Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

steelyAvatar border
TS
steely
Biaya Bengkak, Jokowi Akhirnya Restui Proyek Kereta Cepat Pakai APBN
Biaya Bengkak, Jokowi Akhirnya Restui Proyek Kereta Cepat Pakai APBN

JAKARTA - Presiden Joko Widodo merestui pengunaan APBN untuk pendanaan Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang diketahui membengkak dari rencana awal. Hal tersebut terungkap dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021. Aturan baru ini diteken Jokowi pada 6 Oktober 2021 dan menggantikan Perpres 107 Tahun 2015.

Salah satu yang diubah Jokowi adalah Pasal 4 soal pendanaan. "Pendanaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam rangka menjaga keberlanjutan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dengan memperhatikan kapasitas dan kesinambungan fiskal," demikian bunyi Pasal 4 ayat 2 pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021.

Adapun Pasal 4 ayat 2 di Perpres 107 berbunyi, "pelaksanaan penugasan tidak menggunakan dana dari APBN serta tidak mendapatkan jaminan pemerintah."

Pada 2015, Jokowi mengutarakan keputusannya untuk tidak menggunakan APBN di proyek tersebut. "Kereta cepat tidak gunakan APBN. Kita serahkan BUMN untuk B to B. Pesan yang saya sampaikan kereta itu dihitung lagi," kata Jokowi saat itu. Jokowi kala itu mengatakan pengembangan kereta di Indonesia memang sangat dibutuhkan. Namun, pemerintah tidak ingin hal itu membebani anggaran sehingga pendekatan bisnis ke bisnis (business to business/B to B) yang jadi pilihan.

"Kita tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi, sudah saya putuskan bahwa kereta cepat itu tidak gunakan APBN. Tidak ada penjaminan dari pemerintah. Oleh sebab itu, saya serahkan kepada BUMN untuk melakukan yang namanya B to B, bisnis," kata dia.

Belakangan, biaya proyek kereta cepat ini membengkak hingga Rp27 triliun. Alhasil, dalam beberapa bulan terakhir, rencana menyuntik Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk BUMN yang menggarap proyek ini mencuat. Akhirnya, hal itu kini diatur resmi di Perpres 93. Lewat beleid ini, Jokowi merinci pembiayaan dari APBN dilakukan dalam dua bentuk.

Bentuk pertama yaitu PMN kepada pimpinan konsorsium BUMN yang menggarap proyek ini. PMN diberikan untuk pemenuhan kekurangan kewajiban penyetoran modal (base equity) pada perusahaan patungan. Lalu, PMN juga diberikan untuk memenuhi kewajiban perusahaan patungan akibat kenaikan atau perubahan biaya (cost overrun) pada proyek. Bila terjadi kenaikan biaya, maka pimpinan konsorsium BUMN mengajukan permohonan kepada Menteri BUMN untuk memperoleh dukungan. "Dengan menyertakan kajian mengenai dampaknya terhadap studi kelayakan terakhir," demikian bunyi Pasal 4 ayat 5 huruf a.

Kemudian, bentuk kedua pembiayaan APBN adalah penjaminan kewajiban pimpinan konsorsium BUMN. Penjaminan dapat diberikan bila konsorsium butuh pinjaman untuk menambah modal akibat pembengkakan biaya ini. Penjaminan baru akan diberikan ketika dana dari PMN tidak cukup.

Dengan demikian, Menteri Keuangan dapat menugaskan badan usaha penjaminan infrastruktur untuk melakukan penjaminan ini. Pimpinan konsorsium yang bisa menerima dana APBN ini adalah PT Kereta Api Indonesia (Persero). Sebab lewat Perpres 93, Jokowi resmi menunjuk KAI menjadi pimpinan konsorsium BUMN yang ditugasi menggarap proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, menggantikan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk.

KerCep


Proyek (yang katanya B2B)  tapi membuat pontang panting pemerintah. Walau sudah akan dibail-out namun  ujungnya  masih belum terlihat, secara penyelesaiannya dan nanti operasionalnya masih penuh dengan tanda tanya.
gmc.yukon
MemoryExpress
viniest
viniest dan 9 lainnya memberi reputasi
10
6.1K
150
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
laziale.idAvatar border
laziale.id
#76
Dari dulu saya malas bicara kereta cepat Jakarta-Bandung. Bagi saya tidak masuk akal.

