- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 19:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#217
Quote:
Original Posted By benbela►
Air terus menggulung tanpa ampun. Bagai kain yang melilit, gulungan air membuat tubuhku kaku tak bisa bergerak.
Perlahan, tubuhku mulai mati rasa. Tak lagi kurasakan rasa sakit saat batu-batu tajam menggores kulit dan meremukkan tulang. Darah mengalir deras bercampur dengan arus sungai yang liar.
Aku pasrah dan tak berdaya, ketika arus air menyeret tubuhku semakin dalam ke dasar sungai.
Detak jantungku kini melemah. Pandanganku semakin kabur dan dada terasa sesak akibat terlalu banyak menelan air. Bayang-bayang tangis putri mungilku, silih berganti datang bersama jerit isak istri dan pandangan nanar ibuku.
Tidak ! Aku tidak boleh mati sekarang ! Aku harus hidup ! Aku harus hidup apapun yang terjadi.
Sekuat tenaga kupaksa menggerakkan seluruh tubuh yang mulai membeku. Kuhentak tangan dan kaki kesana kemari demi menyambung hidup.
Kelebatan wajah anak, istri dan ibu membuat keinginanku untuk hidup kembali pulih. Semakin lama, tubuhku terasa semakin bebas bergerak.
Bagai terbebas dari ikatan, kugerakan tangan dan kaki di dalam air agar tubuhku bisa segera muncul ke permukaan.
Susah payah, kepalaku berhasil muncul di permukaan. Gelagapan, kuhirup udara sebanyaknya ke dalam paru-paru. Semakin kuhirup, semakin besar keinginanku untuk tetap hidup.
Huuh...haah...
Huuh...haah...
Aku tak jadi mati, batinku. Keadaan sekitar sangat gelap tanpa cahaya bulan dan bintang. Senterku entah hilang dimana.
Adrenalinku terpacu untuk menyambung nyawa yang di ujung tanduk. Aku mencoba berenang ke pinggir, namun percuma. Arus ini terlalu deras. Tubuhku kembali dihajar kesana kemari oleh arus yang sangat kuat.
Air terus menerjang tanpa henti, membanting tubuhku ke dinding-dinding batu sungai yang tak terlihat karena gelap.
Sreett....
Ujung batu yang tajam menggores punggungku bagai silet. Kurasakan perih hampir di seluruh tubuh karena kulit yang robek dimana-dimana. Darah terus mengalir, bercampur dengan air sungai.
Tidak juga selesai deritaku, badan mulai menggigil kedinginan. Aku menggigit bibir agar tak hilang kesadaran. Tidak ada manusia yang mampu bertahan dengan kondisi air sedingin ini. Dalam lima menit, siapapun akan lumpuh tak berdaya.
Di depan, suara gemuruh air terus menderu tanpa henti. Semakin lama, suara gemuruh terdengar semakin jelas. Air terjun ! Tidak salah, tubuhku di seret menuju air terjun.
Panik, aku berusaha mencari pegangan. Tanganku gelagapan mencari apa saja yang bisa digenggam. Batu-batu sungai begitu licin karena berlapis lumut. Terjangan gelombang yang bertubi-tubi membuat usahaku sia-sia.
Terseret arus, tubuhku meluncur deras ke arah air terjun. Seketika kurasa badan kembali melayang di udara. Entah apa yang terjadi, karena saat terjatuh aku menutup mata. Yang kurasa hanyalah hantaman air di kepala, mendorong tubuhku semakin cepat meluncur ke bawah.
Byuuurrr !
Badanku terhempas di dasar air terjun. Sakit mendera sekujur tubuh akibat jatuh dari ketinggian. Muntah darah, aku hilang kesadaran.
*****
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Kurasakan silau yang sangat menyengat ketika membuka mata. Sakit luar biasa terasa di bagian sikut dan lutut. Namun yang paling sakit adalah bagian punggung. Tidak hanya perih, punggungku terasa remuk.
Sakit di kepala juga tak kalah hebatnya, bagai terkena pukulan bertubi-tubi. Ada benjolan dan luka di sana. Bagian tubuh lain juga penuh memar dan lecet.
Kuperhatikan, tubuhku kini hanya mengenakan celana dalam. Luka-luka di tubuhku ditutupi tumbuhan paku gelang yang telah ditumbuk. Aku mencoba duduk, namun tak sanggup bergerak. Sakitnya sungguh luar biasa hingga membuatku ingin berteriak.
