- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Dua Sisi Rembulan
TS
IchsanXzero
Dua Sisi Rembulan
Quote:
Quote:
Once again up high in the sky tonight
A beautiful moon flickers
Hugged by someone
It fell asleep in the comforting embrace
As I am right now,
I'm crushed by the nights i spend alone
But, Hey!
I still want somebody to find me
A beautiful smile
A long and winding road
Will we ever meet again
Beneath the beautiful flickering moonlight
Bruno Mars - Talking To The Moon
Quote:
F.A.Q
Q : Ini real story gan?
A : Untuk mempertahankan privasi, anggap aja fiksi, oke?
Q : Setting cerita kapan gan?
A : Baca aja, nanti juga tau.
Q : Kenapa ganti judul?
A : Request dari seseorang di cerita ini.
Q : Lo siapa?
A : Read and you'll know.
Q : Yaudah deh gan gue gak mau banyak cincong, langsung baca aja.
A : Silahkan... Selamat membaca.
Q : Ini real story gan?
A : Untuk mempertahankan privasi, anggap aja fiksi, oke?
Q : Setting cerita kapan gan?
A : Baca aja, nanti juga tau.
Q : Kenapa ganti judul?
A : Request dari seseorang di cerita ini.
Q : Lo siapa?
A : Read and you'll know.
Q : Yaudah deh gan gue gak mau banyak cincong, langsung baca aja.
A : Silahkan... Selamat membaca.
Quote:
NOTES
- Enjoy aja ini cerita, gak usah kepo berlebihan. Gak bakal gue ladenin.
- Jangan spam, gue benci banget liat komenan isinya cuma spam, tapi jangan gak ngomen dan cuma jadi silent reader juga. Komen dari kalian yang kadang membuat gue semangat buat lanjut nulis kalau lagi gak mood.
- Gue akan tuntasin janji gue untuk menyelesaikan ini cerita.
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 125 suara
Siapakah yang akan menikah dengan Bulan pada Maret 2017?
Bulan (SMA)
64%Alya (SMA)
18%Tanya (SMA)
5%Mei (Kuliah)
6%Saras (Kuliah)
8%Diubah oleh IchsanXzero 01-09-2020 06:26
fhy544 dan 32 lainnya memberi reputasi
31
716.6K
Kutip
4.4K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
IchsanXzero
#4334
141. One Hundred And Forty One: A Reason To Be Grateful For
Quote:
Jujur awal-awal mulai kerja gue gak yakin kalau gue akan bisa mengikuti flow kerja di sini. Ya namanya juga gue kan gak baru kali ini menjadikan masak sebagai pekerjaan. Biasanya setiap gue masak ya gak perlu terlalu banyak memperhatikan segala tetek bengek seperti lama waktu memasak, kerapihan potongan bahan masakan, dan lain-lain, sedangkan namanya kerja kan beda cerita pastinya.
Gue pikir gue bakalan banyak melakukan kesalahan dan bakal sering dimarahin atau ditegur sama orang-orang dapur, mas Ipay dan mas Aji, tapi ternyata gak begitu. Setelah seminggu gue bekerja di sini, gue bisa bilang dengan mantap kalau mereka berdua sangat suportif dalam membantu gue beradaptasi dengan pekerjaan dapur. Untuk awal-awal ini, gue belum diberikan pekerjaan untuk memasak secara langsung, hanya membantu untuk menyiapkan bahan masakan sembari mempelajari menu. Ke depannya gue akan diperuntukkan juga untuk jadi juru masak di sini.
Mas Ipay adalah chef utama di dapur, sedangkan mas Aji bagian menyiapkan bahan sama seperti pekerjaan gue saat ini walaupun berbeda halnya dengan gue, mas Aji ini full timer. Selain sebagai chef utama, mas Ipay juga berperan sebagai semacam supervisor untuk kafe ini. Mereka berdua berumur kisaran dua puluh lima tahunan, jadi enggak begitu beda jauh lah dengan umur gue. Mereka berdua juga selain suportif di dapur, asik juga saat di luar kerjaan. Misal kami lagi nongkrong saat bubaran kafe, gak ada canggung-canggungnya kami bercanda dan ngobrol-ngobrol hal yang di luar kerjaan.
Ah, beruntung banget gue bisa punya senior/partner seperti mereka berdua.
Selain anak-anak dapur, gue juga sudah akrab sama anak-anak frontliner. Hilmi ini dia seumuran sama gue, lebih tua dari gue setahun. Dia ini yang sering nemenin gue ngerokok saat break karena gue gak mungkin break barengan sama mas Ipay atau mas Aji. Untuk Gina, dia ini umurnya dua tahun di atas gue. Gue juga lumayan sering ngobrol sama Gina walaupun memang gak sebanyak sama Hilmi. Ya namanya juga cuma ada enam karyawan kan, pasti ketemunya mereka-mereka lagi. Hanya sama Hilmi dan Gina yang gue manggilnya gak pakai embel-embel mas atau mba.
