- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 12:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#118
Quote:
Original Posted By benbela►
Hutan di pinggiran sungai Busang menjadi gaduh. Semua bergidik ngeri tak karuan.
"Ada apa !?"
Keluar dari dalam pondok, masih mengantuk, kapten terlihat kesal.
"Ada hantu kapten. Hantu pujut !" seru mang Muksin.
"Bukan, hantu sandah !" timpal mang Mursyid.
"Akh...! Kalau ada hantu, biar kusate !" seru kapten kesal.
"Dimana Soleh ?" tanya kapten lagi.
Kami semua terdiam, saling lirik. Astaga ! Mang Soleh tak ada. Kami baru tersadar kalau mang Soleh tertinggal di belakang.
Dengan penuh rasa cemas, kami semua menoleh ke arah pantai. Diterpa cahaya api unggun, terlihat mang Soleh tengah berdiri memandang ke seberang sungai. Tak bergerak, hanya mematung.
"Kesurupan kah?"
"Iya ! Kesurupan !"
"Waduhh ! Angel iki, wes angel ki !"
Suasana di sekitar pondok kembali riuh. Bagaimana mungkin mang Soleh, orang paling shaleh diantara kami, bisa kesurupan !?
"Ayo !!!" seru kapten.
Tanpa rasa takut, kapten Anang melangkah menuju mang Soleh.
Bergerombol, kami mengikuti langkah kapten di belakang. Mas Sugang dan Lai saling berbisik, saling dorong ke depan. Dua orang itu rupanya sama-sama takut.
Hanya beberapa meter dari posisi mang Soleh, langkah kami tiba-tiba terhenti. Kapten Anang terlihat ragu untuk mendekat.
"Ada apa kapten ?" tanyaku penasaran.
"Lihat, tangan si Soleh." jawab kapten setengah berbisik.
Deg !
Jantungku kembali berdegub kencang. Membelakangi kami, menatap sungai, tangan kanan mang Soleh menghunus sebilah Mandau yang sangat tajam.
Darahku berdesir, bulu kudukku merinding. Berkelahi, aku sudah biasa. Babak belur, aku sudah sering. Tapi menghadapi manusia dengan senjata tajam, aku merasa ngeri. Apalagi orang itu sedang kesurupan jin hutan, alamat celaka !
Kami mulai grasak grusuk, mencari kayu dan batu. Bisa saja, mang Soleh mengamuk dan membantai kami tanpa ampun.
"Diam !" seru mang Soleh.
"Hiiii....!!!"
Kami semua terperanjat kaget.
...tap...tap...
Tenang, kapten Anang melangkah pelan mendekati mang Soleh.
"Ada apa ?" tanya kapten penuh wibawa.
"Lihat, di seberang !" jawab mang Soleh datar.
Serentak kami semua melihat ke seberang sungai. Batu dan kayu tak jadi kami pungut. Di seberang sungai, di kejauhan, di bukit bekas ladang, ada lima cahaya yang bergerak. Menelusup di antara celah pepohonan, cahaya itu bergerak mendekat.
"Kuamati dari tadi, cahaya itu sepertinya menuju kemari." ujar mang Soleh. Kulirik, tangannya gemetar memegang Mandau.
"A-apa itu ? Kuyang kah ?" tanya mas Sugang cemas.
Hening. Semua menahan nafas. Cahaya itu sepertinya terpancing api unggun di dekat pondok kami.
"Itu cahaya senter." ujar kapten, masih tetap tenang.
"Cahaya senter ? Itu artinya manusia." kataku pelan, berusaha tidak gugup.
"Manusia dengan maksud baik, atau dengan niat jahat." ucap kapten lagi.
"Bisa saja itu perampok, atau para pengayau. Kita harus hati-hati."
Kata-kata mang Soleh membuat kami semakin khawatir. Ada perasaan tidak tenang yang membuat gelisah tidak karuan. Di tengah belantara seperti ini, hukum rimba berlaku. Bila ada yang mati, tinggal lempar ke hutan maka tak ada yang tahu.
