"Kamu sudah memilih.. Memilih wanita itu daripada aku dan puterimu"rintihku pilu berlinang air mata.
Aku berjalan dengan langkah gontai menyusuri lorong stasiun yang mulai terasa dingin dan sepi, semua begitu terasa hampa. Ku dekap erat Gendis untuk menguatkan diriku yang mulai rapuh, "tolong jangan pernah tinggalin mama ya Ndis," bisikku lirih.
Gendis menatapku dengan pandangan berkabut dan mulai menangis "Owaa.. Owaaa..!!" Terdengar tangisannya yang begitu kencang, seakan memahami apa yang sedang aku rasakan.
Aku terbangun dari tidurku dengan nafas tersengal-sengal dan sulit untuk kuatur. Perlahan aku membuka mata dan menatap kaki mungil puteriku tengah menendang-nendang tubuhku diiringi suara tangisannya yang terdengar lirih. Gendis seolah-olah sengaja membangunkanku agar tidak terjebak di dalam mimpi burukku sendiri.
"Alhamdulillah hanya mimpi", ku usap wajahku dengan jemari yang terasa sedingin es. Bayangan tentang apa yang terjadi dalam mimpiku semuanya tampak begitu nyata! Mimpi buruk yang hampir membuat diriku menjerit histeris!
"Ada apa ini ya Allah? Mimpi ini seperti firasat yang tidak baik, apa ada yang salah dengan suamiku?"
Segera ku gendong Gendis dan kuraih ponsel yang tergeletak di atas meja rias. Jam di layar depan ponsel menunjukkan waktu pukul empat lebih lima belas menit. Aku menghirup nafas dalam-dalam, ada sedikit rasa bimbang bergelayut di hatiku. Haruskah aku merendahkan harga diriku dengan menghubungi Mas Dedi terlebih dahulu dan menceritakan semua mimpiku tanpa memperdulikan apapun reaksinya? Atau aku tidak perlu memberitahunya dan menganggap mimpi yang baru saja terjadi hanya sebatas bunga tidur?
Hatiku bergejolak merasakan pertentangan yang terjadi dalam batinku. Masa bodoh apa tanggapannya, aku benar-benar tidak peduli! Tapi suamiku harus tau tentang mimpiku! Firasatku mulai berbicara dan hanya tinggal menunggu waktu untuk membuktikan kebenarannya!
Dengan ragu-ragu segera ku kirim pesan ke Mas. Kuceritakan perihal mimpiku dengan mendetail, aku tak ingin ada yang terlewatkan sedikitpun!
"Tiing" tak lama kemudian terdengar nada pesan masuk. Dengan perasaan sedikit gusar segera kubaca pesan yang ternyata balasan dari Mas " Mimpi itu hanya bunga tidur, ngapain juga harus kamu percayai? Nanti Mas mau ke Yogyakarta. Mas kangen ingin makan nasi kucing dan bertemu dengan dosen di kampus."
Hanya itu balasan dari suamiku. Jawabannya seperti api yang memantik bara dihatiku!
"Sama siapa kamu ke Yogya? Sendirian atau bersama teman? Kamu menginap di Yogya atau pulang lagi ke kota C?" Interogasiku dengan tangan bergetar menahan amarah.
"Tik.. Tik.. Tik.." lama kutunggu balasan darinya namun tidak ada satupun pesan yang kuterima. Saat itu juga rasanya ingin segera ku lempar ponsel ke dinding untuk meluapkan gemuruh amarah di hati! Namun ku urungkan niatku tersebut.
"Tunggu Mas.. Saatnya akan tiba. Akan aku dapatkan dan ku kumpulkan semua bukti kecurigaanku padamu! Akan ku bongkar semua kebohongan dan akal bulusmu itu!!!" Dengusku menahan dendam dan amarah yang bergejolak menjadi satu.
Sayup-sayup adzan subuh mulai berkumandang. Ku letakkan perlahan tubuh puteriku yang sudah tertidur pulas di atas peraduan. Kemudian aku segera bergegas ke kamar mandi untuk bersuci, percikan air wudhu di pagi hari terasa begitu menyejukkan wajah dan hatiku...