"Jangan bergerak !" ucap suara yang kukenal, mang Soleh.
Rupanya tubuhku tengah terbaring di atas hamparan batu-batu kali dan kerikil di tepian sungai. Di bawah rindang pohon-pohon besar, udara hangat mengalir di sekujur tubuhku. Ternnya aku sedang berbaring di sebelah api anggun.
Tidak salah lagi, pasti mang Soleh yang membuat api. Diantara kami, hanya dia yang mampu membuat api menggunakan ranting dan daun kering.
Di dekat api unggun, ada Dayat yang setengah telanjang memeluk lutut. Menghangatkan badan, kepalanya tertunduk tanpa memperhatikanku yang tergeletak di depannya. Kaca matanya sepertinya telah hilang entah dimana.
"Jangan bergerak dulu."
Suara kapten Anang mengagetkanku. Terpincang, ia mendekat sambil membawakan air yang ditampung di lipatan daun keladi.
Mang Soleh membantuku duduk, sedangkan kapten Anang menyodorkan air tadi ke mulutku.
Tetes demi tetes air mengalir di kerongkonganku. Segera kutenggak air di daun keladi hingga tidak tersisa.
"Baring saja, tubuhmu belum pulih." kata mang Soleh sembari kembali meletakkan tubuhku di atas bebatuan.
*****
Entah berapa lama aku tertidur, atau tepatnya pingsan. Saat kembali tersadar, matahari telah bergeser ke barat. Menyadari aku merintih kesakitan, mang Soleh dan kapten Anang bergegas membantuku duduk.
"Bismillah....pelan-pelan saja." kata mang Soleh lirih.
Aku meringis menahan sakit. Aku mengatupkan gigi hingga terdengar suara gemeretak dan ludah bercampur darah mengucur dari mulut. Sekujur tubuhku terasa perih akibat luka gores dimana-mana.
Susah payah akhirnya aku berhasil duduk. Kurasakan otot-otot tubuhku lemas dan sulit digerakkan.
Mang Soleh dan kapten Anang membersihkan sisa-sisa paku gelang yang telah mengering dari lukaku.
Saat paku gelang itu dilepas, tak sanggup lagi kutahan rasa perih yang luar biasa. Aku merintih hingga mengeluarkan air mata. Seketika pandanganku menjadi gelap, namun masih bisa kutahan.
"Istighfar Mid, bawa istighfar aja." kata mang Soleh seraya membersihkan sisa-sisa paku gelang yang menempel di kulitku.
Aku mengucapkan istighfar berulang kali dengan air mata yang mengalir. Saat ini aku tidak bisa berfikir jernih, hanya menurut dengan apa yang mereka katakan.
"Tenang saja, hanya luka gores. Kau baik-baik saja, tidak ada patah tulang."
Kapten Anang berusaha menenangkanku, namun percuma. Keadaanku sedang tidak baik-baik saja. Tenagaku juga telah habis terkuras menahan sakit.
Dayat melangkah tertatih, mengambil sepatu, baju dan celanaku yang telah kering dari atas sebuah batu besar di pinggir sungai.
Setelah itu, ia mendekat dengan membawa barang-barangku di kedua tangannya.
"Kau bisa berdiri ?" tanya Dayat pelan. Kulihat kondisinya tidak jauh berbeda denganku. Penuh memar dan luka gores.
"Entahlah..." jawabku lirih sambil menggeleng.
Aku mencoba berdiri dengan tertatih. Dibantu mang Soleh dan Kapten Anang, badanku mampu berpijak di atas dua kaki. Aku coba melangkah, kakiku baik-baik saja. Hanya saja bagian punggung dan pinggang terasa sangat perih.
"Pakailah dulu pakaianmu, nanti masuk angin." ucap Dayat lemah.
Aku mengangguk lalu mengucapkan terima kasih.
*****
Setelah selesai memasang pakaian, mereka bertiga membantuku untuk duduk beristirahat. Baju dan celanaku compang-comping, penuh robek di sana sini. Sedangkan sepatu kubiarkan tergeletak di hadapanku.
Selama beberapa saat aku termenung.
Keadaan kami benar-benar kacau, terdampar di tengah hutan dalam kondisi tubuh yang memprihatinkan.
Tidak ada seorang pun yang tahu keadaan atau dimana kami berada.
