NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Ilusi Statistik Covid-19 Dampak Hidden Cluster, Siapa Diuntungkan?
Spoiler for Ilustrasi hidden covid:


Spoiler for Video:


“The greatest obstacle to discovery is not ignorance – it is the illusion of knowledge.” – Daniel J Boorstin (Sejarawan Amerika Serikat)

Kebenaran yang saat ini diterima oleh kebanyakan orang bisa jadi bukan lah kebenaran sesungguhnya. Tapi karena kita merasa yakin bahwa itu adalah kebenaran, maka kita tak berusaha lagi untuk mencari tahu lebih dalam. Para ilmuwan justru memiliki pola pikir yang berbeda, mereka berusaha mencari kebenaran sesungguhnya dari kebenaran yang sudah diterima saat ini.

Contohnya saat Albert Einstein memiliki pemikiran bahwa alam semesta memiliki batasan. Namun ia tak lagi menggunakan teori tersebut semenjak Edwin Hubble menemukan hubungan antara pergeseran merah (redshift) dari galaksi-galaksi yang ada dengan jarak antar galaksi. Hal ini menyebabkan teori Einstein tentang alam semesta yang konstan terbantahkan. 

Itulah mengapa kutipan dari Boorstin dapat kita artikan bahwa mereka yang terperangkap dalam ilusi kebenaran tidak akan dapat menemukan kebenaran yang sesungguhnya.

Apakah hal ini berlaku pula terhadap penanganan Covid-19 yang selama ini dilakukan pemerintah? Apakah ilusi kebenaran tengah terjadi pada pengananan Covid yang dilakukan pemerintah sehingga menyebabkan pandemi tak kunjung dapat dikendalikan?

Berdasarkan data tren nasional (akumulasi data) kasus Covid-19 yang diambil dari laman covid19.go.id, data kasus aktif Covid-19 (dalam perawatan/isolasi mandiri) per 1 Agustus, sebanyak 535.135 kasus. Angka tersebut mengalami tren penurunan yang ditunjukkan dengan data kasus aktif per 12 Agustus sebanyak 412.776 kasus.

Untuk memudahkan, kita anggap kasus aktif rata-rata sejak awal Agustus 2021 sebanyak 500 ribu kasus. Sayangnya, angka itu tidak menunjukkan angka sebenarnya dari kasus Covid-19 di Indonesia.

Pada 10 Agustus 2021, Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman mengingatkan testing, tracing, dan treatment (3T) masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Dicky mengatakan keterbatasan 3T di Jawa-Bali menyebabkan adanya potensi kasus yang tidak terdeteksi hingga 1 juta, baik yang bergejala maupun tidak.

Dicky menyebut, estimasi tersebut dihitung berdasarkan angka kematian, dengan asumsi indeks fatality rate 0,5 persen dan juga memperhitungkan angka reproduksi (R) di kisaran 1,1. Menurutnya, hal ini tidak bisa dianggap sepele. Selama keberadaan virus tidak terdeteksi, maka sulit menentukan langkah pengendalian.

Sumber : Tempo[PPKM Diperpanjang, Epidemiolog: Ada Potensi 1 Juta Kasus Covid-19 Tak Terdeteksi]

Paparan itu menunjukkan bahwa pemerintah hanya mampu mendeteksi 500 ribu kasus covid per harinya. Sementara ada 1 juta kasus lagi yang berpotensi tak terdeteksi. Sehingga diprediksi kasus aktif kumulatif total sesungguhnya adalah 1,5 juta kasus per hari.

Tidak tercatatnya kasus riil ini yang acap kali disebut gunung es pandemi. Seandainya sebuah gunung es dibagi menjadi 3 bagian : puncak, tengah, lembah, maka kasus Covid-19 RI yang tercatat oleh pemerintah masih berupa puncak gunung es.

Situasi inilah yang menjadi penyebab lonjakan kasus Covid-19 di Italia pada pertengahan tahun 2020 silam. Pada 12 Maret 2020, dalam waktu kurang dari tiga minggu, virus corona telah membuat sistem layanan kesehatan membludak, terutama di bagian utara Italia. Ledakan kasus saat itu membuat rumah sakit kolaps jika kurva penyebaran tidak segera “diratakan”.

Fasilitas kesehatan yang sudah mengalami overkapasitas menyebabkan tenaga kesehatan kewalahan dan pasien yang menunjukkan gejala berat tidak bisa ke rumah sakit untuk dites dan dirawat. Padahal jika suatu negara hanya mengetes beberapa orang yang merasa cukup parah gejalanya sehingga dirawat di rumah sakit, dan tidak melakukan tes pada mereka yang memiliki gejala ringan - tanpa gejala, maka angka kematiannya bisa lebih tinggi dibandingkan negara yang tes Covid-19-nya tersedia secara luas

Hasilnya, memang terjadi penurunan angka Covid-19 serta penurunan laju pertumbuhan angka kasus. Namun hal itu pula yang menyebabkan banyak kematian akibat Covid-19 di masyarakat yang tidak pernah melakukan tes dan terhitung jumlahnya. Terjadilah ilusi statistik.

