- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 19:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#254
Quote:
Original Posted By benbela►
Sosok misterius yang di tengah sungai masih tak bergerak. Meski diterjang percikan air, sosok hitam itu masih terus duduk mematung.
Aku dan Dayat menjadi waspada, mundur selangkah demi selangkah dengan sangat pelan.
"Astagfirullahul azim."
"Astagfirullahul azim."
Mulut Dayat tak henti mengucapkan istighfar. Wajahnya tampak berkeringat dan nafasnya tersengal-sengal.
Aku membaca ayat kursi dan segala doa yang kuingat, namun sosok misterius itu tidak beranjak.
Kapten tiba-tiba berjongkok lalu memungut beberapa batu kecil. Setelah itu ia kembali berdiri, lalu mengambil ancang-ancang untuk melempar ke arah mahluk yang di tengah sungai.
Ak menahan nafas, ketika batu itu melayang di udara dan tiba-tiba hilang dalam kegelapan.
Praaak...!!!
Terdengar suara benturan cukup keras. Aku bersiap lari bila ada hal buruk yang terjadi.
Hening.
Beberapa saat berlalu, tidak ada apa-apa yang terjadi. Mahluk misterius di tengah sungai tetap bergeming di tempat.
Praaak...!!!
Praaak...!!!
Batu kedua dan ketiga menyusul, tetap tidak ada hal buruk yang terjadi.
"Lihat kan !? Dasar penakut !" sungut kapten gusar, lalu beranjak menuju hulu sungai.
Dengan langkah gontai, kapten meninggalkanku dan Dayat yang masih kebingungan.
"Sialan ! Hanya batu sungai !" Dayat mengumpat.
"Ha...ha...ha..."
Sejurus kemudian kami berdua sama-sama tertawa. Lebih tepatnya menertawakan kebodohan kami. Karena terlalu takut, pikiran kami berhalusinasi yang macam-macam. Lantaran gelap dan berkabut, batu besar yang berdiri kokoh di tengah sungai kami sangka hantu.
*****
Kami bertiga kembali berjalan menyusuri sungai ke arah hulu. Minimnya penerangan ditambah tidak ada tenaga karena lapar, membuat pergerakan kami sangat lambat.
Kunang-kunang sudah berhenti mengikuti, hanya kabut yang terus bergerak karena tertiup angin.
Setiap beberapa langkah, Dayat selalu menoleh ke belakang guna memastikan tidak ada yang mengikuti. Terbersit rasa sesal karena tidak percaya ucapannya tempo hari.
Tapi untuk kali ini, aku akan lebih percaya pada insting Dayat.
Setelah melewati dua belokan, akhirnya apa yang kami tuju mulai terlihat. Di kejauhan, tampak cahaya api unggun yang bersinar terang di pinggir sungai.
Kapten sumringah dan mempercepat langkahnya. Aku dan Dayat juga makin bersemangat, setidaknya sebentar lagi kami bisa istirahat.
Sekitar 100 meter dekat api unggun, kapten mendadak berhenti. Obor di tangan langsung ia matikan dengan tergesa.
"Matikan obor kalian, cepat !" Meski lirih, suara kapten terdengar panik.
Tanpa banyak tanya, aku dan Dayat menuruti perintah kapten.
Selama beberapa detik kami jongkok dalam diam, memperhatikan api unggun di depan. Diterpa cahaya api yang menyala, terlihat sosok seperti manusia sedang mencakar bebatuan dan pasir di dekat api unggun.
Kali ini aku yakin bukan halusinasi, soalnya kapten pun tampak cemas.
"Kalian lihat kan, apa yang kulihat ?" tanya kapten setengah berbisik.
"iya kapten." balasku pelan.
"Ke-kenapa mang Soleh berprilaku aneh ?" Kali ini Dayat yang buka suara.
Ternyata sosok yang kami lihat adalah mang Soleh.
"Kapten, lihat tangannya." tambahku lagi.
"Itulah yang kukhawatirkan. Apakah orang itu benar-benar Soleh, atau ada yang lain."
Meski jarak kami cukup jauh, terlihat jelas kalau tangan mang Soleh penuh darah. Kami semakin ngeri, ketika mang Soleh mengangkat sebuah batu yang cukup besar dengan tangan kanan dan memukul-mukul lengan kirinya berulang kali.
Tertutup kegelapan, kami terus mengamati gerak-gerik mang Soleh yang mencurigakan. Semakin lama, tingkah mang Soleh semakin membuat kami resah. Batu tajam di tangan kanan terus ia hunjam ke lengan kiri tanpa henti hingga darah muncrat ke wajahnya.
"Kalian tunggu di sini, biar aku yang memastikan keadaan Soleh. Kalau ada apa-apa, tolong bantu aku."
Belum sempat kutahan, kapten langsung pergi begitu saja. Ia melangkah sangat pelan hingga hampir tidak bersuara. Dengan menggengam kayu bekas obor di tangan, jarak kapten dan mang Soleh semakin dekat.
Aku dan Dayat menahan nafas karena tegang. Setiap kali ia melangkah, di situlah nafas kami tertahan.
Kapten akhirnya sampai di depan mang Soleh yang masih memukul-mukul tangannya. Mang Soleh terlihat kaget dan matanya melotot. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba kapten membuang kayu di tangannya.
Kapten lalu menoleh ke arah kami yang masih menunggu dalam gelap, kemudian berteriak menyuruh segera mendekat.
"Haaammiidd...Daaayyaaattt !!! Kemari !!!" seru kapten lantang memecah kesunyian.
Kami kini duduk melingkar di depan api unggun yang menyala, menikmati daging ular depong hasil tangkapan mang Soleh. Rupanya sedari tadi mang Soleh memukul-mukul ular depong,- jenis ular python yang pendek namun besar-, hingga darahnya muncrat kemana-mana.
Ternyata rasa daging ular biasa saja, tidak ada yang istimewa. Bahkan, lebih banyak tulang daripada daging.
"Kamu tadi hilang kemana ? Hampir saja kami kesasar karena mencarimu." tanya kapten pada mang Soleh sambil mengunyah daging ular di mulutnya.
"Harusnya aku yang bertanya, kalian yang kemana ? Kukira kalian sudah kabur karena ketakutan entah dikejar hantu atau tambun."
Mang Soleh terus menambah beberapa ranting kering hingga api unggun semakin membesar. Ia terus menambah ranting demi ranting tanpa melirik sedikit pun ke arah kami bertiga.
Kami bertiga bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, tapi mang Soleh sepertinya enggan bercerita. Entah apa yang disembunyikan.
"Sebaiknya kita istirahat, simpan tenaga untuk esok. Besok pagi, kita susur hilir sungai. Mungkin ada perkampungan di sana."
Aku dan Dayat menuruti ucapan kapten, hanya mang Soleh yang sepertinya tidak mau tidur. Sedikit pun, ia tidak mau bergeser dari api unggun di depannya. Pandangannya nanar menatap api yang terus menyala.
Matahari belum terlalu tinggi, kami berempat berjalan beriringan menyusur sungai ke arah hilir. Di atas pohon, owa-owa saling berkejaran sambil mengeluarkan suara yang lantang. Serangga dan burung juga terus berkicau mengeluarkan suara khas hutan belantara.
Walau tubuh kami baik-baik saja, tapi kami harus melangkah perlahan karena badan yang masih terasa ngilu di setiap sendi.
Kadang kami harus melangkah di semak berduri di pinggir sungai, karena hamparan pasir dan batu yang membentang di sepanjang sungai terputus.
Beberapa kali langkah kami terhenti, karena harus menyingkirkan duri tajam yang menembus kulit. Waktu berlalu dan matahari semakin tinggi, belum juga ada tanda-tanda kami menjumpai perkampungan.
Untung saja di atas kepala kami adalah daun-daun yang lebat, sehingga sinar matahari tidak menyengat akibat terhalang dedaunan.
Sepanjang perjalanan, mang Soleh berada di paling belakang. Sudah berjam-jam lamanya, tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Bila diajak bicara, ia hanya diam saja.
Sambil melangkah, matanya selalu awas ke kiri dan ke kanan, seolah mencari sesuatu yang mengikuti kami.
