IchsanXzeroAvatar border
TS
IchsanXzero
Dua Sisi Rembulan
Quote:


Quote:



Bruno Mars - Talking To The Moon


Quote:


Quote:

Polling
Poll ini sudah ditutup. - 125 suara
Siapakah yang akan menikah dengan Bulan pada Maret 2017?
Bulan (SMA)
64%
Alya (SMA)
18%
Tanya (SMA)
5%
Mei (Kuliah)
6%
Saras (Kuliah)
8%
Diubah oleh IchsanXzero 01-09-2020 06:26
bogalbogel28
yusuffajar123
fhy544
fhy544 dan 32 lainnya memberi reputasi
31
716.6K
4.4K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
IchsanXzeroAvatar border
TS
IchsanXzero
#4345
143. One Hundred And Forty Three: Malam Berlapis Cokelat
Aneh.

Kenapa seperti ada suatu perasaan aneh yang mengganjal dan tidak bisa gue jelaskan yang bersemayam di hati dan pikiran gue?

Ah, pertanyaan klasik, bukan?

Entah apa sebutan yang cocok untuk perasaan ini, tapi satu yang gue tahu pasti bahwa perasaan mengganjal ini seperti pernah gue rasakan sebelumnya. Seperti ada memori ganjil yang bersangkutan dengan memori sebelum amnesia gue.

Sebuah memori entah kapan dan dimana.

Ah, untuk apa gue terlalu banyak memusingkan hal yang tidak gue ketahui. Pasti perasaan ini akan hilang dengan sendirinya nanti.

Lalu…

Kenapa ini sangat mengganggu?

“Wey, ngelamun aja.”

Gue terkejut dan seketika mendongakkan kepala ke atas, tersadar bahwa kak Hanif sudah berada tepat di hadapan gue, berdiri seraya berkacak pinggang.

Kak Hanif ini adalah salah satu dari dua mentor yang ditugaskan untuk menemani kelompok kami selama rangkaian kegiatan ospek ini. Seorang mentor lainnya merupakan seorang cewek yang sepertinya tidak perlu gue ceritakan.

“Udah pada difotoin belum?” tanyanya seraya menunjuk ke arah teman-teman sekelompok gue lainnya yang sedang sibuk mewawancarai penduduk di sekitar sini.

“Aman, tenang, kak.” ucap gue seraya menunjukkan galeri smartphone gue.

Kak Hanif sedikit mencondongkan kepalanya ke depan untuk melihat layar. “Hmm… Kok lo malah kasih unjuk foto cewek lo, Lan?”

“HAH?!” gue panik dan langsung mengecek smartphone.

Kak Hanif tertawa. “Hahaha, bercanda, Lan.”

“Sialan lo, kak.” sewot gue yang baru sadar bahwa gue tidak pernah menyimpan foto cewek di galeri.

Alasan kenapa gue akrab dengan kak Hanif karena dia adalah senior gue dulu semasa SMA dan juga kami berdua ikut Tae Kwon Do dulu. Bisa dibilang gue lumayan beruntung mendapat mentor seseorang yang gue kenal.

Lalu apa alasannya gue bertugas menjadi tukang foto keliling?

Hari ini merupakan hari ketiga ospek. Di hari minggu yang terik dan gersang ini, semua mahasiswa baru ditugaskan untuk melakukan observasi terhadap lingkungan sekitar kampus secara berkelompok. Observasi yang dilakukan ini sebenarnya bertujuan agar kami para mahasiswa baru tahu akan kondisi kehidupan warga sekitar dan nantinya tergerak untuk memajukan Indonesia.

Ya, klasik.

Tentu saja kelompok yang dimaksud merupakan kelompok yang ditentukan oleh panitia, bukan membuat berkelompok secara bebas. Pagi hari kemarin, semua mahasiswa baru sudah dibagi secara berkelompok oleh panitia sebelum acara pelantikan dimulai. Di kelompok gue ini, tidak ada mahasiswa yang sefakultas dengan gue. Biarpun begitu, gue rasa gue bisa cukup akrab dengan kelompok gue. Well, tentunya berkat adanya kak Hanif juga sih.

