Sayup-sayup terdengar lembut lantunan tembang sunda melepas kepergian kami.
Perlahan kendaraan kami menjauh dari Villa yang sudah memberikan kenangan tak terlupakan untukku dan Dwi.
Cuaca di Subang yang sejuk ditambah pemandangan alamnya yang masih asri membuat aku sedikit melupakan kejadian semalam.
"Ma nanti mampir ke tempat oleh-oleh ya. Ima mau membelikan sesuatu untuk Eyang" pintaku memecah keheningan di mobil.
"Iya, mama juga mau beli oleh-oleh untuk tetangga dan teman pengajian" sahut tante sambil terus mengunyah kwaci yang menjadi teman favoritnya di sepanjang perjalanan.
"Pak.. berhenti disitu saja!" Pekik Dwi ketika melihat toko makanan yang di plangnya tertulis salah satu cemilan favoritnya.
"Pasti mau beli mie lidi super pedas! Awas sakit perut!!" Cibirku ke arahnya.
Dwi tersenyum jahil sambil mengerlingkan matanya ke arahku.
"Jangan berisik Mba! Kalau Ibu tau nanti aku bisa kena marah!" Bisiknya di telingaku.
Akhirnya kami berhenti sejenak di sebuah toko yang menjual oleh-oleh khas Subang. Di depan toko, tampak abang penjual balon sedang menjajakan balonnya yang berbentuk hewan.
Sambil menggendong Gendis, aku memilih buah tangan yang akan aku berikan untuk Eyang.
"Eh.. Eh" celoteh Gendis sambil menunjuk ke arah balon.
"Itu namanya balon sayang. Gendis mau beli balon?" Tanyaku pada putriku.
Baru saja aku selesai berbicara.
"Wuuusshh..!!"
Angin kencang menghempas sepeda penjual balon berikut barang dagangannya hingga roboh ke arah jalan. Beberapa balonnya terlihat beterbangan ke udara.
Mata putriku membeliak dan langsung menjerit histeris ketika salah satu balon yang berbentuk
tiger terbang mendekat menghampiri dirinya.
"Huuaa.. Hiikkks.. Hiiks !" Tangisan putriku mengundang beberapa mata pengunjung menoleh ke arah kami.
Dengan sigap, penjual balon segera berlari dan menangkap balon yang sudah membuat anakku menangis ketakutan.
"Punten Bu, balon parantos ngais budakna" tuturnya dengan sopan santun disertai penyesalan yang terlihat jelas dari wajahnya.
"Ngga apa-apa Bang, namanya juga tidak sengaja" balasku dengan ramah sambil terus berusaha menenangkan tangisan Gendis.
"Haturnuhun Bu" tuturnya sambil menganggukkan kepala tanda pamit.
Kuperhatikan ujung mata abang balon melirik sekilas ke arah putriku sambil menyunggingkan senyum misterius.
Aku terus mengamati sikap penjual balon yang gerak geriknya terlihat begitu mencurigakan.
"Ima!! Kamu sudah selesai belanjanya atau belum?" Tanya tante sambil mengamati mataku.
"Su-sudah ma! Ini baru Ima mau bayar." Jawabku gelagapan seperti pencuri yang sedang tertangkap basah.
Dengan cepat, aku menuju ke kasir untuk membayar makanan yang sudah kubeli.
Selesai berbelanja oleh-oleh, kamipun segera melanjutkan perjalanan.
Setelah menempuh perjalanan selama hampir tiga jam lebih, akhirnya kami tiba dengan selamat di rumah.
***
Aku menghempaskan tubuhku di atas sofa. Badanku terasa letih. Baru saja aku memejamkan mataku terdengar suara pria mengucapkan salam dan memanggil namaku.
Aku segera membalas ucapan salamnya, ujung mataku melihat dari balik tirai jendela ternyata itu suara Bang Adi yang sedang berdiri di luar pagar.
Dengan malas, aku bangkit dan menghampiri Bang Adi.
"Ada apa Bang Adi? Tumben nyariin Ima?" Lontarku dengan wajah kurang bersahabat.