Tapi entah kenapa Presiden getol betul masukkan barang ini menjadi proyek strategis nasional. Ketika biaya bengkak hingga Rp113,9 triliun saat ini, dibuatkan revisi Perpres pula (Perpres 93/2021) yang memungkinkan APBN membiayai proyek itu, suatu hal khas Jokowi yaitu menelan ludah sendiri (sebelumnya ia bilang tidak akan pakai APBN).

Inti Perpres itu sederhana saja: mengangkat Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Ketua Komite Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung. Mengubah KAI menjadi pimpinan konsorsium. Menyuruh LBP mengatasi bagian kewajiban perusahaan (PT Kereta Cepat Indonesia China/KCIC) dengan mengupayakan perubahan porsi saham dan syarat utang. Lalu menegaskan dukungan pemerintah via APBN/Penyertaan Modal Negara dan penjaminan pemerintah kalau mau utang lagi.

Coba kita pikir hal-hal berikut ini:

1. Urgensi bisnisnya saja tidak jelas. Dulu KA Parahyangan ditutup. Lalu menjadi KA Argo Parahyangan. Basis penumpangnya itu-itu saja. Kok, sekarang membangun bisnis yang sama lagi. Jika yang dibangun adalah proyek jet cepat, balon terbang kilat, atau gorong-gorong virtual Jakarta-Bandung masih masuk akal.

2. Coba lihat susunan pengurus KCIC. Komposisi saham adalah 60% PT Pilar Sinergi BUMN (Wijaya Karya, PTPN VIII, PT KAI, dan Jasa Marga) dan 40% Beijing Yawan HSR Co. Ltd (China Railway International Co. Ltd, China Railway Group Limited, Sinohydro Corporation Limited, CRRC Corporation Limited, dan China Railway Signal and Communication Corporation). Dengan kepemilikan mayoritas, posisi strategis malah diduduki tetangga sebelah: Presiden Komisaris GuoJiang, Direktur Keuangan Zhang Chao, dan Direktur Teknis HSR Xiao Songxin. Ada yang kenal nama-nama inikah?

3. Urusan keuangan dan teknis mereka yang kontrol dan sekarang senegara sibuk bertanya mengapa biaya membengkak. Alasannya simpel: karena pihak sana yang menghitung RAB-nya. Kenapa begitu? Komposisi saham bolehlah kita 60% (mayoritas) dan itu berarti jangan dipikir untungnya saja tapi jika ada beban (utang) kita menanggung lebih besar. Posisi strategis justru dipegang mereka, yaitu kontraktornya!

Konsorsium kontraktornya (HSRCC) adalah 30% WIKA, 70% pihak China. Kalau mereka kontraktornya, mereka yang atur perencanaan, teknis, hingga bahan/materialnya. Proyek kereta cepat meningkatkan demand atas material seperti baja, beton, dsb. Itulah kenapa pada bulan lalu ada berita di "China Daily" tentang impor rel besi baja seberat 5.550 metrik ton untuk proyek ini yang dikirim dari Pelabuhan Fangchenggang di Provinsi Guangxi.

Bengkaknya biaya tidak semudah ocehan Kementerian BUMN karena pandemi atau dalih KCIC karena biaya pembebasan lahan dan fasum/fasos. Itu ngeles saja!

4. Karena biaya bengkak maka utang juga bengkak. Ingat, 75% proyek ini dibiayai utang dari China Development Bank berbunga 2%, tenor 10 tahun. Bengkaknya itu dari awalnya US$5,5 miliar, US$6,1 miliar, dan sekarang US$8 miliar (Rp113,9 triliun).

Hitung saja. 75% dari Rp113,9 triliun adalah Rp85,4 triliun. Total bunga pinjaman 10 tahun adalah 20% kali Rp85,4 triliun. Sama dengan: Rp17 triliun!

Sisa 25% dari kas KCIC. 60% Indonesia sebesar Rp17,08 triliun, 40% China sebesar Rp11,3 triliun.

Artinya apa? China sudah dapat keuntungan bunga, pemasukan dari pembelian bahan baku, dividen 40%, mengatur cashflow perusahaan... Sementara kita? Lahan di negara kita, keluar duit APBN, rating utang pemerintah terancam jeblok kalau batuk-batuk bayarnya, risiko kerusakan lingkungan di wilayah kita...

