sangat kurus berwarna putih pucat, dengan rambut panjang terurai. Sosok itu berjalan ke sana kemari, seolah sudah lama menghuni rumah itu.
Tubuhku tiba-tiba kaku dan mati rasa, saat sosok itu bergerak perlahan ke arah jendela. Sorot wajahnya mengerikan, karena tidak ada kulit yang membungkus daging. Matanya berlubang dan barisan giginya yang tajam terlihat jelas.
Hanya mematung dalam gelap, jelas sekali yang kulihat adalah tengkorak berambut panjang.
Jantungku berdetak sangat kencang, karena tengkorak itu terus menatap ke arahku di balik jendela.
Aku ingin menjerit tapi mulutku terkunci. Seumur hidup, baru kali ini aku melihat hantuen. Tubuhku gemetar dan kakiku terasa lemas.
Aku mulai membaca ayat kursi dalam hati, hingga tengkorak itu mundur perlahan dan menghilang dalam gelap.
"Alhamdulillah." Akhirnya aku bisa bernafas lega.
"Jangan melamun !" sentak kapteng Anang memukul pundakku. Di sampingnya, mang Soleh sudah berdiri dengan tombak, menatap tajam ke rumah kosong itu.
"Sebaiknya kita segera masuk. Terlalu berbahaya bila kita di berada luar saat gelap."
Mang Soleh lantas berbalik, lalu melangkah ke dalam rumah tempat kami menginap.
Kami bertiga yang di belakang segera menyusul. Namun tetap saja perasaanku tidak nyaman. Sekali lagi aku melirik ke rumah kosong itu. Di balik jendela, tengkorak itu ternyata masih mengawasi kami dengan tatapannya yang kosong.
*****
Langit seutuhnya gelap, lampu teplok yang kami temukan jadi satu-satunya penerang. Di luar, keadaan benar-benar mencekam. Suara gemerisik daun yang tertiup angin terdengar sayup-sayup. Dari arah hutan, suara binatang malam kembali terdengar dan semakin berisik.
Makanan yang kami temukan telah habis tak bersisa. Kuah rebusan daun singkong pun kami seruput bergantian.
Setelah cukup kenyang, tidak banyak perbincangan yang kami lakukan. Kami tidak berminat membahas atau mencoba menebak-nebak tentang peristiwa mengerikan yang dialami penduduk kampung ini.
Kami hanya membahas perihal rencana esok pagi supaya bisa pergi secepatnya dari kampung ini dalam keadaan selamat.
Mang Soleh akhirnya menyuruh kami segera tidur, karena tidak mau esok hari kami bangun kesiangan. Menurutnya, semakin cepat meninggalkan tempat ini maka semakin besar peluang kami untuk pulang dalam keadaam hidup.
Dayat dan kapten Anang sudah terlelap. Mungkin karena kelelahan ditambah kondisi tubuh yang belum pulih, membuat mereka berdua cepat tertidur.
Kulihat mang Soleh, ia masih sibuk mengutak-atik beberapa senjata tajam yang ditemukan di dalam rumah.
Sedangkan aku, dari tadi masih belum bisa tertidur. Meski sudah memejamkan mata, pikiranku melayang kemana-mana. Suara cicak juga terdengar sangat keras, membuat nyaliku jadi ciut. Konon, bunyi cicak adalah pertanda kehadiran jin atau setan.
Aku kembali teringat tengkorak berambut panjang tadi. Semakin diusir, malah semakin menghantui. Aku berdoa dalam hati, berharap mahluk mengerikan itu pergi dari pikiranku. Namun, sorot matanya yang berlubang justru seolah-olah ada di hadapanku.
Mungkinkah ia hantuen, arwah penduduk kampung ini yang bergentayangan ? Apakah ia sendiri atau ada hantuen lain? Membayangkannya membuat bulu kudukku tiba-tiba bergidik.
*****
Aku tiba-tiba terbangun saat suara-suara janggal terdengar dari luar. Awalnya suara yang kudengar masih samar, namun semakin lama terdengar semakin jelas.
...kreek....kreekkk...
Suara gesekan dinding kayu, seperti suara mencakar. Aku menutup telinga dan pura-pura tidur. Namun suara cakaran masih tetap terdengar.
Aku semakin panik saat mendengar suara lain, suara isak tangis tertahan. Suara isak terdengar sangat dekat, seolah-olah ada di antara kami yang sedang tidur.
Perlahan kubuka mata untuk memastikan sumber suara. Aku terkejut setengah mati, di sudut ruangan ada sosok seperti manusia sedang meringkuk.
Diterpa cahaya temaram, sosok bayangan hitam itu terisak pilu menyayat hati. Suara tangisnya terdengar sangat sedih seperti sedang meratapi nasib.
Seolah sadar sedang diperhatikan, sosok itu tiba-tiba mendongak, menatap tajam ke arahku.
Seketika tengkukku merinding dan jantung berdetak tidak karuan.
Di luar, suara cakaran di dinding terdengar di mana-mana hingga rumah bergetar. Kini kusadari, kami tidak sendirian di kampung ini.
...bersambung...
Sampai jumpa malam Jumat ye gansist. Moga gak bosen en terhibur am thread ane yang absurd.
Jangan lupa sakrep, komeng dan syer ewer-ewer 😁



bruno95 dan 66 lainnya memberi reputasi
67
Kutip
Balas
Tutup