- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 12:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#2
Quote:
Original Posted By benbela►
Sejak kematian Abah, status keluarga kami yang tadinya hampir miskin, secara resmi dinyatakan OMB. Orang Miskin Baru.
Perlahan, Ibu sudah mulai normal, tidak jadi gila dan berhenti main kuntilanak - kuntilanakan. Aku juga sudah kembali diurus, dikasih makan, dicubit dan dipukul hingga menangis bila berbuat bandel.
"Jangan lama mandi di Barito ! Nanti dimakan Tambun, baru tahu rasa !"
...bak...buk...bak...buk...
Potongan rotan mendarat di pantatku yang tepos.
"Huu...hu...hu..."
Aku tersedu menahan sakit. Meronta dan meraung berurai air mata. Ku gosok-gosok pantat yang memar karena pukulan ibu, tapi ia tak berhenti memukul.
"Ibu jahat...ibu jahat..." teriakku dalam tangis, "aku mau abah...aku mau abah...abah tak pernah jahat. Abah tak pernah memukul. Abah selalu sayang Hamid...Huu...hu...hu..."
Pukulan ibu berhenti, rotan terlepas di tangannya. Ia terdiam, matanya berkaca-kaca. Dipeluk dan diciumnya aku tanpa suara.
Memang, biasanya aku lupa diri kalau sudah mandi di sungai.
Saat malam, diam-diam rotan ibu kubuang ke sungai kecil dekat rumahku, sungai beriwit, anak sungai Barito.
Saat pagi, ibu kebingungan mencari rotannya. Katanya buat ngangkat jemuran. Kujawab saja tak tahu.
Waktu berlalu. Satu-persatu harta peninggalan Abah sudah terjual. Motor bututnya pun sudah dijual demi beras dan menutupi utang.
Listrik dari PLN juga diputus karena tak sanggub dibayar. Bantuan dari mang Anang pun tidak selalu lancar. Bagaimana pun juga, mang Anang juga punya keluarga yang harus dihidupi.
Ibu kemudian mengampil upah sebagai tukang cuci di rumah Haji Rasyid yang hasilnya tidak seberapa. Kadang, ibu juga bantu-bantu memasak di rumah Haji Rasyid. Aku paling suka bila ibu membantu memasak, karena pulangnya bisa makan enak. Aku bisa merasakan patin, ayam atau makanan enak lainnya.
Tapi pekerjaan ibu sebagai tukang cuci di rumah haji Rasyid tidak bertahan lama. Status ibu yang janda jadi bahan gunjingan tetangga. Tukang gosipnya adalah acil Asnah. Tukang gosip kelas wahid di kelurahan Beriwit.
Beredar kabar, Haji Rasyid berniat menjadikan ibuku sebagai istri kedua. Istri Haji Rasyid mengamuk, mencaci dan menghina. Ibu dipecat dan digantikan orang lain. Penggantinya, siapa lagi kalau bukan acil Asnah.
Hari terus bergulir, tapi nasib kami sebagai orang miskin belum juga berubah. Kadang makan, kadang puasa berhari-hari. Para pedagang pun tidak mau lagi menghutangi ibu, sedangkan hutang terdahulu belum juga terbayar.
Agar tetap bisa makan, ibu kerja apa saja yang penting halal. Kadang bantu orang jualan di pasar, kadang terima jasa jadi tukang cuci pakaian orang-orang kaya.
Aku juga tidak berdiam diri. Sepulang sekolah aku langsung ganti baju lalu pergi ke dermaga, jadi buruh angkut pelabuhan. Aku juga terima jasa membersihkan rumput atau kebun milik siapa saja.
Kehidupanku dan ibu agak sedikit hampir membaik sewaktu aku duduk di kelas 2 SMP. Itu adalah kali pertama aku bekerja sebagai penambang emas liar. Sungguh ironis, ternyata aku mewarasi profesi ayahku, yang juga diwarisinya dari kakek.