Hatiku semakin sedih ketika teringat keluarga di rumah. Masihkah aku bisa berjumpa dengan anak, istri dan ibuku. Semakin dipikir, semakin pikiranku tak tenang.
Seketika aku tersadar, ada yang kurang di antara kami. Dari tadi tidak kulihat mas Sugang.
"Dimana mas Sugang ?" tanyaku memecah keheningan.
Kapten Anang terlihat ragu untuk menjawab, namun tak bisa mengelak. Tatap matanya terlihat kosong, ada raut kesedihan di wajahnya.
"Kami tidak menemukan tubuhnya," balasnya tertahan, "sudah kami cari di sepanjang aliran sungai, namun tidak ada tanda-tanda keberadaannya."
Aku terdiam mendengar penuturan kapten. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya tertunduk menahan sedih. Dalam satu malam, kami harus kehilangan orang-orang dekat.
Tiba-tiba kebencianku tumbuh kepada mang Muksin dan Mursyid. Namun tentu saja yang paling kubenci adalah mang Atak. Air susu dibalas air tuba.
Gara-gara ulahnya, kami harus bertaruh nyawa di tengah hutan yang tak pernah dijamah manusia sebelumnya.
Kami benar-benar berada di antah berantah. Di tengah hutan lebat Kalimantan, di antara hewan-hewan buas yang selalu mengintai di antara rimbun belukar.
"Kita tidak ada pilihan. Sebentar lagi gelap. Sebaiknya kita bermalam di sini hingga benar-benar pulih. Besok pagi baru kita susuri sungai ke arah hilir." ucap mang Soleh sambil menatap wajah kami bergantian, seolah meminta persetujuan.
Meskipun berbahaya, apa yang dikatakan mang Soleh adalah satu-satunya pilihan paling logis. Malam ini, kami akan menginap di pinggir sungai, di alam terbuka, di bawah batang-batang pohon besar yang menjulang.
Malam nanti, entah kejadian mengerikan apalagi yang akan kami hadapi.
...bersambung...
Bab 11 : Terdampar di Tengah Hutan
Air terus menggulung tanpa ampun. Bagai kain yang melilit, gulungan air membuat tubuhku kaku tak bisa bergerak.
Perlahan, tubuhku mulai mati rasa. Tak lagi kurasakan rasa sakit saat batu-batu tajam menggores kulit dan meremukkan tulang. Darah mengalir deras bercampur dengan arus sungai yang liar.
Aku pasrah dan tak berdaya, ketika arus air menyeret tubuhku semakin dalam ke dasar sungai.
Detak jantungku kini melemah. Pandanganku semakin kabur dan dada terasa sesak akibat terlalu banyak menelan air. Bayang-bayang tangis putri mungilku, silih berganti datang bersama jerit isak istri dan pandangan nanar ibuku.
Tidak ! Aku tidak boleh mati sekarang ! Aku harus hidup ! Aku harus hidup apapun yang terjadi.
Sekuat tenaga kupaksa menggerakkan seluruh tubuh yang mulai membeku. Kuhentak tangan dan kaki kesana kemari demi menyambung hidup.
Kelebatan wajah anak, istri dan ibu membuat keinginanku untuk hidup kembali pulih. Semakin lama, tubuhku terasa semakin bebas bergerak.
Bagai terbebas dari ikatan, kugerakan tangan dan kaki di dalam air agar tubuhku bisa segera muncul ke permukaan.
Susah payah, kepalaku berhasil muncul di permukaan. Gelagapan, kuhirup udara sebanyaknya ke dalam paru-paru. Semakin kuhirup, semakin besar keinginanku untuk tetap hidup.
Huuh...haah...
Huuh...haah...
Aku tak jadi mati, batinku. Keadaan sekitar sangat gelap tanpa cahaya bulan dan bintang. Senterku entah hilang dimana.
Adrenalinku terpacu untuk menyambung nyawa yang di ujung tanduk. Aku mencoba berenang ke pinggir, namun percuma. Arus ini terlalu deras. Tubuhku kembali dihajar kesana kemari oleh arus yang sangat kuat.
Air terus menerjang tanpa henti, membanting tubuhku ke dinding-dinding batu sungai yang tak terlihat karena gelap.
Sreett....