Gue belum bertemu sama sekali sama satu waitress yang lagi cuti, Saras. Kata anak-anak, dia kemungkinan baru masuk lagi minggu depan. Dia juga seorang part timer karena memang dia juga sambil kuliah, sama persis seperti gue. Penasaran sih gue sama dia karena kata si Hilmi, Saras ini cakep pake banget, hahaha.
=|O|=|O|=
Jumat siang ini, gue sedang ngerokok sama Hilmi selepas pulang jumatan. Karena kebetulan semua anak dapur beragama Islam, mau gak mau kafe tutup dari jam sebelas sampai jam setengah dua. Well, sebenernya kalau ada yang non pun, pak Toto akan tetap menyuruh kami untuk tutup.
Saat istirahat makan siang, biasanya gue dan Hilmi membeli makanan dari luar, makan di belakang, setelah itu baru ngerokok. Kami berdua ngerokok biasanya sambil duduk di tangga yang mengarah ke belakang kafe.
“Lo minggu ini terakhir masuk full?” tanya Hilmi sembari menghembuskan asap rokok, kemudian dia mengambil sebuah bangku plastik kecil untuk duduk dan mendudukinya.
“Iya nih, Mi.” jawab gue sembari membakar rokok juga.
“Masuk kuliah kapan emang?”
“Tanggal dua tujuh. Belom kuliah sih, baru ospek.”
Hilmi mengerutkan keningnya. “Lah masih tujuh hari, Lan, masih minggu depan banget Jumat mah... Terus kenapa gak full sampe hari Kamis minggu depan aja?”
Gue menggelengkan kepala. “Mau nyantai dulu gue. Nanti juga kan harus nyiapin buat perlengkapan ospek. Belum yang lain-lainnya.”
“Yah...” Hilmi terdengar sedikit sedih.
“Kenape emangnya, Mi?”
“Gak ada temen ngerokok gue nanti siang-siang, hahaha.”
Gue pun ikut tertawa mendengar ucapannya. Memang setelah gue mulai kuliah gue bakalan masuk mulai sore terus pastinya, yang mana jadinya gue bakalan gak ngerasain break makan siang lagi bareng Hilmi.
Hilmi mengintip ke arah ruang utama kafe yang bisa sedikit terlihat dari spot ini. “Santai nih kayaknya, belum ada pelanggan.”
Gue pun melakukan hal yang sama dengannya. Gue lihat sepertinya memang belum ada pelanggan sama sekali. Gue melirik ke arah jam di dapur yang juga bisa terlihat dari sini. Sudah hampir jam dua. “Bisa lah sebatang lagi ya.”
“He eh.” Hilmi mengangguk setuju.
Setelah sebatang rokok habis, gue kembali mengeluarkan sebatang lagi. Gue harus mengefisienkan waktu supaya bisa merokok semaksimal mungkin.
“Gimana, Lan, kesan pesan kerja udah seminggu nih?” tanya Hilmi.
“Ya begitulah, Mi, asik-asik aja sih.” jawab gue santai.
Dia tertawa. “Hahaha, gue jadi inget hari pertama lo gabung. Grogi banget mukanya.”
“Ya gue takut salah lah, Mi. Namanya juga baru. Gue takut aja bakal dimarah-marahin sama mas Ipay, mas Aji.” timpal gue sedikit sewot.
“Hahaha, mana mungkin dimarahin, Lan. Anak-anak sini mah santai-santai kali.”
Gue mengangguk pelan. “Ya namanya juga takutnya. Untung gak gitu.”
“Terus udah paham sama dapur?”
“Entahlah.” gue mengangkat kedua bahu. “Kan gue belum megang bagian masak.”
“Yaelah, santai. Gampang masak doang mah.”
“Gampang palalo peang!” sewot gue yang disusul oleh tawa puas dari Hilmi.
Gak berapa lama kemudian, mas Aji mendatangi kami berdua. “Lan, ada pesenan, gue mau nyebat dulu.” ucapnya sembari membakar rokok.
“Berapa?” tanya gue.
Mas Aji memberi gestur angka dua dengan jarinya, maksudnya ada dua pesanan
“Oke, mas.” gue pun beranjak berdiri, melemparkan puntung rokok yang sudah mau habis, menginjaknya, dan segera bergegas ke dapur.
“Lan, katsu satu cordon bleu satu ya.” ucap mas Ipay sesampainya gue di dapur.
Gue mengangguk dan bergegas untuk mencuci tangan sebelum menyiapkan bahan masakan.