Oh iya, alasan gue menjadi tukang foto adalah karena kami disuruh untuk mendokumentasikan apa yang kami lakukan yang berarti kelompok kami butuh tukang foto. Gue tentu saja langsung mengajukan diri untuk mengisi peran tersebut. Lebih baik gue hanya bertugas foto-foto saja dibanding harus mewawancarai orang-orang atau memutar otak untuk membuat pertanyaan.

“Duh, panas banget sumpah.” ucap Kevin seraya duduk di samping kanan gue.

“Bandung malem doang nih yang dingin. Gue kirain siang bakal dingin” timpal Ridwan seraya duduk di samping kiri gue. “Geseran dikit, Lan.” tambahnya, kemudian Ridwan mulai mengipas-ngipas tangan kanannya di depan mukanya yang tentunya akibat panas kota Bandung siang ini yang dia rasakan.

Kevin dan Ridwan ini adalah teman sekelompok ospek gue. Semenjak dipertemukan dalam kelompok ini kemarin, gue menjadi paling akrab dengan mereka berdua. Keakraban yang kami jalin selain terjadi karena tentunya kami sekelompok ospek, juga karena kami adalah sesama penggemar sepakbola terlebih lagi sepakbola Liga Inggris. Kevin dan Ridwan sama-sama mendukung klub Manchester United, sedangkan gue mendukung Liverpool.

Mungkin gue belum pernah menceritakan hal ini sebelumnya, tapi gue adalah seorang suporter garis keras dari klub bola Liverpool. Ya, gue sangat tahu bahwa klub sepakbola yang gue cintai ini bukanlah klub terbaik di Liga Inggris saat ini. Namun apa boleh buat, hati gue sudah sangat cinta kepada klub yang dikapteni oleh Steven Gerrard ini.

You’ll never walk alone…

“Yee, ini kenapa gue digencet-gencet gini.” sewot gue kepada mereka berdua. “Udah tau ini bangkunya pendek masih aja ikutan.”

“Numpang elah, Lan. Pegel ini dari tadi wawancara sambil jongkok gitu.” timpal Ridwan.

Gue hanya bisa menghela nafas, pasrah menerima kenyataan bahwa ketenangan gue diganggu oleh mereka berdua, sedangkan mereka berdua mencoba untuk mengatur ritme nafas mereka, bukan karena mereka berdua kecapekan, melainkan karena hawa panas yang membuat kami agak kesulitan bernafas.

“Balik ospek nongkrong yuk.” ajak Kevin.

“Gas!” seru Ridwan bersemangat seperti orang yang tidak pernah nongkrong selama bertahun-tahun.

Sesaat gue berpikir untuk menerima ajakan dari Kevin. Namun saat gue teringat bahwa gue harus bekerja nanti sore, gue urungkan niat tersebut.

“Yah, gue gak bisa nih…” timpal gue.

“Kenapa, Lan?” tanya Kevin.

“Kerja, Vin.” jawab gue.

“Hah? Lo kerja?” Kevin tampak terkejut mendengar jawaban gue, sedangkan Ridwan juga sama terkejutnya tidak berbeda jauh darinya.

Gue mengangguk kecil.

Menurut gue ini bukanlah sesuatu hal yang perlu gue sembunyikan. Di umur segini gue rasa bukanlah sebuah kesalahan atau kejahatan jika gue mempunyai pekerjaan paruh waktu.

“Kerja apaan hari Minggu gini?” kali ini Ridwan yang bertanya.

“Gue kerja part time di kafe. Tau sendiri kan kalo kafe weekend pasti rame, makanya gue pasti masuk.” jelas gue.

“Gak tau gue kalo lo kerja ternyata.” ucap Kevin.

“Sekarang tau kan.” balas gue santai.

“Yaudah kita nongkrong berdua aja, Vin.” ajak Ridwan ke Kevin.

