Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

trifatoyahAvatar border
TS
trifatoyah
Ingin Membayar Gaji Mama


Quote:


Bab 1. Rara yang kesepian

Rara memasukan uang sakunya ke dalam celengan plastik berbentuk panda, untuk ke sekian kalinya. Mata bening itu memancarkan binar harapan, bibirnya mengulum senyum, sepuluh jemari lentik mengangkat celengan dengan mata sedikit menyipit, mengintip sudah berapa banyak isinya.

"Belum penuh," desisnya sambil meletakkan kembali di meja belajarnya.

"Rara, buruan 'ntar Mama terlambat!" seru mamanya dari meja makan sambil membereskan piring-piring kotor dan mengelap meja makan.

"Iya, Ma ... Sebentar Rara ambil tas dulu." Rara mengambil tas sejurus kemudian, memakai sepatu, tidak membutuhkan waktu lama Rara siap untuk berangkat.

Perjalanan ke sekolah memakan waktu kurang lebih lima belas menit, selalu dan selalu terburu-buru setiap harinya. Sang mama pun tak hentinya mengomel pada putrinya itu.
Gadis kecil dengan mata lentik, hidung bangir, kulit putih, fotocopy dirinya waktu kecil.

"Ra, berapa kali Mama sudah bilang, pagi-pagi jangan malas-malasan." Nasehat sang Mama yang tidak lebih seperti omelan di telinga gadis kecil itu.

"Mandi jangan buat mainan, sarapan jangan buat mainan, jadi anak itu harus smart, nurut apa kata orang tua."

Rara hanya menunduk, menggigit bibirnya, sesekali melirik dengan ekor matanya pada wanita yang bibirnya sudah mirip ikan koki itu.
Padahal di sekolah Bu Anita tidak pernah mengatakan kata jangan, setiap kali dia melarang Rara dan teman-temannya. Ketika Rara mencoret tembok sekolah, Bu Anita dengan lembut berkata,

"Rara, sebaiknya menggambar di papan tulis saja, atau Rara menggambar di buku gambar ini."

Kalau Rara membuang sampah sembarangan, Bu Anita juga tidak pernah marah, dia akan berkata,

"Sebaiknya membuang bungkus coklat di tempat sampah, anak cantik, kasihan dong tempat sampahnya dianggurin."

Mama, mengapa mama berbeda? Sukanya marah-marah nggak jelas, papa juga kenapa nggak pernah negur mama batin Rara kesal. Padahal papa bisa saja menegur mama.

"Kalau Mama lagi ngomong itu didengerin, Ra!"

"Iya, Ma. Ini juga Rara dengerin," sahut Rara pelan.

"Janji besok mau nurut sama Mama?" tanya Mamanya menegaskan.

"Iya, Ma."

"Jangan iya, iya aja! Tapi dilaksanakan," titah Mama sedikit emosi.

"Papa juga, kalau pagi itu nggak usah lama-lama jogingnya, kalau terlambat gini, Mama juga yang repot."

Papa yang tengah serius menyetir, menarik sudut bibirnya, menggelengkan kepala, keningnya berkerut pandangan mata tetap lurus kedepan tak bersuara. Sekarang yang kena omelan gantian papa, Rara nyengir. Dapat giliran juga akhirnya batin Rara selanjutnya.

"Papa ini denger nggak sih, Mama ngomong?" tanya mama dengan gigi gemeretak menahan dongkol, melirik maut ke arah suaminya.

"Iya denger."

"Papa tahu nggak, Mama tuh nggak bisa diginiin, Mama capek kalau tiap hari ngomel begini."

"Ya makanya, kurangi dong frekuensi ngomelnya, ups!"

"Jadi Papa nyalahin, Mama?"

"Ya nggak dong, mana berani Papa nyalahin Mama, dalam pasal 1 Mama nggak pernah salah, kalau pasal dua salah, kembali ke pasal satu, begitu seterusnya sampai kiamat ...."