5. Mau bilang proyek itu menciptakan lapangan kerja buat rakyat? Tunggu dulu. Saya kutip dari "thepeoplesmap.net", sebuah riset yang dilakukan oleh Trissia Wijaya (4/8/2021), proyek ini katanya akan menciptakan 39 ribu lapangan kerja yang 2.400-nya untuk masyarakat lokal. Tapi peneliti itu mewawancarai HRD KCIC dan mendapatkan fakta top-level management KCIC mayoritasnya adalah ekspatriat China, sementara orang lokal hanya dipekerjakan sebagai buruh saja. Bisa jadi TKA-TKA China juga ikut nimbrung sebagai pekerja lapangan.

6. Para orang 'pintar' pendukung proyek ini boleh saja berkoar tentang potensi masa depan kereta cepat. Tapi tetap saja itu baru analisis, belum terjadi, masih prediksi. Yang jelas-jelas sudah terjadi adalah utang proyek ini ke China sejak 2017 (advisor dari pihak Indonesia untuk utang ini adalah HHP Law Firm dan Baker McKenzie Wong & Leow), pembelian bahan baku, kepemilikan 40% saham, keuntungan bunga pinjaman...

Ingat juga, bisnis kereta cepat ini di China rugi besar dan pemerintahnya melakukan moratorium. Tahun lalu utang China State Railway US$850 miliar yang 80%-nya disebabkan tingginya biaya pembangunan rel dan konstruksi.

7. Kalau lihat promonya, termasuk oleh presiden, enak saja bilang proyek ini untuk konektivitas dan juga pariwisata di lokasi transit seperti Karawang dan Walini. Tapi kan tidak dibilang bahwa pengembang kawasan industri juga ikutan untung karena akses, kenaikan nilai lahan, dsb.

Salah satu yang diuntungkan contohnya adalah Podomoro Industrial Park (Agung Podomoro Group) yang menguasai 500-an hektare kawasan industri di situ. Soal ini saya sudah dengar lama bahwa inti bisnis mereka adalah bagaimana investor itu cuma modal kacamata hitam kalau ingin investasi di Indonesia. Dari bandara melintasi tol menuju TKP, ditambah sekarang ada kereta cepat. Semua sudah diurus rapi oleh negara untuk mereka.

Agung Podomoro, asal tahu saja, juga pernah tergabung dalam konsorsium proyek PLTU Jabar 1 tahun 2007, bersama Consortium of China Construction Bank.

8. Terakhir adalah masalah hukumnya. DPR saja mungkin tidak bisa akses perjanjian utang proyek ini. Apalagi rakyat jelata.

Studi yang dipublikasikan "Deutsche Welle" (31/3/2021) berjudul "China's secret loans to developing nations pose problems, study finds" mengungkap tabir di balik sedikitnya 142 perjanjian utang yang melibatkan bank pemerintah China di 24 negara berkembang. Mayoritas utang itu berkaitan dengan proyek ambisius China's Belt and Road Initiative.

Hal pertama adalah ketatnya klausul tentang kerahasiaan. Ada pula klausul yang memungkinkan pemberi pinjaman mempengaruhi kebijakan ekonomi dan luar negeri negara debitur. Lebih dari 90% kontrak yang diteliti itu menunjukkan China dapat mengakhiri kontrak dan menuntut pengembalian jika terjadi perubahan kebijakan atau hukum yang signifikan di negara peminjam.

Lalu ada juga temuan klausul yang memberikan prioritas kepada bank pemerintah China di atas kreditur lainnya. Pemutusan hubungan diplomatik yang dianggap sebagai wanprestasi. 30% dari kontrak yang diteliti terdapat klausul negara penerima pinjaman harus menyetorkan agunan di rekening khusus yang dipegang bank pemerintah China. Jika terjadi kebangkrutan, bank China bisa menyita aset. Mekanisme restrukturisasi utang melalui Paris Club tidak dimungkinkan.

Kerahasiaan adalah yang paling penting. Bahkan tertulis begini dari riset tersebut: "Most importantly, citizens in lending and borrowing countries alike cannot hold their governments accountable for secret debts." Jadi ini utang rahasia. Rakyat tak bisa meminta pertanggungjawaban pemerintah.

Proyek ini bakal jadi bom waktu, tunggu meledak saja beberapa tahun lagi, ketika Jokowi sedang enak-enaknya berlibur menikmati duit dan fasilitas pensiun. Tinggal rakyat yang ketiban petakanya.

Kalau begini ceritanya, apa jeniusnya presiden ini?

Salam.
kuaci04
kimchi32
doongdoongan
doongdoongan dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup