si.matamalaikatAvatar border
TS
si.matamalaikat
Mitsubishi F-2 "Viper Zero" | Anak Kandung F-16 Fighting Falcon yang Lahir di Jepang
F-16 Fighting Falcon adalah salah satu pesawat tempur dari Generasi 4 yang terbaik, pesawat ini punya banyak keunggulan. Selain biaya operasional yang rendah, pesawat juga punya manuver yang baik dan sudah terbukti "battle proven". Meski Amerika Serikat kini sudah tak lagi menugaskannya di garis depan, akan tetapi di luar Amerika, pesawat single engine ini masih jadi andalan di garis depan di berbagai negara.

Yang terbaru, turunan F-16 Fighting Falcon yang diberi nama "F-16 Viper" juga sudah hadir di pasaran. Bahrain, Bulgaria dan Taiwan menjadi negara yang memiliki minat serius untuk mengoperasikan pesawat tersebut. Selain Viper, ada salah satu turunan F-16 yang menarik untuk dibahas, yaitu Mitsubishi F-2. Meski dilahirkan di Jepang, sama seperti Viper, F-2 berasal dari rahim Fighting Falcon. Jika Viper dari segi desain tidak jauh berbeda dengan F-16, maka F-2 memiliki beberapa perbedaan mencolok. Kali ini ane akan membahas salah satu anak kandung dari F-16, seperti biasa kita mulai dari sejarahnya, selamat membaca emoticon-Angkat Beer


SEJARAH


Andai saja Jepang tidak kalah dalam perang, kini mereka mungkin akan menjadi kekuatan yang superior di Asia. Namun, tinta sejarah menuliskan bahwa selama Perang Dunia 2 Jepang mengalami kekalahan, mereka dibuat menyerah setelah Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Setelah kalah perang, Jepang menjadi pesakitan, mereka harus tunduk pada Amerika. Persenjataan mereka pun dibatasi.

Meski setelah perang berakhir Jepang telah menjadi sekutu strategis bagi Amerika, namun sebenarnya mereka tak mau terus-terusan berada di bawah bayang-bayang Amerika di bidang persenjataan militer. Pada tahun 1975 Jepang berhasil membuat pesawat tempur sendiri yang bernama Mitsubishi F-1, setelah itu industri kedirgantaraan mereka semakin berkembang setelah pada awal tahun 1980 memproduksi F-15J dibawah lisensi McDonnell Douglas.

Setelah punya cukup pengalaman dalam mendesain pesawat, kontraktor pertahanan Jepang ingin membangun pesawat baru yang lebih modern dari nol untuk mengembangkan keterampilan insinyur mereka dan, pada gilirannya, mengembangkan industri pesawat Jepang. Meski sebenarnya pada era 80-an Mitsubishi F-1 belum terlalu tua usianya, namun Jepang sudah mulai mencari penerusnya.


Quote:



Wacana untuk membangun pesawat tempur sendiri mulai mengemuka pada tahun 1985, ketika program akan dimulai, beberapa pejabat Amerika Serikat menyatakan kekhawatirannya. Mereka mengatakan bahwa, program tersebut akan melemahkan hubungan pertahanan AS-Jepang. Di mana Amerika memang menjadi negara yang memasok kebutuhan alutsista Jepang, khususnya pesawat tempur. Dengan program yang dibangun oleh Jepang, tentu Amerika akan kehilangan pelanggan potensialnya.

Pejabat Pentagon lantas menganjurkan produksi bersama dan pengembangan bersama pesawat yang akan dibuat Jepang tersebut, mereka mengusulkan platform F-16 atau F/A-18. Karena Pentagon percaya bahwa Jepang tidak akan setuju untuk membeli pesawat Amerika, maka Paman Sam menawarkan produksi bersama, supaya ada kandungan lokal Jepang dalam pesawat tersebut. Meski sebenarnya pesawat dibuat di Jepang, Amerika tetap bisa mengambil keuntungan dengan memasok beberapa komponen pesawat.

Pada awal tahun 1987, Amerika Serikat, melalui Caspar Weinberger dan pejabat administrasi lainnya, secara resmi menekan Jepang untuk melaksanakan proyek kerjasama tersebut sebagai wujud hubungan bilateral AS-Jepang. Waktu lobi ini bertepatan dengan dipublikasikannya skandal Toshiba-Kongsberg, di mana Toshiba ditemukan telah menjual mesin propeller kapal selam ke Uni Soviet, hal tersebut dipublikasikan pada bulan Mei 1987. Akibat dari skandal tersebut Toshiba mendapat embargo, semua produknya dilarang masuk Amerika.