"Jangan khawatir, jika memang mereka berniat jahat, kita menang jumlah. Mereka berlima, kita bersepuluh. Sebaiknya kita bersiap. Ambil senjata kalian masing-masing. Hamid, bawakan tas pinggangku. Tergantung di tiang dekat tempat tidurku."
Kami berlari menuju pondok, meraih segala jenis senjata yang kami punya. Mandau, kampak, pisau, golok, tombak dan senapan angin.
Tas pinggang kapten segera kutenteng, agak berat. Entah apa isinya. Aku berlari sangat kencang hingga nafasku ngos-ngosan.
Huft !
Hah !
Aku menarik nafas, lalu menghela nafas. Di pinggir sungai, kapten dan mang Soleh masih berdiri memandang lima cahaya senter yang terus bergerak.
"Ini kapten." Kuserahkan tas pinggang milik kapten.
Terburu-buru kapten mengeluarkan isi tasnya, sebuah pistol rakitan. Entah apa jenisnya, tapi sebuah pistol yang sering kulihat di film koboi.
Setelah memastikan peluru terisi penuh, kapten menggenggam pistol dengan erat. Sangat erat, hingga tubuhnya bergetar hebat.
"Malam ini, akan ada petaka di tambang emas. Darah akan kembali mengalir di sungai Busang." ucap kapten penuh keyakinan.
Harap-harap cemas, 10 pasang mata mengawasi pergerakan 5 senter di seberang sungai yang semakin mendekat. Malam ini akan ada tawuran bertaruh nyawa.
Bleebb.
"Aaaarrrrrrggghhhhh.......!!!"
"Doorrr...!!!"
Cahaya senter paling belakang tiba-tiba mati, diiringi jerit kesakitan, lalu suara tembakan. Kami terperanjat, saling pandang, namun hanya diam. Bergidik ngeri, kami menunggu kejadian berikutnya.
Bleebb.
Bleebb.
"Aaaarrrrrrggghhhhh.......!!!"
"Doorrr...doorrr...doorrr...!"
Senter kedua dan ketiga juga mati, disusul pekik kematian dan suara tembakan silih berganti. Hutan di seberang sungai seketika gaduh. Burung hantu, monyet, serangga dan binatang malam menjadi ribut. Pohon-pohon bergoyang seperti ada gempa.
Kami semakin tegang, ketika lampu ke empat dan kelima akhirnya padam bergantian. Jerit kesakitan meminta tolong menggema ke segala penjuru hutan. Lalu hening.
Gelisah, kami berdiri dengan perasaan was-was. Terlihat jelas kalau kami ketakutan. Kami sadar berhadapan bukan dengan perampok atau pengayau. Tapi sesuatu yang lebih mengerikan.
"Mereka kemari bukan untuk merampok atau mengayau, tapi diburu, lalu dibunuh." ucap kapten tegang.
"A-apa yang memburu mereka, kapten ?" tanya Dayat khawatir.
"Entahlah...mungkin binatang buas. Binatang yang mampu melepas kepala manusia dari badannya."
Kami semakin terdiam. Tak seorangpun berani buka suara. Semua menanti kedatangan mahluk dari seberang sungai dengan rasa waswas. Api unggun telah padam, menyisakan bara yang masih menyala.
Lima menit berlalu, kami masih berdiri dengan senjata masing-masing di tangan. 10 sorotan cahaya senter dan headlamp terus mengawasi ke hutan di seberang sungai. Tak ada suara binatang malam, tak ada pohon yang bergoyang. Hanya ada gelap tanpa suara.
10 menit.
30 menit.
1 jam.
2 jam.
2 jam sudah kami menunggu dengan tegang, tak ada aktivitas mencurigakan dari seberang.