"Maaf mama Gendis kalau saya sudah mengganggu waktu istirahatnya. Sudah dua hari ini Eyang sakit dan selalu kecarian Gendis. Kalau mama Gendis tidak keberatan, apa bisa nanti mengajak Gendis untuk datang ke rumah?" Tatapan matanya begitu memohon kepadaku.
Aku memicingkan mataku.
"Memang Eyang sakit apa Bang? Perasaan sebelum Ima berangkat ke Subang, kondisi Eyang baik-baik saja?" Hatiku mulai diselimuti rasa was-was.
"Biasa mama Gendis, sakit jantungnya kambuh lagi. Setiap kali Eyang mengigau yang terucap dari mulutnya hanya nama Gendis. Makanya ketika saya mendengar suara mobil memasuki garasi rumah Ibu Saras, saya segera keluar untuk memastikan apakah Gendis sudah pulang atau belum." Tukas Bang Adi sambil mengetukkan jarinya ke pagar besi.
Aku menghembus nafas pendek dan tersenyum pendek.
"Baik Bang Adi, nanti Ima dan Gendis akan ke rumah Eyang. Tapi Bang Adi tolong tunggu di teras ya! Ima takut kalau masuk ke rumah Eyang sendirian."
"Baik mama Gendis, nanti saya tunggu di teras. Terima kasih banyak ya." Terpampang secercah senyum bahagia dari wajah Bang Adi yang terlihat tirus.
"IMAAA!! Kamu dimana!! Ayo beresin dulu semua pakaian kotormu!" Teriak tante dengan suara melengking.
Dengan bergegas aku segera berlari masuk ke dalam rumah. Jangan sampai aku mendapat ultimatum lagi dari tanteku!
Mataku berkeliling di setiap ruangan, namun tak nampak batang hidung tanteku.
Di kamar tengah kulihat Dwi dan putriku sedang asik bermain boneka. Sedangkan dari kamar utama hanya terdengar suara dengkuran om yang begitu kencang.
"Dimana tanteku?" Di ruang tv dan dapur juga tidak terlihat keberadaannya. Aku celingukan mencari keberadaan sesosok orang yang paling aku takuti.
"Imaa, mama di halaman belakang" suaranya menggema mengaung di setiap sudut ruangan.
Aku segera melangkahkan kakiku melewati dapur dan terlihatlah tanteku sedang mengeluarkan semua pakaian kotor ke dalam mesin cuci.
Dengan langkah ragu aku mendekatinya.
"Ma, Ima boleh tidak..."
Belum juga aku selesai berbicara "TIDAK..!!" Beliau langsung memotong ucapanku.
Untuk beberapa saat, aku menunduk dan mengatupkan bibirku rapat-rapat. Sedari aku kecil, aku paling takut dengan tanteku. Apalagi jika beliau lagi marah. Ucapan yang keluar dari mulutnya sangatlah tajam dan menyakitkan hati.
"Ayo cepat bantu mama beberes!" Perintahnya dengan ketus.
Dengan bimbang, aku memberanikan diri bersuara "ma, sakit jantung Eyang kambuh lagi" wajahku terlihat cemas menunggu jawaban yang keluar dari bibirnya yang sangat tipis.
"Kamu kata siapa?" Matanya melotot seakan bola matanya keluar setelah mendengar ucapanku.
"Tadi Bang Adi kesini ngasih tau kalau Eyang sedang sakit dan ingin sekali bertemu Gendis." Sahutku sambil memainkan jari kakiku di lantai keramik yang kasar.
Expresi wajahnya yang tadi terlihat mengeras, perlahan-lahan melunak. Setelah berpikir sejenak, akhirnya tante mengijinkan aku untuk menjenguk Eyang dengan catatan tidak boleh terlalu lama.
Aku menarik nafas lega.
Dengan cepat aku segera menyiapkan oleh-oleh yang sudah kubeli khusus untuk Eyang.
"Wi, kamu mau nemenin Mba ke rumah Eyang nggak?" Tanyaku sambil berdiri di depan pintu kamarnya.
"Terima kasih Mba!! Kejadian semalam saja hampir bikin aku mati berdiri! Eh sekarang malah disuruh uji nyali di rumah Eyang!" Tukasnya dengan rasa takut yang begitu terlukis jelas di wajahnya yang cantik.
