- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 12:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#134
Quote:
Original Posted By benbela►
"Aaarrrrrggghhhhh....!!!"
Perlahan, tubuh mas Sugang tenggelam ke dalam air. Tangannya menggelegap di atas permukaan, berusaha pertahankan hidup.Sekuat tenaga aku menarik tubuhnya yang terkulai tak berdaya.
Dengan sebatang kayu, Dayat membabi buta memukul tubuh mahluk yang tengah menindih tubuh mas Sugang.
Praak...!
Praak...!
Kayu ditangan Dayat patah. Tak puas, Dayat kemudian menendang berkali-kali hingga terdengar rintih kesakitan.
"Ampun...ampun...tolong...!" mahluk itu memelas.
"Hah !?"
Aku, Dayat dan mas Sugang terbengong bersamaan.
"Biyangane !!! Jebole manungso !" mas Sugang bergegas berdiri dengan tubuh basah kuyup.
Kapten Anang, mang Soleh dan lainnya berhamburan begitu mendengar jerit mas Sugang. Setiba di pinggir sungai, mereka ternganga melihat ulah kami. Senjata ditangan mereka kembalikan ke sarungnya.
"Tiwas meh ta pateni, jebule manungso ! Nek ora, tak lempit-lempit ndase. Biyangane setan alas !"
Mas Sugang segera melangkah ke pinggir sungai, sambil memaki dalam bahasa Jawa yang tak kumengerti.
Di hadapan kami, tergeletak sesosok tubuh yang terkulai tak berdaya. Menggunakan jaket hitam dengan penutup kepala, kukira ia adalah hantu dengan mulut vertikal.
Bersama yang lain, aku dan Dayat menyeret tubuh penuh luka itu ke pinggir sungai.
"Loh, Atak ? " ujar kapten kaget.
"Atak !?" timpal mang Soleh dan mang Muksin hampir bersamaan.
"Atak !?"
"Apa benar si Atak ?"
"Ternyata Atak toh ? Ternyata masih hidup."
Kecuali aku dan Dayat, yang lain rupanya mengenali sosok yang barusan kami tolong.
"Lekas bawa ke pondok, kita selamatkan si Atak !" Perintah kapten panik.
Waktu menunjukkan pukul 12 malam lewat beberapa menit. Hanya mengenakan sarung, tubuh mang Atak kami hangatkan di luar pondok, di depan api unggun yang menyala-nyala. Saat pakaiannya dilepas, tubuh mang Atak penuh luka gores. Hanya luka ringan, tidak ada luka berat meski pakaian yang dikenakannya telah robek di sana-sini.
Mang Atak ini, usianya kuperkirakan sepantaran kapten Anang, mang Soleh dan mang Muksin. Andaikan masih hidup, usia almarhum abah pastilah sama dengan mereka, sekitar 40 tahun lebih sedikit.
"Kukira si Atak ini menghilang kemana, gak tahunya di sekitar sini saja."
"Kukira ia sudah mati, ee...ternyata masih hidup."
"Tak disangka, rupanya ia masih berani menampakkan batang hidungnya di daerah kita."
Desas-desus tentang mang Atak semakin berhembus. Bapak-bapak di depanku ini rupanya tak kalah dengan perempuan, suka bergosip. Semua membahas masa lalunya, tak satu pun yang bertanya-tanya kenapa mang Atak bisa terdampar di sini.
"Ehm...ehm...!"
Kapten berdehem keras. Dengan pistol di tangan, kapten memandangi mereka sambil melotot. Suara-suara miring yang dialamatkan pada mang Atak kembali hilang. Hanya ada saling lirik dan saling sikut, agar mereka tak bersuara.
Yang kucuri dengar, mang Atak ini dulu rupanya salah satu anak buah kapten Anang. Ia merupakan salah satu kawan serantang seruntung almarhum abah bersama kapten Anang. Setelah Abah meninggal, ia menghilang entah kemana. Ia bahkan tak melayat saat pemakaman Abah. Polisi sempat mencurigainya, namun kapten Anang bersikukuh bahwa mang Atak bersamanya di Banjarmasin, saat ayah terjatuh di sungai.
"Uhuk...uhuk..." mang Atak tiba-tiba terbatuk.
"Ambilkan air, cepat !" perintah kapten.
Yang lain langsung bergerombol mengelilingi mang Atak yang mulai sadarkan diri.
"Minggir ! Minggir ! Jangan bergerombol. Biarkan ia beristirahat !" seru kapten lagi.
