- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 19:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#44
Quote:
Original Posted By benbela►
Awal petaka ini dimulai sejak beberapa hari lalu.
Malam itu, kami melaju kencang menyusuri sungai Barito menuju arah hulu dengan tiga buah kelotok. Di malam buta, bising knalpot segera menderu-deru, bersahut-sahutan dengan suara binatang malam yang mengawasi kami dari balik hutan angker yang tumbuh lebat di kiri-kanan sungai.
Kami memang sengaja bergerak saat langit telah gelap, menghindari sergapan Polair yang semakin ganas menangkapi para penambang emas liar dalam beberapa bulan terakhir.
Hanyalah orang gila, putus asa dan ingin bunuh diri saja yang berani melintasi sungai Barito di malam hari, apalagi di musim kemarau sekarang ini. Batu-batu sungai yang tajam bisa muncul tiba-tiba dan merobek badan perahu, speed boat dan kelotok.
Bila terjatuh di sungai, orang paling pandai berenang sekali pun takkan lepas dari sergapan buaya, ikan tapah atau ular raksasa.
Belum lagi cerita tentang hantu banyu yang kerap membuat pusaran air agar perahu tenggelam, membuat bulu kuduk siapa pun merinding.
Dan memang, musim kemarau adalah saat paling baik buat menambang emas di bantaran sungai. Pasir-pasir sungai yang berisi butiran emas akan jauh lebih mudah digapai dibandingan saat musim air dalam.
Di hulu sana, hanya bermodal dulang saja penduduk kampung bisa mendapatkan emas 1 gram dalam sehari. Apalagi kami yang menggunakan mesin, tentu saja hasilnya lebih besar.
Kelompok kami berjumlah 10 orang, dipimpin kapteng Anang. Kapten Anang ini sudah lebih dari 20 tahun bekerja sebagai penambang emas liar. Kemampuannya dalam membaca jalur emas di bantaran sungai sangat kami andalkan.
Kapten Anang berada di kelotok tengah, bersamaku dan seorang lagi yang bernama Dayat. Dayat ini usianya hanya selisih dua tahun diatasku dan sudah punya dua anak. Berkaca mata, ceking, selalu pakai baju Hem. Selain Dayat juga ada mang Muksin si juru mudi.
Kelotok paling depan ada tiga orang, dan paling belakang juga ada tiga orang. Selain membawa mesin penyedot, pipa paralon serta alat tambang lainnya, kami juga membawa bekal untuk 10 hari kedepan.
Tiga buah kelotok trus beriringan, kadang melaju dan kadang melambat menyesuaikan alur sungai. Baru saja mau terlelap di dalam badan kelotok, tiba-tiba Dayat mengguncang badanku. Nafasnya memburu dan wajahnya pucat. Kacamata di hidungnya yang pesek melorot menyentuh bibir.
"Mid... Hamid... Bangun. Ada bahaya !"
Tiba-tiba saja ngantukku hilang begitu mendengar bahaya. Aku segera meraih Mandau yang ada di samping. Kulihat, wajah Dayat tegang dan matanya melotot dengan tubuh gemetaran.
"Bahaya !? Dimana ?"
"U-ular...." ucap Dayat menunjuk ke badan sungai.
Aku segera melihat kearah sorotan cahaya senter Dayat. Benar saja, seekor ular berwarna hitam tengah menyeberangi sungai. Cukup besar, mungkin panjangnya sekitar 3 meter.
"Ah...cuman ular nyebrang sungai. Bahaya apanya !? " kataku kesal.
"Tapi, Mid. Ular itu nyeberang dari sisi kanan. Kamu tahu kan artinya ?"
"Kau ini terlalu percaya takhayul." seruku sambil terus melirik ular yang tampak timbul tenggelam diseret arus.
Memang sudah jadi kepercayaan orang di daerahku, apabila ada ular menyeberang dari sisi kanan saat melakukan perjalanan baik darat maupun sungai, adalah pertanda buruk. Sebaliknya, bila dari sisi kiri adalah pertanda baik.
"Hamid, ada baiknya kita ikuti petuah orang tua jaman dulu. Sebaiknya kau bangunkan kapten dan minta putar balik saja." desak Dayat dengan penuh kecemasan.
"Kau ini ada-ada saja. Sudah sana, kembali berjaga di haluan. Nanti gantian."
