- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 12:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#166
Quote:
Original Posted By benbela►
Semakin lama, pusaran air semakin besar dan membentuk gelombang yang mengerikan.
Kapten Anang memberi kode, kami melangkah mundur perlahan. Pistol terus ia arahkan ke pusaran air. Kami semua menahan nafas dengan rasa cemas.
Tubuhku menggigil, entah karena udara dingin atau rasa takut yang datang tiba-tiba.
Byurrr...!!!
Tiba-tiba mulut besar menganga dengan gigi tajam muncul dari dalam sungai.
Arrrrgggghhhhhhh....!!!
Kembali terdengar jerit kematian, entah siapa yang jadi korban. Tanpa menunggu perintah kapten, kami berlari kencang ke dalam hutan. Kami terbirit menyelamatkan diri masing-masing, hanya mengandalkan cahaya senter yang minim.
Di belakang, teriak kesakitan silih berganti menggema, bersahutan dengan suara gaduh binatang yang ketakutan. Satu-persatu, rekan kerjaku diseret ke dalam sungai.
*****
Entah sudah berapa lama kami berlari menerobos belantara yang lebat ini. Di langit, cahaya masih gelap tertutup rimbun pohon yang tinggi menjulang.
Suasana di sekitar sangat gelap. Tidak ada apapun yang terlihat kecuali cahaya senter dan headlamp yang semakin redup. Aku melirik ke kiri dan kanan, batang-batang pohon besar bagai mahluk raksasa yang mengawasi langkah kami.
Kini hanya tersisa kami berlima, aku, kapten Anang, mang Soleh, Dayat dan mas Sugang. Tubuh kami semakin lelah dan langkah kaki terasa semakin berat.
"Berhenti ! Kita istirahat sebentar. Mahluk itu sepertinya tidak mengikuti." kata kapten Anang dengan nafas ngos-ngosan.
Kapten Anang langsung duduk bersandar pada sebuah pohon besar. Peluh keringatnya bercucuran dengan suara nafas yang kentara di tengah kesunyian.
Kami lalu beristirahat untuk mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Tidak ada yang tahu kami sekarang ada dimana. Yang jelas, kami sudah berada jauh di dalam hutan, berharap mahluk itu tidak mengejar.
Mang Soleh kemudian berdiri, dengan sebilah mandau ia memotong akar pohon yang menggantung hingga airnya keluar. Segera saja kami berdiri untuk meminum air dari akar gantung itu bergantian.
Mang Soleh memotong beberapa akar lagi, hingga tenggorokan kami benar-benar basah. Tubuh kembali terasa segar ketika air mengalir ke dalam tubuh, tetes demi tetes.
"Kita istirahat di sini, sambil menunggu terang." ucap kapten sembari menyeka air di bibirnya.
"Yang penting jangan tertidur. Kita hanya perlu memulihkan tenaga. Bisa saja, monster itu tengah mengintai entah dimana." sahut mang Soleh.
Tanpa banyak bicara, kami semua duduk bersandar di sebuah batang pohon besar. Bau khas daun-daun busuk di dasar hutan segera menyeruak.
Kami semua terdiam, menyadari bahwa kami baru saja lolos dari maut. Lai, Ali dan Nurdin, telah meregang nyawa diseret monster sungai. Sedangkan mang Muksin dan Mursyid, telah kabur bersama mang Atak. Entah apa yang mereka rencanakan, yang pasti kami telah dijadikan umpan agar mereka bisa melarikan diri.
Di samping, mas Sugang mulai menangis. Matanya berkaca-kaca sambil menggigit bibir. Di tengah kegelapan, pundaknya berguncang karena menahan isak.
"Karma....ini karma. Ini pasti kutukan. Kutukan atas dosa kita..."
Entah karena menyesal atau takut, mas Sugang mulai bicara ngelantur.
"Sugang, Diam ! Jangan ngelantur !" bentak mang Soleh.
"Aku tidak ngelantur. Apakah kau tidak sadar, kutukan itu semakin nyata !? Kita sudah kena sumpah !"