Yang tadinya bergerombol segera menyingkir, kembali ke tempat duduk masing-masing. Semua mata menatap mang Atak dengan penuh curiga.
Mas Sugang bertindak cepat, mendudukkan tubuh mang Atak lalu memijat-mijat punggung,pundak serta kepalanya.
"Minumnya pelan-pelan saja. Nanti tersedak." kata kapten lembut. Segelas air ia minumkan ke mulut mang Atak.
"A-anang ?" tanya mang Atak kaget, menyadari ia kenal dengan orang di hadapannya.
"Untung saja. Kukira aku sudah mati." ucap mang Atak lagi.
"Sudah, jangan banyak bicara. Pulihkan dulu tubuhmu." balas kapten.
"Kau ini Tak...," ujar mas Sugang sambil memijat kepala mang Atak, "hampir saja tadi. Kukira kau hantu pujut. Kalau tak ada Hamid dan Dayat, habis tak lempit-lempit sirahmu. Untung saja mereka menolongmu." lanjut mas Sugang sambil menunjuk ke arahku dan Dayat.
"Madhan !?" kata mang Atak kaget. Wajahnya mendadak ketakutan seperti melihat hantu.
"Bukang mang. Saya Hamid, anaknya almarhum Ramadhan." balasku cepat.
Huuh...
Hahh...
Mang Atak mengatur nafas.
"Kukira kau Madhan yang bangkit dari kubur. Untunglah...,rupanya kau sudah dewasa sekarang."
Mang Atak memperhatikan wajahku lekat-lekat hingga membuat tak nyaman.
"Kau benar-benar mirip abahmu. Ha....ha...ha...uhuk...uhuk..."
Setelah tertawa, mang Atak malah terbatuk. Kami semua terheran-heran dengan ulahnya yang aneh.
Mang Atak tiba-tiba menatap tajam ke kapten Anang. Tak mau kalah, kapten Anang balas melotot.
"Kau hebat Anang," ucap mang Atak sambil mengangguk-anguk," aku salut padamu. Aku kagum. Kau besarkan anaknya Madhan hingga dewasa. Kau benar-benar kawan yang setia. Semoga....semoga Tuhan membalas kebaikanmu."
"Hamid sudah kuanggap bagai anak sendiri. Sebaiknya kau ceritakan apa yang terjadi." Balas kapten, ingin mengorek informasi lebih detil.
"Bagian sini mas." Tak menggubris ucapan kapten, mang Atak malah meminta mas Sugang memijat pinggangnya.
"Sebenarnya, apa yang terjadi ?" tanya kapten lagi, sambil menggeser duduknya.
Kami semua menanti penjelasan mang Atak dengan tak sabar.
Hening.
Mang Atak menatap wajah kami satu-persatu. Tatapannya serius hingga membuatku bergidik.
"Aduduh...!!!"
Mang Atak tiba-tiba merintih sakit sambil memegang kepalanya.
"Siapa tadi yang menghantam kepalaku?" Gertak mang Atak, menatap mas Sugang yang tengah memijit punggungnya.
"A-anu Tak. Nganu..." jawab mas Sugang gelagapan. Gugup dan salah tingkah, mas Sugang melirik kearahku dan dan Dayat.
Mang Atak lantas memalingkan wajah kearah kapten. Sorot matanya seperti api yang menyala-nyala.
"Kalian ada makanan ? Aku lapar." ucap mang Atak lemah.
Hari semakin malam, tapi kantuk tak kunjung datang. Masing-masing kami merasa waswas, mengamati gerak-gerak mang Atak yang mencurigakan.
Di hutan belantara yang mengelilingi pondok, suara burung hantu dan binatang malam saling bersahutan.
Aku semakin khawatir ketika suara-suara binatang itu semakin ribut, seolah menandakan ada bahaya yang sedang mengintai. Apalagi, beberapa kali aku mendengar suara desisan entah darimana.
Ditemani mang Muksin dan Mursyid, mang Atak melangkan ke kelotok untuk mengambil baju dan celana di dalam tas mas Sugang.
Tak berapa lama, mang Atak sudah kembali dengan pakaian lengkap. Beberapa kali ia menggerutu karena merasa gatal. Sedangkan mang Muksin dan Mursyid, sepertinya memilih tetap diam di kelotok. Cahaya senter mereka berpindah-pindah di pinggir sungai, seperti mencari sesuatu.