Tentu saja aku ikut kelompok mang Anang, boss sekaligus sahabat Abah. Dan aku juga tidak lagi memanggilnya mang Anang, tapi kapten Anang. Entah kenapa dia dipanggil kapten, aku hanya ikut-ikutan saja dengan pekerja lainnya.
Badanku rasanya saat itu remuk. Sakit luar dalam hingga ke tulang. Dua minggu di tengah hutan belantara rasanya bagai neraka. Badan menghitam,kulit semakin dekil dan rambut acak-acakan. Sungguh pekerjaan yang tak layak bagi remaja 13 tahun.
"Sabar Mid. Sekarang kau miskin, tapi nanti aku yakin kau akan jadi orang kaya. Jarang ada anak seusiamu yang mau bekerja seperti ini." hibur Kapten Anang yang melihatku merenung di balik pondok waktu itu.
"Kau sedari kecil sudah terbiasa berusaha keras. Nanti saat kau dewasa, kau akan menuai hasilnya." lanjut kapten Anang.
Aku hanya diam saja, tidak mengiyakan tidak pula membantah. Yang kutahu, kapten Anang dan almarhum Abah sudah sedari kecil kerja keras banting tulang. Namun setelah dewasa, nasib mereka tak juga berubah. Tetap berkutat dengan kemiskinan.
Melihatku yang hanya diam saja, kapten Anang kembali mengeluarkan nasihatnya.
"Yang penting, begitu terima hasil harus kau tabung. Jangan kau habiskan seperti orang-orang susah itu." Kapten Anang menunjuk rekan kerjaku yang lain yang tengah sibuk main gaple dibawah pohon besar, dekat tumpukan mesin penyedot pasir.
"Kau lihat mereka, begitu terima pembagian hasil kerja, duitnya habis untuk mabuk-mabukan. Habis di meja judi atau main perempuan di kota. Sudah miskin, cara berpikirnya juga miskin. Makanya tak pernah lepas dari kemiskinan."
Kali ini aku setuju. Aku mengangguk dan mengiyakan nasihat kapten Anang. Ia lalu tersenyum dan membelai rambutku, layaknya belaian seorang ayah pada anak.
"Ingat Hamid. Meski sudah tak ada harapan lagi, kau harus tetap tegak berdiri."
"Siap, kapten !" Ucapku sambil berdiri lalu memberi hormat pada kapten Anang. Melihat ulahku, ia hanya tertawa lalu menepuk-nepuk punggungku.
Setelah dua minggu menambang emas di hutan, segala derita langsung terbayar saat pembagian hasil. Segera saja kuserahkan uang itu pada ibu. 4 juta rupiah. Uang yang sangat banyak bagi kami. Bahkan teramat banyak bagi remaja kampung sepertiku.
Mata ibu berkaca-kaca. Dipeluk, dibelai dan diciumnya diriku tanpa henti.
"Kau sudah dewasa nak. Kaulah kepala keluarga kita. Abdul Hamid, anakku yang bauntung batuah." peluk ibu berurai air mata.
"Bu, ketekmu bau !" seruku menahan muntah sambil menghindari pelukan ibu.
Mengusap air mata, ibu hanya tertawa mendengar celetukanku. Ia lantas bergegas ke kamar mandi, membersihkan badan, berganti baju dan memakai minyak wangi murahan.
Ibu harus bahagia, kataku dalam hati. Sejak kehilangan Abah, ibu semakin kurus. Matanya cekung, rambutnya jarang disisir dan kulit putih mulusnya menjadi dekil. Baju daster ibu juga penuh tambalan. Sebenarnya lebih layak dijadikan lap kaki daripada disebut pakaian.
Ibu juga tak mau menikah lagi, katanya takut suami barunya tak menerima kehadiranku. Selama ini, ibu sudah berjuang keras membesarkan dan menghidupiku, sekarang saatnya aku membalas kebaikan ibu.