"Papa!" teriak mama dengan tatapan mata suram, napasnya naik turun menahan emosi yang meledak-ledak.

"Ma, nggak usah teriak-teriak dong, konsentrasi Papa jadi buyar nih, kalau ntar nabrak gimana dong."

"Gimana nggak teriak, Papa nggak dengerin Mama!"

"Ma, boleh nggak Rara minta Adek?" tanya Rara dengan wajah memelas, seketika itu.

Sudah dari minggu-minggu yang lalu gadis kecil itu menginginkan seorang adik bayi, tapi tidak berani mengatakan pada mamanya. Baru kali ini Rara berusaha mengatakan isi hatinya, walaupun tentu saja ini bukanlah saat yang tepat.

"What?"

"Ma, Rara kesepian di rumah. Mama pulangnya malam, Papa juga, Rara di rumah cuma sama Bibik, boleh ya Ma, Rara minta Adek?" rengek Rara manja.

"No! Belum saatnya!" tegas wanita itu.

"Ma ...," rengek Rara lagi.

"Kabulin permintaan Rara kenapa, Ma. Bukankah dia sudah berumur enam tahun, sudah saatnya punya Adek," usul laki-laki yang sedang menyetir, siapa tahu di ACC.

"Papa, cicilan mobil ini belum lunas, cicilan kursi, cicilan kulkas bahkan cicilan panci juga belum lunas, mikir dong, Pa!" ucap wanita itu sedikit berteriak.

"Ya, Papa mikir makanya kerja tiap hari, agar kebutuhan kita bisa terpenuhi."

"Nah itu tahu," gerutu Mama.

"Ma, teman-teman Rara punya Adek, kok Rara nggak?" tanya Rara kemudian.

"Gini aja Ma, bulan depan Papa naik gaji, Papa bakalan dapat warisan dari Ibu di kampung, Mama di rumah aja nemenin Rara biar nggak kesepian."

"Mama bisa bosen di rumah aja, lagian 'ntar siapa yang gaji Mama, kalau di rumah?"

"Tenang Ma, Rara yang akan membayar gaji Mama, selama ini Rara nggak pernah jajan di sekolah, semua uang saku sudah Rara masukan ke dalam celengan, semuanya untuk Mama, asalkan Mama mau nemenin Rara di rumah."

Tanpa terasa pipi wanita itu memanas, matanya mulai berembun, perasaan campur aduk tak karuan, menengok keegoisannya selama ini. Bekerja siang malam demi menenuhi gengsi, sebenarnya kalau mau hidup bersyukur, tidak sebentar-sebentar ganti mobil, perabot rumah tangga, pastilah tidak akan banyak tagihan.

"Untuk saat ini Mama belum bisa, sayang." Mama Memejamkan matanya kemudian membuka dengan pelan.

"Kenapa, Ma?" tanya Rara polos.

"Karena, Mama harus bayar hutang."

"Bayar hutang?"

"Iya, hutang Mama banyak, sayang."

"Hutang apalagi sih, Ma?" tanya papa tiba-tiba menghentikan mobilnya mendadak.

"Ini sudah siang, Papa."

"Yang bilang masih pagi juga siapa?"

"Papa!"

"Kamu hutang apalagi?"

"Hutang traktir teman-teman, Mama," Suaranya dengan nada memelas.

"What?"

Laki-laki itu seketika menoleh kebelakang, teman-teman sosialita lebih penting dari anak sendiri rupanya.

"Ma, Rara tuh pengen sebelum bobok didongengin sama Mama, dielus-elus rambutnya, kapan Rara bisa merasakan belaian Mama."

"Bibik setiap malam juga dongengin Rara, 'kan?" tanya Mamanya kemudian.

"Rara bosen didongengin Bibik, masa tiap malam dongengnya Kancil mencuri ketimun, gak kreatif. Coba dong nyuri yang lain." Gerutu Rara.

