inayasriAvatar border
TS
inayasri
KELUARGA SUAMIKU
"Kamu, gak bisa halangin Julian buat ngasih sama keluarga Uwak, Del!" ucap Wak Neni menegurku.

"Kamu juga bisa hidup enak seperti sekarang ini bersama Julian berkat keluarga Uwak yang sudah membiayai dan menyekolahkan Julian," sambung Wak Neni lagi.

"Iya, sebagian biaya sekolahnya juga dari hasil keringat, Teteh jadi kamu gak ada hak ngelarang-ngelarang Julian buat ngasih ke kita." Teh Kinan ikut bersuara.

"Kalau bukan karena kasian keluarga kami mungkin sudah jadi yatim dan gembel suamimu itu." Aa' Ramdan menimpali.

"Teteh, harusnya berterima kasih sama keluarga kita!" ucap Rena anak paling bungsu Wak Neni yang katanya sebentar lagi akan menikah.

Sementara, Dimas anak Wak Neni yang satunya lagi hanya diam, dan cuek. Sebenarnya anak Wak Neni ada lima, hanya A' Firman yang tidak ikut ke rumah, katanya ada urusan.

"Iya, Wak, Teh, Aa. Dela gak ada niat buat ngelarang Bang Julian berbuat baik sama keluarganya sendir," jawabku pelan.

Asal itu masih wajar dan tidak berlebihan tentunya aku tidak akan marah, dan melarang. Apalagi aku tahu, sedari kecil suamiku sudah tidak punya orang tua dan di asuh oleh keluarga Uwak Neni yang merupakan kakak ipar Ibunya Bang Julian.

Tidak lama setelah mereka berkata begitu, Bang Julian pun keluar dari dalam kamar membawa amplop berisi uang 5 juta yang di minta Wak Neni, katanya buat bayar tagihan listrik sama kebutuhan lainnya, karena uang pensiun Almarhum Wak Hery sudah habis buat bayar hutang sementara anak-anaknya belum gajian. Matanya langsung berbinar menyambut kedatangan Bang Julian.

Ini bukan kali pertamnya keluarga Wak Neni datang untuk minta bantuan sama Bang Julian. Bang Julian pun tak keberatan saat Wak Neni meminta bantuan, selain keluarga Wak Neni sudah berjasa mereka juga keluarga yang Bang Julian miliki. 

"Ini, Wak uangnya!" Tangan Bang Jualian terulur memberikan amplopnya, dengan sigap Wak Neni mengambil amplopnya dan mengecek isinya, senyumnya langsung terkembang dari bibir merahnya.

"Gak dihitung dulu Wak?" tanya Bang Julian, lalu menghempaskan pantatnya di samping Dimas yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya.

"Gak usah," jawab Wak Neni singkat dan terus tersenyum lebar. "Terima kasih ya Jul, Uwak benar-benar bangga sama kamu. Uwak juga gak nyangka berkat bantuan keluarga Uwak akhirnya kamu bisa sukses seperti sekarang ini.

"Rumahmu besar dan bagus, Jul." Dengan pongahnya Wak Neni terus menyebut-nyebut jasa keluarganya terhadap Bang Julian.

"Iya, Wak, Alhamdulillah," jawab Bang Julian singkat.

"Iya, Jul kamu masih ingat gak waktu Aa' beliin kamu es krim, saat kamu nangis minta es krim?" tanya Aa' Ramdan.

"Ingatlah, A' Julian pastinya tidak akan lupa dengan segala kebaikan keluarga Aa'."

Mereka pun kompak tertawa, aku yang sejak tadi menyaksikan hanya diam sembari menahan geram. Bisa-bisanya mereka mengakui Bang Julian sebagai keluarga setelah apa yang mereka lakukan.

Padahal setelah tamat SMK dengan teganya mereka mengusir Bang Julian dari rumah, dan menyuruh kerja dengan alasan agar lebih mandiri. Saat, Bang Julian bilang mau menikah pun mereka cuek-cuek saja dan pura-pura tidak tau, datang pun sekedarnya jangankan untuk membantu biaya pernikahan. Namun, setelah beberapa tahun jarang bertemu dan Bang Julian sudah sukses mereka dengan bangganya mengakui Bang Julian sebagai saudara dan menyebut-nyebut jasa kebaikan yang pernah mereka lakukan.

"Oh iya, Wak dengar-dengar sebentar lagi, Rena akan melepas masa lajangnya apa benar, Wak?" tanya Bang Julian sembari menyesap tehnya.

"Nah itu dia, sekalian Uwak juga mau ngasih tau kamu soal itu, Jul. Ya siapa tau nantinya kamunya mau ikut nyumbang," ucap Wak sembari tertawa renyah.

"Kalau Julian ada Insya Allah, Wak."

