Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

inayasriAvatar border
TS
inayasri
KELUARGA SUAMIKU
"Kamu, gak bisa halangin Julian buat ngasih sama keluarga Uwak, Del!" ucap Wak Neni menegurku.

"Kamu juga bisa hidup enak seperti sekarang ini bersama Julian berkat keluarga Uwak yang sudah membiayai dan menyekolahkan Julian," sambung Wak Neni lagi.

"Iya, sebagian biaya sekolahnya juga dari hasil keringat, Teteh jadi kamu gak ada hak ngelarang-ngelarang Julian buat ngasih ke kita." Teh Kinan ikut bersuara.

"Kalau bukan karena kasian keluarga kami mungkin sudah jadi yatim dan gembel suamimu itu." Aa' Ramdan menimpali.

"Teteh, harusnya berterima kasih sama keluarga kita!" ucap Rena anak paling bungsu Wak Neni yang katanya sebentar lagi akan menikah.

Sementara, Dimas anak Wak Neni yang satunya lagi hanya diam, dan cuek. Sebenarnya anak Wak Neni ada lima, hanya A' Firman yang tidak ikut ke rumah, katanya ada urusan.

"Iya, Wak, Teh, Aa. Dela gak ada niat buat ngelarang Bang Julian berbuat baik sama keluarganya sendir," jawabku pelan.

Asal itu masih wajar dan tidak berlebihan tentunya aku tidak akan marah, dan melarang. Apalagi aku tahu, sedari kecil suamiku sudah tidak punya orang tua dan di asuh oleh keluarga Uwak Neni yang merupakan kakak ipar Ibunya Bang Julian.

Tidak lama setelah mereka berkata begitu, Bang Julian pun keluar dari dalam kamar membawa amplop berisi uang 5 juta yang di minta Wak Neni, katanya buat bayar tagihan listrik sama kebutuhan lainnya, karena uang pensiun Almarhum Wak Hery sudah habis buat bayar hutang sementara anak-anaknya belum gajian. Matanya langsung berbinar menyambut kedatangan Bang Julian.

Ini bukan kali pertamnya keluarga Wak Neni datang untuk minta bantuan sama Bang Julian. Bang Julian pun tak keberatan saat Wak Neni meminta bantuan, selain keluarga Wak Neni sudah berjasa mereka juga keluarga yang Bang Julian miliki. 

"Ini, Wak uangnya!" Tangan Bang Jualian terulur memberikan amplopnya, dengan sigap Wak Neni mengambil amplopnya dan mengecek isinya, senyumnya langsung terkembang dari bibir merahnya.

"Gak dihitung dulu Wak?" tanya Bang Julian, lalu menghempaskan pantatnya di samping Dimas yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya.

"Gak usah," jawab Wak Neni singkat dan terus tersenyum lebar. "Terima kasih ya Jul, Uwak benar-benar bangga sama kamu. Uwak juga gak nyangka berkat bantuan keluarga Uwak akhirnya kamu bisa sukses seperti sekarang ini.

"Rumahmu besar dan bagus, Jul." Dengan pongahnya Wak Neni terus menyebut-nyebut jasa keluarganya terhadap Bang Julian.

"Iya, Wak, Alhamdulillah," jawab Bang Julian singkat.

"Iya, Jul kamu masih ingat gak waktu Aa' beliin kamu es krim, saat kamu nangis minta es krim?" tanya Aa' Ramdan.

"Ingatlah, A' Julian pastinya tidak akan lupa dengan segala kebaikan keluarga Aa'."

Mereka pun kompak tertawa, aku yang sejak tadi menyaksikan hanya diam sembari menahan geram. Bisa-bisanya mereka mengakui Bang Julian sebagai keluarga setelah apa yang mereka lakukan.

Padahal setelah tamat SMK dengan teganya mereka mengusir Bang Julian dari rumah, dan menyuruh kerja dengan alasan agar lebih mandiri. Saat, Bang Julian bilang mau menikah pun mereka cuek-cuek saja dan pura-pura tidak tau, datang pun sekedarnya jangankan untuk membantu biaya pernikahan. Namun, setelah beberapa tahun jarang bertemu dan Bang Julian sudah sukses mereka dengan bangganya mengakui Bang Julian sebagai saudara dan menyebut-nyebut jasa kebaikan yang pernah mereka lakukan.