Malam itu kami makan enak. Ibu memasak patin bumbu kuning, kulit cempedak goreng, daun singkong goreng baupet dan sambal tampuyak. Sudah bertahun-tahun kami tak pernah makan enak semenjak kematian Abah.
Utang di warung pun dicicil, sisanya ibu simpan. Waktu terus berlalu, aku beranjak semakin besar. Badanku semakin hitam akibat terbakar matahari, tubuhku juga berotot akibat bekerja keras.
Bila libur semester, aku ikut kapten Anang menambang emas. Selain itu, aku kerja apa saja. Kadang aku jadi tukang untuk membangun gedung sarang burung walet. Di lain waktu, aku juga ikut orang menebang pohon di hutan untuk dijadikan papan dan bahan bangunan.
Hasil kerjaku hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rumah kami tetap reot. Hanya ditambal sana-sini seadanya. Utang di warung juga masih gali lobang tutup lobang. Ternyata, modal kerja keras juga tidak cukup untuk lepas dari kemiskinan.
Di sisi lain, polisi juga semakin gencar melakukan razia. Penambang emas seperti kami banyak yang ditangkap. Alasannya merusak lingkungan, ilegal dan tak berijin. Sungguh ironis, padahal kami hanya ingin mencari makan di tanah sendiri. Kami bukan pencuri, bukan perampok, bukan pula maling.
Sedangkan perusahaan tambang dari luar semakin banyak yang berdiri. Padahal, hasilnya pun tak pernah kami nikmati. Jalan kabupaten masih banyak yang rusak, listrikpun masih belum sepenuhnya kami nikmati.
Kapten Anang pun berhenti total memberi bantuan, karena pekerjaan sebagai penambang emas semakin sulit. Lagian, aku juga malu bila terus-menerus dibantu. Aku sudah bisa menghidupi ibu.Tapi kalau ada urusan mendesak, kapten Anang adalah orang pertama yang membantu kami.
Sebagai remaja, aku juga jatuh cinta. Beruntung, cintaku bersambut. Selepas SMA, aku menikah dengan Raudah, gadis dari desa seberang sungai. Adalah hal lumrah bagi orang di daerahku menikah muda. Lagian, orang miskin seperti kami juga tidak bisa sekolah lebih tinggi lagi.
Karena sama-sama berasal dari keluarga miskin, maka urusan pernikahanku tidak terlalu ribet. Kapten Anang adalah orang yang paling banyak membantu agar pernikahanku lancar.
Setelah menikah, istri kuboyong ke gubuk kami yang reot. Tentu saja sudah diperbaiki. Kebun singkong di samping sudah dibabat habis. Dibantu kapten Anang dan penambang lainnya, rumahku dibuat lebih luas.
Aku dan istri punya kamar sendiri, sehingga tak perlu malu pada ibu bila ingin mengeong seperti kucing.
Dan yang namanya orang miskin menikah dengan orang miskin, tentu saja melahirkan generasi miskin berikutnya.
Setahun setelah menikah, putri pertamaku lahir. Keinginanku untuk bertahan hidup semakin tinggi. Semangat untuk tetap tersadar semakin kuat.
Meski tubuhku terluka,melemah dan kehabisan tenaga di tengah belantara, aku harus tetap hidup. Aku harus bisa bertahan demi anak, istri dan ibu di rumah.
Aku harus tetap hidup, demi 3 orang yang sudah tak sabar menanti kepulanganku di rumah.
Aku harus selamat apapun yang terjadi. Aku harus bisa lepas dari buruan mahluk itu. Mahluk yang telah menghabisi dan menyeret satu -persatu rekan kerjaku ke dalam sungai.
...bersambung...
Bab 2 : Orang Miskin Baru
Sejak kematian Abah, status keluarga kami yang tadinya hampir miskin, secara resmi dinyatakan OMB. Orang Miskin Baru.
