- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 12:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#244
Quote:
Original Posted By benbela►
Suara gemericik sungai terdengar semakin jauh di belakang. Kaki kami terus melangkah menyusuri hutan yang penuh semak berduri. Kami harus berjibaku mengusir nyamuk dan lintah yang menempel di kulit.
Teriakan kami menggema di tengah hutan, berharap ada jawaban dari mang Soleh. Anehnya, setiap kali berteriak memanggil nama bang Soleh, burung hantu selalu menyahut.
Semakin dipanggil, semakin lantang sahutan burung hantu. Hanya kebetulan, ucapku dalam hati. Berada di tengah rimba di tengah malam seperti ini membuat pikiran berimajinasi macam-macam.
Namun dinginnya angin malam membuat bulu kudukku merinding. Suara gesekan daun dan ranting yang tertiup angin juga tak kalah menyeramkan. Jujur saja, bila terlalu lama di hutan ini rasanya aku bisa jadi gila.
Beberapa kali jantungku rasanya hampir melorot, karena tiba-tiba saja di depanku muncul wajah nenek tua yang keriput. Wajah itu persis seperti wajah Mak Lampir yang ada di televisi.
"Allahu akbar !" Pekikku kaget.
"Ada apa ?" tanya kapten sambil mengernyitkan dahi.
"Gak apa-apa, Kap." balasku sambil menarik nafas lega.
Ternyata yang kulihat hanyalah kulit kayu dari batang-batang pohon besar. Diterpa cahaya temaram, kulit pohon yang kasar itu membuat otak berpikir macam-macam.
Dayat juga sepertinya dicekam ketakutan. Ayat kursi yang keluar dari mulutnya amburadul ke sana kemari.
Pikiranku semakin tidak karuan, ketika banyak sekali cahaya kunang-kunang mengitari kami. Mungkin ratusan, bisa juga ribuan. Kumpulan cahaya itu sepertinya sengaja menggiring kami semakin jauh masuk ke dalam hutan.
Saat ini yang kutakutkan bukan lagi binatang buas, tapi mahluk halus penunggu hutan. Cerita tentang kampung hantuen semakin menjadi-jadi bergelayut di kepalaku.
"Soollleehhhh...!!! Soollleehhhh...!!!"
Kapten terus berteriak lantang. Tidak dihiraukannya suara burung hantu yang menjawab panggilannya. Kapten terus memanggil nama mang Soleh berulang-ulang hingga suaranya serak.
"Kemana si Soleh ? Kenapa dia pergi begitu saja ?" tanya kapten sambil menyeka keringat di wajah.
Aku dan Dayat hanya bisa menggeleng.
"Sebaiknya kita kembali. Bahaya kalau terlalu jauh ke dalam hutan. Bisa-bisa kita tersesat. Siapa tahu dia hanya pergi sebentar lalu kembali lagi. Sebaiknya kita tunggu di sana." tambah kapten lagi.
Tanpa pikir panjang kami balik badan, kembali ke perapain tempat kami istirahat tadi.
Kabut tipis berwarna putih mulai naik, membuat jarak pandang kami semakin pendek. Kami harus melangkah hati-hati, agar tidak menginjak semak berduri atau binatang berbisa.
Di atas dahan-dahan pohon, suara burung hantu masih mengikuti. Suaranya begitu teratur, namun menakutkan. Serangga dan binatang malam lainnya juga tak kalah berisik.
Kami terus melangkah dengan pelan, menyesuaikan kondisi tubuh yang belum pulih. Kunang-kunang juga masih setia mengiringi, entah kebetulan atau ada sesuatu yang lain.
Yang jelas, rasanya sudah lebih dari setengah jam kami hanya berputar-putar saja di hutan ini. Dari tadi, belum juga ketemu bibir sungai yang kami cari.
Obor darurat yang ada di tangan juga semakin redup, membuat pergerakan kami semakin sulit.
"Kapten, ada yang aneh." ucapku sambil menghentikan langkah.
Kapten tiba-tiba berhenti, menatap wajahku dengan heran.
"Aneh bagaimana ?"
"Pohon ini, sudah tiga kali lewati. Kenapa ada di depan kita lagi ?"
Kapten terdiam, lalu mengamati pohon besar yang ada di hadapan kami. Ada sebuah lubang cukup besar di batangnya, biasanya jadi sarang hewan atau ular.
"Namanya juga pohon, memang bentuknya mirip semua. Apalagi saat ini gelap, pasti sulit dibedakan."
"Tidak, kapten," sanggahku, "aku yakin ini pohon yang sama. Aku ingat betul ada lubang di batangnya."
Lagi-lagi kapten terdiam. Dia mengernyitkan dahi seakan tidak percaya yang kuucapkan barusan.
"Sudah, jangan dibahas," timpal Dayat, "sebaiknya kita terus maju ke depan. Suara sungai sudah terdengar."
Aku dan kapten memfokuskan pendengaran, memastikan perkataan Dayat. Ternyata memang benar, sayup-sayup terdengar gemericik air yang mengalir.
Tanpa berkata apa-apa, kapten langsung menerobos ke depan. Aku dan Dayat agak kesulitan menyusul di belakang, hingga akhirnya kami menjejakan kaki di pinggir sungai.
Kami semua terbelalak, tidak percaya dengan yang kami lihat. Api unggun yang tadi kami tinggalkan, kini lenyap tanpa bekas.
Kami kebingungan, hanya berdiri mematung di pinggir sungai. Tertutup gelap dan kabut, di depan hanya terdengar suara gemericik air karena sungai tidak terlihat. Pemandangan di sekitar benar-benar gelap kecuali kerlap-kerlip cahaya kunang-kunang yang sedari tadi mengikuti kami.
Badan kami telah basah karena keringat, meski angin malam sangat dingin hingga menusuk tulang. Nafas kami masih ngos-ngosan karena sedari tadi menjelajah hutan.
Kapten Anang masih terus mematung seperti hilang kesadaran. Beberapa kali kupanggil, ia tidak menggubris. Hanya gumaman tidak jelas yang keluar dari mulutnya.
"Kapten, sekarang kita bagaimana ?" tanya Dayat meminta kepastian.
"Ggrrhhmm..."
Lagi-lagi gumaman tidak jelas. Aku dan Dayat saling menatap, keheranan dengan perubahan sikap kapten yang mendadak. Sepertinya ada hal janggal yang dialami kapten sehingga membuat kami merasa waswas.
Perasaan kami semakin tidak tenang ketika obor di tangan masing-masing tiba-tiba padam dan hanya meninggalkan bara.
Susah payah aku dan Dayat meniup bara obor kami masing-masing, hingga api perlahan kembali menyala.
Di depan, kapten masih berdiri terpaku di tempatnya. Obor kayu yang padam tidak ia hiraukan.
Aku dan Dayat semakin panik tatkala kabut asap putih bergerak perlahan akibat tertiup angin. Wajah Dayat terlihat lebih pucat dari sebelumnya, dan lututnya gemetar tidak karuan.
Tubuhku kini menggigil, entah karena malam yang semakin dingin atau rasa takut yang kualami.
"Kapten !?" seruku sembari menepuk pundaknya. Lagi-lagi kapten hanya bergumam.
"Ggrrhhmm..."
Kepanikanku dan Dayat semakin menjadi-jadi.
"Kapten !?" aku mengulangi lagi memukul pundaknya. Setelah lebih dari tiga kali kutepuk barulah ada respon.
"A-ada apa !?" jawab kapten kebingungan.
Aku dan Dayat menarik nafas lega sambil mengelus dada.
"Kap, obormu padam." sahut Dayat.
"Astagfirullahul azim."
Seolah tersadar, kapten tiba-tiba gelagapan. Susah payah kami bertiga meniup bara obor di tangannya hingga api kembali menyala.
"Ayo, kita jangan lama-lama di sini. Hutan di sini angker."
Suara kapten seperti orang panik, entah apa yang dilihatnya.
"Memangnya kita mau kemana, kap ?" tanyaku ragu.
"Kita harus ke hulu. Perapian kita ada di sana, dekat air terjun. Mungkin Soleh sedang menunggu kita di sana."
"Tapi kap, sungai saja tidak terlihat, bagaimana kita bisa tahu arah hulu ?" tanya Dayat cemas.
"Benar juga. Kalau begitu kita pastikan arah aliran sungai."
Kami bertiga lalu melangkah perlahan menuju bibir sungai yang gelap. Tiap pijakan kami lakukan sangat hati-hati karena banyak batu yang tajam. Di dalam hati aku terus berdoa supaya kami baik-baik saja. Tapi entah kenapa, sedari tadi perasaanku tidak bisa tenang. Selalu saja aku merasa ada sesuatu yang mengamati kami entah dimana.
"Arah hulu ada disana," ucap kapten memecah kesunyian, "kita harus secepatnya ke hulu sungai. Terlalu lama di sini membuat perasaanku tidak nyaman."
Aku mengangguk setuju. Namun belum sempat beranjak, tiba-tiba Dayat mencengkram lenganku erat.
"Ada apa ?" tanyaku gusar.
"I-itu apa ?"
Aku dan kapten langsung memalingkan wajah ke arah tempat Dayat menunjuk. Di tengah sungai, tampak sesosok hitam besar tengah duduk di atas sebuah batu. Namun wajahnya tidak jelas karena hanya terlihat samar-samar.
Diselimuti kabut tipis, sosok misterius itu terlihat duduk dengan tenang, memperhatikan kami di balik kegelapan.
...bersambung...
Bab 13 : Hutan
Suara gemericik sungai terdengar semakin jauh di belakang. Kaki kami terus melangkah menyusuri hutan yang penuh semak berduri. Kami harus berjibaku mengusir nyamuk dan lintah yang menempel di kulit.
Teriakan kami menggema di tengah hutan, berharap ada jawaban dari mang Soleh. Anehnya, setiap kali berteriak memanggil nama bang Soleh, burung hantu selalu menyahut.
Semakin dipanggil, semakin lantang sahutan burung hantu. Hanya kebetulan, ucapku dalam hati. Berada di tengah rimba di tengah malam seperti ini membuat pikiran berimajinasi macam-macam.
Namun dinginnya angin malam membuat bulu kudukku merinding. Suara gesekan daun dan ranting yang tertiup angin juga tak kalah menyeramkan. Jujur saja, bila terlalu lama di hutan ini rasanya aku bisa jadi gila.
Beberapa kali jantungku rasanya hampir melorot, karena tiba-tiba saja di depanku muncul wajah nenek tua yang keriput. Wajah itu persis seperti wajah Mak Lampir yang ada di televisi.
"Allahu akbar !" Pekikku kaget.
"Ada apa ?" tanya kapten sambil mengernyitkan dahi.
"Gak apa-apa, Kap." balasku sambil menarik nafas lega.
Ternyata yang kulihat hanyalah kulit kayu dari batang-batang pohon besar. Diterpa cahaya temaram, kulit pohon yang kasar itu membuat otak berpikir macam-macam.
Dayat juga sepertinya dicekam ketakutan. Ayat kursi yang keluar dari mulutnya amburadul ke sana kemari.
Pikiranku semakin tidak karuan, ketika banyak sekali cahaya kunang-kunang mengitari kami. Mungkin ratusan, bisa juga ribuan. Kumpulan cahaya itu sepertinya sengaja menggiring kami semakin jauh masuk ke dalam hutan.
Saat ini yang kutakutkan bukan lagi binatang buas, tapi mahluk halus penunggu hutan. Cerita tentang kampung hantuen semakin menjadi-jadi bergelayut di kepalaku.
"Soollleehhhh...!!! Soollleehhhh...!!!"
Kapten terus berteriak lantang. Tidak dihiraukannya suara burung hantu yang menjawab panggilannya. Kapten terus memanggil nama mang Soleh berulang-ulang hingga suaranya serak.
"Kemana si Soleh ? Kenapa dia pergi begitu saja ?" tanya kapten sambil menyeka keringat di wajah.
Aku dan Dayat hanya bisa menggeleng.
"Sebaiknya kita kembali. Bahaya kalau terlalu jauh ke dalam hutan. Bisa-bisa kita tersesat. Siapa tahu dia hanya pergi sebentar lalu kembali lagi. Sebaiknya kita tunggu di sana." tambah kapten lagi.
Tanpa pikir panjang kami balik badan, kembali ke perapain tempat kami istirahat tadi.
Kabut tipis berwarna putih mulai naik, membuat jarak pandang kami semakin pendek. Kami harus melangkah hati-hati, agar tidak menginjak semak berduri atau binatang berbisa.
Di atas dahan-dahan pohon, suara burung hantu masih mengikuti. Suaranya begitu teratur, namun menakutkan. Serangga dan binatang malam lainnya juga tak kalah berisik.
Kami terus melangkah dengan pelan, menyesuaikan kondisi tubuh yang belum pulih. Kunang-kunang juga masih setia mengiringi, entah kebetulan atau ada sesuatu yang lain.
Yang jelas, rasanya sudah lebih dari setengah jam kami hanya berputar-putar saja di hutan ini. Dari tadi, belum juga ketemu bibir sungai yang kami cari.
Obor darurat yang ada di tangan juga semakin redup, membuat pergerakan kami semakin sulit.
"Kapten, ada yang aneh." ucapku sambil menghentikan langkah.
Kapten tiba-tiba berhenti, menatap wajahku dengan heran.
"Aneh bagaimana ?"
"Pohon ini, sudah tiga kali lewati. Kenapa ada di depan kita lagi ?"
Kapten terdiam, lalu mengamati pohon besar yang ada di hadapan kami. Ada sebuah lubang cukup besar di batangnya, biasanya jadi sarang hewan atau ular.
"Namanya juga pohon, memang bentuknya mirip semua. Apalagi saat ini gelap, pasti sulit dibedakan."
"Tidak, kapten," sanggahku, "aku yakin ini pohon yang sama. Aku ingat betul ada lubang di batangnya."
Lagi-lagi kapten terdiam. Dia mengernyitkan dahi seakan tidak percaya yang kuucapkan barusan.
"Sudah, jangan dibahas," timpal Dayat, "sebaiknya kita terus maju ke depan. Suara sungai sudah terdengar."
Aku dan kapten memfokuskan pendengaran, memastikan perkataan Dayat. Ternyata memang benar, sayup-sayup terdengar gemericik air yang mengalir.
Tanpa berkata apa-apa, kapten langsung menerobos ke depan. Aku dan Dayat agak kesulitan menyusul di belakang, hingga akhirnya kami menjejakan kaki di pinggir sungai.
Kami semua terbelalak, tidak percaya dengan yang kami lihat. Api unggun yang tadi kami tinggalkan, kini lenyap tanpa bekas.
*****
Kami kebingungan, hanya berdiri mematung di pinggir sungai. Tertutup gelap dan kabut, di depan hanya terdengar suara gemericik air karena sungai tidak terlihat. Pemandangan di sekitar benar-benar gelap kecuali kerlap-kerlip cahaya kunang-kunang yang sedari tadi mengikuti kami.
Badan kami telah basah karena keringat, meski angin malam sangat dingin hingga menusuk tulang. Nafas kami masih ngos-ngosan karena sedari tadi menjelajah hutan.
Kapten Anang masih terus mematung seperti hilang kesadaran. Beberapa kali kupanggil, ia tidak menggubris. Hanya gumaman tidak jelas yang keluar dari mulutnya.