"Mba akui, aura rumah Eyang rasanya memang berbeda. Tapi selama Gendis tidak menjerit ketakutan, bagi Mba tidak masalah!" Tanganku menjulur menggendong putriku yang mulai berjalan tertatih-tatih.
"Ya sudah, Mba ke rumah Eyang dulu ya. Kamu nggak takutkan sendirian di kamar?" Sindirku sambil tersenyum sinis.
"Huuu.. awas kamu Mba!" Sahutnya sambil memajukan bibir dan menjulurkan lidahnya.
***
Siang itu cuaca diluar terasa begitu terik. Pintu pagar rumah Eyang yang biasanya terkunci rapat sekarang tampak terbuka lebar. Kulihat Bang Adi memejamkan matanya di kursi teras sambil ditemani secangkir kopi hitam yang hampir habis.
Bang Adi terpekik kaget ketika aku menepuk bahunya. "Kucing garong!!" Teriaknya dengan wajah terkejut.
Aku tertawa kecil melihat expresi wajahnya yang terlihat lucu.
"Maaf ya Bang Adi kalau sudah menunggu Ima terlalu lama!"
"Nggak apa-apa Mama Gendis! Maaf, tadi saya ketiduran. Ayo masuk, Eyang sudah menunggu di kamarnya."
Ternyata letak kamar Eyang, posisinya tidak terlalu jauh dari ruang tamu. Pintu kamarnya terbuka dan terdengar suara Eyang sedang berbicara dengan seseorang.
Aku mengetuk pintu kamar yang tidak tertutup dan mengucapkan salam.
Terdengar suara pria menjawab salamku tapi itu bukanlah suara Eyang.
"Masuk Ima" suara Eyang terdengar lirih.
Kakiku mulai memasuki kamar Eyang yang begitu luas dan hangat. Aroma minyak kayu putih yang menyengat langsung menyeruak ke dalam indera penciumanku.
Kulihat Eyang sedang duduk bersandar dengan diganjal bantal. Di sebelah kanan tempat tidur terlihat tabung oksigen besar sebagai alat bantu untuk bernafas. Aku terpana melihatnya, separah inikah kondisi Eyang sampai harus menggunakan oksigen?
Di ujung tempat tidur tampak Pak Ali dengan wajah tertunduk sedang memijat telapak kaki Eyang yang terlihat sedikit bengkak. Ia memandang sekilas ke arahku dan tersenyum. Aku pun membalas senyumannya. Pikiranku sangat kalut saat melihat kondisi Eyang yang tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur.
Gendis terlihat mulai gelisah. Bahasa tubuhnya menunjukkan kalau putriku merasa tidak nyaman berada di dalam kamar Eyang. Ia memalingkan wajahnya dan mulai merebahkan kepalanya di bahuku.
"Sini Gendis, ayo duduk samping Eyang" ujarnya sambil meringis kesakitan.
Perlahan aku menghampiri Eyang dan mencium tangannya. Aku duduk di kursi yang sudah disediakan di samping ranjang.
"Eyang ini ada oleh-oleh dari Gendis" sambil kuletakkan buah tangan yang kubawa di atas meja samping tempat tidur.
"Ngapain repot-repot!! Lain kali jangan pernah bawa apa-apa kalau bertandang ke rumah Eyang" pungkas Eyang dengan nafas tersengal-sengal.
"Nggak apa-apa Eyang. Ima tidak merasa direpotkan sama sekali kok" balasku sambil
mengamati rona merah yang terkuras dari wajahnya.
Eyang menatap mataku dalam-dalam dan tersenyum tipis. Ke dua tangannya menjulur ingin menggendong putriku, dengan cepat Gendis menepis tangan Eyang sambil memalingkan wajahnya.
"Aduh.. Eyang ada salah apa sama cantik? Eyangnya kangen tapi malah dcuekkin sama cucunya" kekeh Eyang dengan bersusah payah.
"Sepertinya Gendis sedih melihat Eyang terbaring sakit" ucapku membesarkan hati Eyang.
"Gendis kesini mau ngobatin Eyangkan?" Tanyanya dengan mimik wajah serius.