Selesai menunaikan shalat subuh, aku segera memanjatkan doa. Bagiku berdoa adalah saat dimana aku bisa leluasa bercengkrama dengan Sang Pencipta. Aku bisa mengeluarkan semua keluh kesahku tanpa harus ada rasa takut dan malu. Aku bisa mempercayakan semua rahasiaku kepada-Nya.
Dalam heningnya suasana pagi, kupanjatkan doa dengan penuh harapan "Ya Allah, tolong tunjukkan kebesaranMu padaku. Apabila semua kecurigaanku ini benar adanya, tolong berikan aku bukti. Apabila mimpi ini sebagai petanda buruk untukku tolong selalu jaga serta lindungi keluarga kecilku!" Jeritku tertahan. Bagiku firasat kali ini tidak main-main karena ada Gendis yang menjadi taruhannya!
Selesai berkeluh kesah dengan Sang Pencipta, kurebahkan tubuhku di atas pembaringan. Aku tak bisa memejamkan mata, tapi aku juga tak bisa membukanya. Tubuhku sudah terlalu lelah berkelana dengan pikiran yang mengangguku beberapa hari ini.
*****
Apalah maumu, kasih?
Kau pilih diriku di dalam hidupmu
Nyatanya, kulihat kini
Tak bisa kau coba untuk setia
Sudah, cukuplah sudah, ku memberikan waktu
Kau selalu tak bisa mencoba untuk setia
Pagi itu di teras rumah sambil ditemani secangkir teh hangat yang diberi perasan lemon segar, terdengar suara televisi tetanggaku menyetel lagu Krisdayanti yang sedang menyanyikan lagu cobalah untuk setia.
"Huff," aku menghela nafas dan memejamkan mata berusaha untuk tidak terbawa perasaan.
Kualihkan pandangan menatap Gendis yang tengah bermain di baby walkernya. Sesekali ia tertawa kegirangan saat kakinya mulai melangkah dan terkadang ia tersenyum saat pandangannya mengarah ke ranting pohon nangka yang tampak terayun-ayun walau tidak tertiup angin. Aku tersenyum melihat tingkahnya yang lucu dan menggemaskan.
Kebahagiaanku terganggu saat terdengar nada pesan masuk di ponselku yang kuletakkan di ruang tamu. Aku bangkit dari tempat dudukku dengan rasa malas dan segera beranjak ke dalam rumah. Kulihat nama Mas tertera di layarnya, dengan tak bergairah segera kubaca pesan darinya.
"Mas sudah sampai di Yogya. Sehabis makan siang dan dalam perjalanan menuju ke kampus secara tak sengaja Mas melihat becak bertuliskan Gendis yang sedang terparkir di bahu jalan. Mas jadi kangen teringat Gendis" tulisnya sambil menyisipkan emoticon
love
Dok. Pribadi
"Basi!" Dengusku pelan.
"Jadi kalau tidak melihat becak bertuliskan Gendis, kamu tidak ingat dengan puterimu sendiri? Tega sekali kamu Mas kalau sampai melupakan Gendis! DIA ITU TIDAK BERDOSA, ANAK KITA BELUM PAHAM APA-APA !!! Hatimu dimana Mas?? Entah mengapa saat itu juga aku melampiaskan semua kekecewaanku lewat pesan yang kukirim untuk suamiku. Mungkin kesabaranku sudah mencapai batasnya atau mungkin aku memang ingin mengibarkan bendera peperangan ke suamiku?
Seperti biasa tidak ada balasan darinya. Dia memilih menghindar dari pada harus berkonfrontasi denganku. Dengan perasaan kecewa segera ku lempar poselku ke sofa. Rasanya saat itu aku ingin mengatakan semua isi hatiku dan menumpahkan semua kebencianku, pada suamiku!
Seharian itu tidak ada kabar sama sekali dari suamiku, dirinya tampak menghilang bak ditelan bumi. Mungkin dia terlalu asik bernostalgia dengan dosen dan kampusnya tercinta atau..