"Kapten, sekarang kita bagaimana ?" tanya Dayat meminta kepastian.
"Ggrrhhmm..."
Lagi-lagi gumaman tidak jelas. Aku dan Dayat saling menatap, keheranan dengan perubahan sikap kapten yang mendadak. Sepertinya ada hal janggal yang dialami kapten sehingga membuat kami merasa waswas.
Perasaan kami semakin tidak tenang ketika obor di tangan masing-masing tiba-tiba padam dan hanya meninggalkan bara.
Susah payah aku dan Dayat meniup bara obor kami masing-masing, hingga api perlahan kembali menyala.
Di depan, kapten masih berdiri terpaku di tempatnya. Obor kayu yang padam tidak ia hiraukan.
Aku dan Dayat semakin panik tatkala kabut asap putih bergerak perlahan akibat tertiup angin. Wajah Dayat terlihat lebih pucat dari sebelumnya, dan lututnya gemetar tidak karuan.
Tubuhku kini menggigil, entah karena malam yang semakin dingin atau rasa takut yang kualami.
"Kapten !?" seruku sembari menepuk pundaknya. Lagi-lagi kapten hanya bergumam.
"Ggrrhhmm..."
Kepanikanku dan Dayat semakin menjadi-jadi.
"Kapten !?" aku mengulangi lagi memukul pundaknya. Setelah lebih dari tiga kali kutepuk barulah ada respon.
"A-ada apa !?" jawab kapten kebingungan.
Aku dan Dayat menarik nafas lega sambil mengelus dada.
"Kap, obormu padam." sahut Dayat.
"Astagfirullahul azim."
Seolah tersadar, kapten tiba-tiba gelagapan. Susah payah kami bertiga meniup bara obor di tangannya hingga api kembali menyala.
"Ayo, kita jangan lama-lama di sini. Hutan di sini angker."
Suara kapten seperti orang panik, entah apa yang dilihatnya.
"Memangnya kita mau kemana, kap ?" tanyaku ragu.
"Kita harus ke hulu. Perapian kita ada di sana, dekat air terjun. Mungkin Soleh sedang menunggu kita di sana."
"Tapi kap, sungai saja tidak terlihat, bagaimana kita bisa tahu arah hulu ?" tanya Dayat cemas.
"Benar juga. Kalau begitu kita pastikan arah aliran sungai."
Kami bertiga lalu melangkah perlahan menuju bibir sungai yang gelap. Tiap pijakan kami lakukan sangat hati-hati karena banyak batu yang tajam. Di dalam hati aku terus berdoa supaya kami baik-baik saja. Tapi entah kenapa, sedari tadi perasaanku tidak bisa tenang. Selalu saja aku merasa ada sesuatu yang mengamati kami entah dimana.
"Arah hulu ada disana," ucap kapten memecah kesunyian, "kita harus secepatnya ke hulu sungai. Terlalu lama di sini membuat perasaanku tidak nyaman."
Aku mengangguk setuju. Namun belum sempat beranjak, tiba-tiba Dayat mencengkram lenganku erat.
"Ada apa ?" tanyaku gusar.
"I-itu apa ?"
Aku dan kapten langsung memalingkan wajah ke arah tempat Dayat menunjuk. Di tengah sungai, tampak sesosok hitam besar tengah duduk di atas sebuah batu. Namun wajahnya tidak jelas karena hanya terlihat samar-samar.
Diselimuti kabut tipis, sosok misterius itu terlihat duduk dengan tenang, memperhatikan kami di balik kegelapan.
...bersambung...
Sampai jumpa malam Jumat ye gansist. Moga gak bosen en terhibur am thread ane yang absurd.
Jangan lupa sakrep, komeng dan syer ewer-ewer 😁
Diubah oleh benbela 03-10-2021 12:01



bruno95 dan 65 lainnya memberi reputasi
66
Kutip
Balas
Tutup