“Ih, males gue berdua doang sama lo, nanti dikata homo.” Kevin berkata dengan ekspresi jijik yang dibuat-buat.

“Kampret!” sewot Ridwan seraya mendumel kepada Kevin.

Gue dan Kevin tertawa puas melihat reaksinya.


=|O|=|O|=


Tepat jam setengah enam sore gue sampai di kafe. Segera gue parkirkan motor di parkiran dan langsung masuk ke kafe melalui pintu belakang. Setelah selesai bersiap-siap untuk bekerja, gue langsung menuju dapur. Di sana, tentunya mas Ipay dan mas Aji sedang menyiapkan makanan untuk pelanggan.

Sesuai perjanjian dengan pak Toto, waktu gue untuk mulai bekerja, setelah mulai ospek dan kuliah, adalah jam enam sore dan akan berakhir pada jam sebelas malam. Jadwal yang dibuat ini tentu saja kami tentukan sesuai dengan perundingan antara gue dengan pak Toto.

Gue menyarankan untuk mulai bekerja pada jam segitu dengan mempertimbangkan jam maksimal pulang kuliah pada umumnya, jam lima sore. Memang sebenarnya gue belum tahu jadwal kuliah gue nantinya. Akan tetapi, gue sudah bertanya-tanya kepada beberapa senior gue dulu di SMA yang masuk ke kampus dan fakultas yang sama dengan gue tentang hal ini. Jadi, saran yang gue berikan bukanlah saran yang tidak berlandaskan apa pun.

“Tolong ambilin kecap asin di gudang, Lan. Udah abis ini.” pinta mas Aji ke gue seraya mengocok-ngocok botol kecap asin yang dipegangnya.

Gue menoleh ke arah mas Aji. “Bentar, mas, kelarin ini dulu.” balas gue seraya menunjuk ke arah bahan masakan yang sedang gue persiapkan.

“Oke, Lan.”

Setelah gue selesai mempersiapkan bahan masakan, gue langsung menuju ke arah gudang yang menyimpan bahan masakan untuk kafe. Gudang ini letaknya ada di dekat pintu belakang kafe yang secara langsung bersebelahan dengan dapur.

Gue menyempatkan sedikit waktu untuk memperhatikan keadaan di dalam kafe. Suasana kafe petang ini bisa dibilang ramai karena bahkan hanya ada dua sampai tiga meja yang kosong.

Setelah mengambil dua botol kecap asin, gue segera keluar dari gudang. Saat sedang berjalan menuju dapur, tiba-tiba…

Bruk!

Sesaat gue merasakan sentuhan benda kenyal yang bertabrakan dengan dada gue dan sesaat kemudian gue tersadar bahwa gue sudah jatuh ke lantai dalam posisi terduduk.

“Ah! Sorry-sorry!”

Gue, yang panik karena teringat bahwa gue sedang membawa kecap asin, segera mencari keberadaan dua botol kecap asin tersebut di sekitar posisi gue terjatuh. Gue melihat kedua botol tersebut berada di dekat kaki gue dengan kondisi yang aman karena memang gue baru teringat bahwa botolnya terbuat dari plastik dan segelnya belum terbuka sama sekali. Untunglah.

“Sorry banget, ya…”

Gue mendongakkan kepala ke atas dan menemukan ada seorang cewek yang tidak pernah gue lihat sebelumnya sedang berdiri di hadapan gue. Tanpa perlu banyak menebak, gue yakin bahwa barusan gue bertabrakan dengan dirinya.

Tapi, siapa dia?

Cewek itu mengulurkan tangannya untuk membantu gue berdiri.

Gue meraih tangannya dan beranjak berdiri dengan bantuannya. “Ah, iya gak apa-apa…” ucap gue seraya tersenyum kecil.

Tidak ada sama sekali rasa sakit yang gue rasakan. Ya, tentu saja. Walaupun gue terjatuh, mana mungkin gue akan terluka hanya dengan sebuah tabrakan ringan antara dua orang manusia.