Entahlah hanya prasangka buruk yang terus bergelayut dalam benakku.
"Kamu dimana dan sedang bersama siapa Mas? Kenapa tidak menanyakan kabar puterimu sama sekali?" Bisikku dalam hati.
*****
Keesokan harinya terdengar nada dering pesan masuk di ponsel. Kulihat sekilas tertera nama seseorang yang kemarin sempat menghilang tertera di layar ponselku.
Dengan bersungut-sungut kubuka pesan dari suamiku. Mas mengirimiku sebuah foto kota yang terkenal akan ukiran jatinya. "Mas lagi di Jepara" tuturnya singkat.
Ngapain ini orang mengirim foto kota Jepara? Sedang apa dia di sana? Apa dia mau mengajakku ribut lagi?" Geramku dalam hati.
Sesingkat itu pesannya setelah seharian menghilang tanpa pesan? Seketika itu juga darahku mendidih setelah membaca pesan yang suamiku kirim.
"Ngapain di sana?" Balasku ketus. Biar dia paham apa yang sedang aku rasakan saat ini! Itu juga kalau akal pikirannya masih ada!!
"Ada teman kuliah yang menawari Mas pekerjaan di perusahaan X. Kebetulan teman Mas itu memegang jabatan yang sangat penting. Dia meminta kesediaan Mas untuk bertemu dengannya di Jepara." Tukas suamiku memberi alasan.
"Ciiih..!!" Jaman sudah semodern ini tapi masih harus mengantarkan surat lamaran kerja secara langsung? Apa susahnya tinggal mengirim email tanpa harus bersusah payah pergi ke Jepara? Atau itu hanya alasanmu saja Mas?" Jawabku tak kalah sengit.
"Ima, teman Mas yang meminta agar Mas mengantarkan surat lamarannya secara langsung, dia menolak jika surat lamarannya dikirim lewat email. Ngapain juga Mas harus berbohong sama kamu?"
Pikiranku tidak bisa berpikir jernih, aku terlalu
overthinking. Siapa yang harus kupercaya? Perkataan suamiku atau instingku sendiri? Aku benar-benar tidak tau apa ucapan Mas itu jujur atau hanya kebohongan belaka.
"Siapa temanmu itu? Laki-laki atau perempuan?" Akhirnya terlontar juga pertanyaan itu walau hanya lewat sebuah pesan!
"Perempuan !" Balasnya singkat.
Jawaban dari Mas serasa menohok jantungku. Saat itu juga hatiku langsung terbakar api cemburu!
"Perempuan katanya? Sungguh berani sekali kamu mendatangi perempuan lain tanpa seijinku!"
"Siapa wanita itu Mas? Jari jemariku bergetar saat mengetikkan pertanyaan itu. Aku begitu takut.. Aku takut dengan jawaban yang akan kuterima...
"Namanya Nia, dia senior Mas waktu jaman kuliah. Orangnya sangat pintar dan baik." Puji Mas terhadap seseorang yang bernama Nia.
"Nanti kalau Mas sudah pulang ke rumah akan Mas kenalkan Ima dengan Nia."
Mungkin suamiku paham kalau saat itu aku tengah dilanda emosi, makanya dia tampak berhati-hati dengan kalimat yang dikirim ke aku.
"Terus kamu ke Jepara naik apa? Kenapa tidak ada kabar sama sekali?"
"Mas ke Jepara naik kereta api. Maaf kalau tidak ada kabar karena pulsa Mas habis. Mas juga tidak akan lama disini. Habis mengantarkan surat lamaran, Mas langsung kembali ke kota C" kelitnya lagi.
Aku terkesiap membaca pesannya. Tubuhku terasa lunglai...
"Kenapa begitu persis seperti mimpiku semalam? Jangan-jangan yang kulihat dalam mimpi adalah peristiwa yang benar terjadi?" Pikirku tak karuan. Otakku serasa menemui jalan buntu!
Tak kuteruskan percakapanku dengan Mas, aku sudah tidak bergairah. Hatiku rasanya hancur saat membaca pesan terakhirnya. Namun hati kecilku berkata, aku tidak boleh gegabah jika ingin mendapatkan bukti kecurigaanku selama ini. Aku tidak boleh terlihat mencurigainya kalau tidak dia akan semakin waspada dan lihai menutupi kebohongannya.