Sumber : BBC [Virus corona: Mengapa angka kematian akibat Covid-19 setiap negara bisa berbeda-beda?]

Ilusi statistik tersebut menyebabkan ledakan Covid-19 di Italia yang jauh lebih parah dari negara Uni Eropa lainnya. Bahkan bisa dikatakan saat itu Italia mengalami gelombang 1,5 yang terjadi lebih awal ketimbang negara di benua Eropa lain.

Wakil Perdana Menteri Lombardy (kawasan yang mengalami ledakan kasus di Italia Utara), Carlo Borghetti mengatakan kesalahan terbesar yang mereka lakukan adalah memusatkan pasien Covid-19 pada rumah sakit besar. Borghetti menilai, seharusnya mereka segera membangun struktur yang terpisah khusus bagi orang yang terinfeksi virus corona (isolasi terpusat).

Hal ini kini terjadi di Indonesia di tahun 2021. Keduanya adalah negara yang sama-sama memiliki disparitas yang kental antara kelompok masyarakat modern dan tradisional keagamaan. Sehingga perlu segregasi antara daerah modern dengan kawasan yang memiliki nilai tradisional kegamaan kental.

Sumber : Kompas [Berkaca dari Italia, Apa yang Dilakukan Saat Rumah Sakit Penuh?]

Itu sebabnya seluruh angka statistik Covid-19 Indonesia masih bersifat ilusi. Apalagi kampanye penanganan pandemi pemerintah banyak bermain di angka statistik seperti penambahan kasus harian, kasus aktif kumulatif harian, keterisian rumah sakit/Bed occupancy rate (BOR RS), maupun testing dan tracing yang masih menggambarkan puncak gunung es, khususnya di wilayah-wilayah yang memiliki nilai tradisional dan keagamaan kental.

Ditambah lagi dengan fakta bahwa infrastruktur faskes di desa/kelurahan yang tak memadai, menyebabkan banyak kasus positif yang ketahuan setelah melakukan testing di perkotaan (memiliki faskes memadai), sehingga angka Covid-19 lebih banyak tercatat sebagai kasus wilayah lain, bukan wilayahnya sendiri.

Model ini menjadi muslihat banyak Pemda di wilayah tradisional keagamaan, dengan pola sebagai berikut:

Pertama, membatasi angka kasus harian yang dicatatkan pemerintah dari wilayahnya. Data dari KawalCovid-19 mengungkapkan laporan kematian Covid-19 pemerintah pusat lebih sedikit dibandingkan pemerintah daerah. Berdasarkan pemberitaan BBC pada 28 Juli 2021, ada selisih hingga 19 ribu kasus. Kementerian Kesehatan tak menampik adanya perbedaan data, tapi mengatakan ada data yang tidak dilaporkan pemda namun ditampilkan di situs masing-masing daerah.

Contoh perbedaan data terlihat pada 18 Juli 2021, di Kota Malang, Jawa Timur. Pada hari itu laporan UPT Pengelolaan Pemakaman Umum Kota Malang menyatakan ada 19 orang yang meninggal karena Covid-19. "Sejak Juli, [kami] memakamkan rata-rata 30 jenazah [per hari]. Pernah sehari kemarin memakamkan 55 jenazah. Rata-rata 80 persen positif Covid," kata Kepala UPT Penggelolaan Pemakaman Umum, Dinas Lingkungan Hidup, Taqruni Akbar.

Taqruni Akbar menjelaskan terjadi ledakan kematian sejak dua pekan terakhir. Pihaknya bahkan sampai harus merekrut delapan relawan pemakaman yang bekerja dari pukul 10 pagi hingga 10 malam.

Namun, jumlah kematian ini tidak dilaporkan dalam pendataan Satgas Covid Kota Malang. Data yang ditampilkan satgas setempat sejak tanggal 18-20 Juli 2021 adalah nol kematian.

Wali Kota Malang, Sutiaji, membantah terjadi simpang siur data untuk kepentingan politis. Pernyataannya didukung pula oleh Kepala Dinkes Malang, Husnul Muarif. Ia mengatakan, Satgas Covid-19 Kota Malang hanya mencatat kasus kematian bagi yang dirawat di rumah sakit dan terkonfirmasi melalui uji swab tes PCR.

Husnul mengakui warga yang meninggal saat isoman apalagi tanpa pantauan Dinkes dan Puskesmas setempat tidak tercatat dalam sistem informasi. Kasus meninggal tersebut, tetap dicatat Dinkes, tetapi nama mereka yang meninggal saat isoman tidak masuk dalam sistem NAR (New All Records).

Tidak masuknya angka kematian Covid tersebut tentu saja menghasilkan Case Fatality Rate (CFR) yang terlihat membaik. Dari sebelumnya 10,1% menjadi 7,8%. Namun angka tersebut hanyalah ilusi atau semu.