Perlahan, Ibu sudah mulai normal, tidak jadi gila dan berhenti main kuntilanak - kuntilanakan. Aku juga sudah kembali diurus, dikasih makan, dicubit dan dipukul hingga menangis bila berbuat bandel.
"Jangan lama mandi di Barito ! Nanti dimakan Tambun, baru tahu rasa !"
...bak...buk...bak...buk...
Potongan rotan mendarat di pantatku yang tepos.
"Huu...hu...hu..."
Aku tersedu menahan sakit. Meronta dan meraung berurai air mata. Ku gosok-gosok pantat yang memar karena pukulan ibu, tapi ia tak berhenti memukul.
"Ibu jahat...ibu jahat..." teriakku dalam tangis, "aku mau abah...aku mau abah...abah tak pernah jahat. Abah tak pernah memukul. Abah selalu sayang Hamid...Huu...hu...hu..."
Pukulan ibu berhenti, rotan terlepas di tangannya. Ia terdiam, matanya berkaca-kaca. Dipeluk dan diciumnya aku tanpa suara.
Memang, biasanya aku lupa diri kalau sudah mandi di sungai.
Saat malam, diam-diam rotan ibu kubuang ke sungai kecil dekat rumahku, sungai beriwit, anak sungai Barito.
Saat pagi, ibu kebingungan mencari rotannya. Katanya buat ngangkat jemuran. Kujawab saja tak tahu.
Waktu berlalu. Satu-persatu harta peninggalan Abah sudah terjual. Motor bututnya pun sudah dijual demi beras dan menutupi utang.
Listrik dari PLN juga diputus karena tak sanggub dibayar. Bantuan dari mang Anang pun tidak selalu lancar. Bagaimana pun juga, mang Anang juga punya keluarga yang harus dihidupi.
Ibu kemudian mengampil upah sebagai tukang cuci di rumah Haji Rasyid yang hasilnya tidak seberapa. Kadang, ibu juga bantu-bantu memasak di rumah Haji Rasyid. Aku paling suka bila ibu membantu memasak, karena pulangnya bisa makan enak. Aku bisa merasakan patin, ayam atau makanan enak lainnya.
Tapi pekerjaan ibu sebagai tukang cuci di rumah haji Rasyid tidak bertahan lama. Status ibu yang janda jadi bahan gunjingan tetangga. Tukang gosipnya adalah acil Asnah. Tukang gosip kelas wahid di kelurahan Beriwit.
Beredar kabar, Haji Rasyid berniat menjadikan ibuku sebagai istri kedua. Istri Haji Rasyid mengamuk, mencaci dan menghina. Ibu dipecat dan digantikan orang lain. Penggantinya, siapa lagi kalau bukan acil Asnah.
Hari terus bergulir, tapi nasib kami sebagai orang miskin belum juga berubah. Kadang makan, kadang puasa berhari-hari. Para pedagang pun tidak mau lagi menghutangi ibu, sedangkan hutang terdahulu belum juga terbayar.
Agar tetap bisa makan, ibu kerja apa saja yang penting halal. Kadang bantu orang jualan di pasar, kadang terima jasa jadi tukang cuci pakaian orang-orang kaya.
Aku juga tidak berdiam diri. Sepulang sekolah aku langsung ganti baju lalu pergi ke dermaga, jadi buruh angkut pelabuhan. Aku juga terima jasa membersihkan rumput atau kebun milik siapa saja.
Kehidupanku dan ibu agak sedikit hampir membaik sewaktu aku duduk di kelas 2 SMP. Itu adalah kali pertama aku bekerja sebagai penambang emas liar. Sungguh ironis, ternyata aku mewarasi profesi ayahku, yang juga diwarisinya dari kakek.
