Bibirku bungkam menahan isak, namun perhatian dari Eyang akhirnya membuat tangisku pecah...
Kuceritakan semua prahara yang tengah menerpa biduk rumah tanggaku. Dengan sabar, Eyang mendengarkan semua keluh kesahku.
"Sekarang apa maumu ndhuk? Ingin bertahan atau berpisah?" Tanyanya dengan hati-hati, mungkin beliau takut menyinggung perasaanku.
"Entahlah Eyang, saat ini pikiran Ima masih kalut. Hati Ima ingin berpisah, namun.." tak kuteruskan kalimatku.
"Gendis?" Ucap Eyang seraya menatap mataku.
"I-Iya" jawabku dengan terisak.
"Ndhuk seperti yang pernah Eyang katakan padamu, suatu saat Gendis yang akan menjadi pemersatu orangtuanya. Mungkin sekaranglah waktu yang tepat."
Aku terdiam mendengar ucapan Eyang.
"Kalau Eyang boleh memberi saran, tolong beri suamimu kesempatan satu kali lagi. Saat ini mungkin hatimu akan sulit memafkan, namun percayalah seiring berjalannya waktu, rasa itu akan bersemi kembali."
"Apa iya Mas bisa berubah?" Tanyaku bagai anak kecil yang tersesat.
"Insya Allah. Percayalah dengan kuasa Tuhan. Dia yang maha membolak balikan hati umatNya." Eyang menyunggingkan senyum tipis berusaha menenangkan hatiku.
"Ndhuk, Eyang mohon bersabarlah. Selalu bawa nama suamimu dalam doa. Maaf ndhuk, bukannya Eyang mendahului kuasa Sang Pencipta. Jika kalian berpisah, Eyang lihat kedepannya masalah akan silih berganti menghampirimu."
Aku menghela nafas pendek "Insya Allah Eyang, Ima akan berusaha mengikuti saran Eyang" tandasku dengan pikiran kosong.
"Bagus! Bismillah dan selalu semangat. Jangan pernah menyerah karena perjalananmu masih sangat panjang. Gendis membutuhkanmu ndhuk."
Aku memaksakan diri tersenyum mendengarkan nasehat Eyang.
Ada benarnya yang Eyang ucapkan. Masalah ini terlalu pelik, aku tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan, karena ada masa depan putriku yang menjadi taruhannya.
"Eyang, terima kasih sudah mau mendengarkan keluhan Ima. Terima kasih selalu menyayangi Ima dan Gendis." Dimataku, Eyang merupakan sosok pengganti ayahku yang telah tiada. Aku bersyukur masih ada orang yang peduli kepadaku dan puteriku.
"Sama-sama ndhuk, kapanpun Ima membutuhkan bantuan atau masukan dari Eyang, pintu rumah ini selalu terbuka menerima kedatanganmu" senyumnya tulus.
Setelah perasaanku lega, akupun segera pamit pulang. Rasanya beban di hatiku sedikit berkurang setelah berbicara dengan seseorang yang dapat memahami serta mau mendengarkan semua keluh kesahku.
***
Di teras rumah aku nikmati indahnya suasana dimalam hari, langit begitu cerah bertabur bintang-bintang. Sayup-sayup terdengar suara jangkrik bersahutan memecah keheningan malam.
Pintu ruang tamu terbuka, sudut mataku melihat Tante dan Om menghampiriku yang sedang duduk termangu sendirian di pelataran teras. Mereka mengambil kursi dan duduk tidak jauh dari diriku.
"Ima bisakah om dan tante meminta waktumu sebentar?" Suara om memecah kesunyian.
"Iya om, ada apa?" Tanyaku malas-malasan. Aku sudah paham kemana arah pembicaraan mereka.
"Tadi tantemu sudah memberitahu om kalau rumah tanggamu sedang diterpa masalah. Boleh om tau bagaimana kronologisnya?"
Aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan dari bibirku yang tipis. Hatiku berontak jika harus menceritakan kembali peristiwa yang sudah melukai hatiku.