Ku tatap wajah Gendis yang sedang asik bermain dengan boneka jerapahnya, "Ndis.. apa mama akan sanggup menerima kenyataan kalau ternyata ayahmu benar berselingkuh? Apa yang harus mama lakukan jika kecurigaan mama terbukti?" Tanyaku pada puteriku satu-satunya. Semua bayangan buruk tentang berbagai kemungkinan yang terjadi mulai berkecamuk dalam pikiranku.
Tak terasa sudah sembilan hari Mas berada jauh dari aku dan Gendis. Setelah percakapan terakhir, tak pernah kudengar satupun kabar darinya. Akupun menyibukkan diri tenggelam bermain dengan puteriku satu-satunya. Sambil menemani Gendis bermain di ruang tv, tiba-tiba terdengar suara ponsel berdering, kulihat nama suamiku tertera di layarnya.
"Ngapain kamu nelepon?" Tanyaku sinis.
"Ma, sepertinya Mas akan lebih lama lagi di kota C. Mas mau merintis usaha disini." Tuturnya memberi penjelasan.
Bagai mendengar suara geledek di pagi hari, aku sangat terkejut mendengar ucapannya. Usaha katanya? Memangnya suamiku ingin usaha apa di kota C? Mas itu tidak pandai berbisnis, dia terlalu mudah mempercayai orang! Entah sudah berapa puluh kali dia
terkena tipu dengan teman bisnisnya. Walau sudah kunasehati berkali-kali tetap saja tidak mempan! Mas tidak pernah mau mendengarkan masukan dariku!
Aku mengumpulkan nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan "Kamu mau bisnis apa Mas?" Tanyaku setenang mungkin walau saat itu hatiku sibuk mencaci maki dirinya.
"Nia menawari Mas utk bisnis minuman. Dia punya usaha minuman di Surabaya dan Bali. Usahanya sukses, karyawannya banyak dan omzetnya juga bagus. Dia mengajak Mas untuk menanam modal dan mengembangkan usahanya di kota C" bujuk Mas agar aku mendukung usahanya
"Jadi kamu mau berbisnis dengan wanita yang bernama Nia itu? Terus siapa nanti yang akan mengurus usahanya di kota C? Kamu saja punya pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan." Paparku berusaha memberi alasan.
"Ya nanti Mas bisa minta tolong sama kakak ipar Mas untuk ngehandle bisnis ini" jawabnya terdengar menyepelekan.
"Mas, kamu sadar nggak, sudah berapa kali kamu kena tipu orang?" Tanyaku berusaha untuk mengingatkannya kembali
Suamiku terdiam yang terdengar hanyalah suara hembusan nafasnya dari ujung sana. Tampaknya dia berusaha mencari penjelasan agar aku mendukung niatnya.
"Mas percaya sama Nia karena Mas sudah lama mengenal keluarganya bahkan suaminya!" Sahut Mas dengan tegas.
"Sebentar! Ini bukan masalah sudah mengenal lama atau belum, aku tau banget sifat kamu. Kamu itu tidak pandai berbisnis, lagi pula ini kesannya mendadak sekali. Menjalankan usaha itu tidak semudah yang terlihat dan diucapkan! Semuanya butuh
planning! Protesku dengan nada suara yang mulai meninggi.
"Ya.. kalau belum dijalankan tidak akan pernah tau akan hasilnyakan?"
"Bukan begitu Mas, merintis usaha itu tidak main-main loh. Yang pasti butuh modal besar dan harus tau cara mengelolanya! Semua harus dipikirkan dengan masak-masak." Lagi pula firasatku mengatakan untuk menolak tawaran Nia bekerja sama dengan suamiku.
Suasana terasa hening.
"Walau Ima tidak mendukung, Mas akan tetap dengan pendirian Mas untuk berbisnis dengan Nia!"