"Oh iya, Wak dengar-dengar sebentar lagi, Rena akan melepas masa lajangnya apa benar, Wak?" tanya Bang Julian sembari menyesap tehnya.

"Nah itu dia, sekalian Uwak juga mau ngasih tau kamu soal itu, Jul. Ya siapa tau nantinya kamunya mau ikut nyumbang," ucap Wak sembari tertawa renyah.

"Kalau Julian ada Insya Allah, Wak."

Wah jangan-jangan mereka mau minta Bang Julian ikut bantu biaya kayak di cerita-cerita KBM yang lagi viral? Batinku. Entah kenapa perasaanku langsung tidak enak, Astagfirullahhaladzim, sekita aku langsung beristighfar takut jadi suudzon. 

"Calonnya Rena itu pengusaha lho," puji Wak Neni.

"Alhamdulillah."

"Iya, Jul malulah nantinya kalau bikin resepsinya biasa aja," lanjut Wak Neni diiringi tawa.

Terlihat Bang Julian hanya manggut-manggut menanggapi sekenannya. Tapi, entah kenapa aku merasa ada udang dibalik bakwan mendengar ucapan Wak Neni barusan. Astagfirullahhaladzim, kan jadi suudzon lagi. Aku terus beristighafar sembari mengelus dada.

"Memangnya kapan, Wak rencana pernikahannya?" Kali ini aku yang bertanya, karena dari tadi aku hanya diam udah kayak patung menyaksikan mereka berceloteh.

"Mungkin dua atau tiga bulan lagi, nunggu Rena wisuda dulu," jawab Uwak.

Aku hanya ber oh ria menanggapi jawaban Wak Neni. Yang ku tau semua anak Wak Neni berkuliah. Tapi, kudengar hanya Dimas yang kuliahnya biaya sendiri. Anak keempat Wak Neni itu memang terlihat mandiri dan pendiam, aku yakin dia ikut kesini karena dipaksa. Nah kan jadi suudzon lagi, Astagfirullah.

"Ngomong-ngomong, itu Aa' lihat sepedanya gak kepake lagi? Aa' minta ya lumayan buat Farhan main," ucap Aa' Ramdan.

"Oh iya, A' ambil saja!" jawab Bang Julian.

Sebenarnya aku ingin protes, bukan pelit sih tapi setiap ada mainan Al-Faruq anak kami yang sudah berusia enam tahun tidak terpakai pasti diminta. Memang Aa' Ramdan punya anak kecil tiga tahun, anak kedua dari pernikahannya dengan Santi, sementara anak pertamanya  dua tahun lebih tua dari Al.

"Teh tadi, Rena ke kamar mandi lihat ini belum di buka, Rena minta ya!" ucap Rena sembari menunjukkan pembersih wajah Wa*d*h yang baru saja kubeli. Belum sempat menjawan Rena sudah memasukkannya kedalam tas.

Astaga, harusnya aku senang kedatangan keluarga, apa lagi mereka adalah keluarga suami satu-satunya yang katanya sangat berjasa. Tapi, kenapa aku malah merasa di rampok.

"Oh iya," jawabku pasrah. Mungkin Rena memang sedang butuh dan tidak punya uang untuk membeli, pikirku.

"Ya udah kalau begitu, kita pamit dulu ya!" ucap Wak Neni.

"Iya, Wak." ucapku dan Bang Julian hampir berbarengan, dan segera bangkit dari kursi guna mengantar mereka ke pintu.

"Jul, biscuitnya Teteh ambil ya mayan buat cemilan, gak apa-apa kan Del?" tanyanya Teh Kinan sembari memasukkan beberapa pics biscuitnya ke dalam tas, tanpa menunggu persetujuanku.