Gue perhatikan cewek ini dari atas sampai bawah, tentunya dengan cara yang tidak akan membuat dia merasa tidak nyaman. Cantik juga. Hanya itu yang bisa gue pikirkan saat melihat parasnya. Kulitnya yang berwarna cokelat dipadu dengan wajah khas Sunda menurut gue adalah perpaduan yang sangat sempurna. Sempat gue singgung sebelumnya bahwa gue merasakan sentuhan benda kenyal yang menabrak dada gue sebelum gue terjatuh yang ternyata adalah aset berharga miliknya. Aset yang setelah gue lihat-lihat besar tentunya. Tinggi dan proporsi badannya bisa diperkirakan hampir sama seperti Bulan. Entah kenapa dengan melihatnya membuat gue untuk sepersekian detik teringat akan Bulan.

Ah, lupakan…

Selain itu, sepertinya gue pernah bertemu dengan dirinya, entah kapan dan di mana.

“Sorry ya, Lan, jadi ketumpahan cokelat kan lo-nya…”

Kok dia tahu nama gue?

Ah, mungkin dia pekerja part time yang cuti itu. Kalau berdasarkan deskripsi tentang part timer tersebut dari Hilmi sebelumnya, gue rasa dia sangat memenuhi kriteria tersebut. Kalau begitu, kemungkinan besar dia adalah Saras. Dari situ, gue bisa menyangka bahwa salah seorang dari karyawan yang lain memberitahukan tentang gue kepadanya.

Oke, satu pertanyaan berhasil terjawab.

Sebentar… ketumpahan cokelat?

Gue langsung menurunkan pandangan gue ke bawah, ke arah baju gue. Dan benar saja, ternyata baju gue sudah berlumuran oleh cokelat. Saking paniknya akibat kecap asin, gue sampai tidak sadar bahwa hal seperti itu terjadi.

Kacau.

Tiba-tiba muncul Gina yang sepertinya datang dari ruang utama kafe. Sepertinya dia mendengar suara yang dihasilkan akibat tabrakan barusan dan ingin mengecek apa yang terjadi.

“Pada kenapa?” tanyanya.

“Gue ketumpahan cokelat.” jawab gue seraya menunjuk ke arah baju gue.

Gina memasang ekspresi heran seolah bertanya “Kok bisa lo ketumpahan cokelat?”.

“Tadi gue tabrakan sama Bulan waktu gue lagi bawa sirup cokelat buat bahan menu.” jelas cewek yang gue duga bernama Saras itu.

Gina manggut-manggut. “Oh, gitu, Ras…”

Terbukti bahwa cewek cantik yang berada di hadapan gue ini adalah Saras.

“Mending lo sekarang mandi, abis itu ganti baju deh, Lan, di kamar mandi belakang.” saran Gina kepada gue.

Gue mengiyakan saran dari Gina.

“Ambil sirup yang baru, Ras. Biar gue yang pel ini.” kali ini Gina berkata kepada Saras.

“Oke.” balas Saras. “Sekali lagi, maaf, ya, Lan…” Saras meminta maaf lagi ke gue entah untuk keberapa kalinya.

Gue hanya menanggapinya dengan senyuman dan tanpa banyak basa-basi segera gue bergegas menuju ke ruang penyimpanan barang-barang karyawan. Beruntung bagi gue karena gue ingat bahwa gue membawa baju ganti untuk ospek. Dengan begini, mau tidak mau gue harus mengenakan pakaian biasa untuk bekerja hari ini, bukan seragam kafe. Setelah mengambil baju ganti, gue mandi di kamar mandi belakang yang memang ditujukan untuk digunakan oleh karyawan.


=|O|=|O|=


Pukul sebelas malam, gue sudah mempersiapkan diri untuk pulang. Setelah berpamitan kepada mas Ipay dan mas Aji, gue berjalan ke luar kafe melalui pintu belakang.

Gue meregangkan badan untuk sesaat. Sepertinya sudah cukup untuk aktivitas hari ini. Gue sudah merasa cukup lelah dan ingin segera pulang dan tidur karena besok masih harus mengikuti ospek.