"Sepertinya mahluk itu sudah pergi. Mungkin tak bisa berenang. Mungkin juga sudah kenyang." kata mang Soleh gugup.
"Sebaiknya kita kembali ke pondok. Yang besok tugas malam, berjaga. Yang tugas siang, kalian istirahat. Besok pagi kita periksa ke seberang, mahluk buas apa yang ada di sana."
Masih menggenggam pistol koboi, kapten Anang melangkah menuju pondok diikuti yang lain.
*****
Malam itu, kami tak tenang. Yang tugas jaga merasa tak nyaman, yang kebagian jatah tidur pun tak nyenyak.
Hanya si Lai saja yang mendengkur tanpa beban di dalam pondok.
Gila ! Situasi genting seperti ini ia masih bisa tidur nyenyak.
Kasak-kusuk tak jelas sudah terdengar sejak kami di pondok tadi. Berisik dan riuh karena saling menebak kejadian di seberang sungai.
"Aku yakin, mereka pasti dikejar Raung lalu dimakan satu-persatu. Hutan di seberang, adalah hutan angker."
"Bisa juga Bue macan. Kudengar, di hutan sekitar sini ada macan jadi-jadian. Biasa menyaru jadi kakek-kakek dan suka memakan mayat."
Tebakan demi tebakan yang keluar malah membuat keadaan semakin runyam. Semua menduga-duga namun tak ada yang pasti. Aku yang mendengarkan ikut merinding. Tak tahan, aku segera keluar pondok dengan Mandau di pinggang. Tak lama Dayat juga ikut menyusul.
Di luar pondok, kapten duduk diatas sebatang kayu lapuk. Sebatang rokok tergamit di jarinya. Ia memandang kosong ke seberang sungai sambil memainkan pistol rakitan di tangan kanan. Wajahnya tegang dan nafasnya tak teratur.
Baru kali ini kapten terlihat gusar hingga tidak menyadari kehadiran kami.
"Bagaimana kapten ?" seruku.
Ceklek !
Refleks, kapten menodongkan senjata kearahku hingga rokoknya terjatuh ke tanah. Tak bergerak, aku menahan nafas dengan perasaan tak karuan. Seluruh darah di tubuhku berdesir dan bulu kudukku merinding.
Berdiri di samping, Dayat gemetar hingga kacamatanya hampir lepas.
Di depan, kapten masih tertegun. Raut wajahnya serius dan matanya menatapku tajam. Sedikit ngeri, tatapan kapten terlihat penuh kebencian dan dendam.
"Akh...kau Mid. Hampir saja aku khilaf." kapten bernafas lega.
Kapten kemudian menyelipkan pistol di pinggang dengan tangan yang masih gemetaran.
Sedangkan mas Sugang, entah sejak kapan ia sudah berada di dekat kami. Ia mondar mandir gelisah. Sebentar duduk, sebentar berdiri, lalu berjalan ke arah semak dengan wajah cemas, lalu kembali lagi. Memang, apa yang terjadi membuat semua orang ketakutan.
Aku dan Dayat lalu duduk di samping kapten, memandang ke arah sungai.
Kapten merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebungkus rokok, lalu ia serahkan padaku dan Dayat.
"Uhuk...uhuk...!" Aku terbatuk, tenggorokan rasanya sangat sakit bagai tersangkut tulang ikan asin.
"Hah...hah...ha..."
Kapten dan Dayat tertawa kencang.
"Kau semakin mirip abahmu, ha....ha...ha..." kapten Anang kembali tergelak.
Aku tersenyum menahan malu. Memang, almarhum abah dulu tak pernah merokok. Segera kumatikan, rokok langsung kubuang ke semak belukar.
"Tak hanya kelakuan. Wajah, hidung, mata dan tubuh, kau memang sangat mirip abahmu." Kapten Anang menepuk-nepuk pundakku.
"Andai masih hidup, abahmu pasti bangga. Kau sekarang sudah jadi laki-laki. Kepala rumah tangga."
