- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 19:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#86
Quote:
Original Posted By benbela►

"Dayat...!!! Lempar...!!!" pekik kapten.
"Hiiiii....!!!" yang lain menjerit sejadinya.
"Dayat...! Lempar kepala itu ke sungai !!!"
Seolah tersadar, Dayat menjerit.
"Hiiiiii...!!!"
...buuuk...
Kepala itu ia lempar. Tapi bukan ke sungai, justru ke arah kami yang merasa ngeri.
"Ampun tulang...! Ampun tulang...! Ada kepala, tulang...!"
Si Lai menjerit bagai perempuan, mendapati ada kepala manusia di tangannya. Kakinya melompat bergantian di atas pasir. Tak tahu umur, Lai pipis di celana.
...buuk...
Kepala berpindah tangan, ke mas Sugang.
"Mo-modiaaaarr ndasku...! modiar ndasku ! Sugeng bin Slamet nyuwun ngapuro, ndas !"
Mas Sugang menjerit bagai orang kesurupan. Hilang keseimbangan, mas Sugang terjatuh. Kepala di tangannya terlepas dan menggelinding di pasir.
"Hiii...!!!"
"Hiii...!!!"
Kepala buntung itu melotot dan menganga. Persis menatap tajam kearahku. Pasir menempel di lehernya yang penuh darah. Aku bergidik, bulu kudukku merinding. Tubuhku kaku tak bergerak.
Kami semua tegang, terdiam tak bersuara. Hening. Hanya ada suara gemerisik daun yang bergoyang tertiup angin.
Lalu terdengar suara ribut-ribut.
...byuurrr...
Si Lai bercebur ke sungai, mandi demi menghilangkan malu.
Takut-takut, kapten Anang melangkah perlahan, mendekati kepala buntung. Satu-persatu yang lain mengikuti.
Kami akhirnya bergerombol, memandang kepala buntung dengan rasa ngeri, takut dan waswas jadi satu.
Sungai yang tadi hening berubah jadi riuh. Hiruk pikuk dan saling berkomentar. Semua menebak-nebak asal kepala di hadapan kami. Kesimpulannya hanya satu, ada orang mengayau !
Kapten Anang berjongkok, memperhatikan kepala itu dengan seksama.
"Ini bukan ulah orang mengayau," ujar kapten tenang, "lihatlah...tidak ada bekas tebasan parang."
Kami kembali terdiam, bungkam tanpa suara.
"Kepala ini..." Kapten Anang menggantung kalimatnya, seolah tak yakin.
"Kepala ini seperti dicopot dengan paksa dari badannya."
"Hiiii...!!!"
Serentak kami semua bergidik. Entah mahluk apa yang sanggup melepas kepala manusia dari tubuhnya.
"Dan lagi-lagi...ini adalah orang China daratan."
"Haah !?"
Kami terhenyak, ada rasa tidak percaya.
Kami sepakat membuang kembali kepala itu ke sungai. Bila dikubur, takutnya malah celaka. Bisa-bisa kepala itu justru malah bangkit dan menghantui kami.
Dengan gontai, kapten Anang menghanyutkan kepala itu tanpa merasa ngeri sedikitpun.
"Biar saja polisi atau koramil yang ngurus. Kita tak usah ikut cumpur. Lebih baik kita urus periuk nasi kita sendiri."
Kapten Anang berdiri tegap di pinggir sungai, di atas pasir, menatap kepala yang timbul tenggelam terbawa arus hingga hilang di kejauhan.
Lai sudah berganti baju dan celana. Tubuhnya wangi aroma sabun batangan. Dengan rambut klimis tersisir ke belakang, Lai senyam senyum menutup malu.
Sedangkan Dayat, sudah memakai kacamata, masih terlihat cemas. Butir peluh sebesar jagung mengalir dari dahi hingga ujung dagunya.
Tapi kali ini aku setuju. Kecemasan Dayat beralasan. Setidaknya ada seorang warga lokal dan dua orang China daratan yang mati tak wajar kami jumpai, walau yang terakhir hanya ketemu kepala buntung. Mungkin saja di tengah rimba sana, ada banyak lagi orang China yang mati tidak ketahuan, entah dimana.
"Woeeii...! jangan melamun !"
Teriakan kapten Anang membuat kami kaget.
"Ayo kerja ! Anak istri kalian menunggu di rumah !"