"Ada apa ribut-ribut ?" Suara berat kapten Anang dari arah belakang mengangetkan kami. Perdebatan kecilku dengan Dayat berhenti seketika.
"A-anu kapten. Ada ular menyeberang dari arah kanan. Pertanda buruk, sebaiknya kita putar balik saja." cerocos Dayat bersemangat.
"Kau ini ada-ada saja. Sudah anak 2 masih percaya takhayul." Kapten Anang menghardik dan matanya melotot.
Dayat tampak kecewa, lalu merangkak hati-hati ke arah haluan tempatnya berjaga.
Di balik kemudi, mang Muksin terlihat tertawa melihat tingkah Dayat yang ketakutan. Diputarnya setir kemudi ke kiri dan ke kanan sehingga klotok pun bergoyang.
Duuk...!
"Aduh !" seru Dayat kesakitan. Ia kemudian menoleh ke belakang dan mengepalkan tinju ke arah mang Muksin.
"Ha...ha...ha..."
Mang Muksin tertawa semakin kencang, sehingga aku dan kapten pun ikutan tertawa.
Di haluan, Dayat terlihat kesal dan menggerutu tidak jelas.
Suara tawa kami segera terhenti ketika klotok paling depan bergerak melambat.
Di atas atap, disorot lampu kelotok yang diarahkan mang Muksin, mang Mursid terlihat menyilang-nyilangkan tangan ke udara. Mang Muksin pun memelankan laju kelotok dan merapat ke kelotok depan.
"Mungkin kerusakan mesin." kata Kapten Anang dan bergegas ke haluan. Aku pun segera menyusul di belakang.
"Ada apa?" tanya kapten Anang.
"Ada mayat, kapten." balas mang Mursid.
"Mayat ?" Tanpa menungu jawaban, kapten Anang segera melompat dari haluan ke atap kelotok depan.
Aku dan Dayat juga langsung menyusul, sementara mang Muksin berusaha mensejajarkan kelotok. Tidak berapa lama, kelotok paling belakang juga sudah merapat.
Malam itu, kami semua geger dengan penemuan mayat berbentuk tidak karuan yang mengambang di tengah sungai. Kami tak ada yang berani untuk mengangkatnya ke dalam klotok.
Dengan masing-masing senter di tangan, kami menyorot mayat yang terombang-ambing di terpa gelombang dalam posisi tengkurap.
Jasadnya penuh lendir seperti ingus, mungkin karena terlalu lama di dalam sungai.
Baunya sangat busuk menusuk hidung, sepertinya sudah mati berhari-hari. Aku saja sampai muntah berkali-kali karena tak kuat. Begitu pula Dayat dan lainnya. Di antara kami, hanya kapten Anang yang terlihat paling tenang.
"Aneh kali bentuk ni mayat, kapten. Coba kau tengok." ujar si Lai, orang batak yang sudah lama berdiam di kampung kami.
Aku tak tahu nama aslinya. Karena ia kerap memanggil orang dengan sebutan "Lai", maka orang kampungku pun memanggilnya Lai.
"Aneh bagaimana ?" tanya kapten mengernyitkan dahi. Kerah baju ia gunakan untuk menutup hidung.
"Badannya remuk macam tak punya tulang." sahut si Lai.
"Kau sendiri punya tulang gak?" tanya kapten lagi.
"Tulangku kutinggal di Sumatera. Opungku juga kutinggal. Opung doli dan opung boru. Repotlah aku kalau mereka juga ikut. Tak sanggup kukasih makan. Ha...ha...ha..."
Si Lai terbahak dan kami semua terbahak. Hanya Dayat yang tampak gelisah.
Gelak tawa kami berubah jadi muntah begitu bau busuk kembali menyengat hidung.
Setelah keadaan mulai tenang, si Lai mencoba mengangkat bagian kaki mayat dengan dayung.
"Tengoklah kapten. Kakinya remuk macam habis keluar dari penggilingan padi. Tulang badannya juga hancur macam ditumbuk lesung."
Kapten terdiam, berjongkok di sisi kelotok dan memperhatikan mayat itu baik-baik.
"Iya...mayat ini memang aneh. Bukan mayat orang tenggelam seperti biasanya." ucap kapten dengan suara datar.
"Kalau dilihat dari pakaian, sepertinya mayat orang perusahaan. Tidak ada orang kampung dengan pakaian seragam seperti itu. Sepatunya juga sepatu safety." timpalku.