Meninggi, nada suara mas Sugang penuh emosi. Tak dihiraukan air mata yang mengalir di celah hidung.
Bangkit berdiri, mas Sugang sudah siap bertaruh nyawa menghadapi mang Soleh.
"Bodoh !" hardik kapten Anang, "Bukan waktu yang tepat memikirkan dosa. Sekarang yang penting, adalah bagaimana caranya kita selamat."
Terdiam, dua orang ini seketika tersadar lalu kembali duduk menahan amarah. Aku dan Dayat hanya bisa saling pandang. Sepertinya hanya aku dan Dayat yang belum paham apa yang sesungguhnya terjadi.
Beberapa menit berlalu, kami kembali terdiam tanpa suara. Keadaan sekitar masih gelap dan kabut tipis mulai naik.
Tubuhku yang tadi panas karena berlari, perlahan mulai menggigil. Suara-suara serangga dan hewan malam terus menggema di antara cabang-cabang pohon dan dedaunan.
Karena kelelahan, kesadaranku mulai menghilang. Perasaan lelah dan mengantuk jadi satu. Namun rasa takut membuatku memaksakan diri untuk tetap terjaga.
"Kukira, Tambun itu hanyalah mahluk dalam dongeng."
Suara mang Soleh tiba-tiba memecah kesunyian. Masih bersandar, mang Soleh beberapa kali memukul headlampnya yang semakin redup.
"Dahulu, almarhumah nenekku sering bercerita kalau Tambun kerap menyerang para pencari ikan atau kapal-kapal dagang yang berlayar di sungai Barito. Bahkan, kapal perang Onrust Belanda tenggelam di perairan Barito Utara akibat serangan Tambun. Bangkai kapal itu masih ada sampai sekarang, dan sering terlihat saat sungai sedang surut."
Lanjut mang Soleh sambil membetulkan posisi headlamp di kepalanya.
"Sewaktu masih kecil, aku sangat percaya kalau Tambun memang benar ada di sungai Barito. Tidak ada yang tahu persis seperti apa bentuknya, ada yang mengatakan seperti ular raksasa, ada juga yang bilang berupa Naga dengan tanduk dan sisik emas. Bahkan ada yang bilang Tambun adalah hantu banyu yang kerap membuat orang mati tenggelam di sungai.
Beberapa hari yang lalu, dongeng yang disampaikan almarhumah nenek tentang Tambun hanya kuanggap sebagai isapan jempol. Tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menakuti anak-anak yang suka lupa diri saat mandi di sungai.
Namun sekarang, aku harus berpikir ulang. Satu-satu persatu, kawan kita tewas diseret sesuatu dari dalam sungai."
Kami kembali terdiam, menyadari belum sepenuhnya lepas dari maut. Mungkin saja mahluk itu tidak lagi mengejar, tapi sekarang kami tengah tersesat di hutan belantara. Lepas dari maut hanya untuk menuju maut lainnya.
"Bisa jadi, orang-orang China itu berniat memburu Tambun. Kudengar, mereka sangat suka memakan daging hewan langka." timpal kapten Anang di tempat duduknya.
"Bisa jadi. Tidak mungkin hewan itu keluar dari persembunyian kalau tidak diganggu. Yang jadi perkara, hewan itu adalah pemburu."
Kalimat terakhir mang Soleh membuatku kaget. Kantukku hilang seketika, berganti rasa waswas tak karuan.
"Pemburu ?" tanyaku tak percaya.
Mang Soleh mengangguk pelan. Bulu kudukku merinding seketika. Tak hanya aku, yang lain juga sepertinya dicekam ketakutan yang sama.
"Dalam Hikayat Pedatuan, orang-orang Banjar mencatat kalau Tambun adalah hewan ganas penguasa sungai. Mereka berburu hingga ke darat, tak mengenal takut apapun." lanjut mang Soleh.
"Dalam senandung orang-orang Dayak, Tambun diceritakan sangat menguasai hutan. Bisa menjelma jadi pohon, mengintai dalam gelap, menyergap apapun yang di hadapannya."