Kami bergegas melaksanakan perintah kapten. Mesin sedot, pipa, selang, jerigen solar, timbangan emas dan alat tambang lainnya kami turunkan dari kelotok. Kami letakan di tengah pasir.
Beras, ikan asin, sayur layu, tempe, kompor, panci dan alat masak lain kami taroh di pinggir sungai, di rerumputan dekat dengan belukar.
Mesin sedot langsung kami rakit dengan pipa, selang dan lain-lain. Dalam 30 menit, mesin tambang tak ramah lingkungan sudah siap kami gunakan. Siap melaksanakan tugas pertamanya.
"Kapten, mesin sudah siap."
Kapten mengangguk, lalu memanggil mang Soleh, orang paling sholeh diantara kami.
"Mang, mulai doanya. Setelah itu kita lakukan uji coba pertama. Semoga lokasi ini berjodoh, jadi kita tak perlu buang waktu cari tempat lain."
Tanpa banyak bicara, mang Soleh melangkah ke arah klotok, kemudian kembali dengan segelas air putih ditangan berisikan racikan daun pandan.
Kami segera berkumpul, bergerombol, membuat setengah lingkaran di depan mang Soleh.
"UluhBakumpai, jangan lupa syahadat, rakaat dan adat. Orang Bakumpai, orang Banjar, orang Batak, orang Jawa, mari kita berdoa. Semoga kita diberi perlindungan dan mendapat rezeki berlimpah."
Mang Soleh lalu membaca doa, memulai ritual Tampung Tawar. Ritual meminta perlindungan, keselamatan dan rezeki berlimpah. Ritual yang biasa dilakukan ketika memulai pekerjaan baru.
Dimulai dari kapten Anang. Dengan daun kelapa yang sudah dirangkai, mang Soleh memercikan air ke dahi, pundak dan telapak tangan kami bergantian.
Baru saja ritual selesai, hujan tiba-tiba turun dari langit. Padahal cuaca sangat terik. Matahari pun bersinar sangat terang. Entah mengapa firasatku jadi tak enak.
"Hujan mandang !" seru Dayat cemas.
Diguyur rintik hujan, ia lantas berlari kecil ke semak yang penuh rerumputan, lalu kembali lagi dengan beberapa rumput liar di tangan. Sehelai rumput sudah terselip di telinga kanannya. Tergopoh, rumput itu ia serahkan pada kami satu-persatu.
Kami hanya tersenyum melihat tingkahnya yang ganjil. Saling pandang dengan tatapan mengejek.
"Ini, selipkan di kuping supaya gak sakit. Nanti kena saluh andau, bisa sakit, bisa diculik hantu."
"Kau ini, sudah besar masih percaya mitos. Tak sudi kupakai itu rumput di kuping."
"Lai...ini bukan hujan biasa, tapi hujan mandang. Hujan panas ! Kalau tidak hati-hati, kita bisa celaka. Kena saluh andau !"
"Akh...tak mungkinlah alam murka. Malang betul nasib kita. Sudah miskin...ee...masih pula dikutuk alam. Makin msikinlah kita."
Si Lai hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Sudah...sudah ! Hari semakin siang. Lekas bersiap...Nanti kesorean. Ayo ! Jangan bingung kayak orang kalah judi !" Kapten menyela perdebatan tak penting itu.
"Ta-tapi kapten..." rupanya Dayat masih khawatir.
"Tapi apalagi !? " Kapten melotot.
Hening.
Dayat terlihat ragu untuk bersuara.
"Kapten..." Dayat menarik nafas, lalu menghela nafas, "tadi malam ada dua mayat hanyut di sungai dengan bentuk tidak karuan. Salah seorang adalah militer China. Dan hari ini...ada kepala orang China yang kita temukan. Ada yang tidak beres di hutan ini."
Semua yang mendengar tercenung. Mungkin bukan aku saja yang berfikir bahwa yang dikatakan Dayat ada benarnya.
"Kapten...bila ada hujan panas, biasanya ada yang mati berdarah." tertahan, suara Dayat parau.
Semua saling pandang. Wajah kami berubah jadi tegang.
"Dayat...! Bila kau masih membual, kupaksa kau berenang pulang sekarang juga !" hardik Kapten menahan emosi.
Dayat tertunduk lemas. Wajahnya murung dan menggerutu tak jelas.
Tak berapa lama, hujan panas pun berhenti.
"Lihat, hujan mandang sudah berhenti. Saatnya bekerja !"