Ujung batu yang tajam menggores punggungku bagai silet. Kurasakan perih hampir di seluruh tubuh karena kulit yang robek dimana-dimana. Darah terus mengalir, bercampur dengan air sungai.
Tidak juga selesai deritaku, badan mulai menggigil kedinginan. Aku menggigit bibir agar tak hilang kesadaran. Tidak ada manusia yang mampu bertahan dengan kondisi air sedingin ini. Dalam lima menit, siapapun akan lumpuh tak berdaya.
Di depan, suara gemuruh air terus menderu tanpa henti. Semakin lama, suara gemuruh terdengar semakin jelas. Air terjun ! Tidak salah, tubuhku di seret menuju air terjun.
Panik, aku berusaha mencari pegangan. Tanganku gelagapan mencari apa saja yang bisa digenggam. Batu-batu sungai begitu licin karena berlapis lumut. Terjangan gelombang yang bertubi-tubi membuat usahaku sia-sia.
Terseret arus, tubuhku meluncur deras ke arah air terjun. Seketika kurasa badan kembali melayang di udara. Entah apa yang terjadi, karena saat terjatuh aku menutup mata. Yang kurasa hanyalah hantaman air di kepala, mendorong tubuhku semakin cepat meluncur ke bawah.
Byuuurrr !
Badanku terhempas di dasar air terjun. Sakit mendera sekujur tubuh akibat jatuh dari ketinggian. Muntah darah, aku hilang kesadaran.
*****
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Kurasakan silau yang sangat menyengat ketika membuka mata. Sakit luar biasa terasa di bagian sikut dan lutut. Namun yang paling sakit adalah bagian punggung. Tidak hanya perih, punggungku terasa remuk.
Sakit di kepala juga tak kalah hebatnya, bagai terkena pukulan bertubi-tubi. Ada benjolan dan luka di sana. Bagian tubuh lain juga penuh memar dan lecet.
Kuperhatikan, tubuhku kini hanya mengenakan celana dalam. Luka-luka di tubuhku ditutupi tumbuhan paku gelang yang telah ditumbuk. Aku mencoba duduk, namun tak sanggup bergerak. Sakitnya sungguh luar biasa hingga membuatku ingin berteriak.
"Jangan bergerak !" ucap suara yang kukenal, mang Soleh.
Rupanya tubuhku tengah terbaring di atas hamparan batu-batu kali dan kerikil di tepian sungai. Di bawah rindang pohon-pohon besar, udara hangat mengalir di sekujur tubuhku. Ternnya aku sedang berbaring di sebelah api anggun.
Tidak salah lagi, pasti mang Soleh yang membuat api. Diantara kami, hanya dia yang mampu membuat api menggunakan ranting dan daun kering.
Di dekat api unggun, ada Dayat yang setengah telanjang memeluk lutut. Menghangatkan badan, kepalanya tertunduk tanpa memperhatikanku yang tergeletak di depannya. Kaca matanya sepertinya telah hilang entah dimana.
"Jangan bergerak dulu."
Suara kapten Anang mengagetkanku. Terpincang, ia mendekat sambil membawakan air yang ditampung di lipatan daun keladi.
Mang Soleh membantuku duduk, sedangkan kapten Anang menyodorkan air tadi ke mulutku.
Tetes demi tetes air mengalir di kerongkonganku. Segera kutenggak air di daun keladi hingga tidak tersisa.
"Baring saja, tubuhmu belum pulih." kata mang Soleh sembari kembali meletakkan tubuhku di atas bebatuan.
*****
Entah berapa lama aku tertidur, atau tepatnya pingsan. Saat kembali tersadar, matahari telah bergeser ke barat. Menyadari aku merintih kesakitan, mang Soleh dan kapten Anang bergegas membantuku duduk.
"Bismillah....pelan-pelan saja." kata mang Soleh lirih.
Aku meringis menahan sakit. Aku mengatupkan gigi hingga terdengar suara gemeretak dan ludah bercampur darah mengucur dari mulut. Sekujur tubuhku terasa perih akibat luka gores dimana-mana.
Susah payah akhirnya aku berhasil duduk. Kurasakan otot-otot tubuhku lemas dan sulit digerakkan.
Mang Soleh dan kapten Anang membersihkan sisa-sisa paku gelang yang telah mengering dari lukaku.
Saat paku gelang itu dilepas, tak sanggup lagi kutahan rasa perih yang luar biasa. Aku merintih hingga mengeluarkan air mata. Seketika pandanganku menjadi gelap, namun masih bisa kutahan.