Panik, seketika aku dan Dayat bangkit dari duduk. Bisa saja, pohon tempat kami bersandar adalah jelmaan Tambun.
"Tak perlu khawatir. Tambun tak benar-benar menjelma jadi pohon. Hanya kiasan orang-orang dulu. Yang jelas, hewan itu benar-benar nyata."
Aku dan Dayat sedikit lega mendengar penjelasan mang Soleh, walau rasa waswas masih menghantui. Aku kembali duduk ke tempat semula, sedangkan Dayat malah melangkah menjauh.
"Mau kemana ?" tanya kapten.
"Buang air kecil, kap." jawab Dayat.
Namun Dayat tiba-tiba diam tak bergerak. Ia terlihat ragu melangkah, lalu mundur hati-hati. Kami yang ada di belakangnya seketika waspada, kemudian berdiri dengan sangat perlahan.
Beberapa meter di depan Dayat, sepasang mata tampak menyala-nyala, memantulkan cahaya senter kami.
Grrrrhhhhh....grrrrhhhh....
Hewan buas itu mengeluarkan suara penuh amarah. Merangkak perlahan selangkah demi selangkah, mahluk ganas itu memamerkan gigi dan taringnya yang tajam.
Grrrrhhhhh....grrrrhhhh...
Suara hewan itu benar-benar menciutkan nyali. Jantungku lagi-lagi berdegub kencang. Telapak tanganku mulai basah karena keringat. Kutarik nafas sangat pelan hingga dadaku terasa sesak. Aku juga turut mundur perlahan, tanpa lepas sedetik pun mengawasi gerakan hewan buas itu.
Diterpa sorot cahaya senter, samar-samar terlihat corak tubuhnya berupa bintik besar keemasan dengan garis hitam.
Hewan itu mulai merunduk, bertopang pada empat kaki. Cakar-cakarnga nya yang tajam telah mengembang bagai belati.
"Macan dahan." ucap kapten tertahan.
...bersambung...
Bab 9 : Tambun
Semakin lama, pusaran air semakin besar dan membentuk gelombang yang mengerikan.
Kapten Anang memberi kode, kami melangkah mundur perlahan. Pistol terus ia arahkan ke pusaran air. Kami semua menahan nafas dengan rasa cemas.
Tubuhku menggigil, entah karena udara dingin atau rasa takut yang datang tiba-tiba.
Byurrr...!!!
Tiba-tiba mulut besar menganga dengan gigi tajam muncul dari dalam sungai.
Arrrrgggghhhhhhh....!!!
Kembali terdengar jerit kematian, entah siapa yang jadi korban. Tanpa menunggu perintah kapten, kami berlari kencang ke dalam hutan. Kami terbirit menyelamatkan diri masing-masing, hanya mengandalkan cahaya senter yang minim.
Di belakang, teriak kesakitan silih berganti menggema, bersahutan dengan suara gaduh binatang yang ketakutan. Satu-persatu, rekan kerjaku diseret ke dalam sungai.
*****
Entah sudah berapa lama kami berlari menerobos belantara yang lebat ini. Di langit, cahaya masih gelap tertutup rimbun pohon yang tinggi menjulang.
Suasana di sekitar sangat gelap. Tidak ada apapun yang terlihat kecuali cahaya senter dan headlamp yang semakin redup. Aku melirik ke kiri dan kanan, batang-batang pohon besar bagai mahluk raksasa yang mengawasi langkah kami.
Kini hanya tersisa kami berlima, aku, kapten Anang, mang Soleh, Dayat dan mas Sugang. Tubuh kami semakin lelah dan langkah kaki terasa semakin berat.
"Berhenti ! Kita istirahat sebentar. Mahluk itu sepertinya tidak mengikuti." kata kapten Anang dengan nafas ngos-ngosan.
Kapten Anang langsung duduk bersandar pada sebuah pohon besar. Peluh keringatnya bercucuran dengan suara nafas yang kentara di tengah kesunyian.
Kami lalu beristirahat untuk mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Tidak ada yang tahu kami sekarang ada dimana. Yang jelas, kami sudah berada jauh di dalam hutan, berharap mahluk itu tidak mengejar.