Wah jangan-jangan mereka mau minta Bang Julian ikut bantu biaya kayak di cerita-cerita KBM yang lagi viral? Batinku. Entah kenapa perasaanku langsung tidak enak, Astagfirullahhaladzim, sekita aku langsung beristighfar takut jadi suudzon. 

"Calonnya Rena itu pengusaha lho," puji Wak Neni.

"Alhamdulillah."

"Iya, Jul malulah nantinya kalau bikin resepsinya biasa aja," lanjut Wak Neni diiringi tawa.

Terlihat Bang Julian hanya manggut-manggut menanggapi sekenannya. Tapi, entah kenapa aku merasa ada udang dibalik bakwan mendengar ucapan Wak Neni barusan. Astagfirullahhaladzim, kan jadi suudzon lagi. Aku terus beristighafar sembari mengelus dada.

"Memangnya kapan, Wak rencana pernikahannya?" Kali ini aku yang bertanya, karena dari tadi aku hanya diam udah kayak patung menyaksikan mereka berceloteh.

"Mungkin dua atau tiga bulan lagi, nunggu Rena wisuda dulu," jawab Uwak.

Aku hanya ber oh ria menanggapi jawaban Wak Neni. Yang ku tau semua anak Wak Neni berkuliah. Tapi, kudengar hanya Dimas yang kuliahnya biaya sendiri. Anak keempat Wak Neni itu memang terlihat mandiri dan pendiam, aku yakin dia ikut kesini karena dipaksa. Nah kan jadi suudzon lagi, Astagfirullah.

"Ngomong-ngomong, itu Aa' lihat sepedanya gak kepake lagi? Aa' minta ya lumayan buat Farhan main," ucap Aa' Ramdan.

"Oh iya, A' ambil saja!" jawab Bang Julian.

Sebenarnya aku ingin protes, bukan pelit sih tapi setiap ada mainan Al-Faruq anak kami yang sudah berusia enam tahun tidak terpakai pasti diminta. Memang Aa' Ramdan punya anak kecil tiga tahun, anak kedua dari pernikahannya dengan Santi, sementara anak pertamanya  dua tahun lebih tua dari Al.

"Teh tadi, Rena ke kamar mandi lihat ini belum di buka, Rena minta ya!" ucap Rena sembari menunjukkan pembersih wajah Wa*d*h yang baru saja kubeli. Belum sempat menjawan Rena sudah memasukkannya kedalam tas.

Astaga, harusnya aku senang kedatangan keluarga, apa lagi mereka adalah keluarga suami satu-satunya yang katanya sangat berjasa. Tapi, kenapa aku malah merasa di rampok.

"Oh iya," jawabku pasrah. Mungkin Rena memang sedang butuh dan tidak punya uang untuk membeli, pikirku.

"Ya udah kalau begitu, kita pamit dulu ya!" ucap Wak Neni.

"Iya, Wak." ucapku dan Bang Julian hampir berbarengan, dan segera bangkit dari kursi guna mengantar mereka ke pintu.

"Jul, biscuitnya Teteh ambil ya mayan buat cemilan, gak apa-apa kan Del?" tanyanya Teh Kinan sembari memasukkan beberapa pics biscuitnya ke dalam tas, tanpa menunggu persetujuanku.

Aku hanya mengangguk, ikhlas atau enggak ikhala-ikhlasin aja deh, percuma kalau barangnya udah gak ada tapi terus menggerutu. Barangnya gak kembali, pahalanya gak dapat. Sebelum mereka ke sini aku memang habis pulang dari indoapril dan membeli beberapa biscuit dan cemilan, untungnya sudah kupisahkan untuk Al. Soalnya beberapa biscuit yang aku suguhkan semuanya dibawa pulang.

"Sekali lagi makasih ya, Jul," ucap Wak Neni.

"Iya, Wak," balas Bang Julian lalu menyalami tangan Wak Neni yang kemudian disusul olehku.

"Oh iya, Jul tadi sebelum kerumah Ibu, Aa' lupa bawa uang buat ongkos naik taksi,"

Aa' Ramdan rumahnya memang terpisah dari Wak Neni. Sementara Teh Kinan masih tinggal bersama Uwak karena suaminya yang sering kerja ke luar kota, entah sebagai apa.

Bang Julian pun mengerti maksud dari Aa' Ramdan dan segera mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah. Seketika senyum dibibir Aa' Ramdan mengembang.

"Makasih ya Jul, kamu memang adek Aa' yang paling pengertian," puji A' Ramdan.

Setelah mereka pulang aku segera menutup pintu pagar dengan kasar.

"Neng, kamu kenapa?" tanya Bang Julian terlihat penasaran.