"Kenapa Muksin dan Mursyid tetap di sana ? Apa yang mereka lakukan ?" tanya kapten penuh curiga.
"Katanya mau berjaga. Kalau ada bahaya, kita sudah siap."
"Bahaya apa !? Cepat katakan !" kapten mencengkram kerah baju mang Atak dengan penuh emosi.
"Nang...sebaiknya aku makan dulu, setelah itu kuceritakan semua." jawab mang Atak sambil tersenyum.
Di dalam pondok, kami duduk melingkar, tak sabar ingin tahu apa yang telah terjadi. Setelah menghabiskan dua piring nasi dengan rakus, mang Atak mulai bercerita.
"Setelah kematian Madhan, ayahnya si Hamid, aku langsung pergi meninggalkan kampung halaman. Tak sanggup aku melihat liang lahatnya. Terasa perih di hati, mengetahui kawan serantang seruntung pergi begitu cepat."
Mang Atak menghentikan kalimatnya, menatap kosong ke arah dinding terpal. Bibirnya bergetar dan matanya berkaca-kaca.
Mang Atak lalu menatap kearahku, seolah ada penyesalan yang mendalam. Aku memalingkan wajah karena tidak sanggup menatap matanya. Entahlah, tiba-tiba aku merasa terluka mengingat almarhum abah.
"Aku merantau ke Putussibau, kerja apa saja di sana." lanjut mang Atak.
"Aku kerja apa saja demi menyambung hidup. Jadi buruh sawit, supir truck, buruh bangunan. Apa saja asal bisa makan. Hingga dua minggu yang lalu, ada seorang pria menghampiri saat aku memecah batu. Seorang penerjemah untuk orang China. Entah tahu darimana kalau aku berasal dari Barito. Aku tidak peduli. Yang jelas, aku terima tawaran mereka."
"Apa tawaran mereka ?" tanya kapten tidak sabar.
Tidak langsung menjawab, mang Atak justru menyalakan sebatang rokok milik mas Sugang dan menyeruput kopi dingin di depannya.
"Aku jadi pemandu mereka untuk menjelahi Barito. Mereka melakukan survey, mengambil sampel bebatuan untuk membuka perusahaan tambang emas di sini. Namun yang tak kusangka, kita malah berjumpa di sini, di Busang. Tanah yang jadi skandal emas terbesar dunia tahun 90an."
Mang Atak tersenyum, menikmati tiap hisapan rokoknya. Aku merasa kalau mang Atak ini sedikit aneh.
"Kau tahu, Anang ? Seacak apapun, tidak ada yang kebetulan. Sepertinya, Tuhan punya rencana lain untuk kita. Bukan begitu, kapten Anang ? He...he..he.."
Mang Atak terkekeh, menatap kapten dan wajahku secara bergantian.
"Hei....Atak ! Jangan banyak bacot ! Apa yang terjadi di seberang sana ? Kenapa ada suara tembakan ?" bentak mang Soleh penuh emosi. Matanya melotot dan tinjunya terkepal.
"Ha..ha...ha...kenapa Soleh ? Kau takut ? Kau takut sumpah itu jadi kenyataan ? Ha...ha..ha..!!!"
Tak sanggup menahan emosi, mang Soleh menerjang mang Atak di tempat duduknya.
Kami semua kaget, mang Soleh tiba-tiba tidak lagi Shaleh. Pukulan demi pukulan mendarat di wajah mang Atak yang lemah dan tak berdaya.
Darah segar mengalir di pelipis, hidung dan bibir mang Atak.
Sekuat tenaga kami memisahkan dua orang itu. Mang Soleh meronta-ronta bagai orang kerasukan. Perlu orang berlima untuk menahan tubuhnya agar berhenti mengamuk.
Wajahnya bengis, nafasnya memburu. Jantungku rasanya melorot ketika menatap matanya yang sadis. Menyala-nyala tanpa ampun.
Aku mulai curiga ada yang tak beres, tiba-tiba saja mang Soleh jadi beringas.
Sedangkan mang Atak, meski wajahnya penuh luka tapi masih bisa tersenyum.
"Tenang saja Soleh. Aku tidak akan membantu Tuhan menggenapkan takdir. Tapi ada mahluk lain, mahluk yang dulu kukira hanya ada dalam dongeng. "
Sambil menyeka luka di bibir, mang Atak masih bisa tersenyum.