Seperti biasa aku akan menolak halus permintaannya "Eyang bicara apa sih? Gendis masih kecil! Belum paham hal seperti itu!"
"Siapa bilang cucuku belum paham? Gendis ini anak yang pintar! Li, tolong ambilkan bingkisan di atas meja!" Titah Eyang sambil menunjuk ke meja jati yang terletak di sudut kamar.
Pak Ali segera mengambil barang yang dimaksud dan menyerahkannya pada Eyang.
"Ima, sebentar lagi Gendis ulang tahunkan? Maaf Eyang tidak bisa mengasih apa-apa. Hanya ini kenang-kenangan yang bisa Eyang berikan untuk cucu tersayang." Dengan tangan gemetar, ia mengulurkan sebuah goodie bag ke dalam genggamanku.
Aku menyambut hadiah yang Eyang berikan untuk Gendis . "Terima kasih Eyang, harusnya tidak usah repot-repot! Gendis tidak butuh hadiah. Cukup melihat Eyang sehat saja sudah bahagia" tuturku sambil membelai kepala putriku.
"Eyang juga bahagia bisa memberikan hadiah tas ke Gendis. Cucuku ini nantinya akan tumbuh menjadi anak yang pintar. Minat belajarnya tinggi dan ia gemar menuntut ilmu!" Wajahnya yang pucat berubah sumringrah.
Rasa kekaguman terlukis jelas dari wajahnya yang terlihat pias. Eyang mengulurkan tangannya dan membelai rambut ikal putriku dengan penuh rasa sayang.
"Kemarin di hotel banyak yang ajak cucu Eyang kenalan ya?" Terlihat senyum di ujung bibirnya sambil menarik nafas pelan.
Aku terpana mendengar ucapan Eyang.
"Tenang saja.
Mereka tidak berniat jahat.
Mereka cuma ingin kenalan sama Gendis!!" Selorohnya sambil memegang dadanya yang mungkin terasa nyeri.
"Eyang tolong jangan banyak berbicara dulu sampai kondisinya pulih betul" Timpal Pak Ali yang dari tadi hanya terdiam.
"Mumpung masih ada kesempatan Li! Eyang mau puas-puasin bicara sama Ima dan memandang cucu Eyang yang cantik. Walau hanya bisa melihat rambutnya saja" mulutnya melengkung membentuk senyuman.
Pak Ali menundukkan wajahnya, ia tidak membantah ucapan Eyang.
"Ima, Eyang ada permintaan untukmu. Kalau Eyang sudah tiada, Eyang minta kamu untuk segera kembali ke suamimu. Tolong maafkan dia!!" Eyang memandang ke arah dinding kamar dengan tatapan kosong.
Ia menghela nafas berat dan melanjutkan ucapannya.
"Tolong dijaga cucu Eyang baik-baik! Gendis membutuhkan kamu untuk selalu disampingnya, untuk terus mendampinginya!! Jangan pernah menyerah mengurus Gendis. Memang tidak mudah tapi Eyang yakin kamu pasti sanggup!!"
"Satu lagi, walau Eyang sudah meninggal, rumah ini selalu terbuka untuk kamu dan Gendis. Jangan pernah sungkan untuk bertandang kemari!" Wajah teduhnya membuat hatiku bergejolak berusaha menahan butiran air mata agar tidak jatuh dari pelupuk mataku.
"Eyang jangan ngomong gitu dong! Eyang harus semangat! Insya Allah Eyang panjang umur" suaraku bergetar hebat menahan tangis.
"Ndak bisa ndhuk! Waktu Eyang sudah dekat. Eyang senang sekali bisa mengenal Ima dan Gendis."
Ucapan tulus Eyang membuat air mataku mengembang. Tanpa kuadari, air mataku perlahan jatuh membasahi pipi.
Aku memalingkan wajah sambil mengatur nafas. Aku berusaha menguasai hati dan perasaan yang gundah gulana.
"Ima.." suara lembutnya terdengar menggaung di telingaku.
"Saran Eyang, jangan pernah Gendis diasuh oleh orang lain! Semua yang mengasuh Gendis akan dibikin sakit oleh anakmu. Cuma kamu yang bisa mendampinginya. Seandainya Gusti Allah berwelas kasih, ingin sekali rasanya Eyang bisa menemani Gendis berproses!" Suaranya lirih menahan sakit setiap kali berbicara.