Namun karena keluargaku yang meminta, akhirnya aku ceritakan semuanya dengan mendetail. Termasuk bukti yang sudah kudapatkan.
"Kalau menurut pendapat Om, sebaiknya Ima memberi kesempatan sekali lagi untuk Dedi. Bukan kenapa-kenapa, om hanya memikirkan nasib Gendis. Apa kamu tega kalau Gendis tumbuh tanpa figur seorang ayah?" Tanya om dengan bijak.
"Aah" keluargaku begitu menyayangi suamiku. Aku yakin mereka pasti merasa berat jika aku harus berpisah dengan Mas. Sifat suamiku yang lembut penuh perhatian serta royal, telah berhasil mencuri hati mereka!
"Sejujurnya Ima bingung apa yang harus Ima lakukan. Ima sudah tidak ada rasa lagi sama Mas tapi di satu sisi Ima juga memikirkan Gendis" jawabku sambil menatap kosong ke depan.
"Nah itu maksud om. Tolong Ima pikirkan baik-baik, jangan hanya berpikir tentang dirimu sendiri namun juga pikirkan tentang anakmu" pungkas om tegas.
"Mama juga inginnya kamu dan Mas Dedi tidak berpisah. Kalau kalian sampai berpisah, siapa yang akan menafkahi kamu dan Gendis?" Tanteku menyela ucapan suaminya.
"Insya Allah kalau masalah materi, Mas akan tetap bertanggung jawab ma. Soalnya kami sudah ada kesepakatan sendiri."
"Oke! Untuk saat ini dan beberapa bulan ke depan mungkin Dedi masih mau menafkahi kalian. Tapi bagaimana kedepannya? Jika Dedi menikah lagi, apa dia akan tetap peduli dengan Gendis? Kamu mungkin berpikir bisa mencari pekerjaan, tapi siapa yang akan merawat anakmu? Mama tidak mungkin bisa menjaga Gendis karena mama juga memiliki kesibukan!" Sindir tanteku dengan kalimat yang menohok jantung.
Ingin aku membantah ucapannya. Bukankah Allah Maha Pemberi? Allah yang memberikan rejeki, bukannya Mas Dedi? Namun bibirku rasanya terkunci. Aku paham dengan sifat tanteku yang tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Daripada aku membuang energi beradu argumen dengannya, lebih baik aku mengalah.
"Semoga Ima bisa merenungi saran dari om dan tante. Tolong jangan egois! Pikirkan Gendis!" Timpal om sambil menepuk pelan bahuku seraya meninggalkan teras. Diikuti dengan tanteku yang mengekor di belakangnya.
Aku termenung memandang jauh ke depan. Seiring kupejamkan mata, berbagai pertanyaan berkecamuk di benakku. Perlahan aku mencoba mengendalikan pikiranku. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
***
Pagi hari mentari bersinar terang. Hiruk pikuk kicauan burung terdengar dari sangkarnya yang tergantung di taman dekat kolam ikan. Gendis tersenyum melihat ke arah burung yang berwarna-warni, tangannya berusaha menggapai sambil tertawa kecil.
Aku membuka pintu gerbang dan mulai mendorong stoller merah putriku. Cuaca terlihat cerah, waktu yang tepat berjemur bermandikan cahaya mentari pagi. Dengan langkah riang aku mengajak putriku berkeliling dalam komplek. Tetangga tanteku tersenyum dan menyapa Gendis saat berpapasan dengan kami. Akupun membalas senyuman dan sapaan mereka sambil mengamati kompleks perumahan yang tampak asri dan terawat.
Saat ingin belok ke arah Blok. L, Gendis tampak melambaikan tangannya ke rumah di sebelah kiri jalan. Aku menoleh, penasaran dengan sosok yang menyapa putriku.
"Deeg..." jantungku berdesir kencang.
Langkahku terhenti dan keningku mengerenyit.
Kulihat tanda "DILARANG MASUK!" bertuliskan cat warna hitam yang digantung di depan pintu pagar berwarna biru langit yang catnya mulai mengelupas dan terlihat kusam. Atmosfer mistis tampak menyelimuti rumah di hadapanku.