Aku kembali terdiam, mencoba mengingat-ingat wajah almarhum abah.
Perhatian kami teralihkan, ketika mas Sugang yang mondar mandir semakin gelisah ketakutan.
"Ada apa mas ?" tanya kapten.
Ragu, mas Sugang mendekat perlahan. Kedua tangannya memegang perut.
"Anu kapten.... Saya sakit perut."
"Owalah...yaudah buang sana di sungai. Biasanya juga di sungai."
"Ta-takut kapten."
"Kenapa gak di semak belukar saja?"
"Gak enak kapten. Gak enak pake daun. Bisa-bisa ada ular."
"Hmm...." Kapten mendengus.
Mas Sugang lalu melirik kearahku dan Dayat.
"Kenapa gak bilang dari tadi. Hamid, Dayat, antar mas Sugang ke sungai !"
"Mas...jangan ngintip ya !" teriak mas Sugang dari sungai.
"Hoeeeekkk...cuih !"
Aku dan Dayat merasa mual dengan seloroh mas Sugang. Cahaya headlampnya menyala terang dalam gelap.
Sedangkan aku dan Dayat, harap-harap cemas menunggunya di pinggir sungai.
"Mas Hamid...mas Dayat, sudah hampir selesai. Mau bantuinkah ? He...he..he.."
"Hoeekk...cuih !!!"
"Heh...heh..he..."
Mas Sugang kembali terkekeh sambil mengancing celananya. Ia kemudian melangkah hingga menimbulkan suara keciprat air.
Mengetahui mas Sugang sudah selesai dengan hajatnya, aku dan Dayat segera menoleh ke arahnya.
"Astagfirullahul adzim...." suara Dayat tiba-tiba tertahan.
Tak hanya Dayat, aku juga mulai ketakutan. Bulu kudukku merinding, saat cahaya senter kami menyorot sesuatu yang mengikuti mas Sugang di belakang. Bergerak perlahan, muncul tenggelam dari dalam sungai.
"Mas...mas Sugang !" suaraku tertahan.
"Hah !?" Mas Sugang masih melangkah gontai menuju pinggir sungai.
"Mas Sugang !!!" Dayat mulai berteriak.
Masih santai, mas Sugang tak sadar ada bahaya yang mengancam.
"Mas Suugaaang !!! Di belakang !!!" Dayat berteriak, wajahnya panik.
"Hah !?" Mas Sugang malah kebingungan.
"Mas Suugaang !!! Laaarrii !!!"
Kulihat, mahluk itu telah bangkit sempurna dari dalam air. Berbadan hitam, berkepala lancip dan bermulut vertikal hingga ke dahi. Mahluk itu berdiri persis di belakang mas Sugang yang tetap melangkah pelan.
"Mas Suuugaanng !! Awas di belakang !"
Aku berteriak sangat kencang hingga tenggorokan terasa sakit.
Bukannya berlari, mas Sugang justru balik badan dan menatap mahluk yang mengikutinya.
"Allahu Akbar !!!" Pekik mas Sugang mengucapkan takbir.
...byurr...
Kaget, mas Sugang malah terjatuh ke dalam air. Tubuhnya menggelepar bagai ikan.
"Tooollloooonnggg...!!!"
"Tooollloooonnggg...!!!"
Mas Sugang berteriak sekencangnya, menyadari umurnya tinggal sejengkal.
Tak peduli bahaya, aku berlari hendak menarik tubuh mas Sugang. Namun, terlambat, mahluk itu sudah terlebih dahulu menerkam tubuhnya yang gelagapan.
"Aaarrrrgggghhhh !!!"
Lalu, kembali terdengar jerit kematian yang membahana ke segala penjuru hutan.
...bersambung...
Bab 7 : Cahaya di Seberang Sungai
Hutan di pinggiran sungai Busang menjadi gaduh. Semua bergidik ngeri tak karuan.