Hatiku semakin remuk melihat penderitaan orang yang begitu aku kasihi.
"Ndis marahin Eyang tuh! Ucapan Eyang masa ngaco!!" Ketusku untuk nenghilangkan rasa sedih.
"Maafkan Eyang karena hanya bisa menemani Gendis sesingkat ini. Eyang belum bisa berbuat banyak untuk cucu kesayangan" serunya pelan sambil terus mengelus punggung Gendis.
Gendis mulai rewel. Sepertinya putriku merasakan apa yang tengah Eyang rasakan. Ucapan perpisahan dari orang terkasihnya. Orang yang begitu tulus menyayanginya.
Semakin lama tangisan Gendis semakin kencang. Tangisannya terdengar pilu membuat hatiku tertusuk.
Aku yang tidak tega mendengar tangisannya segera pamit undur diri dari hadapan Eyang.
"Ima pamit ya Eyang. Besok Ima dan Gendis kemari lagi untuk menjenguk Eyang. Sementara ini, Ima minta Eyang untuk istirahat total. Agar kesehatan Eyang cepat pulih." Otot rahangku terasa mengejang saat menasehati Eyang.
Ketika aku berdiri dari kursiku, Eyang meraih tanganku. Mata kami saling beradu. Perpisahan.. itu yang tengah kami rasakan.
"Ima tolong camkan pesan Eyang! Semua ini demi kebaikan dirimu sendiri. Melembutlah hatimu Ima" perlahan-lahan Eyang melepaskan genggamannya dari tanganku.
Aku menggangguk lemah berusaha menyenangkan hatinya.
Dengan perasaan gugup aku meninggalkan kamar Eyang. Pikiranku melayang membayangkan kemungkinan terburuk yang akan aku dengar.
***
Sudah satu minggu berlalu. Alhamdulillah kesehatan Eyang berangsur pulih.
Setiap hari kuhabiskan waktu bercengkrama di rumah Eyang. Wajah beliau selalu berbinar ceria setiap melihat kedatangan aku dan Gendis. Namun tidak demikian halnya dengan Gendis. Putriku selalu menangis setiap melihat wajah Eyang. Gendis juga menolak ketika Eyang ingin menyentuh tubuhnya.
Hingga suatu hari, Eyang mendapat telepon dari kliennya yang di Surabaya. Kliennya mengiba pertolongan dari Eyang. Entah masalah apa yang tengah dihadapinya sampai harus mengemis ke Eyang.
Aku dan istrinya mati-matian berusaha membujuk Eyang untuk menolak keinginan kliennya. Bagi kami kesehatan Eyang lebih penting dari pada pekerjaannya!
"Pak, jangan sampai Bapak anfal karena naik pesawat. Kondisi Bapak tidak memungkinkan untuk bepergian jauh." Istrinya memberi saran dengan raut wajah cemas.
Namun Eyang begitu keras kepala, beliau kekeuh dengan pendiriannya. Ternyata Eyang telah mengiyakan permintaan kliennya dan tiga hari lagi beliau akan segera bertolak ke Surabaya.
Kuperhatikan raut wajah istri Eyang menunjukkan rasa kecewa dengan keputusan yang Eyang ambil.
"Bismillah, niatku ini baik ingin menolong orang yang sedang kesusahan. Semoga Gusti Allah meridhoi niatku" ucap Eyang tulus.
***
"Ma, Ima.. ayo bagun" aku yang sedang tertidur nyenyak mendadak terbangun karena mendengar suara tante yang begitu jelas di telingaku.
Aku mengerjapkan ke dua mataku, mencoba memulihkan kesadaranku.
"Ada ma? Sekarang jam berapa?" Tanyaku dengan suara parau.
"Sekarang jam empat pagi. Eyang.." suara tante bergetar dan matanya memerah menahan tangis.
"Eyang kenapa??" Tanyaku panik. Dengan sigap, aku segera duduk di ranjang tempat tidur.
"Tadi pukul tiga malam, istri Eyang ke rumah. Beliau memberitahu kalau Eyang kolaps di mobil saat perjalanan menuju ke bandara!"