“Pulang, Lan?”

Gue memutarkan badan ke belakang, ke arah asal suara. Ternyata suara tersebut berasal dari Saras. Terlihat dari penampilannya sepertinya dia mau pulang, sama seperti gue. Dia sudah tidak mengenakan seragam kafe yang tadi dikenakannya saat bertabrakan dengan gue.

“Iya, nih.” balas gue. “Lo Saras, kan?”

“Iya.” jawabnya. Sesaat kemudian, raut wajahnya mendadak berubah seolah tersadar akan sesuatu. “Kita belum pernah kenalan, ya?”

“Kayaknya…”

Saras mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman. “Saras.”

Gue raih tangannya serta menyalaminya. “Bulan.”

Gue masih penasaran. Sepertinya gue pernah melihat dia entah kapan dan di mana. Mungkin ini saat yang tepat untuk bertanya.

“Kita pernah ketemu sebelumnya, gak?” tanya gue.

“Hmm, mungkin lo pernah liat gue pas di rumah gue.”

“Rumah?” gue memasang ekspresi heran, tentunya. “Kok gue bisa ada di rumah lo???”

Saras terkekeh. “Gue kakaknya Beno, Lan.”

“Oh…”

Hah?

“HAH?!?!” saking terkejutnya gue berteriak sampai-sampai sedikit mengejutkan Saras.

“Kaget?”

“Pastilah!” seru gue. “Gak nyangka kalo Beno bisa punya kakak secantik lo…” seperti biasa, dengan bodohnya gue mengucapkan apa yang ada di pikiran gue saat terkejut.

Saras tertawa. “Bisa aja lo.”

Kok bisa-bisanya gue baru tahu kalau Beno punya kakak secantik ini. Gue memang tahu kalau Beno mempunyai seorang kakak perempuan yang berbeda setahun darinya, tapi dia memang jarang menceritakan tentang kakaknya ini. Seingat gue, kakaknya sudah tidak tinggal di rumah semenjak SMA karena dia bersekolah di luar kota. Selain dari itu, gue tidak mengetahui apa-apa tentang kakaknya.

“Terus… lo pernah liat gue di rumah lo?” tanya gue.

Saras mengangguk. “Sempet pas gue lagi di rumah sekilas ngeliat lo lagi nongkrong sama Beno sama yang lainnya juga.”

Gue manggut-manggut. “Hoo, sekarang lo udah di Bandung lagi, kak?”

“Iya, gue kuliah di sini soalnya.” jawabnya. “Btw, gak usah manggil ‘kak’ lagi. Kita seumuran, kan? Beno pernah cerita.”

“Iya, sih…” gue menggaruk-garuk pelipis yang tidak gatal. “Okedeh, Ras.”

“Yaudah, gue pulang dulu, ya.” kemudian Saras mulai melangkah melewati gue dan menuju ke parkiran.

“Lo naik apa ke sininya?”

Saras kembali menoleh ke arah gue. “Motor.”

“Hoo, kirain gak bawa kendaraan.”

“Kenapa emangnya?”

“Ya, kalo gak bawa, biar gue anter aja.”

Bukan, gue bukannya sedang mencoba merayunya. Karena gue sudah terbiasa ke rumah Beno dan karena Beno adalah teman gue, gue rasa bukanlah hal yang buruk jika gue menawarkan tumpangan kepada kakaknya. Bukanlah hal yang aman jika seorang cewek cantik pulang sendirian menaiki angkutan umum pada jam sebelas malam.

“Lain kali, mungkin.” balas Saras tersenyum.

Setelah berpisah dengan Saras di parkiran, gue mengarahkan si Meong menuju ke rumah. Sepanjang perjalanan gue kembali memikirkan tentang pertemuan tak terduga dengan Saras tadi.

Dan tiba-tiba…

Gue tersadar akan titik terang dari pertanyaan yang terus bergulir di kepala gue siang tadi.
Diubah oleh IchsanXzero 17-09-2021 07:04
gayosk8
lem.beurit
daniadi123
daniadi123 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Tutup