Kali ini kapten Anang yang hendak menghajar mang Atak. Namun langkahnya keburu terhenti, ketika terdengar suara desisan dari luar pondokm
...seeeshhh.....seeeshhh...
...seeeshhh.....seeeshhh...
Deg !
Seketika kami semua berdiri dengan perasaan cemas. Saling lirik, kami tidak ada yang berani bergerak. Hanya mematung tanpa suara. Suara desisan terus berpindah, terdengar seperti mengelilingi pondok.
....seeeshhh.....seeeshhh...
Semakin lama, suara desisan semakin kencang dan menciutkan nyali. Lantai tempat kami berpijak mulai bergemeretak, ketika suara desisan perlahan berpindah ke kolong pondok.
Samar-samar diterpa cahaya strongking, melalui celah lantai kulihat ada mahluk yang menggeliat di bawah kami. Hitam pekat dengan sisik sebesar piring. Belum pernah kulihat mahluk dengan sisik sebesar ini.
Deg...deg...deg...!
Kurasakan jangtungku berdegub dengan kencang. Bulu-bulu halus di lengan dan tengkukku merinding. Tiba-tiba saja aku dicekam ketakutan.
"Inilah Tambun, monster sungai. Monster yang menenggelamkan kapal Onrust Belanda di Muara Teweh." ucap mang Atak pelan.
Kami semua terkejut begitu mendengar Tambun, namun tak ada yang berani bergerak. Tidak ada yang menyangka, mahluk yang kerap digunakan untuk menakuti anak kecil kala mandi di sungai, kini benar-benar nyata.
Perlahan, kapten Anang mengarahkan pistol ke lantai. Butir-butir peluh mulai menetes dari dahi hingga wajahnya. Hati-hati, kami juga memegang parang dan tombak masing-masing.
Bruuaaakkk....!!!
Tiba-tiba lantai hancur diterjang sesuatu. Beberapa orang terlempar ke kiri dan ke kanan. Kurasakan tubuhku melayang lalu hempas ke tanah. Terasa sakit, tubuhku tidak bisa bergerak.
Hitungan detik, pondok telah porak poranda dihantam amukan Tambun yang ganas. Api mulai menyala akibat lampu strongking yang jatuh. Dengan cepat, pondok sudah terbakar hebat.
Aaaaarrgghhhh.....!!!
Di tengah api yang membara, Lai menjerit menjemput kematian. Mahluk itu, mengoyak-ngoyak tubuh Lai di tengah jilatan api.
"Ayo...! Bangun !!!"
Kurasakan pegangan tangan kapten menyeret tubuhku yang mati rasa. Tergopoh, sekuat tenaga aku bangkit dan berlari. Tak ada lagi rasa sakit, hasrat bertahan hidup membuat adrenalin terpacu.
Sangat kencang, kami berlari ke tepi sungai menuju kelotok. Baru saja tiba di tepi sungai, hasrat kami untuk tetap hidup seketika sirna.
Dua buah kelotok telah terbakar. Api menyala-nyala dengan hebat. Satu-satunya kesempatan kami untuk selamat telah hilang. Kami lemas tak berdaya. Putus asa dan kehilangan harapan.
"Aaattttaaakkkk baaannggsaaattt !!!"
Kapten menjerit sejadinya. Air matanya mengalir dan tubuhnya gemetar hebat.
Di tengah sungai, lampu sebuah kelotok bergerak menjauh. Rupanya mang Atak telah kabur bersama mang Muksin dan Mursyid. Mereka sengaja meninggalkan kami untuk menjadi mangsa Tambun.
Door..! Door..!
Kapten Anang menembakan pistol ke arah kelotok, namun sia-sia.
Braak...!!!
Entah terlempar dari mana, tiba-tiba bagian atas tubuh Lai terjatuh di hadapan kami. Kami semua bergidik ngeri, tubuh Lai berantakan penuh darah.
"Astagriluhul azim...!"
"Astagriluhul azim...!"
Mas Sugang mengucapkan istigfhar sangat kencang. Belum hilang ketakutan kami, tiba-tiba Dayat buka suara.
"Kap...kapten. Lihat itu !" ucap Dayat ketakutan.
Kami semua menatap ke arah sorotan headlamp Dayat. Di tengah sungai, air terlihat mulai berputar membentuk pusaran air.
...bersambung...
Bab 8 : Amang Atak
"Aaarrrrrggghhhhh....!!!"