Aku hanya mengangguk, ikhlas atau enggak ikhala-ikhlasin aja deh, percuma kalau barangnya udah gak ada tapi terus menggerutu. Barangnya gak kembali, pahalanya gak dapat. Sebelum mereka ke sini aku memang habis pulang dari indoapril dan membeli beberapa biscuit dan cemilan, untungnya sudah kupisahkan untuk Al. Soalnya beberapa biscuit yang aku suguhkan semuanya dibawa pulang.

"Sekali lagi makasih ya, Jul," ucap Wak Neni.

"Iya, Wak," balas Bang Julian lalu menyalami tangan Wak Neni yang kemudian disusul olehku.

"Oh iya, Jul tadi sebelum kerumah Ibu, Aa' lupa bawa uang buat ongkos naik taksi,"

Aa' Ramdan rumahnya memang terpisah dari Wak Neni. Sementara Teh Kinan masih tinggal bersama Uwak karena suaminya yang sering kerja ke luar kota, entah sebagai apa.

Bang Julian pun mengerti maksud dari Aa' Ramdan dan segera mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah. Seketika senyum dibibir Aa' Ramdan mengembang.

"Makasih ya Jul, kamu memang adek Aa' yang paling pengertian," puji A' Ramdan.

Setelah mereka pulang aku segera menutup pintu pagar dengan kasar.

"Neng, kamu kenapa?" tanya Bang Julian terlihat penasaran.

Aku pun langsung masuk ke rumah tanpa menjawab pertanyaannya. Kalau kalian diposisi gue kesal gak sih ngelihat kelakuan keluarga suami kek gitu?








alfidanger
gajah_gendut
aldebaranlp
aldebaranlp dan 10 lainnya memberi reputasi
11
4.2K
35
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
inayasriAvatar border
TS
inayasri
#4
Bagian 5: Keterlaluan
Untungnya Al sudah kusuruh masuk ke kamar. Aku terus mengelus dada sembari beristighfar. Ini benar-benar keterlaluan. Bekas sarapan tadi pagi saja Teh Santi enggan membersihkannya, ini untuk yang ke dua kalinya, kalau yang semalam aku masih bisa maklum, tapi untuk yang bekas tadi pagi apa alasannya?

Hatiku benar-benar terasa dongkol, melihat ini semua. Sudah capek kerja diluar seharian pulang-pulang disuguhi pemandangan rumah yang seperti kapal pecah.

"Del, kamu sudah pulang," Tiba-tiba Teh Santi datang mengejutkanku yang tengah menahan geram.

Teh Santi terlihat pucat, apa Teh Santi sakit? Ingin marah, tapi kuurungakan melihat ekspresinya begitu.

"Teteh kenapa?" tanyaku, semarah-marahnya aku tetap saja aku khawatir melihat Teh Santi begitu.

"Dari tadi siang, Teteh pusing dan mual," jawabnya.

Eh, jangan-jangan Teh Santi ... Hamil?

"Sudah minum obat?" tanyaku.

"Sudah." 

Tidak lama kemudian saat aku dan Teh Santi tengah bercakap terdengar deru motor memasuki halaman, sepertinya Bang Jul yang pulang.

"Sebentar, Teh aku kedepan dulu ya!" ucapku yang dibalas Teh Santi dengan anggukan.

Benar ternyata Bang Julian yang pulang, aku langsung menyambut tangannya dan menciumnya dengan takzim.

"Assalam ...." Bibir Bang Jul langsung tercekat saat melihat pemandangan dalam rumah, bahkan salamnya pun terputus. "Neng," ucap Bang Julian seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Aku hanya menghela nafas, "Maaf, Bang aku belum sempat beres-beres, Neng juga baru pulang," jawabku.

"Eh, Jul kamu udah pulang?" sapa A' Ramdan dari dalam. "Bawa apaan tuh, baunya makanan?" tanya A' Ramdan lagi sembari tersenyum lebar.

"Iya, A'" jawab Bang Jul.

"Wah kebetulan sekali, dari tadi Aa' sama Teteh belum makan." A' Ramdan mengusap-ngusap perutnya, dan tersenyum lebar.