Saat itu juga emosiku terpancing "Terus untuk apa kamu menelpon kalau kamu sendiri tidak mau menerima saran dari istrimu sendiri?" Tanyaku lantang.
"Sudahlah! Mas malas bicara sama Ima. Kamu tidak pernah mendukung apa yang ingin Mas capai. Yang pasti tekad Mas sudah bulat untuk mendirikan usaha di kota C!" Tukasnya seraya mengakhiri panggilan.
Aku mendengus kasar mendapat perlakuan seperti itu dari suamiku. Segera kukirim pesan ke seseorang yang selalu membuatku menahan rasa kecewa "Jangan macam-macam kamu Mas! Ingat di uang yang kamu punya itu ada hakku dan Gendis! Kalau kamu tidak mau mendengarkan saranku, jangan salahkan aku kalau usahamu tidak akan berjalan lancar. Dimana ada usaha suami, disitu ada ridho istri!"
Ku tatap wajah puteriku yang masih bermain dengan boneka hewan kesayangannya " Ndis kenapa mama bisa menikah sama ayahmu ya? Heran mama kenapa susah banget ngasih masukan ke ayahmu? Itu orang hobinya bikin mama emosi terus." Curhatku pada Gendis yang tidak menghiraukan ucapanku.
*****
Hampir dua puluh satu hari Mas berada di kota C dan semenjak pertengkaran terakhir tak ada lagi komunikasi di antara kami. Hingga sore itu kerika aku sedang asik bermain bersama Gendis di ruang tamu.
"Kreeek...!" Terdengar suara pintu gerbang dibuka.
Aku melongokkan kepalaku ke teras dan tampaklah sesosok orang yang wajahnya tidak ingin kulihat lagi. Terlihat tubuh tegapnya berdiri mematung di halaman. Raut wajahnya tampak ragu-ragu untuk melangkah masuk. Aku segera memalingkan muka, pura-pura tidak melihat kedatangannya dan kulanjutkan bercengkrama dengan puteriku.
"Assalamu'alaikum, Gendis.. Ayah pulang nak." Ujarnya mengucapkan salam.
"Wa'alaikumsalam" hanya kalimat itu yang terucap dari bibirku tanpa mengalihkan pandanganku dari Gendis. Aku juga malas berbasa-basi dengannya.
Setelah meletakkan ranselnya dan berganti pakaian, Mas segera menghampiri Gendis. Ia ingin menggendong dan mencium puterinya, namun hanya penolakan yang ia dapatkan. Setiap Mas berusaha menyentuh Gendis, puteriku mulai menangis. Iris matanya yang coklat menatap ke arahku seakan meminta perlindungan.
"Gendis nggak mau digendong sama kamu, sudah jangan dipaksa!" Bentakku ketus.
"Ima ini ada oleh-oleh dari Ibunya teman Mas yang di Jepara." Ucapnya seraya menyerahkan sesuatu berwarna coklat muda.
Ku melirik sekilas, tempat gelas aqua yang terbuat dari ukiran kayu jati. Harus ku akui, bentuknya sangat lucu dan unik, namun aku terlalu gengsi untuk menerimanya. "Terima kasih tapi taruh saja di gudang atau kasihkan ke Mba Ani. Kalau perlu buang saja ke tempat sampah!" Tolakku dengan nada suara tidak bersahabat.
Mas menghela nafas pendek, mungkin ia bingung harus dengan cara apalagi menenangkan amarahku. Hanya suamiku yang paling memahami sifatku yang super keras kepala ini.
Aku melirik ke arah Mas yang sedang menatap Gendis "Ngapain kamu pulang? Kan belum sebulan?" Cecarku sambil membuang muka. Aku benar-benar jijik melihat wajahnya!
"Kemarin kantor menelpon, besok Mas harus berangkat ke Bogor untuk
menghandle pekerjaan di sana. Mungkin Mas akan lama tinggal di Bogor."
"Ooh..!" Hanya kata itu yang terucap dari mulutku.
"Kalau kantor tidak menelpon berarti kamu tidak akan pulang?" Tanyaku sambil berusaha menatap matanya yang sayu.
Mas hanya menunduk, dia tidak berani membalas tatapanku.