Penuh wibawa bagai komandan Satpol PP, kapten Anang segera memberi titah.
"Kita tetap pada rencana semula. Bila percobaan hasilnya bagus, lokasi ini kita pilih. Bila tidak memuaskan, kita terpaksa pindah lebih ke hulu.
Dayat, Lai, kalian berdua memasak. Yang lain, ayo bekerja !"
Satu jam berlalu. Hamparan pasir sungai telah berubah jadi kubangan. Mesin meraung-raung di tengah belantara, menyedot butiran pasir berisi emas ke papan penyaring yang di sebut kasbuk.
Penuh semangat, kami bekerja gotong royong. Tak dihiraukan panas yang terik. Tak peduli badan menghitam dan dekil. Pahit getir kehidupan tak jadi soal demi anak, istri dan ibu yang harap-harap cemas menanti di rumah.
Semua kami yang di sini memendam rindu yang sama dengan orang rumah.
Akhh....! aku teringat putriku ! Gadis kecil berkulit putih seperti ibunya. 10 bulan usianya. Tak pernah ia memanggilku abah. Hanya ada kata mama di mulutnya.
Semakin teringat, semakin perih hatiku berpisah. Takkan kubiarkan ia menderita. Takkan kubiarkan ia kelaparan. Takkan kubiarkan ia tak punya boneka.
Semangatku bergelora. Jiwaku bergejolak. Demi pelampiasan rindu, aku bekerja lebih keras.
Demi putri mungilku, aku rela mendaki bukit, membelah hutan, menyusur sungai. Demi dialah, aku rela berhari-hari di tengah hutan angker ini. Hutan yang penuh hantu, kuyang, raung, macan, beruang dan ular.
Hutan yang jadi sarang mahluk misterius berusia ratusan tahun. Mahluk yang tak jelas apakah gaib atau nyata. Mahluk yang ada dalam dongeng orang-orang Dayak. Mahluk yang mampu melepas kepala manusia dari badannya. Mahluk yang sedang mengincar kami diam-diam dari dalam sungai.
...bersambung...
Bab 5 : Saluh Andau

"Dayat...!!! Lempar...!!!" pekik kapten.
"Hiiiii....!!!" yang lain menjerit sejadinya.
"Dayat...! Lempar kepala itu ke sungai !!!"
Seolah tersadar, Dayat menjerit.
"Hiiiiii...!!!"
...buuuk...
Kepala itu ia lempar. Tapi bukan ke sungai, justru ke arah kami yang merasa ngeri.
"Ampun tulang...! Ampun tulang...! Ada kepala, tulang...!"
Si Lai menjerit bagai perempuan, mendapati ada kepala manusia di tangannya. Kakinya melompat bergantian di atas pasir. Tak tahu umur, Lai pipis di celana.
...buuk...
Kepala berpindah tangan, ke mas Sugang.
"Mo-modiaaaarr ndasku...! modiar ndasku ! Sugeng bin Slamet nyuwun ngapuro, ndas !"
Mas Sugang menjerit bagai orang kesurupan. Hilang keseimbangan, mas Sugang terjatuh. Kepala di tangannya terlepas dan menggelinding di pasir.
"Hiii...!!!"
"Hiii...!!!"
Kepala buntung itu melotot dan menganga. Persis menatap tajam kearahku. Pasir menempel di lehernya yang penuh darah. Aku bergidik, bulu kudukku merinding. Tubuhku kaku tak bergerak.
Kami semua tegang, terdiam tak bersuara. Hening. Hanya ada suara gemerisik daun yang bergoyang tertiup angin.
Lalu terdengar suara ribut-ribut.
...byuurrr...
Si Lai bercebur ke sungai, mandi demi menghilangkan malu.
Takut-takut, kapten Anang melangkah perlahan, mendekati kepala buntung. Satu-persatu yang lain mengikuti.
Kami akhirnya bergerombol, memandang kepala buntung dengan rasa ngeri, takut dan waswas jadi satu.
Sungai yang tadi hening berubah jadi riuh. Hiruk pikuk dan saling berkomentar. Semua menebak-nebak asal kepala di hadapan kami. Kesimpulannya hanya satu, ada orang mengayau !
Kapten Anang berjongkok, memperhatikan kepala itu dengan seksama.
"Ini bukan ulah orang mengayau," ujar kapten tenang, "lihatlah...tidak ada bekas tebasan parang."
Kami kembali terdiam, bungkam tanpa suara.