"Mid, kau tidak merasa aneh ? Dari tadi mang Soleh hanya diam seperti orang bisu." ujar Dayat setengah berbisik, takut kedengaran mang Soleh di belakang.
"Hussh...biarkan saja." sahutku sambil menyikut pinggang Dayat.
"Tapi Mid, dia..."
"Sudah, jangan dibahas." Aku memotong kalimat Dayat hingga ia terdiam.
Di saat seperti ini, aku tidak mau berdebat untuk hal yang aneh-aneh. Pikiranku terlalu lelah untuk menduga yang macam-macam.
Semakin lama melangkah, tubuhku rasanya sudah tidak bisa berkompromi untuk terus berjalan. Nafasku mulai sesak dan pandangan berkunang-kunang.
Setelah menemukan pohon besar yang rindang di pinggir sungai, kami beristirahat di bawahnya untuk memulihkan tenaga.
Aku, Dayat dan Kapten Anang duduk bersandar di batang pohon. Sementara mang Soleh tetap berdiri, sedari tadi matanya melirik ke segala arah seperti mengawasi sesuatu.
"Soleh, kenapa kau ? Dari tadi kau tak bicara sedikit pun. Apa yang terjadi semalam ?"
Rupanya Kapten juga menyadari gerak-gerik mang Soleh yang ganjil. Matanya yang tajam tak pernah lepas mengamati tingkah mang Soleh yang mencurigakan.
"Sebaiknya kita harus terus bergerak. Terlalu lama di sini bisa berbahaya. Apalagi sebentar lagi gelap."
Tiba-tiba saja mang Soleh melangkah, namun langkahnya terhenti karena kapten mencengkeram lengannya.
"Sebenarnya ada apa ?" tanya kapten dengan mata melotot.
"Aku tidak bisa bicara banyak. Kalau mau selamat sebaiknya kita harus kembali bergerak."
Mang Soleh menepis cengkeraman kapten Anang, lalu kembali melangkah menyusuri sungai ke arah hilir.
Kami yang terbengong dengan tingkahnya, segera menyusul mang Soleh dengan tergopoh.
Kami berempat melanjutkan perjalanan ke arah hilir hingga tidak terasa langit mulai gelap.
Usaha kami sepertinya membuahkan hasil, karena di depan terlihat atap-atap rumah berjejer. Beberapa buah perahu jukung tertambat di pinggir sungai.
Penuh semangat, kami mempercepat langkah untuk segera meminta pertolongan. Tapi segera kami sadari ada sesuatu yang janggal. Kampung di depan kami begitu sunyi, tidak ada aktivitas manusia yang terlihat.
Semakin dekat, apa yang kami takutkan semakin nyata. Tidak ada seorang manusia pun yang kami jumpai. Tidak juga terdengar hiruk pikuk layaknya perkampungan umumnya. Kulirik, mang Soleh melangkah penuh waspada. Matanya yang tajam mengawasi segala penjuru, membuatku merasa sedikit khawatir.
Langkah kami terhenti beberapa meter dari gerbang desa. Tertutup rimbun belukar, berdiri pakahan di pinggir sungai. Tidak hanya satu, pakahan terlihat berjejer rapi hingga ke gapura.
Kami saling pandang, terasa janggal ada pakahan di sekitar kampung.
Dugaanku, ada kematian tidak wajar di kampung ini. Saat melirik ke gerbang desa, aku semakin cemas. Terdapat dua buah tombak yang ditancap menyilang dan dililit kain hitam.
Di bagian atas, tali anyaman rotan membentang di antara tiang penyangga gerbang, dihiasi daun-daun sawang yang telah layu.
"Hinting pali." gumam mang Soleh tertahan. Wajahnya terlihat pucat dan tegang
"Ke-kenapa ada hinting pali di gerbang desa ?" tanyaku mulai khawatir.
"Entahlah..." jawab mang Soleh tertahan, "sepertinya, siapapun yang masuk ke kampung ini, maka akan mati."
...bersambung...
Bab 14 : Sosok Misterius
Sosok misterius yang di tengah sungai masih tak bergerak. Meski diterjang percikan air, sosok hitam itu masih terus duduk mematung.