Karena tidak ingin mengambil resiko yang nantinya malah memperburuk hubungan kedua negara, Jepang akhirnya menyetujui usualan tersebut. Amerika yang waktu itu dipimpin rezim Reagan dan Jepang dipimpin Perdana Menteri Nakasone, resmi mengumumkan program kerja sama pada Oktober 1987. Di bawah nota kesepahaman yang ditandatangani pada November 1988, General Dynamics (produsen asli F-16) akan menyediakan teknologi F-16 Fighting Falcon untuk Mitsubishi Heavy Industries, dan akan menangani hingga 45% pekerjaan pengembangan sebagai kontraktor utama bersama.


Quote:



Sementara di pihak Amerika, pejabat senior di Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan AS mendukung proyek tersebut sebagai sarana bagi Amerika untuk mengakses teknologi Jepang serta sebagai sarana untuk memperkuat hubungan AS-Jepang. Akan tetapi Departemen Perdagangan dan banyak anggota Kongres menentangnya.

Mereka menganggap proyek ini terlalu beresiko, karena bisa memperkuat kemampuan Jepang untuk bersaing dengan perusahaan kedirgantaraan Amerika. Lawan di Kongres berpendapat bahwa Jepang harus memperoleh pesawat Amerika untuk mengimbangi defisit perdagangan antara kedua negara. Lebih dari dua puluh anggota Senat menuntut peninjauan resmi atas kesepakatan tersebut.

Proses menuju kelahiran F-2 memang dipenuhi gonjang-ganjing, karena sebagin anggota Kongres merasa khawatir untuk mentransfer teknologi ke Jepang. Setelah George Bush menjabat sebagai presiden Amerika, pada Januari 1989 pemerintah AS menanggapi kritik dalam negeri terhadap kesepakatan tersebut dengan merevisi tentang ketentuan MOU, yang dipandang pemerintah Jepang sebagai upaya untuk merundingkan ulang.

Bush kemudian mengumumkan kesepakatan yang direvisi pada April 1989, tak lama sebelum pengunduran diri Perdana Menteri Jepang Noboru Takeshita. Dalam revisi ini akses Jepang ke kontrol penerbangan dan perangkat lunak kontrol senjata dibatasi, sementara AS memiliki akses ke teknologi baru apa pun yang dikembangkan Jepang. Selain itu kontraktor Amerika mendapat bagian 40% dari produksi untuk program tersebut.

Anggota parlemen Jepang Shintaro Ishihara adalah salah satu orang yang mengkritik keras kesepakatan tersebut. Pada tahun 1990 ia berpendapat bahwa, Jepang harus memberikan teknologi pertahanan mereka yang paling canggih ke Amerika Serikat. Akan tetapi mereka juga harus membayar biaya lisensi dan paten untuk setiap bagian dari teknologi yang digunakan, padahal sebagian teknologi tersebut adalah buatan Jepang.


Quote:



Pekerjaan membangun pesawat diserahkan kepada Mitsubishi Heavy Industries, awalnya diberi kode Mitsubishi SX-3, kemudian dirubah menjadi FS-X. Mitsubishi F-2 dibangun dari basis F-16 Agile Falcon, merupakan desain pesawat yang ditawarkan General Dynamics pada tahun 1984 untuk U.S Air Force untuk program Advanced Tactical Fighter (ATF).

Namun, Agile Falcon tidak masuk dalam kandidat program tersebut. Dua kandidat yang masuk sampai tahap akhir adalah desain dari Lockheed Martin dan Northrop Grumman, di mana dari program ini melahirkan pesawat bernama F-22 Raptor, yang desainnya dimenangkan oleh Lockheed Martin.

F-2 menggunakan desain sayap F-16 Agile Falcon, sayap ini 25% lebih besar dibandingkan milik Fighting Falcon, badan pesawat F-2 juga lebih besar dari F-16 asli. Program ini melibatkan transfer teknologi dari AS ke Jepang dan sebaliknya. Tanggung jawab untuk pembagian biaya dibagi 60% untuk Jepang dan 40% untuk AS. Setelah General Dynamics diakuisisi Lockheed Martin, program ini tetap dilanjutkan oleh perusahaan tersebut.


Quote:



Setelah berbagai tahap produksi selesai, purwarupa bernama XF-2A terbang perdana pada tanggal 7 Oktober 1995. Waktu itu Pemerintah Jepang menyetujui pesanan untuk 141 pesawat, tapi kemudian dipotong menjadi 130, dan dijadwalkan memasuki layanan pada tahun 1999. Masalah struktural mengakibatkan masuknya F-2 ke layanan tertunda hingga tahun 2000.