Perlahan, tubuh mas Sugang tenggelam ke dalam air. Tangannya menggelegap di atas permukaan, berusaha pertahankan hidup.Sekuat tenaga aku menarik tubuhnya yang terkulai tak berdaya.
Dengan sebatang kayu, Dayat membabi buta memukul tubuh mahluk yang tengah menindih tubuh mas Sugang.
Praak...!
Praak...!
Kayu ditangan Dayat patah. Tak puas, Dayat kemudian menendang berkali-kali hingga terdengar rintih kesakitan.
"Ampun...ampun...tolong...!" mahluk itu memelas.
"Hah !?"
Aku, Dayat dan mas Sugang terbengong bersamaan.
"Biyangane !!! Jebole manungso !" mas Sugang bergegas berdiri dengan tubuh basah kuyup.
Kapten Anang, mang Soleh dan lainnya berhamburan begitu mendengar jerit mas Sugang. Setiba di pinggir sungai, mereka ternganga melihat ulah kami. Senjata ditangan mereka kembalikan ke sarungnya.
"Tiwas meh ta pateni, jebule manungso ! Nek ora, tak lempit-lempit ndase. Biyangane setan alas !"
Mas Sugang segera melangkah ke pinggir sungai, sambil memaki dalam bahasa Jawa yang tak kumengerti.
Di hadapan kami, tergeletak sesosok tubuh yang terkulai tak berdaya. Menggunakan jaket hitam dengan penutup kepala, kukira ia adalah hantu dengan mulut vertikal.
Bersama yang lain, aku dan Dayat menyeret tubuh penuh luka itu ke pinggir sungai.
"Loh, Atak ? " ujar kapten kaget.
"Atak !?" timpal mang Soleh dan mang Muksin hampir bersamaan.
"Atak !?"
"Apa benar si Atak ?"
"Ternyata Atak toh ? Ternyata masih hidup."
Kecuali aku dan Dayat, yang lain rupanya mengenali sosok yang barusan kami tolong.
"Lekas bawa ke pondok, kita selamatkan si Atak !" Perintah kapten panik.
*****
Waktu menunjukkan pukul 12 malam lewat beberapa menit. Hanya mengenakan sarung, tubuh mang Atak kami hangatkan di luar pondok, di depan api unggun yang menyala-nyala. Saat pakaiannya dilepas, tubuh mang Atak penuh luka gores. Hanya luka ringan, tidak ada luka berat meski pakaian yang dikenakannya telah robek di sana-sini.
Mang Atak ini, usianya kuperkirakan sepantaran kapten Anang, mang Soleh dan mang Muksin. Andaikan masih hidup, usia almarhum abah pastilah sama dengan mereka, sekitar 40 tahun lebih sedikit.
"Kukira si Atak ini menghilang kemana, gak tahunya di sekitar sini saja."
"Kukira ia sudah mati, ee...ternyata masih hidup."
"Tak disangka, rupanya ia masih berani menampakkan batang hidungnya di daerah kita."
Desas-desus tentang mang Atak semakin berhembus. Bapak-bapak di depanku ini rupanya tak kalah dengan perempuan, suka bergosip. Semua membahas masa lalunya, tak satu pun yang bertanya-tanya kenapa mang Atak bisa terdampar di sini.
"Ehm...ehm...!"
Kapten berdehem keras. Dengan pistol di tangan, kapten memandangi mereka sambil melotot. Suara-suara miring yang dialamatkan pada mang Atak kembali hilang. Hanya ada saling lirik dan saling sikut, agar mereka tak bersuara.
Yang kucuri dengar, mang Atak ini dulu rupanya salah satu anak buah kapten Anang. Ia merupakan salah satu kawan serantang seruntung almarhum abah bersama kapten Anang. Setelah Abah meninggal, ia menghilang entah kemana. Ia bahkan tak melayat saat pemakaman Abah. Polisi sempat mencurigainya, namun kapten Anang bersikukuh bahwa mang Atak bersamanya di Banjarmasin, saat ayah terjatuh di sungai.
"Uhuk...uhuk..." mang Atak tiba-tiba terbatuk.
"Ambilkan air, cepat !" perintah kapten.
Yang lain langsung bergerombol mengelilingi mang Atak yang mulai sadarkan diri.
"Minggir ! Minggir ! Jangan bergerombol. Biarkan ia beristirahat !" seru kapten lagi.
Yang tadinya bergerombol segera menyingkir, kembali ke tempat duduk masing-masing. Semua mata menatap mang Atak dengan penuh curiga.