Mang Soleh kemudian berdiri, dengan sebilah mandau ia memotong akar pohon yang menggantung hingga airnya keluar. Segera saja kami berdiri untuk meminum air dari akar gantung itu bergantian.
Mang Soleh memotong beberapa akar lagi, hingga tenggorokan kami benar-benar basah. Tubuh kembali terasa segar ketika air mengalir ke dalam tubuh, tetes demi tetes.
"Kita istirahat di sini, sambil menunggu terang." ucap kapten sembari menyeka air di bibirnya.
"Yang penting jangan tertidur. Kita hanya perlu memulihkan tenaga. Bisa saja, monster itu tengah mengintai entah dimana." sahut mang Soleh.
Tanpa banyak bicara, kami semua duduk bersandar di sebuah batang pohon besar. Bau khas daun-daun busuk di dasar hutan segera menyeruak.
Kami semua terdiam, menyadari bahwa kami baru saja lolos dari maut. Lai, Ali dan Nurdin, telah meregang nyawa diseret monster sungai. Sedangkan mang Muksin dan Mursyid, telah kabur bersama mang Atak. Entah apa yang mereka rencanakan, yang pasti kami telah dijadikan umpan agar mereka bisa melarikan diri.
Di samping, mas Sugang mulai menangis. Matanya berkaca-kaca sambil menggigit bibir. Di tengah kegelapan, pundaknya berguncang karena menahan isak.
"Karma....ini karma. Ini pasti kutukan. Kutukan atas dosa kita..."
Entah karena menyesal atau takut, mas Sugang mulai bicara ngelantur.
"Sugang, Diam ! Jangan ngelantur !" bentak mang Soleh.
"Aku tidak ngelantur. Apakah kau tidak sadar, kutukan itu semakin nyata !? Kita sudah kena sumpah !"
Meninggi, nada suara mas Sugang penuh emosi. Tak dihiraukan air mata yang mengalir di celah hidung.
Bangkit berdiri, mas Sugang sudah siap bertaruh nyawa menghadapi mang Soleh.
"Bodoh !" hardik kapten Anang, "Bukan waktu yang tepat memikirkan dosa. Sekarang yang penting, adalah bagaimana caranya kita selamat."
Terdiam, dua orang ini seketika tersadar lalu kembali duduk menahan amarah. Aku dan Dayat hanya bisa saling pandang. Sepertinya hanya aku dan Dayat yang belum paham apa yang sesungguhnya terjadi.
Beberapa menit berlalu, kami kembali terdiam tanpa suara. Keadaan sekitar masih gelap dan kabut tipis mulai naik.
Tubuhku yang tadi panas karena berlari, perlahan mulai menggigil. Suara-suara serangga dan hewan malam terus menggema di antara cabang-cabang pohon dan dedaunan.
Karena kelelahan, kesadaranku mulai menghilang. Perasaan lelah dan mengantuk jadi satu. Namun rasa takut membuatku memaksakan diri untuk tetap terjaga.
"Kukira, Tambun itu hanyalah mahluk dalam dongeng."
Suara mang Soleh tiba-tiba memecah kesunyian. Masih bersandar, mang Soleh beberapa kali memukul headlampnya yang semakin redup.
"Dahulu, almarhumah nenekku sering bercerita kalau Tambun kerap menyerang para pencari ikan atau kapal-kapal dagang yang berlayar di sungai Barito. Bahkan, kapal perang Onrust Belanda tenggelam di perairan Barito Utara akibat serangan Tambun. Bangkai kapal itu masih ada sampai sekarang, dan sering terlihat saat sungai sedang surut."
Lanjut mang Soleh sambil membetulkan posisi headlamp di kepalanya.
"Sewaktu masih kecil, aku sangat percaya kalau Tambun memang benar ada di sungai Barito. Tidak ada yang tahu persis seperti apa bentuknya, ada yang mengatakan seperti ular raksasa, ada juga yang bilang berupa Naga dengan tanduk dan sisik emas. Bahkan ada yang bilang Tambun adalah hantu banyu yang kerap membuat orang mati tenggelam di sungai.