Kuamati rumah megah bercat kuning gading dengan sarang laba-laba yang tampak memenuhi sudut dinding rumah dan langit-langitnya. Pohon pisang, tanaman rambat, rumput liar dan lumut nampak memenuhi halaman rumahnya yang luas. Aku bergidik ngeri melihatnya! Aku takut kalau ada ular yang bersemayam di antara rerumputan dan tanaman liar yang tumbuh cukup tinggi.
Harus kuakui bentuk struktur bangunan rumah ini terlihat bagus dengan pilar-pilar kokoh yang menopangnya. Bisa dibilang mungkin dulunya rumah ini adalah rumah yang sangat mewah. Namun sekarang secara kasat mata, kondisi rumah terlihat begitu menyeramkan dan menyedihkan.
"Sayang sekali rumah sebesar dan sebagus ini terbengkalai tidak dirawat dan ditinggalkan begitu saja oleh penghuninya" gumamku dalam hati.
Gendis mulai tertawa kegirangan dan bertepuk tangan. Ia melambaikan tangannya ke sebuah jendela yang terlihat kusam penuh debu. Kakinya dihentakkan di atas stoller petanda ingin meminta turun. Seperti ada seseorang yang sedang mengajak putriku bercanda dan memanggilnya untuk mendekat.
"Gendis lagi tertawa sama siapa?" Tanyaku pada putriku sambil memberanikan diri menatap ke arah jendela yang sedang ia tunjuk.
Sekilas sudut mataku menangkap bayangan hitam tampak melayang dari balik jendela yang kayunya mulai keropos dimakan rayap.
"Astagfirullah" pekikku tertahan sambil mundur selangkah.
"Ima ngapain kamu berdiri disitu!" Aku tersentak kaget mendengar suara yang sepertinya tidak asing lagi tengah berteriak ke arahku.
Aku segera menoleh ke arah suara tersebut, dan tampaklah Eyang dan Bang Adi dengan langkah tergesa-gesa berjalan menghampiriku.
"Ngapain kamu berdiri disini? Apa kamu tertarik ingin membeli rumah ini?" Tanya Eyang dengan wajah memerah tertimpa sinar matahari.
"Eh, bukan begitu Eyang. Tadi Ima perhatikan Gendis melambaikan tangannya ke dalam rumah ini. Ima pikir ada tetangga yang menyapa Gendis. Tapi pas Ima lihat, rumah ini kosong. Tidak ada penghuninya sama sekali" jawabku dengan wajah keheranan.
Eyang terkekeh mendengar ucapanku "Kamu itu polos sekali ndhuk. Siapa bilang rumah itu tidak ada penghuninya? Wong banyak begitu yang menempati dalam rumah sampai di depan pagar. Makanya rumah ini sudah lama tidak laku terjual. Mana ada orang yang minat membelinya jika aura rumahnya seram begini" sahut Eyang sambil terus mengamati ke arah rumah kosong yang berdiri di hadapan kami.
Bang Adi hanya tersenyum mendengar percakapan aku dan Eyang. Sambil tangannya sesekali mencubit pelan pipi Gendis yang bersemu merah akibat terlalu lama berjemur di bawah matahari.
"Seandainya rumah ini tidak ada penghuninya, terus siapa yang dari tadi asik mengajak cucuku ngobrol?" Tanya Eyang sambil tersenyum tipis.
"Tapikan rumah itu memang kosong Eyang" timpalku tanpa berpikir panjang lagi.
"Yang kamu lihat rumah ini memang tidak ada penghuninya, tapi coba apa yang sedang dilihat sama putrimu?"
"Mana Ima tau apa yang sedang Gendis lihat, kan Ima normal tidak seperti Gendis?" Sahutku memberi alasan. Jelas-jelas saat ini yang sedang kulihat adalah rumah yang benar-benar kosong melompong!
"Mau Eyang buka mata batinmu? Biar kamu tau apa yang sedang dilihat dan mengajak anakmu berbicara" tantang Eyang dengan mimik wajah serius.