Tentu saja aku ikut kelompok mang Anang, boss sekaligus sahabat Abah. Dan aku juga tidak lagi memanggilnya mang Anang, tapi kapten Anang. Entah kenapa dia dipanggil kapten, aku hanya ikut-ikutan saja dengan pekerja lainnya.
Badanku rasanya saat itu remuk. Sakit luar dalam hingga ke tulang. Dua minggu di tengah hutan belantara rasanya bagai neraka. Badan menghitam,kulit semakin dekil dan rambut acak-acakan. Sungguh pekerjaan yang tak layak bagi remaja 13 tahun.
"Sabar Mid. Sekarang kau miskin, tapi nanti aku yakin kau akan jadi orang kaya. Jarang ada anak seusiamu yang mau bekerja seperti ini." hibur Kapten Anang yang melihatku merenung di balik pondok waktu itu.
"Kau sedari kecil sudah terbiasa berusaha keras. Nanti saat kau dewasa, kau akan menuai hasilnya." lanjut kapten Anang.
Aku hanya diam saja, tidak mengiyakan tidak pula membantah. Yang kutahu, kapten Anang dan almarhum Abah sudah sedari kecil kerja keras banting tulang. Namun setelah dewasa, nasib mereka tak juga berubah. Tetap berkutat dengan kemiskinan.
Melihatku yang hanya diam saja, kapten Anang kembali mengeluarkan nasihatnya.
"Yang penting, begitu terima hasil harus kau tabung. Jangan kau habiskan seperti orang-orang susah itu." Kapten Anang menunjuk rekan kerjaku yang lain yang tengah sibuk main gaple dibawah pohon besar, dekat tumpukan mesin penyedot pasir.
"Kau lihat mereka, begitu terima pembagian hasil kerja, duitnya habis untuk mabuk-mabukan. Habis di meja judi atau main perempuan di kota. Sudah miskin, cara berpikirnya juga miskin. Makanya tak pernah lepas dari kemiskinan."
Kali ini aku setuju. Aku mengangguk dan mengiyakan nasihat kapten Anang. Ia lalu tersenyum dan membelai rambutku, layaknya belaian seorang ayah pada anak.
"Ingat Hamid. Meski sudah tak ada harapan lagi, kau harus tetap tegak berdiri."
"Siap, kapten !" Ucapku sambil berdiri lalu memberi hormat pada kapten Anang. Melihat ulahku, ia hanya tertawa lalu menepuk-nepuk punggungku.
Setelah dua minggu menambang emas di hutan, segala derita langsung terbayar saat pembagian hasil. Segera saja kuserahkan uang itu pada ibu. 4 juta rupiah. Uang yang sangat banyak bagi kami. Bahkan teramat banyak bagi remaja kampung sepertiku.
Mata ibu berkaca-kaca. Dipeluk, dibelai dan diciumnya diriku tanpa henti.
"Kau sudah dewasa nak. Kaulah kepala keluarga kita. Abdul Hamid, anakku yang bauntung batuah." peluk ibu berurai air mata.
"Bu, ketekmu bau !" seruku menahan muntah sambil menghindari pelukan ibu.
Mengusap air mata, ibu hanya tertawa mendengar celetukanku. Ia lantas bergegas ke kamar mandi, membersihkan badan, berganti baju dan memakai minyak wangi murahan.
Ibu harus bahagia, kataku dalam hati. Sejak kehilangan Abah, ibu semakin kurus. Matanya cekung, rambutnya jarang disisir dan kulit putih mulusnya menjadi dekil. Baju daster ibu juga penuh tambalan. Sebenarnya lebih layak dijadikan lap kaki daripada disebut pakaian.
Ibu juga tak mau menikah lagi, katanya takut suami barunya tak menerima kehadiranku. Selama ini, ibu sudah berjuang keras membesarkan dan menghidupiku, sekarang saatnya aku membalas kebaikan ibu.