Beberapa hari yang lalu, dongeng yang disampaikan almarhumah nenek tentang Tambun hanya kuanggap sebagai isapan jempol. Tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menakuti anak-anak yang suka lupa diri saat mandi di sungai.
Namun sekarang, aku harus berpikir ulang. Satu-satu persatu, kawan kita tewas diseret sesuatu dari dalam sungai."
Kami kembali terdiam, menyadari belum sepenuhnya lepas dari maut. Mungkin saja mahluk itu tidak lagi mengejar, tapi sekarang kami tengah tersesat di hutan belantara. Lepas dari maut hanya untuk menuju maut lainnya.
"Bisa jadi, orang-orang China itu berniat memburu Tambun. Kudengar, mereka sangat suka memakan daging hewan langka." timpal kapten Anang di tempat duduknya.
"Bisa jadi. Tidak mungkin hewan itu keluar dari persembunyian kalau tidak diganggu. Yang jadi perkara, hewan itu adalah pemburu."
Kalimat terakhir mang Soleh membuatku kaget. Kantukku hilang seketika, berganti rasa waswas tak karuan.
"Pemburu ?" tanyaku tak percaya.
Mang Soleh mengangguk pelan. Bulu kudukku merinding seketika. Tak hanya aku, yang lain juga sepertinya dicekam ketakutan yang sama.
"Dalam Hikayat Pedatuan, orang-orang Banjar mencatat kalau Tambun adalah hewan ganas penguasa sungai. Mereka berburu hingga ke darat, tak mengenal takut apapun." lanjut mang Soleh.
"Dalam senandung orang-orang Dayak, Tambun diceritakan sangat menguasai hutan. Bisa menjelma jadi pohon, mengintai dalam gelap, menyergap apapun yang di hadapannya."
Panik, seketika aku dan Dayat bangkit dari duduk. Bisa saja, pohon tempat kami bersandar adalah jelmaan Tambun.
"Tak perlu khawatir. Tambun tak benar-benar menjelma jadi pohon. Hanya kiasan orang-orang dulu. Yang jelas, hewan itu benar-benar nyata."
Aku dan Dayat sedikit lega mendengar penjelasan mang Soleh, walau rasa waswas masih menghantui. Aku kembali duduk ke tempat semula, sedangkan Dayat malah melangkah menjauh.
"Mau kemana ?" tanya kapten.
"Buang air kecil, kap." jawab Dayat.
Namun Dayat tiba-tiba diam tak bergerak. Ia terlihat ragu melangkah, lalu mundur hati-hati. Kami yang ada di belakangnya seketika waspada, kemudian berdiri dengan sangat perlahan.
Beberapa meter di depan Dayat, sepasang mata tampak menyala-nyala, memantulkan cahaya senter kami.
Grrrrhhhhh....grrrrhhhh....
Hewan buas itu mengeluarkan suara penuh amarah. Merangkak perlahan selangkah demi selangkah, mahluk ganas itu memamerkan gigi dan taringnya yang tajam.
Grrrrhhhhh....grrrrhhhh...
Suara hewan itu benar-benar menciutkan nyali. Jantungku lagi-lagi berdegub kencang. Telapak tanganku mulai basah karena keringat. Kutarik nafas sangat pelan hingga dadaku terasa sesak. Aku juga turut mundur perlahan, tanpa lepas sedetik pun mengawasi gerakan hewan buas itu.
Diterpa sorot cahaya senter, samar-samar terlihat corak tubuhnya berupa bintik besar keemasan dengan garis hitam.
Hewan itu mulai merunduk, bertopang pada empat kaki. Cakar-cakarnga nya yang tajam telah mengembang bagai belati.
"Macan dahan." ucap kapten tertahan.
...bersambung...
Sampai jumpa malam Jumat. Moga gak bosen en terhibur. Jangan lupa sakrep, komeng dan syer ewer-ewer 😁



bruno95 dan 74 lainnya memberi reputasi
75
Kutip
Balas
Tutup