"Nggak! Ima tidak mau berhubungan sama
mereka"tolakku tanpa berpikir panjang lagi. Aku masih trauma melihat wujud
mereka yang sangat menyeramkan. Lebih baik aku tidak berurusan dengan kehidupan
mereka. Nyaliku terlalu ciut!
"Memang pemilik rumah ini kemana Eyang?" Tanyaku penasaran.
"Pemilik rumah ini sudah lama meninggal, semua anak-anaknya sudah dewasa dan tinggal di Jakarta jadi tidak ada yang mau menempati dan mengurus rumah tersebut. Makanya rumah ini sekarang terbengkalai. Sangat disayangkan sekali rumah sebagus ini tinggal menunggu waktu menjadi reruntuhan puing" gumam Eyang sambil menatap ke arah atap rumah.
Tiba-tiba telunjuk Gendis menunjuk ke arah ayunan tua yang berada di halaman rumah.
"Krieet.. kriiieet" Pelupuk mataku melihat ayunan itu mulai mengayun perlahan, padahal tidak ada satupun orang yang menaikinya ataupun angin kencang yang meniupnya!
Badanku bergetar merinding, bulu halus di tengkukku mulai berdiri perlahan.
"Eyang.. ayunannya kenapa bergerak sendiri?" Tanyaku pelan sambil menatap ke arah ayunan yang terus mengayun tanpa henti.
Kulihat Eyang melirik sekilas ke arah ayunan yang bergerak secara konstan. Matanya menatap tajam penuh misteri. Sepertinya Eyang sedang berkomunikasi dengan penunggu rumah yang tengah asik bermain ayunan dan ingin menunjukkan eksitensinya di hadapan kami.
"Biarkan saja
mereka yang sedang asik bermain! Kita tidak usah mengganggu
mereka.
Toh mereka juga tidak berniat mengganggu siapa-siapa. Ayo Ima, sampai kapan kamu mau berdiri disini terus? Apa Ima menunggu penghuni rumah ini keluar dan berkenalan denganmu?" Suara Eyang yang berwibawa terdengar begitu kencang hingga mengagetkan aku.
"Ayo pergi!!" Ajak Eyang sambil mendorong stroller Gendis berjalan menjauh dari rumah kosong. Aku dan Bang Adi hanya terdiam sambil mengikuti langkah Eyang menjauh dari rumah yang tampak menyimpan berjuta misteri. Samar-samar sudut mataku menangkap bayangan putih berdiri di dekat pohon pisang dengan wajahnya yang terlihat pucat pasi tengah melambaikan tangannya ke arahku.
***
Malam harinya ketika aku dan Dwi sedang mengobrol di kamar, terdengar suara teriakan tante "Dwi, Ima besok mau ikut liburan ke Subang tidak?"
Serempak aku dan Dwi segera lari berhamburan ke luar kamar, menuju ke kamar utama. Kulihat Gendis sedang asik bercanda dengan om di atas tempat tidur. Berkali-kali om tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah Gendis yang tidak bisa diam.
"Pak memang besok kita mau ke Subang?" Tanya Dwi meminta kepastian dari ayahnya.
"Bapak bukan ngajak kamu! Bapak cuma mengajak Gendis jalan-jalan ke Subang. Gendis belum pernah berendam di air hangatkan?" Tanya Om ke Gendis yang sedang asik duduk di atas perutnya.
"Aah.. Bapak curang nih! Masa malah ngajak cucunya bukan ajak anaknya!" Rajuk Dwi dengan suara manja.
"Ya sudah, kalau kalian mau ikut, sana segera
packing! Besok pagi-pagi sekali kita sudah berangkat biar tidak terjebak macet!"
"Yes" aku dan Dwi terlonjak kegirangan dan segera berlari ke kamar untuk berkemas.
Aku tersenyum sumringah
"Subang I'm coming.." gumamku dalam hati.
***
Mentari pagi telah bersinar dengan terangnya. Cuaca hari ini terlihat sangatlah cerah. Senyum mengembang dari bibirku yang menggunakan lipgloss strawberry.