"Ada apa !?"
Keluar dari dalam pondok, masih mengantuk, kapten terlihat kesal.
"Ada hantu kapten. Hantu pujut !" seru mang Muksin.
"Bukan, hantu sandah !" timpal mang Mursyid.
"Akh...! Kalau ada hantu, biar kusate !" seru kapten kesal.
"Dimana Soleh ?" tanya kapten lagi.
Kami semua terdiam, saling lirik. Astaga ! Mang Soleh tak ada. Kami baru tersadar kalau mang Soleh tertinggal di belakang.
Dengan penuh rasa cemas, kami semua menoleh ke arah pantai. Diterpa cahaya api unggun, terlihat mang Soleh tengah berdiri memandang ke seberang sungai. Tak bergerak, hanya mematung.
"Kesurupan kah?"
"Iya ! Kesurupan !"
"Waduhh ! Angel iki, wes angel ki !"
Suasana di sekitar pondok kembali riuh. Bagaimana mungkin mang Soleh, orang paling shaleh diantara kami, bisa kesurupan !?
"Ayo !!!" seru kapten.
Tanpa rasa takut, kapten Anang melangkah menuju mang Soleh.
Bergerombol, kami mengikuti langkah kapten di belakang. Mas Sugang dan Lai saling berbisik, saling dorong ke depan. Dua orang itu rupanya sama-sama takut.
Hanya beberapa meter dari posisi mang Soleh, langkah kami tiba-tiba terhenti. Kapten Anang terlihat ragu untuk mendekat.
"Ada apa kapten ?" tanyaku penasaran.
"Lihat, tangan si Soleh." jawab kapten setengah berbisik.
Deg !
Jantungku kembali berdegub kencang. Membelakangi kami, menatap sungai, tangan kanan mang Soleh menghunus sebilah Mandau yang sangat tajam.
Darahku berdesir, bulu kudukku merinding. Berkelahi, aku sudah biasa. Babak belur, aku sudah sering. Tapi menghadapi manusia dengan senjata tajam, aku merasa ngeri. Apalagi orang itu sedang kesurupan jin hutan, alamat celaka !
Kami mulai grasak grusuk, mencari kayu dan batu. Bisa saja, mang Soleh mengamuk dan membantai kami tanpa ampun.
"Diam !" seru mang Soleh.
"Hiiii....!!!"
Kami semua terperanjat kaget.
...tap...tap...
Tenang, kapten Anang melangkah pelan mendekati mang Soleh.
"Ada apa ?" tanya kapten penuh wibawa.
"Lihat, di seberang !" jawab mang Soleh datar.
Serentak kami semua melihat ke seberang sungai. Batu dan kayu tak jadi kami pungut. Di seberang sungai, di kejauhan, di bukit bekas ladang, ada lima cahaya yang bergerak. Menelusup di antara celah pepohonan, cahaya itu bergerak mendekat.
"Kuamati dari tadi, cahaya itu sepertinya menuju kemari." ujar mang Soleh. Kulirik, tangannya gemetar memegang Mandau.
"A-apa itu ? Kuyang kah ?" tanya mas Sugang cemas.
Hening. Semua menahan nafas. Cahaya itu sepertinya terpancing api unggun di dekat pondok kami.
"Itu cahaya senter." ujar kapten, masih tetap tenang.
"Cahaya senter ? Itu artinya manusia." kataku pelan, berusaha tidak gugup.
"Manusia dengan maksud baik, atau dengan niat jahat." ucap kapten lagi.
"Bisa saja itu perampok, atau para pengayau. Kita harus hati-hati."
Kata-kata mang Soleh membuat kami semakin khawatir. Ada perasaan tidak tenang yang membuat gelisah tidak karuan. Di tengah belantara seperti ini, hukum rimba berlaku. Bila ada yang mati, tinggal lempar ke hutan maka tak ada yang tahu.