Aku dan Dayat menjadi waspada, mundur selangkah demi selangkah dengan sangat pelan.
"Astagfirullahul azim."
"Astagfirullahul azim."
Mulut Dayat tak henti mengucapkan istighfar. Wajahnya tampak berkeringat dan nafasnya tersengal-sengal.
Aku membaca ayat kursi dan segala doa yang kuingat, namun sosok misterius itu tidak beranjak.
Kapten tiba-tiba berjongkok lalu memungut beberapa batu kecil. Setelah itu ia kembali berdiri, lalu mengambil ancang-ancang untuk melempar ke arah mahluk yang di tengah sungai.
Ak menahan nafas, ketika batu itu melayang di udara dan tiba-tiba hilang dalam kegelapan.
Praaak...!!!
Terdengar suara benturan cukup keras. Aku bersiap lari bila ada hal buruk yang terjadi.
Hening.
Beberapa saat berlalu, tidak ada apa-apa yang terjadi. Mahluk misterius di tengah sungai tetap bergeming di tempat.
Praaak...!!!
Praaak...!!!
Batu kedua dan ketiga menyusul, tetap tidak ada hal buruk yang terjadi.
"Lihat kan !? Dasar penakut !" sungut kapten gusar, lalu beranjak menuju hulu sungai.
Dengan langkah gontai, kapten meninggalkanku dan Dayat yang masih kebingungan.
"Sialan ! Hanya batu sungai !" Dayat mengumpat.
"Ha...ha...ha..."
Sejurus kemudian kami berdua sama-sama tertawa. Lebih tepatnya menertawakan kebodohan kami. Karena terlalu takut, pikiran kami berhalusinasi yang macam-macam. Lantaran gelap dan berkabut, batu besar yang berdiri kokoh di tengah sungai kami sangka hantu.
*****
Kami bertiga kembali berjalan menyusuri sungai ke arah hulu. Minimnya penerangan ditambah tidak ada tenaga karena lapar, membuat pergerakan kami sangat lambat.
Kunang-kunang sudah berhenti mengikuti, hanya kabut yang terus bergerak karena tertiup angin.
Setiap beberapa langkah, Dayat selalu menoleh ke belakang guna memastikan tidak ada yang mengikuti. Terbersit rasa sesal karena tidak percaya ucapannya tempo hari.
Tapi untuk kali ini, aku akan lebih percaya pada insting Dayat.
Setelah melewati dua belokan, akhirnya apa yang kami tuju mulai terlihat. Di kejauhan, tampak cahaya api unggun yang bersinar terang di pinggir sungai.
Kapten sumringah dan mempercepat langkahnya. Aku dan Dayat juga makin bersemangat, setidaknya sebentar lagi kami bisa istirahat.
Sekitar 100 meter dekat api unggun, kapten mendadak berhenti. Obor di tangan langsung ia matikan dengan tergesa.
"Matikan obor kalian, cepat !" Meski lirih, suara kapten terdengar panik.
Tanpa banyak tanya, aku dan Dayat menuruti perintah kapten.
Selama beberapa detik kami jongkok dalam diam, memperhatikan api unggun di depan. Diterpa cahaya api yang menyala, terlihat sosok seperti manusia sedang mencakar bebatuan dan pasir di dekat api unggun.
Kali ini aku yakin bukan halusinasi, soalnya kapten pun tampak cemas.
"Kalian lihat kan, apa yang kulihat ?" tanya kapten setengah berbisik.
"iya kapten." balasku pelan.
"Ke-kenapa mang Soleh berprilaku aneh ?" Kali ini Dayat yang buka suara.
Ternyata sosok yang kami lihat adalah mang Soleh.
"Kapten, lihat tangannya." tambahku lagi.
"Itulah yang kukhawatirkan. Apakah orang itu benar-benar Soleh, atau ada yang lain."
Meski jarak kami cukup jauh, terlihat jelas kalau tangan mang Soleh penuh darah. Kami semakin ngeri, ketika mang Soleh mengangkat sebuah batu yang cukup besar dengan tangan kanan dan memukul-mukul lengan kirinya berulang kali.