Aku mengamati ke luar kaca jendela mobil yang menampilkan pemandangan hamparan sawah yang menghijau. Tampak anak-anak kecil sedang bekerja membantu orangtuanya di pematang sawah. Sungguh pemandangan yang memanjakan mata dan membuat bibirku tidak berhenti tersenyum.
Mobil melaju cepat melewati jalan tol yang agak bergelombang. Memasuki tol Cipularang, mendekati batu Bleneng yang dipercaya memiliki kekuatan gaib karena tidak bisa dipindahkan saat prosesi pembangunan jalan tol. Karena hal itu pula yang menyebabkan konstruksi jalan tol di wilayah tersebut dibuat berkelok-kelok mirip huruf S. Gendis mulai gelisah. Matanya membelalak ketakutan ke arah batu yang berdiri kokoh di sebelah bahu kanan jalan. Mulut putriku terbuka dan mulai menjerit histeris mengagetkan kami semua.
Entah hal gaib apa yang sedang dilihat oleh mata ketiga putriku sehingga dia begitu ketakutan. Segera kudekap Gendis dalam pelukanku dan mengalihkan pandangannya dari arah batu Bleneng, seraya kulantunkan Surat Al-Baqarah di telinga kanannya. Mobil melaju cepat bergerak menjauh dari lokasi batu disertai tangisan Gendis yang perlahan mulai berhenti.
Setelah menempuh perjalanan selama hampir tiga jam, akhirnya kendaraan kami mulai memasuki Subang. Di sepanjang perjalanan terlihat cekungan lembah yang dikelilingi rangkaian bukit dan pegunungan. Panorama alam yang asri, hamparan perkebunan teh yang membentang luas. Pemandangan alam yang sangat indah dan bikin mata yang memandangnya tak ingin berpaling.
Dari balik kaca mobil, iris coklat putriku menatap tajam ke arah pepohonan yang rimbun. Sesekali ia melambaikan tangannya ke arah rerimbunan pohon disertai senyuman yang tersungging dari bibirnya yang merah.
Dwi yang duduk di sampingku beringsut ketakutan "Mba, gordennya ditutup saja! Dari tadi aku perhatikan Gendis asik senyam-senyum sendiri ke arah pohon!" Tuturnya dengan bibir bergetar. Rupanya sepanjang perjalanan, Dwi selalu mengamati kelakuan aneh putriku.
Aku hanya tersenyum jahil mendengar ucapannya, namun segera kuikuti nasehatnya untuk segera menutup gorden kaca mobil. Gendis tidak suka dengan yang kulakukan, ia mulai mengamuk! Dengan kasar jemarinya menarik tirai tersebut dan membukanya kembali. Sepertinya putriku tidak suka jika dirinya diganggu saat sedang bertegur sapa dengan
teman barunya. Aku hanya menghela nafas keheranan melihat tingkah lakunya.
"Ndis, apa enaknya ngobrol sama mereka? Memangnya Gendis tidak takut sama mereka?" gumamku pelan sambil menatap pepohonan yang berbaris rapi di sepanjang jalan.
Di jalan Cagak, mobil mulai memasuki halaman parkir di salah satu hotel dan resort yang terkenal dengan pemandian air panasnya. Seorang petugas datang menghampiri kami dan memberitahu kalau hari itu seluruh room hotel dan bungalow sudah terisi penuh. Namun om dan tanteku tampaknya tidak mempercayai begitu saja ucapannya, mereka segera turun dari mobil dan berjalan ke arah lobi hotel.
Kubuka perlahan kaca jendela, seketika udara dingin khas perbukitan menyeruak masuk ke dalam mobil beserta aroma khas belerang yang berasal dari pemandian air panas.
Kuhirup dalam-dalam udara sejuk pegunungan sehingga mengisi seluruh paru-paruku.
"Segarnya" desisku dalam hati.
Dari kejauhan kulihat tante dan om berjalan menghampiri kami "Kita cari hotel yang lain, kata resepsionis kamar disini sudah full semua sampai tiga hari kedepan" ujar om dengan nada suara kecewa.