Aku pun langsung masuk ke rumah tanpa menjawab pertanyaannya. Kalau kalian diposisi gue kesal gak sih ngelihat kelakuan keluarga suami kek gitu?








alfidanger
gajah_gendut
aldebaranlp
aldebaranlp dan 10 lainnya memberi reputasi
11
4.2K
35
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
inayasriAvatar border
TS
inayasri
#10
Bagian 11: Membalas Pesan Yuni
Dahiku mengernyit membaca pesan dari Yuni tersebut. Perasaan baru kemarin bertemu.

Aku tidak berniat membalasnya karena pesannya ditujukan untuk, Bang Jul. Baru saja kuletakkan kembali ponselnya, sudah ada pesan susulan.

[Kok cuma dibaca aja, Bang. Memangnya pesan Yuni koran?]

Belum sempat kubalas, Bang Jul sudah keluar dari kamar mandi. Tangannya sibuk mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk.

"Ada pesan, Bang dari Yuni," ucapku.

"Oh, apa katanya?" tanya Bang Jul sembari melangkah menuju lemari pakaian karena aku belum sempat menyiapkan pakaian untuknya.

Bang Jul memang tipe lelaki mandiri, ia tak pernah protes kalau aku belum sempat menyiapkan segala keperluannya dan memilih untuk mengambil sendiri.

"Baca sendiri aja, Bang!" jawabku sedikit malas, dan kembali merapikan sepray kasur.

Usai mengambil baju, Bang Jul langsung mengambil ponselnya, dan terlihat mengetik pesan. Setelahnya kembali meletakkan ponsel ke atas nakas.

"Hari ini, Neng masak apa?" tanya Bang Jul sembari memakai baju.

"Masak goreng ayam tepung, sayur sop sama sambal terasi, Bang!" jawabku.

"Wah, Abang jadi laper."

"Ya udah, Neng siapin makan dulu ya!" Bang Jul hanya mengangguk, dan kembali mengambil ponselnya.

Aku pun gegas ke dapur menyiapkan makan malam. Kulihat Al, Aida dan Farhan nampak asik bermain, di dekat mereka ada Teh Santi dan A' Ramdan.

"Del, mau kemana?" tanya Teh Santi.

"Mau nyiapin buat makan malam, Teh."

"Teteh bantu ya!" tawar Teh Santi yang kubalas dengan anggukan.

Aku dan Teh Santi pun menyiapkan makan malam.

"Teh, kita makannya di sini aja ya gelar tikar!" usulku sembari menunjuk ruangan bagian dapur yang masih kosong.

"Boleh, Del. Biar Teteh ambil tikarnya dimana?"

"Tikarnya di sana Teh!" Aku menunjuk bagian sudut dapur. Lalu, Teh Santi pun mengambil tikar dan membentang ya.

Selesai menyiapkan makan malam, lantas aku memanggil Bang Jul. Sementara Teh Santi memanggil A' Ramdan dan anak-anak. Aku senang, sejak tadi pagi Teh Santi mau membantu pekerjaan rumah, mudah-mudahan mereka benar-benar berubah, batinku.

Aku melangkah menuju kamar. Saat masuk kulihat Bang Jul masih sibuk dengan ponselnya sembari tersenyum dan duduk di sisi ranjang

"Bang, makan malamnya udah siap ayo makan!" ajakku.

Bang Julian masih fokus menatap benda persegi tersebut, sepertinya ia tidak menyadari kedatanganku.

"Bang!" tegurku dengan sedikit keras.

"Eh, i-iya ada apa, Neng? Masuk kok diam-diam, bikin Abang kaget," ucap Bang Jul sembari memegangi dada.

"Khem ... Abang aja yang terlalu fokus, sampai-sampai Neng ngomong dicuekin. Emang lagi ngapain sih," tanyaku sedikit kesal.

Bang Jul langsung tersenyum tak enak. "Iya, maaf ya, Neng! Ini si Yuni lagi curhat sama Abang soal Aurel, katanya gak suka makan," jelas Bang Jul.

"Memangnya Abang Dokter anak?" tanyaku tak suka. "Lagian ya, Bang kan ada A' Firman kenapa mesti curhat sama Abang segala?" protesku.

Bang Jul nampak menghela nafas. "Iya, Abang cuma kasian, A' Firman lagi kerja katanya suka pulang malam jadi sepi," jelas Bang Jul.

Aku menghela nafas, kadang tidak mengerti dengan jalan pikirannya.

"Kalau dia memang butuh teman curhat kenapa gak Abang suruh chat aku aja, Bang. Kalau terus ngechatin Abang nanti malah timbul Fitnah. Dikira selingkuh."

"Astagfirullahhaladzim, kok Neng ngomongnya gitu? Ya enggaklah Abang udah nganggep Yuni itu udah kayak Adik sendiri."

"Iya kalau Abang, belum tentu dia."

"Astagfirullah, kok Neng malah jadi suudzon?" ucap Bang Jul, yang membuatku semakin gemas.