"Jangan khawatir, jika memang mereka berniat jahat, kita menang jumlah. Mereka berlima, kita bersepuluh. Sebaiknya kita bersiap. Ambil senjata kalian masing-masing. Hamid, bawakan tas pinggangku. Tergantung di tiang dekat tempat tidurku."
Kami berlari menuju pondok, meraih segala jenis senjata yang kami punya. Mandau, kampak, pisau, golok, tombak dan senapan angin.
Tas pinggang kapten segera kutenteng, agak berat. Entah apa isinya. Aku berlari sangat kencang hingga nafasku ngos-ngosan.
Huft !
Hah !
Aku menarik nafas, lalu menghela nafas. Di pinggir sungai, kapten dan mang Soleh masih berdiri memandang lima cahaya senter yang terus bergerak.
"Ini kapten." Kuserahkan tas pinggang milik kapten.
Terburu-buru kapten mengeluarkan isi tasnya, sebuah pistol rakitan. Entah apa jenisnya, tapi sebuah pistol yang sering kulihat di film koboi.
Setelah memastikan peluru terisi penuh, kapten menggenggam pistol dengan erat. Sangat erat, hingga tubuhnya bergetar hebat.
"Malam ini, akan ada petaka di tambang emas. Darah akan kembali mengalir di sungai Busang." ucap kapten penuh keyakinan.
Harap-harap cemas, 10 pasang mata mengawasi pergerakan 5 senter di seberang sungai yang semakin mendekat. Malam ini akan ada tawuran bertaruh nyawa.
Bleebb.
"Aaaarrrrrrggghhhhh.......!!!"
"Doorrr...!!!"
Cahaya senter paling belakang tiba-tiba mati, diiringi jerit kesakitan, lalu suara tembakan. Kami terperanjat, saling pandang, namun hanya diam. Bergidik ngeri, kami menunggu kejadian berikutnya.
Bleebb.
Bleebb.
"Aaaarrrrrrggghhhhh.......!!!"
"Doorrr...doorrr...doorrr...!"
Senter kedua dan ketiga juga mati, disusul pekik kematian dan suara tembakan silih berganti. Hutan di seberang sungai seketika gaduh. Burung hantu, monyet, serangga dan binatang malam menjadi ribut. Pohon-pohon bergoyang seperti ada gempa.
Kami semakin tegang, ketika lampu ke empat dan kelima akhirnya padam bergantian. Jerit kesakitan meminta tolong menggema ke segala penjuru hutan. Lalu hening.
Gelisah, kami berdiri dengan perasaan was-was. Terlihat jelas kalau kami ketakutan. Kami sadar berhadapan bukan dengan perampok atau pengayau. Tapi sesuatu yang lebih mengerikan.
"Mereka kemari bukan untuk merampok atau mengayau, tapi diburu, lalu dibunuh." ucap kapten tegang.
"A-apa yang memburu mereka, kapten ?" tanya Dayat khawatir.
"Entahlah...mungkin binatang buas. Binatang yang mampu melepas kepala manusia dari badannya."
Kami semakin terdiam. Tak seorangpun berani buka suara. Semua menanti kedatangan mahluk dari seberang sungai dengan rasa waswas. Api unggun telah padam, menyisakan bara yang masih menyala.
Lima menit berlalu, kami masih berdiri dengan senjata masing-masing di tangan. 10 sorotan cahaya senter dan headlamp terus mengawasi ke hutan di seberang sungai. Tak ada suara binatang malam, tak ada pohon yang bergoyang. Hanya ada gelap tanpa suara.
10 menit.
30 menit.
1 jam.
2 jam.
2 jam sudah kami menunggu dengan tegang, tak ada aktivitas mencurigakan dari seberang.
"Sepertinya mahluk itu sudah pergi. Mungkin tak bisa berenang. Mungkin juga sudah kenyang." kata mang Soleh gugup.