Mas Sugang bertindak cepat, mendudukkan tubuh mang Atak lalu memijat-mijat punggung,pundak serta kepalanya.
"Minumnya pelan-pelan saja. Nanti tersedak." kata kapten lembut. Segelas air ia minumkan ke mulut mang Atak.
"A-anang ?" tanya mang Atak kaget, menyadari ia kenal dengan orang di hadapannya.
"Untung saja. Kukira aku sudah mati." ucap mang Atak lagi.
"Sudah, jangan banyak bicara. Pulihkan dulu tubuhmu." balas kapten.
"Kau ini Tak...," ujar mas Sugang sambil memijat kepala mang Atak, "hampir saja tadi. Kukira kau hantu pujut. Kalau tak ada Hamid dan Dayat, habis tak lempit-lempit sirahmu. Untung saja mereka menolongmu." lanjut mas Sugang sambil menunjuk ke arahku dan Dayat.
"Madhan !?" kata mang Atak kaget. Wajahnya mendadak ketakutan seperti melihat hantu.
"Bukang mang. Saya Hamid, anaknya almarhum Ramadhan." balasku cepat.
Huuh...
Hahh...
Mang Atak mengatur nafas.
"Kukira kau Madhan yang bangkit dari kubur. Untunglah...,rupanya kau sudah dewasa sekarang."
Mang Atak memperhatikan wajahku lekat-lekat hingga membuat tak nyaman.
"Kau benar-benar mirip abahmu. Ha....ha...ha...uhuk...uhuk..."
Setelah tertawa, mang Atak malah terbatuk. Kami semua terheran-heran dengan ulahnya yang aneh.
Mang Atak tiba-tiba menatap tajam ke kapten Anang. Tak mau kalah, kapten Anang balas melotot.
"Kau hebat Anang," ucap mang Atak sambil mengangguk-anguk," aku salut padamu. Aku kagum. Kau besarkan anaknya Madhan hingga dewasa. Kau benar-benar kawan yang setia. Semoga....semoga Tuhan membalas kebaikanmu."
"Hamid sudah kuanggap bagai anak sendiri. Sebaiknya kau ceritakan apa yang terjadi." Balas kapten, ingin mengorek informasi lebih detil.
"Bagian sini mas." Tak menggubris ucapan kapten, mang Atak malah meminta mas Sugang memijat pinggangnya.
"Sebenarnya, apa yang terjadi ?" tanya kapten lagi, sambil menggeser duduknya.
Kami semua menanti penjelasan mang Atak dengan tak sabar.
Hening.
Mang Atak menatap wajah kami satu-persatu. Tatapannya serius hingga membuatku bergidik.
"Aduduh...!!!"
Mang Atak tiba-tiba merintih sakit sambil memegang kepalanya.
"Siapa tadi yang menghantam kepalaku?" Gertak mang Atak, menatap mas Sugang yang tengah memijit punggungnya.
"A-anu Tak. Nganu..." jawab mas Sugang gelagapan. Gugup dan salah tingkah, mas Sugang melirik kearahku dan dan Dayat.
Mang Atak lantas memalingkan wajah kearah kapten. Sorot matanya seperti api yang menyala-nyala.
"Kalian ada makanan ? Aku lapar." ucap mang Atak lemah.
*****
Hari semakin malam, tapi kantuk tak kunjung datang. Masing-masing kami merasa waswas, mengamati gerak-gerak mang Atak yang mencurigakan.
Di hutan belantara yang mengelilingi pondok, suara burung hantu dan binatang malam saling bersahutan.
Aku semakin khawatir ketika suara-suara binatang itu semakin ribut, seolah menandakan ada bahaya yang sedang mengintai. Apalagi, beberapa kali aku mendengar suara desisan entah darimana.
Ditemani mang Muksin dan Mursyid, mang Atak melangkan ke kelotok untuk mengambil baju dan celana di dalam tas mas Sugang.
Tak berapa lama, mang Atak sudah kembali dengan pakaian lengkap. Beberapa kali ia menggerutu karena merasa gatal. Sedangkan mang Muksin dan Mursyid, sepertinya memilih tetap diam di kelotok. Cahaya senter mereka berpindah-pindah di pinggir sungai, seperti mencari sesuatu.
"Kenapa Muksin dan Mursyid tetap di sana ? Apa yang mereka lakukan ?" tanya kapten penuh curiga.