*****
Malam itu kami makan enak. Ibu memasak patin bumbu kuning, kulit cempedak goreng, daun singkong goreng baupet dan sambal tampuyak. Sudah bertahun-tahun kami tak pernah makan enak semenjak kematian Abah.
Utang di warung pun dicicil, sisanya ibu simpan. Waktu terus berlalu, aku beranjak semakin besar. Badanku semakin hitam akibat terbakar matahari, tubuhku juga berotot akibat bekerja keras.
Bila libur semester, aku ikut kapten Anang menambang emas. Selain itu, aku kerja apa saja. Kadang aku jadi tukang untuk membangun gedung sarang burung walet. Di lain waktu, aku juga ikut orang menebang pohon di hutan untuk dijadikan papan dan bahan bangunan.
Hasil kerjaku hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rumah kami tetap reot. Hanya ditambal sana-sini seadanya. Utang di warung juga masih gali lobang tutup lobang. Ternyata, modal kerja keras juga tidak cukup untuk lepas dari kemiskinan.
Di sisi lain, polisi juga semakin gencar melakukan razia. Penambang emas seperti kami banyak yang ditangkap. Alasannya merusak lingkungan, ilegal dan tak berijin. Sungguh ironis, padahal kami hanya ingin mencari makan di tanah sendiri. Kami bukan pencuri, bukan perampok, bukan pula maling.
Sedangkan perusahaan tambang dari luar semakin banyak yang berdiri. Padahal, hasilnya pun tak pernah kami nikmati. Jalan kabupaten masih banyak yang rusak, listrikpun masih belum sepenuhnya kami nikmati.
Kapten Anang pun berhenti total memberi bantuan, karena pekerjaan sebagai penambang emas semakin sulit. Lagian, aku juga malu bila terus-menerus dibantu. Aku sudah bisa menghidupi ibu.Tapi kalau ada urusan mendesak, kapten Anang adalah orang pertama yang membantu kami.
Sebagai remaja, aku juga jatuh cinta. Beruntung, cintaku bersambut. Selepas SMA, aku menikah dengan Raudah, gadis dari desa seberang sungai. Adalah hal lumrah bagi orang di daerahku menikah muda. Lagian, orang miskin seperti kami juga tidak bisa sekolah lebih tinggi lagi.
Karena sama-sama berasal dari keluarga miskin, maka urusan pernikahanku tidak terlalu ribet. Kapten Anang adalah orang yang paling banyak membantu agar pernikahanku lancar.
Setelah menikah, istri kuboyong ke gubuk kami yang reot. Tentu saja sudah diperbaiki. Kebun singkong di samping sudah dibabat habis. Dibantu kapten Anang dan penambang lainnya, rumahku dibuat lebih luas.
Aku dan istri punya kamar sendiri, sehingga tak perlu malu pada ibu bila ingin mengeong seperti kucing.
Dan yang namanya orang miskin menikah dengan orang miskin, tentu saja melahirkan generasi miskin berikutnya.
Setahun setelah menikah, putri pertamaku lahir. Keinginanku untuk bertahan hidup semakin tinggi. Semangat untuk tetap tersadar semakin kuat.
Meski tubuhku terluka,melemah dan kehabisan tenaga di tengah belantara, aku harus tetap hidup. Aku harus bisa bertahan demi anak, istri dan ibu di rumah.
Aku harus tetap hidup, demi 3 orang yang sudah tak sabar menanti kepulanganku di rumah.
Aku harus selamat apapun yang terjadi. Aku harus bisa lepas dari buruan mahluk itu. Mahluk yang telah menghabisi dan menyeret satu -persatu rekan kerjaku ke dalam sungai.
...bersambung...
Sampai jumpa malam Jumat Gansist.
Jangan lupa sakrep, komeng dan syeer ewer ewer 😁
Diubah oleh benbela 18-08-2021 11:46



bruno95 dan 72 lainnya memberi reputasi
73
Kutip
Balas
Tutup