"Sebaiknya kita kembali ke pondok. Yang besok tugas malam, berjaga. Yang tugas siang, kalian istirahat. Besok pagi kita periksa ke seberang, mahluk buas apa yang ada di sana."
Masih menggenggam pistol koboi, kapten Anang melangkah menuju pondok diikuti yang lain.
*****
Malam itu, kami tak tenang. Yang tugas jaga merasa tak nyaman, yang kebagian jatah tidur pun tak nyenyak.
Hanya si Lai saja yang mendengkur tanpa beban di dalam pondok.
Gila ! Situasi genting seperti ini ia masih bisa tidur nyenyak.
Kasak-kusuk tak jelas sudah terdengar sejak kami di pondok tadi. Berisik dan riuh karena saling menebak kejadian di seberang sungai.
"Aku yakin, mereka pasti dikejar Raung lalu dimakan satu-persatu. Hutan di seberang, adalah hutan angker."
"Bisa juga Bue macan. Kudengar, di hutan sekitar sini ada macan jadi-jadian. Biasa menyaru jadi kakek-kakek dan suka memakan mayat."
Tebakan demi tebakan yang keluar malah membuat keadaan semakin runyam. Semua menduga-duga namun tak ada yang pasti. Aku yang mendengarkan ikut merinding. Tak tahan, aku segera keluar pondok dengan Mandau di pinggang. Tak lama Dayat juga ikut menyusul.
Di luar pondok, kapten duduk diatas sebatang kayu lapuk. Sebatang rokok tergamit di jarinya. Ia memandang kosong ke seberang sungai sambil memainkan pistol rakitan di tangan kanan. Wajahnya tegang dan nafasnya tak teratur.
Baru kali ini kapten terlihat gusar hingga tidak menyadari kehadiran kami.
"Bagaimana kapten ?" seruku.
Ceklek !
Refleks, kapten menodongkan senjata kearahku hingga rokoknya terjatuh ke tanah. Tak bergerak, aku menahan nafas dengan perasaan tak karuan. Seluruh darah di tubuhku berdesir dan bulu kudukku merinding.
Berdiri di samping, Dayat gemetar hingga kacamatanya hampir lepas.
Di depan, kapten masih tertegun. Raut wajahnya serius dan matanya menatapku tajam. Sedikit ngeri, tatapan kapten terlihat penuh kebencian dan dendam.
"Akh...kau Mid. Hampir saja aku khilaf." kapten bernafas lega.
Kapten kemudian menyelipkan pistol di pinggang dengan tangan yang masih gemetaran.
Sedangkan mas Sugang, entah sejak kapan ia sudah berada di dekat kami. Ia mondar mandir gelisah. Sebentar duduk, sebentar berdiri, lalu berjalan ke arah semak dengan wajah cemas, lalu kembali lagi. Memang, apa yang terjadi membuat semua orang ketakutan.
Aku dan Dayat lalu duduk di samping kapten, memandang ke arah sungai.
Kapten merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebungkus rokok, lalu ia serahkan padaku dan Dayat.
"Uhuk...uhuk...!" Aku terbatuk, tenggorokan rasanya sangat sakit bagai tersangkut tulang ikan asin.
"Hah...hah...ha..."
Kapten dan Dayat tertawa kencang.
"Kau semakin mirip abahmu, ha....ha...ha..." kapten Anang kembali tergelak.
Aku tersenyum menahan malu. Memang, almarhum abah dulu tak pernah merokok. Segera kumatikan, rokok langsung kubuang ke semak belukar.
"Tak hanya kelakuan. Wajah, hidung, mata dan tubuh, kau memang sangat mirip abahmu." Kapten Anang menepuk-nepuk pundakku.
"Andai masih hidup, abahmu pasti bangga. Kau sekarang sudah jadi laki-laki. Kepala rumah tangga."
Aku kembali terdiam, mencoba mengingat-ingat wajah almarhum abah.