=|O|=|O|=
Pagi ini, gue berencana untuk berbelanja barang-barang kebutuhan ospek bersama dengan Alya, Panji, dan Dira di sebuah pusat perbelanjaan grosir. Kami berempat yang notabenenya bakalan sekampus nanti sepakat untuk mencari peralatan ospek bareng.
By the way, ospek kami akan dimulai besok lusa dan akan berlangsung selama lima hari.
Saat ini gue sedang berada di depan rumah Alya menunggunya yang sedang bersiap-siap. Kami akan ketemuan sama Panji dan Dira langsung di tempat belanja nanti.
Gak berapa lama, muncul sosok Alya dari balik pagar. “Yuk, Lan.”
Gue menyisihkan sedikit waktu untuk memperhatikan penampilan Alya hari ini. Dia mengenakan sebuah blouse berwarna cokelat muda, celana jeans biru muda, dan sepasang sepatu kets putih. Kombinasi pakaian yang belum pernah sebelumnya gue lihat dikenakan olehnya. Kalau orang lain lihat mungkin merasa bahwa apa yang dikenakannya tidak terlalu cocok dengan postur mungilnya dan wajahnya yang cantik nan imut tersebut, tetapi menurut gue ini merupakan sensasi lain.
Damn, cute as f...
Well... she never ceases to amaze me to say the least, hahaha…
“Lan.” Alya mengibas-ngibaskan tangannya di depan muka gue.
Sepertinya gue memakan waktu lumayan lama untuk mengagumi penampilannya. Lebih tepatnya sepertinya gue dibuat cengo oleh penampilannya.
“E-eh, gi-gimana?” gue menggaruk-garuk pelipis yang gak gatal sesaat setelah tersadar dari lamunan.
Alya memicingkan matanya. “Ngelamunin apa, Lan?”
Gue tersenyum. “Lo.”
Alya terkaget. “Hah? Gimana?”
“Lo ngapain mau belanja aja cantik banget.” timpal gue setengah bercanda karena memang dia cantik banget saat ini.
Alya menghindari menatap muka gue, mencoba untuk menyembunyikan ekspresinya yang gue tahu pasti sedang tersipu malu. “Sekali-kali.”
Gue melihat ke arah jam tangan gue. “Yuk, jalan.”
“Jam berapa, Lan?” tanyanya.
“Udah mau setengah sepuluh ini.” jawab gue seraya memperlihatkan jam tangan gue kepadanya.
“Yuk.”
“Gue ambil motor dulu ya.”
“Naik mobil aja, Lan.”
“Naik motor aja, Al.” tolak gue. “Mau ngapain naik mobil, buang-buang bensin aja.”
“Biar nanti sekalian jalan kemana gitu baliknya.”
“Yah, gue kan kerja nanti sore.”
“Emang gue mau jalan sama lo?” ledek Alya sembari memeletkan lidahnya dengan unyu.
“Sialan.” gerutu gue yang berhasil diserang balik olehnya. “Emang lo mau jalan sama siapa coba?” selidik gue.
“Sama Dira.”
Gue manggut-manggut. “Oh.”
Alya menyodorkan kunci mobil ke gue. “Nanti baliknya lo sama Panji aja ya.”
Gue meraih kunci tersebut dari tangannya. “Iya, gampang.”
=|O|=|O|=
Empat puluh lima menit kemudian, kami sudah berada di tempat belanja. Gue saat ini sedang asik memperhatikan sekeliling tempat ini sambil merokok ditemani oleh Panji yang berada di sebelah gue. Karena kami orangnya mageran nemenin cewek-cewek belanja, kami alesan mau ngerokok dulu dan membiarkan para cewek-cewek untuk berbelanja.
Suasana tempat ini terbilang lumayan ramai. Gue lihat banyak dari pengunjung yang kira-kira seumuran dengan gue dan mereka berbelanja hal yang sama seperti apa yang gue belanjakan. Sepertinya mereka adalah anak-anak baru kampus gue juga.
“Lan.” panggil Panji.
Gue menoleh ke arahnya seraya menghembuskan asap rokok. “Hmm?”
“Cantik bener cewe lo belanja doang.”
“Gue tampol lo ye.” sewot gue sambil mengambil ancang-ancang untuk menampol Panji.
Panji cengengesan.
Gak perlu ditebak lagi kalau yang dimaksud sama Panji adalah Alya. Semenjak pulang dari Pangandaran ini anak semakin lama semakin sering ngeledekin gue sama Alya.
“Katanya mau jalan sama cewe lo abis ini.” lanjut gue menjelaskan dengan masih sewot.
“Iya gue tau. Kan Dira bilang sama gue.” timpalnya.
“Ya ngapain nanya lagi ke gue, setan!” gue semakin sewot.
Panji cengengesan lagi.
Gue, yang gak mau mengambil pusing dengan omongan dan kelakuan si anak sableng satu ini, gak menanggapi omongan Panji lebih jauh lagi.