Karena masalah dengan efisiensi biaya, pesanan untuk pesawat kemudian berubah menjadi 98 (termasuk empat prototype) pada tahun 2004. Pengujian penerbangan dari empat prototype dilakukan di Lapangan Udara Gifu. Pesawat produksi terakhir yang dipesan berdasarkan kontrak dikirim ke Kementerian Pertahanan pada 27 September 2011. Penghentian produksi F-2 dihentikan tahun itu juga akibat dampak tsunami yang melanda Jepang pada tahun tersebut.


"Viper Zero", Program yang Dianggap Gagal Oleh Banyak Orang, Tapi Dianggap Sukses Oleh Jepang


Mitsubishi F-2 mendapat julukan "Viper Zero",nama ini merupakan gabungan dari julukan "Viper" yang disandang F-16 dan "Zero" yang berasal dari pesawat "Mitsubishi A6M Zero" yang jadi andalan Jepang semasa Perang Dunia 2. Dari total 98 pesawat, Jepang memiliki 62 F-2A kursi tunggal, dan 32 F-2B kursi ganda ditambah empat prototype. Tercatat hanya satu F-2 yang megalami "total lost", ketika sebuah F-2B terbakar pada 31 Oktober 2007.

Program F-2 termasuk kontroversial, karena biaya per unit serta biaya pengembangan yang mahal, kira-kira empat kali lipat dari biaya F-16 Block 50/52. Dikutip dari Jejak Tapak, harga satu unit F-2 sekitar US$ 127 juta atau sekitar Rp1,9 triliun, yang berarti empat kali lebih mahal dibandingkan F-16. Bahkan pesawat ini juga jauh lebih mahal dibandingkan F-15J Eagle Jepang yang lebih memiliki kemampuan dalam membawa persenjataan dan jangkauan serta kecepatan.

Tak heran jika banyak orang yang menganggap proyek ini sebagai proyek gagal, akan tetapi Pemerintah Jepang tidak berpikir demikian. Bisa mendapat akses teknologi ke Amerika merupakan hal yang langka, meski pada akhirnya mereka harus merogoh kocek yang tidak sedikit, akan tetapi biaya yang dikeluarkan sepadan dengan ilmu yang didapatkan. Bagi Jepang ilmu yang didapatkan dari program F-2 tidak bisa dinilai dengan uang. Saat ini mereka mulai melangkah maju untuk membuat pesawat tempurnya sendiri, pesawat yang dimaksud kini diberi kode program FX Godzilla. Pesawat ini kelak akan menggantikan peran F-2.


Quote:



F-2 didesain untuk berpatroli di lautan luas yang mengelilingi Jepang serta menyerang musuh yang mendekat dari udara dan air. Oleh karena itu, Mitsubishi F-2 memiliki tangki bahan bakar yang diperbesar untuk patroli jarak jauh, sehingga meningkatkan radius tempurnya hingga 520 mil. F-2 lebih panjang setengah meter jika dibandingkan F-16, selain itu F-2 memiliki ekor yang lebih besar, kanopi tiga bagian, dan permukaan sayap yang 25% lebih besar untuk memungkinkan kemampuan manuver yang lebih besar dan tambahan cantelan senjata.

Untuk mengimbangi penambahan berat prsawat, badan pesawat dibuat dengan material komposit ringan. Termasuk memakai material epoxy grafit, yang membuat pesawat sulit terdeteksi radar. Pada bagian hidung F-2 dibekali radar Active Electronically Scanned Array J/APG-2. Radar ini bisa mendeteksi jet tempur dari jarak 145 mil dan kapal dari jarak 100 mil.

Dengan bodi yang bongsor, F-2 dapat membawa muatan lebih berat. Dengan dilengkapi 13 cantelan senjata, beban standar F-2 yaitu membawa satu atau dua tangki bahan bakar eksternal, dua hingga empat rudal jarak pendek dan empat rudal anti-kapal atau rudal udara ke udara jarak jauh.


Quote:



Pada 11 Maret 2011, gempa terkuat yang pernah tercatat oleh Jepang mengguncang prefektur Tohoku di timur laut pulau Honshu, menyebabkan gelombang tsunami setinggi 40 meter yang menyapu beberapa mil hingga daratan. Tsunami juga menyebabkan kebocoran nuklir di Fukushima dan menewaskan sekitar 16.000 orang.