Kapten mengangguk tanda setuju.
"Kapten...ular tadi. Ular tadi adalah pertanda. Sebaiknya kita putar balik saja kapten. Sepertinya ada hal buruk yang bakal menimpa kita."
Cemas, Dayat terlihat khawatir. Wajahnya pucat pasi dan tubuhnya gemetaran. Kacamatanya kembali hampir lepas.
Berdiri, kapten Anang tampak tak senang dengan ucapan Dayat. Ia melotot dan menatap mata Daya dalam-dalam, membuat nyali Dayat semakin ciut.
"Kalau kau mau pulang, pulang saja sendiri. Silahkan berenang !" kapten Anang mulai gusar.
"Tahukah kau, sudah berpuluh juta modalku habis untuk penambangan kali ini. Enak saja kau minta pulang, huh !"
Dayat tertunduk. Badannya meringkuk dalam sarung kumal yang ia kenakan.
"Kapten, gimana ini mayat?" seloroh Lai, "kita angkatkah? Masukkan dalam kelotok. Tak tega aku melihatnya."
"Sudah, biarkan saja hanyut terbawa arus. Nanti orang di hilir yang mengurusnya. Kita lanjutkan perjalanan sebelum kena razia Polair."
Tanpa membantah, kami langsung melaksanakan perintah kapten. Kami kembali ke kelotok masing-masing. Kelotok yang tadinya rapat dan saling bertaut, kembali berpisah.
Namun, baru saja menyalakan mesin, pekikan suara Dayat membuat kami terkejut.
"Kapten, di sana. Ada mayat lagi !" Dayat berteriak dari arah haluan.
Mataku segera mengarah ke sorotan cahaya senter Dayat. Benar saja, ada mayat terapung di sungai, tidak jauh dari kelotok kami. Berseragam hijau, menggunakan rompi hitam dan mengenakan sepatu safety.
"Muksin, arahkan kelotok mendekat !" Kapten Anang memberi perintah.
Kelotok kami bergerak pelan melawan arus, mendekat ke arah mayat yang mengapung. Dua kelotok lainnya juga segera menyusul.
Menggunakan dayung, aku dan kapten membalikan mayat itu untuk melihat wajahnya.
Begitu terlihat wajahnya, aku langsung muntah di tengah sungai. Hidungku kembang kempis dan mataku berair. Baunya yang busuk ditambah bentuk wajahnya yang tidak karuan, membuat perutku menjadi mual.
Mayat itu melotot dan mulutnya menganga. Sepertinya mati dalam ketakutan. Badannya juga penuh lendir seperti mayat yang tadi.
Kulirik, kapten Anang masih tetap tenang, memperhatikan mayat itu baik-baik. Raut wajahnya berubah, seperti memikirkan sesuatu.
"Kenapa kap?" tanyaku penasaran.
Kapten Anang terdiam, terlihat ragu.
"Mayat ini aneh."
"Aneh bagaimana ?"
Hening. Kapten Anang masih terdiam.
"Mayat ini...bukan mayat warga lokal."
"Maksudnya?"
"Ini mayat orang china. China daratan. Bukan china melayu. Bukan pula china banjar yang jualan di pasar. Ini adalah orang china yang membuka tambang batu bara di hulu sana."
Kuperhatikan, apa yang dikatakan kapten memang benar. China peranakan dan china daratan memang terlihat berbeda. Sulit dijelaskan, tapi mudah sekali membedakan mana china lokal dan mana china daratan.
Memang, beberapa tahun terakhir banyak china daratan yang datang kemari untuk membuka dan bekerja di tambang.
"Kapten, lihat rompinya !" seru Dayat.
Aku dan kapten langsung memperhatikan rompi itu. Bukan rompi biasa. Seperti rompi yang kerap dipakai Brimob. Banyak kantung wadah menyimpan magazin peluru.
"Militer china !" pekik kapten Anang kaget. Hampir saja ia terjatuh ke sungai kalau tak kuraih bajunya.
"Untuk apa militer China masuk ke pedalaman sini ?" tanya Dayat dengan raut wajah gusar.
Aku dan kapten saling pandang. Benar juga. Untuk apa militer China ada di sini, di hulu Barito, di pedalaman Kalimantan ?
...bersambung...
Bab 3 : Mayat Misterius
Awal petaka ini dimulai sejak beberapa hari lalu.