Tertutup kegelapan, kami terus mengamati gerak-gerik mang Soleh yang mencurigakan. Semakin lama, tingkah mang Soleh semakin membuat kami resah. Batu tajam di tangan kanan terus ia hunjam ke lengan kiri tanpa henti hingga darah muncrat ke wajahnya.
"Kalian tunggu di sini, biar aku yang memastikan keadaan Soleh. Kalau ada apa-apa, tolong bantu aku."
Belum sempat kutahan, kapten langsung pergi begitu saja. Ia melangkah sangat pelan hingga hampir tidak bersuara. Dengan menggengam kayu bekas obor di tangan, jarak kapten dan mang Soleh semakin dekat.
Aku dan Dayat menahan nafas karena tegang. Setiap kali ia melangkah, di situlah nafas kami tertahan.
Kapten akhirnya sampai di depan mang Soleh yang masih memukul-mukul tangannya. Mang Soleh terlihat kaget dan matanya melotot. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba kapten membuang kayu di tangannya.
Kapten lalu menoleh ke arah kami yang masih menunggu dalam gelap, kemudian berteriak menyuruh segera mendekat.
"Haaammiidd...Daaayyaaattt !!! Kemari !!!" seru kapten lantang memecah kesunyian.
*****
Kami kini duduk melingkar di depan api unggun yang menyala, menikmati daging ular depong hasil tangkapan mang Soleh. Rupanya sedari tadi mang Soleh memukul-mukul ular depong,- jenis ular python yang pendek namun besar-, hingga darahnya muncrat kemana-mana.
Ternyata rasa daging ular biasa saja, tidak ada yang istimewa. Bahkan, lebih banyak tulang daripada daging.
"Kamu tadi hilang kemana ? Hampir saja kami kesasar karena mencarimu." tanya kapten pada mang Soleh sambil mengunyah daging ular di mulutnya.
"Harusnya aku yang bertanya, kalian yang kemana ? Kukira kalian sudah kabur karena ketakutan entah dikejar hantu atau tambun."
Mang Soleh terus menambah beberapa ranting kering hingga api unggun semakin membesar. Ia terus menambah ranting demi ranting tanpa melirik sedikit pun ke arah kami bertiga.
Kami bertiga bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, tapi mang Soleh sepertinya enggan bercerita. Entah apa yang disembunyikan.
"Sebaiknya kita istirahat, simpan tenaga untuk esok. Besok pagi, kita susur hilir sungai. Mungkin ada perkampungan di sana."
Aku dan Dayat menuruti ucapan kapten, hanya mang Soleh yang sepertinya tidak mau tidur. Sedikit pun, ia tidak mau bergeser dari api unggun di depannya. Pandangannya nanar menatap api yang terus menyala.
*****
Matahari belum terlalu tinggi, kami berempat berjalan beriringan menyusur sungai ke arah hilir. Di atas pohon, owa-owa saling berkejaran sambil mengeluarkan suara yang lantang. Serangga dan burung juga terus berkicau mengeluarkan suara khas hutan belantara.
Walau tubuh kami baik-baik saja, tapi kami harus melangkah perlahan karena badan yang masih terasa ngilu di setiap sendi.
Kadang kami harus melangkah di semak berduri di pinggir sungai, karena hamparan pasir dan batu yang membentang di sepanjang sungai terputus.
Beberapa kali langkah kami terhenti, karena harus menyingkirkan duri tajam yang menembus kulit. Waktu berlalu dan matahari semakin tinggi, belum juga ada tanda-tanda kami menjumpai perkampungan.
Untung saja di atas kepala kami adalah daun-daun yang lebat, sehingga sinar matahari tidak menyengat akibat terhalang dedaunan.
Sepanjang perjalanan, mang Soleh berada di paling belakang. Sudah berjam-jam lamanya, tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Bila diajak bicara, ia hanya diam saja.
Sambil melangkah, matanya selalu awas ke kiri dan ke kanan, seolah mencari sesuatu yang mengikuti kami.
"Mid, kau tidak merasa aneh ? Dari tadi mang Soleh hanya diam seperti orang bisu." ujar Dayat setengah berbisik, takut kedengaran mang Soleh di belakang.