Tsunami juga membanjiri Skuadron Pelatihan 21 di Matsushima dengan air garam korosif, total 18 unit F-2B kursi ganda terkena air garam korosif. Salah satu F-2 bahkan terseret sampai ke sebuah gedung. Akibat tsunami tersebut, jalur produksi F-2 ditutup tahun itu. Efek dari resesi global membuat jalur produksi F-2 menjadi tidak terjangkau. Dikutip dari Jejak Tapaksetelah dilakukan survei, enam F-2B dianggap rusak sedang dan diperbaiki dengan biaya sekitar US$ 724 juta atau sekitar Rp 10 triliun.

Sementara tujuh pesawat diganti suku cadangnya, dengan total anggaran US$ 66 juta atau sekitar Rp 963 juta per pesawat, perbaikan tersebut selesai pada Februari 2018. Sementara lima pesawat hanya mengalami rusak ringan. Skadron ke-21 sendiri mulai diaktifkan kembali pada tahun 2016 dengan armada 10 unit F-2B. Menurut rencana, F-2 diperkirakan akan terus beroperasi setidaknya hingga 2030. Untuk itu pesawat telah menerima sejumlah peningkatan, salah satunya pada radar AESA J/APG-2 yang dirancang untuk menembakkan rudal AAM-4B dengan peningkatan sistem pencari dan jangkauan deteksi sampai 75 mil.


Quote:



Beberapa perusahaan yang terlibat dalam proyek F-2 antara lain: General Electric, Kawasaki, Honeywell, Raytheon, NEC, Hazeltine, dan Kokusai Electric mereka adalah sub-kontraktor komponen utama. Lockheed Martin memasok bagian badan depan dan belakang pesawat, sistem manajemen, dan komponen lainnya. Kawasaki membangun bagian tengah badan pesawat, serta membuat pintu roda pendaratan dan mesin, sementara badan depan dan sayap pesawat dibuat oleh Mitsubishi.

Beberapa avionik masih dipasok oleh Lockheed Martin, sementara sistem fly-by-wire digital dikembangkan bersama oleh Japan Aviation Electric dan Honeywell. Untuk kontraktor sistem komunikasi dan interogator IFF antara lain: Raytheon, NEC, Hazeltine, dan Kokusai Electric. Radar pengendali tembakan, IRS, komputer misi, dan sistem EW dikembangkan oleh perusahaan Jepang. Untuk [erakitan akhir pesawat dilakukan di Jepang, tepatnya di fasilitas Mitsubishi di Komaki, Nagoya.


Sering Mencegat Pesawat Rusia


Memasuki dua dekade pengabdiannya, F-2 sudah beberapa kali mencegat pesawat milik Rusia yang melintasi wilayah laut Jepang. Salah satu peran pertahanan udara yang dilakukan F-2 adalah pada 7 Februari 2013, di mana ada dua Su-27 Flanker Rusia yang mendekat ke ruang udara Jepang di dekat Hokkaido. Kemudian JASDF (Japan Air Self Defense Force) mengirim empat F-2 untuk mencegat Flanker dan mengambil foto dari pertemuan itu.

Enam bulan kemudian, F-2 mencegat dua pesawat patroli maritim Tu-95MS Bear yang mendekati ruang udara di dekat pulau Kyushu. Pada tahun 2017, F-2 kembali bertemu dengan dua pembom Tu-95MS yang dikawal oleh dua Su-35 yang melakukan penerbangan di lepas pantai Jepang. Pada awal bulan Februari 2019, F-2 kembali mencegat masing-masing satu unit bomber Tu-95MS dan Su-35 yang kembali melintasi wilayah udara Jepang.

Mitsubishi F-2 saat ini terbang dalam empat skadron, yang pertama Skadron Tempur Taktis ke-3 di Pangkalan Udara Misawa di Honshu, Skadron ke-6 dan 8 di Pangkalan Udara Tsuiki di barat daya Kyushu, dan Skadron Pelatihan ke-21 yang berbasis di Matsushima. Berikut ini adalah sekilas spesifikasi Mitsubishi F-2:

Quote:



Demikian sekilas sejarah panjang dari Mitsubishi F-2, semoga bisa bermanfaat sekaligus menambah referensi baru untuk agan dan sista. Tetap semangat dan jaga kesehatan, sampai jumpa emoticon-Angkat Beer