Malam itu, kami melaju kencang menyusuri sungai Barito menuju arah hulu dengan tiga buah kelotok. Di malam buta, bising knalpot segera menderu-deru, bersahut-sahutan dengan suara binatang malam yang mengawasi kami dari balik hutan angker yang tumbuh lebat di kiri-kanan sungai.
Kami memang sengaja bergerak saat langit telah gelap, menghindari sergapan Polair yang semakin ganas menangkapi para penambang emas liar dalam beberapa bulan terakhir.
Hanyalah orang gila, putus asa dan ingin bunuh diri saja yang berani melintasi sungai Barito di malam hari, apalagi di musim kemarau sekarang ini. Batu-batu sungai yang tajam bisa muncul tiba-tiba dan merobek badan perahu, speed boat dan kelotok.
Bila terjatuh di sungai, orang paling pandai berenang sekali pun takkan lepas dari sergapan buaya, ikan tapah atau ular raksasa.
Belum lagi cerita tentang hantu banyu yang kerap membuat pusaran air agar perahu tenggelam, membuat bulu kuduk siapa pun merinding.
Dan memang, musim kemarau adalah saat paling baik buat menambang emas di bantaran sungai. Pasir-pasir sungai yang berisi butiran emas akan jauh lebih mudah digapai dibandingan saat musim air dalam.
Di hulu sana, hanya bermodal dulang saja penduduk kampung bisa mendapatkan emas 1 gram dalam sehari. Apalagi kami yang menggunakan mesin, tentu saja hasilnya lebih besar.
Kelompok kami berjumlah 10 orang, dipimpin kapteng Anang. Kapten Anang ini sudah lebih dari 20 tahun bekerja sebagai penambang emas liar. Kemampuannya dalam membaca jalur emas di bantaran sungai sangat kami andalkan.
Kapten Anang berada di kelotok tengah, bersamaku dan seorang lagi yang bernama Dayat. Dayat ini usianya hanya selisih dua tahun diatasku dan sudah punya dua anak. Berkaca mata, ceking, selalu pakai baju Hem. Selain Dayat juga ada mang Muksin si juru mudi.
Kelotok paling depan ada tiga orang, dan paling belakang juga ada tiga orang. Selain membawa mesin penyedot, pipa paralon serta alat tambang lainnya, kami juga membawa bekal untuk 10 hari kedepan.
Tiga buah kelotok trus beriringan, kadang melaju dan kadang melambat menyesuaikan alur sungai. Baru saja mau terlelap di dalam badan kelotok, tiba-tiba Dayat mengguncang badanku. Nafasnya memburu dan wajahnya pucat. Kacamata di hidungnya yang pesek melorot menyentuh bibir.
"Mid... Hamid... Bangun. Ada bahaya !"
Tiba-tiba saja ngantukku hilang begitu mendengar bahaya. Aku segera meraih Mandau yang ada di samping. Kulihat, wajah Dayat tegang dan matanya melotot dengan tubuh gemetaran.
"Bahaya !? Dimana ?"
"U-ular...." ucap Dayat menunjuk ke badan sungai.
Aku segera melihat kearah sorotan cahaya senter Dayat. Benar saja, seekor ular berwarna hitam tengah menyeberangi sungai. Cukup besar, mungkin panjangnya sekitar 3 meter.
"Ah...cuman ular nyebrang sungai. Bahaya apanya !? " kataku kesal.
"Tapi, Mid. Ular itu nyeberang dari sisi kanan. Kamu tahu kan artinya ?"
"Kau ini terlalu percaya takhayul." seruku sambil terus melirik ular yang tampak timbul tenggelam diseret arus.
Memang sudah jadi kepercayaan orang di daerahku, apabila ada ular menyeberang dari sisi kanan saat melakukan perjalanan baik darat maupun sungai, adalah pertanda buruk. Sebaliknya, bila dari sisi kiri adalah pertanda baik.
"Hamid, ada baiknya kita ikuti petuah orang tua jaman dulu. Sebaiknya kau bangunkan kapten dan minta putar balik saja." desak Dayat dengan penuh kecemasan.
"Kau ini ada-ada saja. Sudah sana, kembali berjaga di haluan. Nanti gantian."
"Ada apa ribut-ribut ?" Suara berat kapten Anang dari arah belakang mengangetkan kami. Perdebatan kecilku dengan Dayat berhenti seketika.