"Mending tidak usah pulang sekalian Mas! Pindah saja sana ke kota C! Biar aku dan Gendis hidup berdua disini!" Hardikku kasar.
Kalau perlu nanti dari Bogor langsung saja ke kota C! Jangan pedulikan lagi Gendis. Anggap saja kamu tidak punya anak dan istri! Nanti biar aku paketin semua barang-barangmu ke rumah orangtuamu!"
Lagi-lagi suamiku hanya bungkam! Dia paling paham bagaimana menangani emosi istrinya yang meledak-ledak! Gendis tampak mengamati pertengkaran kami berdua. Tubuhnya mulai beringsut ke arahku meminta di gendong. Gendis paham, hanya dengan mendekapnya hatiku akan merasa tenang.
"Maafin mama ya nak, karena keegoisan kami Gendis harus melihat pertengkaran ini. Maafin mama karena tidak bisa memberikan contoh yang baik untuk Gendis" bisikku lirih ke telinga puteriku yang mulai membenamkan wajahnya kedalam pelukanku.
Kepulangan Mas membuat suasana di rumah semakin kaku. Aku selalu berusaha menghindar untuk berpapasan dengannya. Aku ingin dia segera enyah dari pandanganku!
Malam harinya saat aku melintasi ruang tamu, Mas berusaha memegang tanganku namun segera ku tepis. "Ma sini sebentar, Mas mau bicara. Bisakan kita bicara baik-baik tanpa harus pakai emosi?" Tukasnya dengan suara yang lembut.
Kutatap wajahnya yang tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali "Apa lagi yang mau dibicarakan?"
"Sini tolong duduk dulu di samping Mas" ujarnya seraya menepuk- nepuk sisi sofa di sebelahnya.
Aku akhirnya menuruti ucapannya tapi aku lebih memilih untuk duduk di lantai yang dingin daripada harus berada di sampingnya.
"Begini Ima, Mas dan Nia itu murni cuma sebatas teman kerja, tidak lebih."
"Hmm... Mana sih yang namanya Nia, aku mau lihat wajahnya!"
Mas membuka ponsel dan tampak memeriksa kontaknya "Ini yang namanya Nia" ujar Mas.
"Deeg...." jantungku berdesir hebat. Wanita itu.. Ciri-cirinya sama persis seperti yang kulihat dalam mimpi!
Dadaku mulai bergemuruh kencang. Ku tatap wajah wanita tersebut baik2, berkulit putih dan pandai berdandan! Aku berusaha untuk tenang walau hatiku panik luar biasa. Keningku berkerut memikirkan situasi yang sedang ku hadapi saat ini. Aku tidak boleh gegabah!
"Jadi itu yang namanya Nia, cantik. Kalau aku tidak salah ingat, dia itu mantanmu ketika masih kuliah, betulkan?" Tanyaku sekenanya walau sebenarnya aku ingin sekali mengucap sumpah serapah ke mereka berdua!
"Iya betul, dulu Mas dan Nia memang pernah menjalin kasih tapi Nia memutuskan hubungannya dengan Mas dan langsung menikah dengan suaminya yang sekarang" jawab Mas dengan tenang.
"Kenapa kemarin kesannya mendadak sekali pergi ke Jepara? Kenapa tidak memberi kabar dulu sebelumnya?" Telisikku sambil mengamati raut wajah suamiku.
"Kalau Mas cerita, apa Ima akan mengijinkan Mas pergi ke Jepara?" Tanyanya membalikkan pertanyaanku.
"Walau aku tidak akan mengijinkanmu ke Jepara, apa sulitnya untuk pamit? Aku ini istrimu bukan kekasih gelapmu!" Timpalku dengan sengit.
Tampaknya emosi suamiku mulai terpancing setelah mendengar ucapanku!
"Memang kamu peduli dengan semua usaha yang sudah Mas lakukan? Harusnya kamu sadar kalau kamu tidak pernah mencintaiku! Kamu itu hanya butuh duitku saja!!" Tatapnya sinis ke arahku yang terdiam mematung.
Bersambung