"Katanya mau berjaga. Kalau ada bahaya, kita sudah siap."
"Bahaya apa !? Cepat katakan !" kapten mencengkram kerah baju mang Atak dengan penuh emosi.
"Nang...sebaiknya aku makan dulu, setelah itu kuceritakan semua." jawab mang Atak sambil tersenyum.
*****
Di dalam pondok, kami duduk melingkar, tak sabar ingin tahu apa yang telah terjadi. Setelah menghabiskan dua piring nasi dengan rakus, mang Atak mulai bercerita.
"Setelah kematian Madhan, ayahnya si Hamid, aku langsung pergi meninggalkan kampung halaman. Tak sanggup aku melihat liang lahatnya. Terasa perih di hati, mengetahui kawan serantang seruntung pergi begitu cepat."
Mang Atak menghentikan kalimatnya, menatap kosong ke arah dinding terpal. Bibirnya bergetar dan matanya berkaca-kaca.
Mang Atak lalu menatap kearahku, seolah ada penyesalan yang mendalam. Aku memalingkan wajah karena tidak sanggup menatap matanya. Entahlah, tiba-tiba aku merasa terluka mengingat almarhum abah.
"Aku merantau ke Putussibau, kerja apa saja di sana." lanjut mang Atak.
"Aku kerja apa saja demi menyambung hidup. Jadi buruh sawit, supir truck, buruh bangunan. Apa saja asal bisa makan. Hingga dua minggu yang lalu, ada seorang pria menghampiri saat aku memecah batu. Seorang penerjemah untuk orang China. Entah tahu darimana kalau aku berasal dari Barito. Aku tidak peduli. Yang jelas, aku terima tawaran mereka."
"Apa tawaran mereka ?" tanya kapten tidak sabar.
Tidak langsung menjawab, mang Atak justru menyalakan sebatang rokok milik mas Sugang dan menyeruput kopi dingin di depannya.
"Aku jadi pemandu mereka untuk menjelahi Barito. Mereka melakukan survey, mengambil sampel bebatuan untuk membuka perusahaan tambang emas di sini. Namun yang tak kusangka, kita malah berjumpa di sini, di Busang. Tanah yang jadi skandal emas terbesar dunia tahun 90an."
Mang Atak tersenyum, menikmati tiap hisapan rokoknya. Aku merasa kalau mang Atak ini sedikit aneh.
"Kau tahu, Anang ? Seacak apapun, tidak ada yang kebetulan. Sepertinya, Tuhan punya rencana lain untuk kita. Bukan begitu, kapten Anang ? He...he..he.."
Mang Atak terkekeh, menatap kapten dan wajahku secara bergantian.
"Hei....Atak ! Jangan banyak bacot ! Apa yang terjadi di seberang sana ? Kenapa ada suara tembakan ?" bentak mang Soleh penuh emosi. Matanya melotot dan tinjunya terkepal.
"Ha..ha...ha...kenapa Soleh ? Kau takut ? Kau takut sumpah itu jadi kenyataan ? Ha...ha..ha..!!!"
Tak sanggup menahan emosi, mang Soleh menerjang mang Atak di tempat duduknya.
Kami semua kaget, mang Soleh tiba-tiba tidak lagi Shaleh. Pukulan demi pukulan mendarat di wajah mang Atak yang lemah dan tak berdaya.
Darah segar mengalir di pelipis, hidung dan bibir mang Atak.
Sekuat tenaga kami memisahkan dua orang itu. Mang Soleh meronta-ronta bagai orang kerasukan. Perlu orang berlima untuk menahan tubuhnya agar berhenti mengamuk.
Wajahnya bengis, nafasnya memburu. Jantungku rasanya melorot ketika menatap matanya yang sadis. Menyala-nyala tanpa ampun.
Aku mulai curiga ada yang tak beres, tiba-tiba saja mang Soleh jadi beringas.
Sedangkan mang Atak, meski wajahnya penuh luka tapi masih bisa tersenyum.
"Tenang saja Soleh. Aku tidak akan membantu Tuhan menggenapkan takdir. Tapi ada mahluk lain, mahluk yang dulu kukira hanya ada dalam dongeng. "
Sambil menyeka luka di bibir, mang Atak masih bisa tersenyum.
Kali ini kapten Anang yang hendak menghajar mang Atak. Namun langkahnya keburu terhenti, ketika terdengar suara desisan dari luar pondokm
...seeeshhh.....seeeshhh...