"Kepala ini..." Kapten Anang menggantung kalimatnya, seolah tak yakin.
"Kepala ini seperti dicopot dengan paksa dari badannya."
"Hiiii...!!!"
Serentak kami semua bergidik. Entah mahluk apa yang sanggup melepas kepala manusia dari tubuhnya.
"Dan lagi-lagi...ini adalah orang China daratan."
"Haah !?"
Kami terhenyak, ada rasa tidak percaya.
*****
Kami sepakat membuang kembali kepala itu ke sungai. Bila dikubur, takutnya malah celaka. Bisa-bisa kepala itu justru malah bangkit dan menghantui kami.
Dengan gontai, kapten Anang menghanyutkan kepala itu tanpa merasa ngeri sedikitpun.
"Biar saja polisi atau koramil yang ngurus. Kita tak usah ikut cumpur. Lebih baik kita urus periuk nasi kita sendiri."
Kapten Anang berdiri tegap di pinggir sungai, di atas pasir, menatap kepala yang timbul tenggelam terbawa arus hingga hilang di kejauhan.
Lai sudah berganti baju dan celana. Tubuhnya wangi aroma sabun batangan. Dengan rambut klimis tersisir ke belakang, Lai senyam senyum menutup malu.
Sedangkan Dayat, sudah memakai kacamata, masih terlihat cemas. Butir peluh sebesar jagung mengalir dari dahi hingga ujung dagunya.
Tapi kali ini aku setuju. Kecemasan Dayat beralasan. Setidaknya ada seorang warga lokal dan dua orang China daratan yang mati tak wajar kami jumpai, walau yang terakhir hanya ketemu kepala buntung. Mungkin saja di tengah rimba sana, ada banyak lagi orang China yang mati tidak ketahuan, entah dimana.
"Woeeii...! jangan melamun !"
Teriakan kapten Anang membuat kami kaget.
"Ayo kerja ! Anak istri kalian menunggu di rumah !"
Kami bergegas melaksanakan perintah kapten. Mesin sedot, pipa, selang, jerigen solar, timbangan emas dan alat tambang lainnya kami turunkan dari kelotok. Kami letakan di tengah pasir.
Beras, ikan asin, sayur layu, tempe, kompor, panci dan alat masak lain kami taroh di pinggir sungai, di rerumputan dekat dengan belukar.
Mesin sedot langsung kami rakit dengan pipa, selang dan lain-lain. Dalam 30 menit, mesin tambang tak ramah lingkungan sudah siap kami gunakan. Siap melaksanakan tugas pertamanya.
"Kapten, mesin sudah siap."
Kapten mengangguk, lalu memanggil mang Soleh, orang paling sholeh diantara kami.
"Mang, mulai doanya. Setelah itu kita lakukan uji coba pertama. Semoga lokasi ini berjodoh, jadi kita tak perlu buang waktu cari tempat lain."
Tanpa banyak bicara, mang Soleh melangkah ke arah klotok, kemudian kembali dengan segelas air putih ditangan berisikan racikan daun pandan.
Kami segera berkumpul, bergerombol, membuat setengah lingkaran di depan mang Soleh.
"UluhBakumpai, jangan lupa syahadat, rakaat dan adat. Orang Bakumpai, orang Banjar, orang Batak, orang Jawa, mari kita berdoa. Semoga kita diberi perlindungan dan mendapat rezeki berlimpah."
Mang Soleh lalu membaca doa, memulai ritual Tampung Tawar. Ritual meminta perlindungan, keselamatan dan rezeki berlimpah. Ritual yang biasa dilakukan ketika memulai pekerjaan baru.
Dimulai dari kapten Anang. Dengan daun kelapa yang sudah dirangkai, mang Soleh memercikan air ke dahi, pundak dan telapak tangan kami bergantian.
Baru saja ritual selesai, hujan tiba-tiba turun dari langit. Padahal cuaca sangat terik. Matahari pun bersinar sangat terang. Entah mengapa firasatku jadi tak enak.
"Hujan mandang !" seru Dayat cemas.
Diguyur rintik hujan, ia lantas berlari kecil ke semak yang penuh rerumputan, lalu kembali lagi dengan beberapa rumput liar di tangan. Sehelai rumput sudah terselip di telinga kanannya. Tergopoh, rumput itu ia serahkan pada kami satu-persatu.