"Ya udah deh serah Abang," ketusku yang membuat Bang Jul terlihat tak mengerti.

"Dela, makan malamnya jadi?" Saat tengah bercakap dengan Bang Jul, Teh Santi memanggil.

"Oh iya, Teh jadi bentar ya!" jawabku.

"Oh iya, kita tungguin ya!"

"Iya, Teh." Terdengar langkah menjauh.

"Tuh gara-gara, Abang A' Ramdan sama Teh Santi jadi lama nunggu, udah ah ayo makan!"

***

Kami pun makan malam bersama, aku menyentongkan nasinya ke dalam piring Bang Julian tak lupa beserta lauk pauknya, juga untuk Al.

"Jul, Aa' boleh nanya gak," tanya A' Ramdan hati-hati saat kami lagi tengah makan.

"Iya, boleh A' mau tanya apa?" jawab Bang Jul.

"Em ... dikantormu masih ada lowongan kerja gak? OB juga gak apa-apa?"

Terlihat Bang Jul menghentikan makannya. Lalu, menatap ke arahku mungkin tidak percaya dengan ucapan A' Ramdan barusan.

"Em ... Aa' serius mau jadi OB?" tanya Bang Jul memastikan.

"Iya, Jul Aa' pengen kerja."

"Em ... Kalau gitu besok Jul tanyakan ke bagian ARD ya masih ada apa enggak lowongan ya."

A' Ramdan nampak tersenyum, begitu pun Teh Santi, wajahnya terlihat bahagian mendengar suaminya mau kerja.

"Makasih ya, Jul!" ucap A' Ramdan yang dibalas Bang Jul dengan anggukan.

***

"Neng, kira-kira kenapa ya, kok tiba-tiba Aa' Ramdan mau kerja jadi OB?" tanya Bang Jul saat kami sudah di kamar.

"Gak tau, Bang. Tapi, tadi pagi Eneng gak sengaja dengar Aa' sama Teteh lagi bertengkar, dan Teh Santi ngancem kalau Aa' gak kerja-kerja Teh Santi mau pulang ke rumah orang tuanya," jelasku.

"Oh gitu, ya Neng?"

"Iya, Bang. Ya udahlah Bang mudah-mudahan aja, A' Ramdan benar-benar serius dan niat berubah."

Bang Jul nampak mengangguk, dan mengaminkan ucapanku. "Aamiin ... Iya, Neng semoga saja ya! Ya udah tidur yuk, Abang udah ngantuk!" ajak Bang Jul.

Aku hanya mengangguk, dan mematikan lampunya.

"Neng ...," bisik Bang Jul.

"Apa, Bang? Ayo tidur katanya udah ngantuk," jawabku.

"Khem ... Masa gak ngerti sih, Neng?"

Aku hanya tersenyum, dan beralih menghadapnya begitulah Bang Jul selalu membuat gemes. Aku mengerti maksudnya sebagaimana sepasang suami adalah pakaian istri, dan istri pakaian suami.

***

Menjelang subuh aku terjaga mendengar alarm yang sengaja ku aktifkan, aku pun lekas bangkit dan menuruni ranjang, untuk segera mandi Hadas besar. Kulihat Bang Jul masih tertidur pulas.

Usai mandi dan bertukar pakaian aku lekas membangunkan Bang Jul menyuruhnya untuk segera mandi, karena sebentar lagi azan.

Selagi Bang Jul mandi aku menghamparkan sejadah, membaca kitab suci Al-Qur'an sembari menunggunya untuk salat Subuh berjamaah.

"Sodaqollahhualadzim ...." Aku menyudahi dan menutup mushapnya, saat mendengar pintu kamar mandi terdengar dibuka.

Aku sudah menyiapkan baju Koko dan sarung untuk Bang Jul di atas dipan, Bang Jul pun segera memakainya. Bersamaan itu pula suara azan menggema memenuhi jagad raya, panggilan untuk umat muslim untuk segera melaksanakan salat Subuh.

Suara lantunan ayat suci Al-quran yang dibacakan Bang Jul begitu terdengar indah ditelinga.

Usai salat subuh aku sengaja berbaring sebentar sebelum sibuk di dapur, sementara Bang Jul melanjutkan membaca Al-Qur'an.

Iseng aku membuka ponsel Bang Jul. Lagi-lagi ada pesan whatsApp dari Yuni.

[Udah salat, Bang? Jangan lupa salat Subuh ya!]

Seketika tanganku ingin sekali membalasnya.

[Iya, Alhamdulillah udah, Istri Abang yang udah dulu ngingatin, Abang] kubalas pesannya dan berpura-pura sebagai Bang Jul. Aku yakin setelah membaca itu raut wajahnya berubah.


Diubah oleh inayasri 25-07-2021 08:13
rinandya
ni12345
gajah_gendut
gajah_gendut dan 4 lainnya memberi reputasi
5