...seeeshhh.....seeeshhh...
Deg !
Seketika kami semua berdiri dengan perasaan cemas. Saling lirik, kami tidak ada yang berani bergerak. Hanya mematung tanpa suara. Suara desisan terus berpindah, terdengar seperti mengelilingi pondok.
....seeeshhh.....seeeshhh...
Semakin lama, suara desisan semakin kencang dan menciutkan nyali. Lantai tempat kami berpijak mulai bergemeretak, ketika suara desisan perlahan berpindah ke kolong pondok.
Samar-samar diterpa cahaya strongking, melalui celah lantai kulihat ada mahluk yang menggeliat di bawah kami. Hitam pekat dengan sisik sebesar piring. Belum pernah kulihat mahluk dengan sisik sebesar ini.
Deg...deg...deg...!
Kurasakan jangtungku berdegub dengan kencang. Bulu-bulu halus di lengan dan tengkukku merinding. Tiba-tiba saja aku dicekam ketakutan.
"Inilah Tambun, monster sungai. Monster yang menenggelamkan kapal Onrust Belanda di Muara Teweh." ucap mang Atak pelan.
Kami semua terkejut begitu mendengar Tambun, namun tak ada yang berani bergerak. Tidak ada yang menyangka, mahluk yang kerap digunakan untuk menakuti anak kecil kala mandi di sungai, kini benar-benar nyata.
Perlahan, kapten Anang mengarahkan pistol ke lantai. Butir-butir peluh mulai menetes dari dahi hingga wajahnya. Hati-hati, kami juga memegang parang dan tombak masing-masing.
Bruuaaakkk....!!!
Tiba-tiba lantai hancur diterjang sesuatu. Beberapa orang terlempar ke kiri dan ke kanan. Kurasakan tubuhku melayang lalu hempas ke tanah. Terasa sakit, tubuhku tidak bisa bergerak.
Hitungan detik, pondok telah porak poranda dihantam amukan Tambun yang ganas. Api mulai menyala akibat lampu strongking yang jatuh. Dengan cepat, pondok sudah terbakar hebat.
Aaaaarrgghhhh.....!!!
Di tengah api yang membara, Lai menjerit menjemput kematian. Mahluk itu, mengoyak-ngoyak tubuh Lai di tengah jilatan api.
"Ayo...! Bangun !!!"
Kurasakan pegangan tangan kapten menyeret tubuhku yang mati rasa. Tergopoh, sekuat tenaga aku bangkit dan berlari. Tak ada lagi rasa sakit, hasrat bertahan hidup membuat adrenalin terpacu.
Sangat kencang, kami berlari ke tepi sungai menuju kelotok. Baru saja tiba di tepi sungai, hasrat kami untuk tetap hidup seketika sirna.
Dua buah kelotok telah terbakar. Api menyala-nyala dengan hebat. Satu-satunya kesempatan kami untuk selamat telah hilang. Kami lemas tak berdaya. Putus asa dan kehilangan harapan.
"Aaattttaaakkkk baaannggsaaattt !!!"
Kapten menjerit sejadinya. Air matanya mengalir dan tubuhnya gemetar hebat.
Di tengah sungai, lampu sebuah kelotok bergerak menjauh. Rupanya mang Atak telah kabur bersama mang Muksin dan Mursyid. Mereka sengaja meninggalkan kami untuk menjadi mangsa Tambun.
Door..! Door..!
Kapten Anang menembakan pistol ke arah kelotok, namun sia-sia.
Braak...!!!
Entah terlempar dari mana, tiba-tiba bagian atas tubuh Lai terjatuh di hadapan kami. Kami semua bergidik ngeri, tubuh Lai berantakan penuh darah.
"Astagriluhul azim...!"
"Astagriluhul azim...!"
Mas Sugang mengucapkan istigfhar sangat kencang. Belum hilang ketakutan kami, tiba-tiba Dayat buka suara.
"Kap...kapten. Lihat itu !" ucap Dayat ketakutan.
Kami semua menatap ke arah sorotan headlamp Dayat. Di tengah sungai, air terlihat mulai berputar membentuk pusaran air.
...bersambung...
Sampai jumpa malam Jumat. Moga gak bosen en terhibur. Jangan lupa sakrep, komeng dan syer ewer-ewer 😁
Diubah oleh benbela 05-09-2021 12:10



bruno95 dan 66 lainnya memberi reputasi
67
Kutip
Balas
Tutup