“Terus lo balik dari sini sama siapa?” tanya Panji.
Gue menunjuk ke arahnya. “Ya sama lo lah, sama siapa lagi coba?”
“Dih, emang gue mau.” ledeknya.
“Setan.” timpal gue menggerutu.
Panji tertawa puas. “Hahaha, iya santai nanti sama gue. Btw, kerjaan gimana? Aman?”
“Gimana tuh maksudnya gimana nih?”
“Yee, udah lancar gak kerjanya?”
“Oh, amanlah, lancar.”
“Terus nanti pas kuliah gimana? Lo yakin gak bakal keteteran jadinya?”
“Santailah, pikirin nanti aja, hahaha.”
“Hahaha, oke-oke. Jangan lupa traktiran sih.”
“Yaelah gue aja baru kerja seminggu, Ji. Mana ada gue udah gajian.” sewot gue.
“Ya kalo udah gajian nanti lah.”
“Iye-iye, nanti gue traktir bakso depan sekolah.”
Panji berdecak. “Murah amat. Yang mahal kenapa.”
Gue tertawa puas.
“Tapi seriusan nih, lo gak mau jadiin aja sama Alya?” tanyanya dengan ekspresi tengil.
Gue gak menjawab, hanya melirik tajam ke arahnya.
“Iya gue tau lo belom bisa move on dari kak Bulan.”
Gue masih melirik tajam ke arahnya.
“Iya gue tau bakal aneh kalo pacaran sama adek mantan.”
Gue masih melirik tajam ke arahnya.
“Iya gue tau lo masih bingung sama perasaan lo buat dia.”
Gue menghela nafas panjang. “Itu lo tau. Gak perlu gue jawab kan?”
Kali ini Panji yang menghela nafas. “Jangan sampe nyesel aja sih.”
“Nyesel?”
Panji membetulkan posisi duduknya. “Dulu inget gak waktu lo nyia-nyiain kak Bulan?”
Gue menyandarkan punggung dan kepala gue ke kursi, kemudian memejamkan kedua mata. “Iya, terus?”
“Sekarang bukannya sama aja kayak dulu?”
Gue berpikir sejenak.
Mungkin, mungkin saja sekarang kondisinya mirip dengan waktu itu, tapi gue yakin bahwa ada sebuah perbedaan besar. Dulu saat gue suka sama Tanya, gue gak punya perasaan apa-apa sama Bulan, tapi sekarang gue tahu bahwa gue suka Alya walaupun gue gak tahu apakah gue punya perasaan cinta ke dia. Inilah salah satu alasan yang membuat gue bimbang saat ini. Di sisi lainnya gue juga sedang agak muak untuk memikirkan tentang cinta dan segala tetek-bengeknya.
“Gue butuh waktu buat tau apa yang gue mau, Ji.” ucap gue seraya membuka kedua mata. “Butuh sedikit waktu.”
“Iya, ngerti gue, Lan.” Panji menepuk pelan bahu gue. “Gue cuma gak mau lo nyesel lagi aja. Misal nanti perasaan Alya yang malah ilang dan dia pacaran sama orang lain. Bentar lagi kita masuk kuliah. Lo paham kan kalo dia tuh cantik? Otomatis bakal banyak cowok yang bakalan nyoba deketin dia.”
“Iya, gue paham, Ji.”
“Yang penting jangan lupa bersyukur kalo Alya tuh sukanya sama lo.”
Gue mengangguk kecil menanggapi ucapan Panji.
Gak berapa lama kemudian, datang Alya dan Dira. Mereka berdua menenteng beberapa kantong plastik berisikan hasil belanjaan mereka. Sepertinya mereka sudah selesai berbelanja.
“Udah?” tanya gue kepada mereka berdua.
“Udah nih.” jawab Alya. “Yuk balik.”
Gue dan Panji beranjak berdiri, kemudian kami berempat berjalan menuju ke parkiran. Gue berjalan di belakang Panji dan Dira bersebelahan dengan Alya.
“Sini biar gue bawain belanjaannya.” gue menawarkan.
Alya menggelengkan kepalanya.
Gue merebut semua kantong plastik dari dirinya yang hanya bisa pasrah. “Yee sini udah. Ini kan belanjaan buat gue juga.”
“Tadi lo berdua lagi ngomongin apa, Lan? Kayaknya serius banget.” tanyanya.
Gue membuang jauh pandangan ke depan seraya sedikit menyunggingkan senyuman getir di bibir. Sejurus kemudian, gue menoleh ke arahnya yang sedang melihat ke arah gue. “Hmm, apa ya? Gue juga lupa, hehehe.”
Diubah oleh IchsanXzero 17-09-2021 07:01
tirtagangga dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Kutip
Balas
Tutup