Kami hanya tersenyum melihat tingkahnya yang ganjil. Saling pandang dengan tatapan mengejek.
"Ini, selipkan di kuping supaya gak sakit. Nanti kena saluh andau, bisa sakit, bisa diculik hantu."
"Kau ini, sudah besar masih percaya mitos. Tak sudi kupakai itu rumput di kuping."
"Lai...ini bukan hujan biasa, tapi hujan mandang. Hujan panas ! Kalau tidak hati-hati, kita bisa celaka. Kena saluh andau !"
"Akh...tak mungkinlah alam murka. Malang betul nasib kita. Sudah miskin...ee...masih pula dikutuk alam. Makin msikinlah kita."
Si Lai hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Sudah...sudah ! Hari semakin siang. Lekas bersiap...Nanti kesorean. Ayo ! Jangan bingung kayak orang kalah judi !" Kapten menyela perdebatan tak penting itu.
"Ta-tapi kapten..." rupanya Dayat masih khawatir.
"Tapi apalagi !? " Kapten melotot.
Hening.
Dayat terlihat ragu untuk bersuara.
"Kapten..." Dayat menarik nafas, lalu menghela nafas, "tadi malam ada dua mayat hanyut di sungai dengan bentuk tidak karuan. Salah seorang adalah militer China. Dan hari ini...ada kepala orang China yang kita temukan. Ada yang tidak beres di hutan ini."
Semua yang mendengar tercenung. Mungkin bukan aku saja yang berfikir bahwa yang dikatakan Dayat ada benarnya.
"Kapten...bila ada hujan panas, biasanya ada yang mati berdarah." tertahan, suara Dayat parau.
Semua saling pandang. Wajah kami berubah jadi tegang.
"Dayat...! Bila kau masih membual, kupaksa kau berenang pulang sekarang juga !" hardik Kapten menahan emosi.
Dayat tertunduk lemas. Wajahnya murung dan menggerutu tak jelas.
Tak berapa lama, hujan panas pun berhenti.
"Lihat, hujan mandang sudah berhenti. Saatnya bekerja !"
Penuh wibawa bagai komandan Satpol PP, kapten Anang segera memberi titah.
"Kita tetap pada rencana semula. Bila percobaan hasilnya bagus, lokasi ini kita pilih. Bila tidak memuaskan, kita terpaksa pindah lebih ke hulu.
Dayat, Lai, kalian berdua memasak. Yang lain, ayo bekerja !"
*****
Satu jam berlalu. Hamparan pasir sungai telah berubah jadi kubangan. Mesin meraung-raung di tengah belantara, menyedot butiran pasir berisi emas ke papan penyaring yang di sebut kasbuk.
Penuh semangat, kami bekerja gotong royong. Tak dihiraukan panas yang terik. Tak peduli badan menghitam dan dekil. Pahit getir kehidupan tak jadi soal demi anak, istri dan ibu yang harap-harap cemas menanti di rumah.
Semua kami yang di sini memendam rindu yang sama dengan orang rumah.
Akhh....! aku teringat putriku ! Gadis kecil berkulit putih seperti ibunya. 10 bulan usianya. Tak pernah ia memanggilku abah. Hanya ada kata mama di mulutnya.
Semakin teringat, semakin perih hatiku berpisah. Takkan kubiarkan ia menderita. Takkan kubiarkan ia kelaparan. Takkan kubiarkan ia tak punya boneka.
Semangatku bergelora. Jiwaku bergejolak. Demi pelampiasan rindu, aku bekerja lebih keras.
Demi putri mungilku, aku rela mendaki bukit, membelah hutan, menyusur sungai. Demi dialah, aku rela berhari-hari di tengah hutan angker ini. Hutan yang penuh hantu, kuyang, raung, macan, beruang dan ular.
Hutan yang jadi sarang mahluk misterius berusia ratusan tahun. Mahluk yang tak jelas apakah gaib atau nyata. Mahluk yang ada dalam dongeng orang-orang Dayak. Mahluk yang mampu melepas kepala manusia dari badannya. Mahluk yang sedang mengincar kami diam-diam dari dalam sungai.
...bersambung...
Sampai jumpa malam Senen. Moga gak bosen dengan thread ane yang agak kacau. 😁
Jangan lupa sakrep, komeng dan syer ewer-ewer 😁
Diubah oleh benbela 26-08-2021 20:38



bruno95 dan 70 lainnya memberi reputasi
71
Kutip
Balas
Tutup