Referensi Tulisan: 1.2.3.4
Iluatrasi Foto: Google Image, jetphotos.com dan berbagai sumber
anjaultras
Aramina
babybeel013
babybeel013 dan 37 lainnya memberi reputasi
38
10.1K
54
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
si.matamalaikatAvatar border
TS
si.matamalaikat
#1
Mitsubishi F-2 "Viper Zero" | Anak Kandung F-16 Fighting Falcon yang Lahir di Jepang
F-16 Fighting Falcon adalah salah satu pesawat tempur dari Generasi 4 yang terbaik, pesawat ini punya banyak keunggulan. Selain biaya operasional yang rendah, pesawat juga punya manuver yang baik dan sudah terbukti "battle proven". Meski Amerika Serikat kini sudah tak lagi menugaskannya di garis depan, akan tetapi di luar Amerika, pesawat single engine ini masih jadi andalan di garis depan di berbagai negara.

Yang terbaru, turunan F-16 Fighting Falcon yang diberi nama "F-16 Viper" juga sudah hadir di pasaran. Bahrain, Bulgaria dan Taiwan menjadi negara yang memiliki minat serius untuk mengoperasikan pesawat tersebut. Selain Viper, ada salah satu turunan F-16 yang menarik untuk dibahas, yaitu Mitsubishi F-2. Meski dilahirkan di Jepang, sama seperti Viper, F-2 berasal dari rahim Fighting Falcon. Jika Viper dari segi desain tidak jauh berbeda dengan F-16, maka F-2 memiliki beberapa perbedaan mencolok. Kali ini ane akan membahas salah satu anak kandung dari F-16, seperti biasa kita mulai dari sejarahnya, selamat membaca emoticon-Angkat Beer


SEJARAH


Andai saja Jepang tidak kalah dalam perang, kini mereka mungkin akan menjadi kekuatan yang superior di Asia. Namun, tinta sejarah menuliskan bahwa selama Perang Dunia 2 Jepang mengalami kekalahan, mereka dibuat menyerah setelah Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Setelah kalah perang, Jepang menjadi pesakitan, mereka harus tunduk pada Amerika. Persenjataan mereka pun dibatasi.

Meski setelah perang berakhir Jepang telah menjadi sekutu strategis bagi Amerika, namun sebenarnya mereka tak mau terus-terusan berada di bawah bayang-bayang Amerika di bidang persenjataan militer. Pada tahun 1975 Jepang berhasil membuat pesawat tempur sendiri yang bernama Mitsubishi F-1, setelah itu industri kedirgantaraan mereka semakin berkembang setelah pada awal tahun 1980 memproduksi F-15J dibawah lisensi McDonnell Douglas.

Setelah punya cukup pengalaman dalam mendesain pesawat, kontraktor pertahanan Jepang ingin membangun pesawat baru yang lebih modern dari nol untuk mengembangkan keterampilan insinyur mereka dan, pada gilirannya, mengembangkan industri pesawat Jepang. Meski sebenarnya pada era 80-an Mitsubishi F-1 belum terlalu tua usianya, namun Jepang sudah mulai mencari penerusnya.


Quote:



Wacana untuk membangun pesawat tempur sendiri mulai mengemuka pada tahun 1985, ketika program akan dimulai, beberapa pejabat Amerika Serikat menyatakan kekhawatirannya. Mereka mengatakan bahwa, program tersebut akan melemahkan hubungan pertahanan AS-Jepang. Di mana Amerika memang menjadi negara yang memasok kebutuhan alutsista Jepang, khususnya pesawat tempur. Dengan program yang dibangun oleh Jepang, tentu Amerika akan kehilangan pelanggan potensialnya.

Pejabat Pentagon lantas menganjurkan produksi bersama dan pengembangan bersama pesawat yang akan dibuat Jepang tersebut, mereka mengusulkan platform F-16 atau F/A-18. Karena Pentagon percaya bahwa Jepang tidak akan setuju untuk membeli pesawat Amerika, maka Paman Sam menawarkan produksi bersama, supaya ada kandungan lokal Jepang dalam pesawat tersebut. Meski sebenarnya pesawat dibuat di Jepang, Amerika tetap bisa mengambil keuntungan dengan memasok beberapa komponen pesawat.

Pada awal tahun 1987, Amerika Serikat, melalui Caspar Weinberger dan pejabat administrasi lainnya, secara resmi menekan Jepang untuk melaksanakan proyek kerjasama tersebut sebagai wujud hubungan bilateral AS-Jepang. Waktu lobi ini bertepatan dengan dipublikasikannya skandal Toshiba-Kongsberg, di mana Toshiba ditemukan telah menjual mesin propeller kapal selam ke Uni Soviet, hal tersebut dipublikasikan pada bulan Mei 1987. Akibat dari skandal tersebut Toshiba mendapat embargo, semua produknya dilarang masuk Amerika.