"A-anu kapten. Ada ular menyeberang dari arah kanan. Pertanda buruk, sebaiknya kita putar balik saja." cerocos Dayat bersemangat.
"Kau ini ada-ada saja. Sudah anak 2 masih percaya takhayul." Kapten Anang menghardik dan matanya melotot.
Dayat tampak kecewa, lalu merangkak hati-hati ke arah haluan tempatnya berjaga.
Di balik kemudi, mang Muksin terlihat tertawa melihat tingkah Dayat yang ketakutan. Diputarnya setir kemudi ke kiri dan ke kanan sehingga klotok pun bergoyang.
Duuk...!
"Aduh !" seru Dayat kesakitan. Ia kemudian menoleh ke belakang dan mengepalkan tinju ke arah mang Muksin.
"Ha...ha...ha..."
Mang Muksin tertawa semakin kencang, sehingga aku dan kapten pun ikutan tertawa.
Di haluan, Dayat terlihat kesal dan menggerutu tidak jelas.
Suara tawa kami segera terhenti ketika klotok paling depan bergerak melambat.
Di atas atap, disorot lampu kelotok yang diarahkan mang Muksin, mang Mursid terlihat menyilang-nyilangkan tangan ke udara. Mang Muksin pun memelankan laju kelotok dan merapat ke kelotok depan.
"Mungkin kerusakan mesin." kata Kapten Anang dan bergegas ke haluan. Aku pun segera menyusul di belakang.
"Ada apa?" tanya kapten Anang.
"Ada mayat, kapten." balas mang Mursid.
"Mayat ?" Tanpa menungu jawaban, kapten Anang segera melompat dari haluan ke atap kelotok depan.
Aku dan Dayat juga langsung menyusul, sementara mang Muksin berusaha mensejajarkan kelotok. Tidak berapa lama, kelotok paling belakang juga sudah merapat.
Malam itu, kami semua geger dengan penemuan mayat berbentuk tidak karuan yang mengambang di tengah sungai. Kami tak ada yang berani untuk mengangkatnya ke dalam klotok.
Dengan masing-masing senter di tangan, kami menyorot mayat yang terombang-ambing di terpa gelombang dalam posisi tengkurap.
Jasadnya penuh lendir seperti ingus, mungkin karena terlalu lama di dalam sungai.
Baunya sangat busuk menusuk hidung, sepertinya sudah mati berhari-hari. Aku saja sampai muntah berkali-kali karena tak kuat. Begitu pula Dayat dan lainnya. Di antara kami, hanya kapten Anang yang terlihat paling tenang.
"Aneh kali bentuk ni mayat, kapten. Coba kau tengok." ujar si Lai, orang batak yang sudah lama berdiam di kampung kami.
Aku tak tahu nama aslinya. Karena ia kerap memanggil orang dengan sebutan "Lai", maka orang kampungku pun memanggilnya Lai.
"Aneh bagaimana ?" tanya kapten mengernyitkan dahi. Kerah baju ia gunakan untuk menutup hidung.
"Badannya remuk macam tak punya tulang." sahut si Lai.
"Kau sendiri punya tulang gak?" tanya kapten lagi.
"Tulangku kutinggal di Sumatera. Opungku juga kutinggal. Opung doli dan opung boru. Repotlah aku kalau mereka juga ikut. Tak sanggup kukasih makan. Ha...ha...ha..."
Si Lai terbahak dan kami semua terbahak. Hanya Dayat yang tampak gelisah.
Gelak tawa kami berubah jadi muntah begitu bau busuk kembali menyengat hidung.
Setelah keadaan mulai tenang, si Lai mencoba mengangkat bagian kaki mayat dengan dayung.
"Tengoklah kapten. Kakinya remuk macam habis keluar dari penggilingan padi. Tulang badannya juga hancur macam ditumbuk lesung."
Kapten terdiam, berjongkok di sisi kelotok dan memperhatikan mayat itu baik-baik.
"Iya...mayat ini memang aneh. Bukan mayat orang tenggelam seperti biasanya." ucap kapten dengan suara datar.
"Kalau dilihat dari pakaian, sepertinya mayat orang perusahaan. Tidak ada orang kampung dengan pakaian seragam seperti itu. Sepatunya juga sepatu safety." timpalku.
Kapten mengangguk tanda setuju.
"Kapten...ular tadi. Ular tadi adalah pertanda. Sebaiknya kita putar balik saja kapten. Sepertinya ada hal buruk yang bakal menimpa kita."