Sumber : BBC [Angka kematian Covid-19: Beda data pemerintah pusat dan daerah capai 19.000 kasus, 'hijau di luar merah di dalam']

Kedua, pernyataan Dinkes Malang soal data warga yang meninggal saat isoman tidak tercatat ke dalam sistem mereka menunjukkan adanya pembiaran atau bahkan mendorong warga isolasi mandiri. Pertanyaannya, mengapa Pemda tidak mampu mengurus rakyatnya sendiri?

Ternyata penyerapan belanja pandemi covid di daerah masih rendah. Padahal sudah ada arahan untuk melakukan refocusing APBD demi penanganan Covid-19. Hal ini diungkapkan Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu, Astera Primanto Bhakti pada 1 Agustus 2021 lalu.

Sumber : Media Indonesia [Perubahan APBD Lambat, Serapan Anggaran Covid Daerah Rendah]

Ketiga, ketika serapan APBD untuk faskes rendah tentu menyebabkan BOR RS tinggi. Akibatnya meningkatkan dorongan untuk isoman, sehingga makin tidak tercatat oleh negara.

Pemerintah pusat menyadari model muslihat yang dilakukan pemda tersebut. Sebab ledakan kasus Covid-19 pasca Idul Fitri terjadi di wilayah-wilayah dengan nilai tradisional keagamaan yang kental dan tidak taat prokes. Terbukti dari sedikitnya zona merah Covid di beberapa provinsi yang menjadi basis NU saat ditemukan varian Delta di Kudus dan Bangkalan pasca Idul Fitri. Namun akhirnya diperbaiki, dengan alasan telat melaporkan. Hasilnya, zona merah melonjak dimana-mana.

Ternyata terbukti selama ini ada hidden cluster yang muncul dari ilusi statistik Covid-19. Artinya peta penanganan Covid-19 hanyalah peta buta, tidak menggambarkan kondisi real di lapangan.

Tapi persoalan ilusi statistik tak hanya soal data Covid. Ia juga menyangkut data vaskinasi. Pada 22 Juli 2021, DKI Jakarta melaporkan efektivitas vaksin terhadap pencegahan infeksi dan penularan Covid-19. Disebutkan Case Fatality Rate atau CFR untuk Jakarta berada di sekitar angka 1,7 persen pada kasus orang yang belum divaksin.

Sementara setelah divaksin dosis pertama, angka CFR turun menjadi 0,33 persen dan setelah dosis kedua menjadi 0,21 persen.

Sumber : Antara News [Vaksin COVID-19 tekan angka kematian di Jakarta]

Seandainya tidak ada ilusi angka statisitik yang saat ini terjadi, maka angka vaksinasi sangat bagus. Namun, kenyataannya setelah melihat data Covid-19 saat ini tidak menggambarkan kondisi riil, maka efektivitas vaksin terhadap pencegahan infeksi dan penularan Covid-19 patut dipertanyakan. Angka efektivitas vaksin mungkin hanyalah yang tercatat.

Kita harus ingat, berkaca dari amburadulnya data Covid di Indonesia, maka tentu tak semua warga DKI yang positif dirawat dan tercatat oleh negara.

Seandainya fakta mengatakan bahwa ada 10 dari 15 orang yang sudah divaksin melakukan isoman dan tidak tercatat oleh negara. Maka fakta yang tidak masuk ke dalam kalkulasi pemerintah, secara matematis, sudah meruntuhkan data statistik yang diolah pemerintah. Mengapa?

Matematikawan pasti akan menggunakan bahasa seperti ini:

Persentase Vaksinasi vs Transmisi Covid Penerima Vaksin*. Tanda bintang, memiliki keterangan : angka transmisi Covid-19 penerima vaksin tidak mencakup penerima vaksin yang positif lalu melakukan isoman.

Mengapa pemerintah dalam hal ini Pemprov DKI memaksakan kampanye statistik yang secara matematika sudah runtuh? Apakah karena ada kepentingan industri farmasi yang turut diuntungkan dari membagi angka vaksinasi (tercatat negara) vs angka covid yang sebagian tidak tercatat karena isoman demi menghasilkan persentase terinfeksi covid setelah vaksin rendah sehingga menguntungkan kampanye keampuhan vaksinasi?

Harus diingat pula, ini terjadi di DKI yang notabenenya sudah lumayan baik dalam melakukan testing. Bagaimana dengan provinsi lain? Bagaimana ceritanya di daerah yang tidak patuh prokes dan memiliki nilai tradisional keagamaan yang kental.

Mengapa pola ilusi statistik ini dipakai seragam di masa pandemi di Indonesia? Tentu ada yang mengorganisir bukan? Tapi pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dari kampanye ilusi statistik ini?
Diubah oleh NegaraTerbaru 14-08-2021 06:59
yukoaldino
fitrigracia
satyadimitri
satyadimitri dan 5 lainnya memberi reputasi
6
858
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
alanreihanAvatar border
alanreihan
#1
Ngomong2 soal Hidden Cluster, tracing di Indonesia aja baru belakangan ini diakui sebagai kunci untuk tangani pademi. Bukan sedari awal. Wkwkwkwkw
imaginaerum
imaginaerum memberi reputasi
1
Tutup