Karena tidak ingin mengambil resiko yang nantinya malah memperburuk hubungan kedua negara, Jepang akhirnya menyetujui usualan tersebut. Amerika yang waktu itu dipimpin rezim Reagan dan Jepang dipimpin Perdana Menteri Nakasone, resmi mengumumkan program kerja sama pada Oktober 1987. Di bawah nota kesepahaman yang ditandatangani pada November 1988, General Dynamics (produsen asli F-16) akan menyediakan teknologi F-16 Fighting Falcon untuk Mitsubishi Heavy Industries, dan akan menangani hingga 45% pekerjaan pengembangan sebagai kontraktor utama bersama.


Quote:



Sementara di pihak Amerika, pejabat senior di Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan AS mendukung proyek tersebut sebagai sarana bagi Amerika untuk mengakses teknologi Jepang serta sebagai sarana untuk memperkuat hubungan AS-Jepang. Akan tetapi Departemen Perdagangan dan banyak anggota Kongres menentangnya.

Mereka menganggap proyek ini terlalu beresiko, karena bisa memperkuat kemampuan Jepang untuk bersaing dengan perusahaan kedirgantaraan Amerika. Lawan di Kongres berpendapat bahwa Jepang harus memperoleh pesawat Amerika untuk mengimbangi defisit perdagangan antara kedua negara. Lebih dari dua puluh anggota Senat menuntut peninjauan resmi atas kesepakatan tersebut.

Proses menuju kelahiran F-2 memang dipenuhi gonjang-ganjing, karena sebagin anggota Kongres merasa khawatir untuk mentransfer teknologi ke Jepang. Setelah George Bush menjabat sebagai presiden Amerika, pada Januari 1989 pemerintah AS menanggapi kritik dalam negeri terhadap kesepakatan tersebut dengan merevisi tentang ketentuan MOU, yang dipandang pemerintah Jepang sebagai upaya untuk merundingkan ulang.

Bush kemudian mengumumkan kesepakatan yang direvisi pada April 1989, tak lama sebelum pengunduran diri Perdana Menteri Jepang Noboru Takeshita. Dalam revisi ini akses Jepang ke kontrol penerbangan dan perangkat lunak kontrol senjata dibatasi, sementara AS memiliki akses ke teknologi baru apa pun yang dikembangkan Jepang. Selain itu kontraktor Amerika mendapat bagian 40% dari produksi untuk program tersebut.

Anggota parlemen Jepang Shintaro Ishihara adalah salah satu orang yang mengkritik keras kesepakatan tersebut. Pada tahun 1990 ia berpendapat bahwa, Jepang harus memberikan teknologi pertahanan mereka yang paling canggih ke Amerika Serikat. Akan tetapi mereka juga harus membayar biaya lisensi dan paten untuk setiap bagian dari teknologi yang digunakan, padahal sebagian teknologi tersebut adalah buatan Jepang.


Quote:



Pekerjaan membangun pesawat diserahkan kepada Mitsubishi Heavy Industries, awalnya diberi kode Mitsubishi SX-3, kemudian dirubah menjadi FS-X. Mitsubishi F-2 dibangun dari basis F-16 Agile Falcon, merupakan desain pesawat yang ditawarkan General Dynamics pada tahun 1984 untuk U.S Air Force untuk program Advanced Tactical Fighter (ATF).

Namun, Agile Falcon tidak masuk dalam kandidat program tersebut. Dua kandidat yang masuk sampai tahap akhir adalah desain dari Lockheed Martin dan Northrop Grumman, di mana dari program ini melahirkan pesawat bernama F-22 Raptor, yang desainnya dimenangkan oleh Lockheed Martin.

F-2 menggunakan desain sayap F-16 Agile Falcon, sayap ini 25% lebih besar dibandingkan milik Fighting Falcon, badan pesawat F-2 juga lebih besar dari F-16 asli. Program ini melibatkan transfer teknologi dari AS ke Jepang dan sebaliknya. Tanggung jawab untuk pembagian biaya dibagi 60% untuk Jepang dan 40% untuk AS. Setelah General Dynamics diakuisisi Lockheed Martin, program ini tetap dilanjutkan oleh perusahaan tersebut.