Papa seketika tertawa sampai punggungnya berguncang, dalam hati memuji kecerdasan putrinya dalam melakukan demo pada mamanya biar tidak kesepian. Mulut mama membulat sempurna, memutar cepat kepalanya setengah lingkaran, menatap takjub pada putri kecilnya.

"Tuh Ma, yang kreatif dikit napa?"

"Papa ini."

"Ma, Rara mau nanya, sebenarnya Rara ini anak siapa sih?"

"Ya jelas anaknya Mama dan Papa dong."

Mama memeluk Rara gemas, menciumi pipi tembemnya berkali-kali, sampai gadis cilik itu kegelian. Sesaat kemudian menatap wajah sang mana dan bertanya.

"Bukan anaknya Bibik?"

"Ya bukan dong, sayang."

"Kenapa Rara di rumah seringnya sama Bibik, makan, mandi bahkan bobok juga ditemenin Bibik," protes Rara.

"Rara sayang, Mama itu kerja semuanya buat Rara, apa-apa itu serba mahal, belanjaan mahal, bahkan katanya sembako juga bakalan kena pajak."

"Ma, kamu ngomongin pajak sama anak TK, ya mana dia ngerti."

"Rara sudah sampai, belajar yang rajin, jangan nakal ya."

Kembali melanjutkan perjalanan, wanita itu pindah duduk ke depan. Matanya menatap kosong ke depan, memikirkan ucapan Rara barusan, benarkah dia kesepian selama ini? Boneka, aneka mainan yang dibelikannya apakah tidak mampu mengusir kesepiannya? Dongeng kancil mencuri timun tiap malam, memamangnya bibik nggak punya dongeng lain apa? Batinya gerimis.

Setitik air menggenang di sudut mata Mama Azalea. Narendra yang tahu perubahan mimik muka istrinya, mengelus pundaknya, kemudian menggenggam jemari lentiknya.

"Ma, belum terlambat," ucapnya pelan.

"Maksud Papa?"

"Memberi Adek pada, Rara. Biar dia tidak kesepian."

"Hutang kita belum lunas," jawab wanita itu cepat.

"Apa kamu mau memberikan Adek pada Rara, menunggu cicilan rumah kita lunas? Dua puluh tahun lagi lho, Ma "

Laki-laki itu tak kuasa menahan ketawanya, lha masa iya menunggu dua puluh tahun lagi, Rara sudah punya suami baru punya adek?

"Papa ngeledek ya?"

Jemari lentik itupun dengan cepat mencubit pinggang laki-laki di sebelahnya yang langsung teriak kesakitan.

"Ampun Ma ..., makanya di ACC dong proposalnya."

"Proposal yang mana?" tanya wanita itu bingung.

"Proposal bibit unggul, yang siap menyebar benih tapi sawahnya belum siap."

Bersambung


Sumber gambar pinterest
Diubah oleh trifatoyah 27-09-2021 13:22
345uki
yukabidazahra
jenggalasunyi
jenggalasunyi dan 16 lainnya memberi reputasi
15
3.9K
220
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
trifatoyahAvatar border
TS
trifatoyah
#23
Ingin Membayar Gaji Mama



Bab 5. Berubah Jadi Sayang

Benar-benar seperti cenayang gadis kecil ini, batin Sinta. Sepertinya dia tahu apa jalan pikiran Sinta.

"Gini Tante, sekolah Aku 'kan TK IT. eh Tante tahu nggak apa itu TK IT?" tanya Rara kemudian, menyangsikan kalau Sinta tahu singkatan dari TK IT.

"Ya tahu, Taman Kanak-kanak Islam Terpadu."

"Horeeeee! Kali ini Tante pinter."

Rara bertepuk tangan kemudian mengacungkan dua jempolnya. Mata beningnya berbinar-binar indah, Sinta geleng-geleng kepala melihat tingkah lucu gadis kecil di depannya yang terkadang menyebalkan.