Cemas, Dayat terlihat khawatir. Wajahnya pucat pasi dan tubuhnya gemetaran. Kacamatanya kembali hampir lepas.
Berdiri, kapten Anang tampak tak senang dengan ucapan Dayat. Ia melotot dan menatap mata Daya dalam-dalam, membuat nyali Dayat semakin ciut.
"Kalau kau mau pulang, pulang saja sendiri. Silahkan berenang !" kapten Anang mulai gusar.
"Tahukah kau, sudah berpuluh juta modalku habis untuk penambangan kali ini. Enak saja kau minta pulang, huh !"
Dayat tertunduk. Badannya meringkuk dalam sarung kumal yang ia kenakan.
"Kapten, gimana ini mayat?" seloroh Lai, "kita angkatkah? Masukkan dalam kelotok. Tak tega aku melihatnya."
"Sudah, biarkan saja hanyut terbawa arus. Nanti orang di hilir yang mengurusnya. Kita lanjutkan perjalanan sebelum kena razia Polair."
Tanpa membantah, kami langsung melaksanakan perintah kapten. Kami kembali ke kelotok masing-masing. Kelotok yang tadinya rapat dan saling bertaut, kembali berpisah.
Namun, baru saja menyalakan mesin, pekikan suara Dayat membuat kami terkejut.
"Kapten, di sana. Ada mayat lagi !" Dayat berteriak dari arah haluan.
Mataku segera mengarah ke sorotan cahaya senter Dayat. Benar saja, ada mayat terapung di sungai, tidak jauh dari kelotok kami. Berseragam hijau, menggunakan rompi hitam dan mengenakan sepatu safety.
"Muksin, arahkan kelotok mendekat !" Kapten Anang memberi perintah.
Kelotok kami bergerak pelan melawan arus, mendekat ke arah mayat yang mengapung. Dua kelotok lainnya juga segera menyusul.
Menggunakan dayung, aku dan kapten membalikan mayat itu untuk melihat wajahnya.
Begitu terlihat wajahnya, aku langsung muntah di tengah sungai. Hidungku kembang kempis dan mataku berair. Baunya yang busuk ditambah bentuk wajahnya yang tidak karuan, membuat perutku menjadi mual.
Mayat itu melotot dan mulutnya menganga. Sepertinya mati dalam ketakutan. Badannya juga penuh lendir seperti mayat yang tadi.
Kulirik, kapten Anang masih tetap tenang, memperhatikan mayat itu baik-baik. Raut wajahnya berubah, seperti memikirkan sesuatu.
"Kenapa kap?" tanyaku penasaran.
Kapten Anang terdiam, terlihat ragu.
"Mayat ini aneh."
"Aneh bagaimana ?"
Hening. Kapten Anang masih terdiam.
"Mayat ini...bukan mayat warga lokal."
"Maksudnya?"
"Ini mayat orang china. China daratan. Bukan china melayu. Bukan pula china banjar yang jualan di pasar. Ini adalah orang china yang membuka tambang batu bara di hulu sana."
Kuperhatikan, apa yang dikatakan kapten memang benar. China peranakan dan china daratan memang terlihat berbeda. Sulit dijelaskan, tapi mudah sekali membedakan mana china lokal dan mana china daratan.
Memang, beberapa tahun terakhir banyak china daratan yang datang kemari untuk membuka dan bekerja di tambang.
"Kapten, lihat rompinya !" seru Dayat.
Aku dan kapten langsung memperhatikan rompi itu. Bukan rompi biasa. Seperti rompi yang kerap dipakai Brimob. Banyak kantung wadah menyimpan magazin peluru.
"Militer china !" pekik kapten Anang kaget. Hampir saja ia terjatuh ke sungai kalau tak kuraih bajunya.
"Untuk apa militer China masuk ke pedalaman sini ?" tanya Dayat dengan raut wajah gusar.
Aku dan kapten saling pandang. Benar juga. Untuk apa militer China ada di sini, di hulu Barito, di pedalaman Kalimantan ?
...bersambung...
Sampai jumpa malam Senen ya gansist. Moon maap pabila ada komeng tak terbalas 😁🙏
Jangan lupa sakrep, komeng dann syer ewer-ewer 😂
Diubah oleh benbela 20-08-2021 07:32



bruno95 dan 65 lainnya memberi reputasi
66
Kutip
Balas
Tutup