Quote:



Setelah berbagai tahap produksi selesai, purwarupa bernama XF-2A terbang perdana pada tanggal 7 Oktober 1995. Waktu itu Pemerintah Jepang menyetujui pesanan untuk 141 pesawat, tapi kemudian dipotong menjadi 130, dan dijadwalkan memasuki layanan pada tahun 1999. Masalah struktural mengakibatkan masuknya F-2 ke layanan tertunda hingga tahun 2000.

Karena masalah dengan efisiensi biaya, pesanan untuk pesawat kemudian berubah menjadi 98 (termasuk empat prototype) pada tahun 2004. Pengujian penerbangan dari empat prototype dilakukan di Lapangan Udara Gifu. Pesawat produksi terakhir yang dipesan berdasarkan kontrak dikirim ke Kementerian Pertahanan pada 27 September 2011. Penghentian produksi F-2 dihentikan tahun itu juga akibat dampak tsunami yang melanda Jepang pada tahun tersebut.


"Viper Zero", Program yang Dianggap Gagal Oleh Banyak Orang, Tapi Dianggap Sukses Oleh Jepang


Mitsubishi F-2 mendapat julukan "Viper Zero",nama ini merupakan gabungan dari julukan "Viper" yang disandang F-16 dan "Zero" yang berasal dari pesawat "Mitsubishi A6M Zero" yang jadi andalan Jepang semasa Perang Dunia 2. Dari total 98 pesawat, Jepang memiliki 62 F-2A kursi tunggal, dan 32 F-2B kursi ganda ditambah empat prototype. Tercatat hanya satu F-2 yang megalami "total lost", ketika sebuah F-2B terbakar pada 31 Oktober 2007.

Program F-2 termasuk kontroversial, karena biaya per unit serta biaya pengembangan yang mahal, kira-kira empat kali lipat dari biaya F-16 Block 50/52. Dikutip dari Jejak Tapak, harga satu unit F-2 sekitar US$ 127 juta atau sekitar Rp1,9 triliun, yang berarti empat kali lebih mahal dibandingkan F-16. Bahkan pesawat ini juga jauh lebih mahal dibandingkan F-15J Eagle Jepang yang lebih memiliki kemampuan dalam membawa persenjataan dan jangkauan serta kecepatan.

Tak heran jika banyak orang yang menganggap proyek ini sebagai proyek gagal, akan tetapi Pemerintah Jepang tidak berpikir demikian. Bisa mendapat akses teknologi ke Amerika merupakan hal yang langka, meski pada akhirnya mereka harus merogoh kocek yang tidak sedikit, akan tetapi biaya yang dikeluarkan sepadan dengan ilmu yang didapatkan. Bagi Jepang ilmu yang didapatkan dari program F-2 tidak bisa dinilai dengan uang. Saat ini mereka mulai melangkah maju untuk membuat pesawat tempurnya sendiri, pesawat yang dimaksud kini diberi kode program FX Godzilla. Pesawat ini kelak akan menggantikan peran F-2.


Quote:



F-2 didesain untuk berpatroli di lautan luas yang mengelilingi Jepang serta menyerang musuh yang mendekat dari udara dan air. Oleh karena itu, Mitsubishi F-2 memiliki tangki bahan bakar yang diperbesar untuk patroli jarak jauh, sehingga meningkatkan radius tempurnya hingga 520 mil. F-2 lebih panjang setengah meter jika dibandingkan F-16, selain itu F-2 memiliki ekor yang lebih besar, kanopi tiga bagian, dan permukaan sayap yang 25% lebih besar untuk memungkinkan kemampuan manuver yang lebih besar dan tambahan cantelan senjata.

Untuk mengimbangi penambahan berat prsawat, badan pesawat dibuat dengan material komposit ringan. Termasuk memakai material epoxy grafit, yang membuat pesawat sulit terdeteksi radar. Pada bagian hidung F-2 dibekali radar Active Electronically Scanned Array J/APG-2. Radar ini bisa mendeteksi jet tempur dari jarak 145 mil dan kapal dari jarak 100 mil.

Dengan bodi yang bongsor, F-2 dapat membawa muatan lebih berat. Dengan dilengkapi 13 cantelan senjata, beban standar F-2 yaitu membawa satu atau dua tangki bahan bakar eksternal, dua hingga empat rudal jarak pendek dan empat rudal anti-kapal atau rudal udara ke udara jarak jauh.


Quote:



Pada 11 Maret 2011, gempa terkuat yang pernah tercatat oleh Jepang mengguncang prefektur Tohoku di timur laut pulau Honshu, menyebabkan gelombang tsunami setinggi 40 meter yang menyapu beberapa mil hingga daratan. Tsunami juga menyebabkan kebocoran nuklir di Fukushima dan menewaskan sekitar 16.000 orang.