"Tenang Pak! Sini biar Dwi cari lokasi hotel terdekat" sambung Dwi sambil membuka salah satu aplikasi hotel di ponselnya.
"Pak, kita nginap disini saja! Villanya keren, ada kolam renang air hangatnya juga!" Tutur Dwi dengan wajah berbinar sambil menyerahkan ponsel ke ayahnya.
Setelah tante dan om berdiskusi, akhirnya mereka memutuskan untuk menginap di Villa yang Dwi pilih. Kebetulan lokasinya juga tidak terlalu jauh dari lokasi kami sekarang.
Sekitar tiga puluh menit, kendaraan kami memasuki halaman hotel yang sangat luas dan asri namun terlihat sepi. Di parkiran hanya terlihat lima kendaraan yang berjejer rapi. Perasaanku mulai dihantui rasa ketakutan dan was-was.
Kami segera turun menuju lobi hotel yang letaknya bersebelahan dengan restoran. Resepsionis menyapa ramah dan mempersilahkan kami untuk memilih Villa yang kami inginkan. Sesuai dugaanku, Villanya banyak yang kosong! Akhirnya tante memilih Villa yang letaknya tidak jauh dari parkiran.
Aku dan Dwi pamit berkeliling ingin melihat fasilitas di sekitar Villa.
"Jangan jauh-jauh! Nanti langsung ke Villa nomer 206 tempat kita menginap" ujar Tanteku sambil menunjuk ke arah Villa yang dimaksud.
Pandanganku mengedar ke halaman yang sangat luas. Tampak bangunan Villa berjejer rapi dikelilingi dengan pepohonan yang rimbun. Dengan mendorong stoller Gendis, aku dan Dwi berjalan menikmati pemandangan yang begitu memanjakan indera penglihatan.
Angin berhembus kencang, membuat sweater yang kupakai tersambar udara dingin. Aku segera berjongkok dan merapatkan sweater abu-abu yang putriku pakai.
"Kuat ya Ndis, jangan sampai alergimu kambuh karena terkena udara dingin pegunungan" senyumku sambil mencium pipi putriku yang mulai terasa dingin.
Aku merasakan uap yang keluar dari nafasku. "
Huuf, tumben dingin sekali cuaca di Subang!" Gerutuku pelan. Sambil sesekali menggosok-gosokkan ke dua telapak tanganku agar lebih hangat.
"Mba!! Cepat kesini Mba!" Pekik Dwi kegirangan seperti menemukan harta karun.
"Apaan sih Dwi? Suaramu bikin kaget saja!" Sahutku kesal melihat tingkahnya yang seperti anak kecil
"Lihat tuh Mba!" Teriaknya sambil menunjuk ke arah bawah Villa.
Kulihat anak tangga menuju ke bawah dimana ada dua kolam renang besar beserta air mancur menghias disana.
"Itu saja?" Tanyaku keheranan.
"Lihat lagi kesana Mba!!" Jarinya menunjuk ke arah lebih jauh lagi.
Tampaklah jejeran Villa yang letaknya agak di bawah dengan
playground yang tampak sepi.
"Mba bisa ajak Gendis main disana!" Mata Dwi mengerling jail.
"Hii.. Seram tau Dwi! Itu namanya cari penyakit kalau ngajak Gendis main disitu!" Aku bergidik ngeri.
"Dwi! Ima! Cepat kemari!" Teriak tanteku dari arah Villa.
Dengan bergegas, aku dan Dwi menuju ke Villa no.206. Bulu kudukku meremang melihat pohon beringin yang cukup besar dengan akar gantungnya yang menjuntai panjang dari atas ke bawah, berdiri kokoh di samping Villa.
"Assalamu'alaikum" ucapku membuka pintu.
"Kriieet" suara pintu terbuka.
Bola mata Gendis berkeliling menyapu ruangan. Tubuhnya membeku seperti patung. Iris matanya melotot. Ia mulai melolong, menjerit ketakutan!
Bersambung