Perhatian kami teralihkan, ketika mas Sugang yang mondar mandir semakin gelisah ketakutan.
"Ada apa mas ?" tanya kapten.
Ragu, mas Sugang mendekat perlahan. Kedua tangannya memegang perut.
"Anu kapten.... Saya sakit perut."
"Owalah...yaudah buang sana di sungai. Biasanya juga di sungai."
"Ta-takut kapten."
"Kenapa gak di semak belukar saja?"
"Gak enak kapten. Gak enak pake daun. Bisa-bisa ada ular."
"Hmm...." Kapten mendengus.
Mas Sugang lalu melirik kearahku dan Dayat.
"Kenapa gak bilang dari tadi. Hamid, Dayat, antar mas Sugang ke sungai !"
*****
"Mas...jangan ngintip ya !" teriak mas Sugang dari sungai.
"Hoeeeekkk...cuih !"
Aku dan Dayat merasa mual dengan seloroh mas Sugang. Cahaya headlampnya menyala terang dalam gelap.
Sedangkan aku dan Dayat, harap-harap cemas menunggunya di pinggir sungai.
"Mas Hamid...mas Dayat, sudah hampir selesai. Mau bantuinkah ? He...he..he.."
"Hoeekk...cuih !!!"
"Heh...heh..he..."
Mas Sugang kembali terkekeh sambil mengancing celananya. Ia kemudian melangkah hingga menimbulkan suara keciprat air.
Mengetahui mas Sugang sudah selesai dengan hajatnya, aku dan Dayat segera menoleh ke arahnya.
"Astagfirullahul adzim...." suara Dayat tiba-tiba tertahan.
Tak hanya Dayat, aku juga mulai ketakutan. Bulu kudukku merinding, saat cahaya senter kami menyorot sesuatu yang mengikuti mas Sugang di belakang. Bergerak perlahan, muncul tenggelam dari dalam sungai.
"Mas...mas Sugang !" suaraku tertahan.
"Hah !?" Mas Sugang masih melangkah gontai menuju pinggir sungai.
"Mas Sugang !!!" Dayat mulai berteriak.
Masih santai, mas Sugang tak sadar ada bahaya yang mengancam.
"Mas Suugaaang !!! Di belakang !!!" Dayat berteriak, wajahnya panik.
"Hah !?" Mas Sugang malah kebingungan.
"Mas Suugaang !!! Laaarrii !!!"
Kulihat, mahluk itu telah bangkit sempurna dari dalam air. Berbadan hitam, berkepala lancip dan bermulut vertikal hingga ke dahi. Mahluk itu berdiri persis di belakang mas Sugang yang tetap melangkah pelan.
"Mas Suuugaanng !! Awas di belakang !"
Aku berteriak sangat kencang hingga tenggorokan terasa sakit.
Bukannya berlari, mas Sugang justru balik badan dan menatap mahluk yang mengikutinya.
"Allahu Akbar !!!" Pekik mas Sugang mengucapkan takbir.
...byurr...
Kaget, mas Sugang malah terjatuh ke dalam air. Tubuhnya menggelepar bagai ikan.
"Tooollloooonnggg...!!!"
"Tooollloooonnggg...!!!"
Mas Sugang berteriak sekencangnya, menyadari umurnya tinggal sejengkal.
Tak peduli bahaya, aku berlari hendak menarik tubuh mas Sugang. Namun, terlambat, mahluk itu sudah terlebih dahulu menerkam tubuhnya yang gelagapan.
"Aaarrrrgggghhhh !!!"
Lalu, kembali terdengar jerit kematian yang membahana ke segala penjuru hutan.
...bersambung...
Sampai jumpa malam Senen. Moga gak bosen en terhibur. Jangan lupa sakrep, komeng dan syer ewer-ewer 😁
Diubah oleh benbela 02-09-2021 11:58



bruno95 dan 67 lainnya memberi reputasi
66
Kutip
Balas
Tutup