Tsunami juga membanjiri Skuadron Pelatihan 21 di Matsushima dengan air garam korosif, total 18 unit F-2B kursi ganda terkena air garam korosif. Salah satu F-2 bahkan terseret sampai ke sebuah gedung. Akibat tsunami tersebut, jalur produksi F-2 ditutup tahun itu. Efek dari resesi global membuat jalur produksi F-2 menjadi tidak terjangkau. Dikutip dari Jejak Tapaksetelah dilakukan survei, enam F-2B dianggap rusak sedang dan diperbaiki dengan biaya sekitar US$ 724 juta atau sekitar Rp 10 triliun.

Sementara tujuh pesawat diganti suku cadangnya, dengan total anggaran US$ 66 juta atau sekitar Rp 963 juta per pesawat, perbaikan tersebut selesai pada Februari 2018. Sementara lima pesawat hanya mengalami rusak ringan. Skadron ke-21 sendiri mulai diaktifkan kembali pada tahun 2016 dengan armada 10 unit F-2B. Menurut rencana, F-2 diperkirakan akan terus beroperasi setidaknya hingga 2030. Untuk itu pesawat telah menerima sejumlah peningkatan, salah satunya pada radar AESA J/APG-2 yang dirancang untuk menembakkan rudal AAM-4B dengan peningkatan sistem pencari dan jangkauan deteksi sampai 75 mil.


Quote:



Beberapa perusahaan yang terlibat dalam proyek F-2 antara lain: General Electric, Kawasaki, Honeywell, Raytheon, NEC, Hazeltine, dan Kokusai Electric mereka adalah sub-kontraktor komponen utama. Lockheed Martin memasok bagian badan depan dan belakang pesawat, sistem manajemen, dan komponen lainnya. Kawasaki membangun bagian tengah badan pesawat, serta membuat pintu roda pendaratan dan mesin, sementara badan depan dan sayap pesawat dibuat oleh Mitsubishi.

Beberapa avionik masih dipasok oleh Lockheed Martin, sementara sistem fly-by-wire digital dikembangkan bersama oleh Japan Aviation Electric dan Honeywell. Untuk kontraktor sistem komunikasi dan interogator IFF antara lain: Raytheon, NEC, Hazeltine, dan Kokusai Electric. Radar pengendali tembakan, IRS, komputer misi, dan sistem EW dikembangkan oleh perusahaan Jepang. Untuk [erakitan akhir pesawat dilakukan di Jepang, tepatnya di fasilitas Mitsubishi di Komaki, Nagoya.


Sering Mencegat Pesawat Rusia


Memasuki dua dekade pengabdiannya, F-2 sudah beberapa kali mencegat pesawat milik Rusia yang melintasi wilayah laut Jepang. Salah satu peran pertahanan udara yang dilakukan F-2 adalah pada 7 Februari 2013, di mana ada dua Su-27 Flanker Rusia yang mendekat ke ruang udara Jepang di dekat Hokkaido. Kemudian JASDF (Japan Air Self Defense Force) mengirim empat F-2 untuk mencegat Flanker dan mengambil foto dari pertemuan itu.

Enam bulan kemudian, F-2 mencegat dua pesawat patroli maritim Tu-95MS Bear yang mendekati ruang udara di dekat pulau Kyushu. Pada tahun 2017, F-2 kembali bertemu dengan dua pembom Tu-95MS yang dikawal oleh dua Su-35 yang melakukan penerbangan di lepas pantai Jepang. Pada awal bulan Februari 2019, F-2 kembali mencegat masing-masing satu unit bomber Tu-95MS dan Su-35 yang kembali melintasi wilayah udara Jepang.

Mitsubishi F-2 saat ini terbang dalam empat skadron, yang pertama Skadron Tempur Taktis ke-3 di Pangkalan Udara Misawa di Honshu, Skadron ke-6 dan 8 di Pangkalan Udara Tsuiki di barat daya Kyushu, dan Skadron Pelatihan ke-21 yang berbasis di Matsushima. Berikut ini adalah sekilas spesifikasi Mitsubishi F-2:

Quote:



Demikian sekilas sejarah panjang dari Mitsubishi F-2, semoga bisa bermanfaat sekaligus menambah referensi baru untuk agan dan sista. Tetap semangat dan jaga kesehatan, sampai jumpa emoticon-Angkat Beer




Referensi Tulisan: 1.2.3.4
Iluatrasi Foto: Google Image, jetphotos.com dan berbagai sumber
0