"Tante kita mau kemana sih?" tanya Rara sambil mengedarkan pandangan matanya ke jalanan.

"Kita mau makan siang," jawab Sinta enteng.

"Wah ... kok Tante tahu sih kalau Aku tuh lapar banget, kita mau makan di mana, Tante?" tanya Rara lagi.

"Kita makan di Restoran aja, ada tempat makan di tepi danau, pokoknya tempatnya indah banget, Rara pasti suka."

"Wah! Ke danau, asyik banget tuh, udah lama juga Mama dan Papa nggak ngajakin aku jalan-jalan, ternyata Tante baik banget. Ya Allah berilah kesehatan untuk Tante Sinta, semoga Tante Sinta sehat." Rara mengangkat tangan mungilnya, melangitkan doa untuk wanita yang sebenarnya tengah menculiknya.

"Aamiin."

Bagaimana bisa aku menyakiti gadis kecil ini, wajahnya yang mirip Arman, tingkah lakunya yang menggemaskan, kenapa aku berubah jadi sayang terhadap makhluk kecil yang bicaranya ceplas-ceplos ini? Batin Sinta.

Semua di luar rencana yang telah disusun matang-matang oleh Sinta, rasanya ngobrol dengan gadis kecil itu membuat warna dalam hari-harinya yang kelabu sejak ditinggalkan Arman menikah menjadi cerah kembali.

Sinta membantu Rara keluar dari mobilnya, menuju Griya Dahar Arum Sari yang terletak tidak jauh dari tepian danau yang indah. Terlihat binar bahagia terpancar di wajah gadis kecil itu.

"Ya Allah Tante, tempatnya indah banget, bunga-bunganya banyak banget, aku suka aku suka." Berkata Rara dengan riang gembira.

Kamu tidak tahu Rara dulu tempat ini adalah tempat favorit Tante dan Papamu, menghabiskan sore, menunggu tenggelam mentari di ufuk barat sana. Rencana pernikahan itu kandas, semua karena kehadiran Mamamu, wanita yang tiba-tiba saja mampu meluluhkan hati nenekmu, Aku sendiri heran apa kurangnya aku? Sampai tak dapat restu dari Nenekmu. Dengan teganya nenekmu memisahkan aku dan anaknya.
Dada Sinta semakin bergejolak mengingat semua kenangan bersama sang mantan yang tak akan pernah terlupakan, Bagaimana bisa terlupakan walau sudah tujuh tahun lamanya cinta itu tetap ada.

Buliran bening itu pun menetes melewati pipi nya yang putih bersih, tangan kirinya mengusap kasar air matanya. Rara tertegun melihat perubahan wanita dewasa yang ada dihadapannya kemudian bertanya.

"Tante, kenapa menangis? Apa aku menyusahkanmu, kalau aku menyusahkanmu aku minta maaf."

"Tidak, Tante cuma kelilipan aja, Tante nggak apa-apa."

"Tante buruan jongkok, biar aku tiup matanya."

Sinta pun jongkok mensejajarkan badannya pada badan Rara, dengan pelan gadis kecil itu meniup dua mata berbulu lentik itu secara bergantian. Sinta sangat terharu dengan apa yang dilakukan gadis kecil itu padanya. Dua tangan halusnya langsung menangkup pipi sedikit tembem milik gadis kecil itu.

"Terima kasih, Tante sayang sama Rara."

"Hmmm Rara juga."

"Selesai makan temani Tante, di danau dulu ya."

"Lama nggak?"

"Tergantung."

"Kok tergantung, Tante?"

"Iya kalau pemandangannya indah terus begini 'kan sayang untuk nibggalin tempat ini."

"Iya sih, Tapi ...."

"Tapi apa?"

"Nggak apa-apa deh, lagian Mama juga pulangnya sampai sore kadang juga malam."


Bersambung






Rainbow555
jiyanq
farid2098
farid2098 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Tutup