"Hussh...biarkan saja." sahutku sambil menyikut pinggang Dayat.
"Tapi Mid, dia..."
"Sudah, jangan dibahas." Aku memotong kalimat Dayat hingga ia terdiam.
Di saat seperti ini, aku tidak mau berdebat untuk hal yang aneh-aneh. Pikiranku terlalu lelah untuk menduga yang macam-macam.
Semakin lama melangkah, tubuhku rasanya sudah tidak bisa berkompromi untuk terus berjalan. Nafasku mulai sesak dan pandangan berkunang-kunang.
Setelah menemukan pohon besar yang rindang di pinggir sungai, kami beristirahat di bawahnya untuk memulihkan tenaga.
Aku, Dayat dan Kapten Anang duduk bersandar di batang pohon. Sementara mang Soleh tetap berdiri, sedari tadi matanya melirik ke segala arah seperti mengawasi sesuatu.
"Soleh, kenapa kau ? Dari tadi kau tak bicara sedikit pun. Apa yang terjadi semalam ?"
Rupanya Kapten juga menyadari gerak-gerik mang Soleh yang ganjil. Matanya yang tajam tak pernah lepas mengamati tingkah mang Soleh yang mencurigakan.
"Sebaiknya kita harus terus bergerak. Terlalu lama di sini bisa berbahaya. Apalagi sebentar lagi gelap."
Tiba-tiba saja mang Soleh melangkah, namun langkahnya terhenti karena kapten mencengkeram lengannya.
"Sebenarnya ada apa ?" tanya kapten dengan mata melotot.
"Aku tidak bisa bicara banyak. Kalau mau selamat sebaiknya kita harus kembali bergerak."
Mang Soleh menepis cengkeraman kapten Anang, lalu kembali melangkah menyusuri sungai ke arah hilir.
Kami yang terbengong dengan tingkahnya, segera menyusul mang Soleh dengan tergopoh.
*****
Kami berempat melanjutkan perjalanan ke arah hilir hingga tidak terasa langit mulai gelap.
Usaha kami sepertinya membuahkan hasil, karena di depan terlihat atap-atap rumah berjejer. Beberapa buah perahu jukung tertambat di pinggir sungai.
Penuh semangat, kami mempercepat langkah untuk segera meminta pertolongan. Tapi segera kami sadari ada sesuatu yang janggal. Kampung di depan kami begitu sunyi, tidak ada aktivitas manusia yang terlihat.
Semakin dekat, apa yang kami takutkan semakin nyata. Tidak ada seorang manusia pun yang kami jumpai. Tidak juga terdengar hiruk pikuk layaknya perkampungan umumnya. Kulirik, mang Soleh melangkah penuh waspada. Matanya yang tajam mengawasi segala penjuru, membuatku merasa sedikit khawatir.
Langkah kami terhenti beberapa meter dari gerbang desa. Tertutup rimbun belukar, berdiri pakahan di pinggir sungai. Tidak hanya satu, pakahan terlihat berjejer rapi hingga ke gapura.
Kami saling pandang, terasa janggal ada pakahan di sekitar kampung.
Dugaanku, ada kematian tidak wajar di kampung ini. Saat melirik ke gerbang desa, aku semakin cemas. Terdapat dua buah tombak yang ditancap menyilang dan dililit kain hitam.
Di bagian atas, tali anyaman rotan membentang di antara tiang penyangga gerbang, dihiasi daun-daun sawang yang telah layu.
"Hinting pali." gumam mang Soleh tertahan. Wajahnya terlihat pucat dan tegang
"Ke-kenapa ada hinting pali di gerbang desa ?" tanyaku mulai khawatir.
"Entahlah..." jawab mang Soleh tertahan, "sepertinya, siapapun yang masuk ke kampung ini, maka akan mati."
...bersambung...
Sampai jumpa malam Senen ye gansist. Moga gak bosen en terhibur am thread ane yang absurd.
Jangan lupa sakrep, komeng dan syer ewer-ewer 😁



bruno95 dan 62 lainnya memberi reputasi
63
Kutip
Balas
Tutup