"Istighfar Mid, bawa istighfar aja." kata mang Soleh seraya membersihkan sisa-sisa paku gelang yang menempel di kulitku.
Aku mengucapkan istighfar berulang kali dengan air mata yang mengalir. Saat ini aku tidak bisa berfikir jernih, hanya menurut dengan apa yang mereka katakan.
"Tenang saja, hanya luka gores. Kau baik-baik saja, tidak ada patah tulang."
Kapten Anang berusaha menenangkanku, namun percuma. Keadaanku sedang tidak baik-baik saja. Tenagaku juga telah habis terkuras menahan sakit.
Dayat melangkah tertatih, mengambil sepatu, baju dan celanaku yang telah kering dari atas sebuah batu besar di pinggir sungai.
Setelah itu, ia mendekat dengan membawa barang-barangku di kedua tangannya.
"Kau bisa berdiri ?" tanya Dayat pelan. Kulihat kondisinya tidak jauh berbeda denganku. Penuh memar dan luka gores.
"Entahlah..." jawabku lirih sambil menggeleng.
Aku mencoba berdiri dengan tertatih. Dibantu mang Soleh dan Kapten Anang, badanku mampu berpijak di atas dua kaki. Aku coba melangkah, kakiku baik-baik saja. Hanya saja bagian punggung dan pinggang terasa sangat perih.
"Pakailah dulu pakaianmu, nanti masuk angin." ucap Dayat lemah.
Aku mengangguk lalu mengucapkan terima kasih.
*****
Setelah selesai memasang pakaian, mereka bertiga membantuku untuk duduk beristirahat. Baju dan celanaku compang-comping, penuh robek di sana sini. Sedangkan sepatu kubiarkan tergeletak di hadapanku.
Selama beberapa saat aku termenung.
Keadaan kami benar-benar kacau, terdampar di tengah hutan dalam kondisi tubuh yang memprihatinkan.
Tidak ada seorang pun yang tahu keadaan atau dimana kami berada.
Hatiku semakin sedih ketika teringat keluarga di rumah. Masihkah aku bisa berjumpa dengan anak, istri dan ibuku. Semakin dipikir, semakin pikiranku tak tenang.
Seketika aku tersadar, ada yang kurang di antara kami. Dari tadi tidak kulihat mas Sugang.
"Dimana mas Sugang ?" tanyaku memecah keheningan.
Kapten Anang terlihat ragu untuk menjawab, namun tak bisa mengelak. Tatap matanya terlihat kosong, ada raut kesedihan di wajahnya.
"Kami tidak menemukan tubuhnya," balasnya tertahan, "sudah kami cari di sepanjang aliran sungai, namun tidak ada tanda-tanda keberadaannya."
Aku terdiam mendengar penuturan kapten. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya tertunduk menahan sedih. Dalam satu malam, kami harus kehilangan orang-orang dekat.
Tiba-tiba kebencianku tumbuh kepada mang Muksin dan Mursyid. Namun tentu saja yang paling kubenci adalah mang Atak. Air susu dibalas air tuba.
Gara-gara ulahnya, kami harus bertaruh nyawa di tengah hutan yang tak pernah dijamah manusia sebelumnya.
Kami benar-benar berada di antah berantah. Di tengah hutan lebat Kalimantan, di antara hewan-hewan buas yang selalu mengintai di antara rimbun belukar.
"Kita tidak ada pilihan. Sebentar lagi gelap. Sebaiknya kita bermalam di sini hingga benar-benar pulih. Besok pagi baru kita susuri sungai ke arah hilir." ucap mang Soleh sambil menatap wajah kami bergantian, seolah meminta persetujuan.
Meskipun berbahaya, apa yang dikatakan mang Soleh adalah satu-satunya pilihan paling logis. Malam ini, kami akan menginap di pinggir sungai, di alam terbuka, di bawah batang-batang pohon besar yang menjulang.
Malam nanti, entah kejadian mengerikan apalagi yang akan kami hadapi.
...bersambung...
Sampai jumpa malam Jumat ye gansist. Moga gak bosen en terhibur. Jangan lupa sakrep, komeng dan syer ewer-ewer 😁



bruno95 dan 64 lainnya memberi reputasi
65
Kutip
Balas
Tutup