"Sekarang bagaimana kondisi Eyang?" Ucapku terbata-bata menahan tangis.
"Pak Ali langsung membawa Eyang ke RS. Alhamdulillah sekarang beliau sudah siuman dan sekarang dalam perjalanan pulang ke rumah."
"Loh kenapa dibawa pulang ma?"
"Itu permintaan Eyang. Beliau ingin meninggal di rumah bukannya di RS!"
Aku terperanjat mendengar ucapan tanteku. Meninggal?? Belum sempat aku berkata, suara tangisan Gendis mengagetkan kami.
Putriku terbangun dan langsung memeluk diriku. Ia menangis tersedu-sedu. Aku langsung menenangkan dirinya.
"Gendis mimpi apa? Kenapa tiba-tiba menangis?" Tatapku keheranan melihat sikapnya.
"Nguing..Nguuinngg..!" Terdengar suara sirine Ambulance memasuki pekarangan rumah Eyang.
Tanpa banyak bicara, tanteku segera berlari keluar ruangan, meninggalkan aku yg masih terdiam terpaku.
"Eyang..." desisku lirih.
Tak lama kemudian terdengar suara tante memanggil namaku.
"Ima, tadi Eyang bilang ke mama kalau beliau ingin melihat Gendis untuk terakhir kalinya." Ujarnya dengan nafas ngos-ngosan.
Aku terdiam. Ada rasa bimbang menyusup di benakku.
"Ayo Ma!! Cepaat!!" Bentak tanteku diiringi suara tangisan Gendis yang semakin bertambah kencang.
Hatiku semakin bertambah ragu. Apa yang akan terjadi kalau Gendis melihat Eyang untuk yang terakhir kalinya? Aku takut kalau putriku semakin histeris.
"Maaf ma, Ima tidak bisa mengabulkan permintaan Eyang. Mama lihatkan kalau Gendis rewel banget. Apalagi nanti kalau bertemu Eyang?"
Tante menarik nafas dan menghela berat. Ia menatap putriku "Sebenarnya mama juga tidak tega mendengar tangisan Gendis!" ujarnya setengah berbisik.
"Tolong sampaikan permintaan maaf Ima ya ma untuk Eyang dan keluarganya."
Tante menggangukkan kepalanya dan segera menuju rumah Eyang.
Kulihat di luar rumah mulai banyak kendaraan yang berdatangan. Sepertinya murid-murid pengajian Eyang sudah berkumpul untuk mendoakan kesembuhan beliau.
Sayup-sayup terdengar jelas suara orang membaca surat Yasin.
"Eyang, Ima mohon bertahanlah! Begitu banyak orang yang sayang dan mendoakan kesembuhanmu" bisikku pelan.
Tanteku terlihat sibuk membantu di kediaman Eyang. Sedangkan aku? Hanya berdiam diri di rumah berusaha menenangkan tangisan Gendis yang tidak juga berhenti.
Tepat pukul sepuluh pagi. Putriku meraung, menjerit histeris! Matanya mendelik menatap ke arah pintu kamar. Tangisannya seperti sebuah petanda.
Kulihat tante menghampiriku. Diiringi isak tangis, beliau menyampaikan berita yang tidak ingin aku dengar. Tepat pukul sepuluh, Eyang berpulang ke hadapan Pencipta.
"Innalillahi Wainnailahi Ro'jiuun" hanya itu yang terucap dari bibirku.
"Nanti selesai shalat Jum'at, jenazah Eyang akan segera dibawa ke Solo untuk di makamkan disana sesuai dengan permintaan terakhirnya."
Pandanganku terasa nanar. Lantai yang kupijak serasa kosong. Aku menangis sejadi-jadinya dalam hati.
Sirine Ambulance terdengar mengaum, dengan langkah gontai aku menatap kepergian Eyang untuk yang terakhir kalinya dari halaman rumah.
Aku memejamkan mataku erat. Hatiku terasa sakit. Aku berusaha menahan air mata yang berdesakkan berusaha keluar dari pelupuk mataku.
"Selamat jalan Eyang, semoga Allah menerima semua amal ibadahmu" ucapku terisak-isak menangisi kepergian Eyang.
Bersambung