"Eh, Jul udah pulang?" Teh Santi muncul dari arah dapur, dan berbasa-basi ke Bang Jul.

"Udah Teh. Kok Teteh terlihat pucat?" tanya Bang Jul penasaran begitu melihat Teh Santi.

"Iya Jul dari tadi Teteh pusing dan mual," jawabnya.

"Sudah makan?" 

Teh Santi menggeleng, lalu Bang Jul pun menyerahkan makanan yang tadi dibelinya.

"Wah apa ini, Jul?" tanya Teh Santi yang tiba-tiba berubah ceria dengan mata berbinar.

"Makanan, Teh tadi sebelum pulang, Jul sengaja beli buat  makan malam."

A' Ramdan melongokkan kepala ke plastik yang dipegang Teh Santi untuk melihat isinya.

"Kalian sudah makan, 'kan Jul? Ayo, Neng kita makan kamu belum makan, ' kan dari tadi," ujar A' Ramdan ke istrinya.

"Iya, A' ayo kita makan, Santi udah laper banget."

Sekarang aku tau alasan kenapa Teh Santi sakit pasti gara-gara belum makan, padahal dikulkas ada banyak stok sayur dan daging tinggal masak apa susahnya.

"Khem ... Kita juga belum makan, A', Teh," ucapku kemudian dengan suara pelan.

"Makanan yang dibeli suamimu sedikit, Del. Kalian, 'kan banyak duit kenapa gak pesan aja lagi," jawab A' Ramdan dengan entengnya.

"Ya gak bisa gitulah, A' kami seharian keluar kerja jadi capek kalau harus pesan lagi, lama juga nunggunya," protesku.

"Neng, udah gak apa-apa," tegur Bang Jul lirih.

"Ya gak bisa gitu, Bang Neng capek, Abang juga capek, kita semua laper," jawabku.

Wajah A' Ramdan langsung terlihat tak suka mendengar protesku.

"Ya sudah, Jul gak apa-apa kita memang numpang disini." Sindir A' Ramdan merasa tak dihargai.

Aku hanya menghela nafas dan membuangnya pelan, sabar Dela. Mereka cuma sebentar di sini, aku berusaha menenangkan diri.

"Ya udah, aku ambil nasi dulu!" ujarku sembari melangkah ke dapur.

Begitu sampai di dapur, mataku kembali terbelalak saat membuka mejicom yang ternyata sudah kosong.

"Allahuakbar," pekikku.

"Ada apa, Neng?" Dengan langkah tergesa Bang Julian menghampiriku sembari bertanya panik.

Tubuhku sudah terasa lemas, kuangkat bagian dalam mejicomnya dan memperlihatkannya ke Bang Jul.

Terlihat Bang Julian hanya pasrah dan menghela nafas.

"Teh, Teteh sama Aa' yang udah ngehabisin nasinya?" tanyaku begitu sampai di ruang tamu.

Terlihat Teh Santi hanya nyengir, wajahnya terlihat tak enak. Entah tak enak sungguhan atau hanya pura-pura.

"Iya, Del maaf tadi Teteh sama Aa' juga anak-anak laper jadi kita habisin nasinya. Itupun kurang."

Lagi-lagi aku menghela nafas, sembari menahan kesal. "Kenapa Teteh gak masak lagi?" tanyaku masih dengan suara pelan. Bang Jul berada di sisiku nampaknya ia sudah wanti-wanti takut kalau kemarahanku meledak.

"Maaf, Del Teteh lupa," jawabnya singkat.

"Terus kita mau makan apa?" 

Teh Santi terlihat menggaruk kepalanya yang kuyakin tak gatal.

"Ya sudah biar Abang pesan go food aja," usul Bang Julian menengahi.

"Kenapa gak dari tadi aja sih, Jul," protes A' Ramdan tak suka.

"A' bisa gak ...." Kalimatku terhenti saat Bang Julian memberi isyarat agar aku tidak melanjutkan ucapannya.

"Udah, Neng jangan bertengkar malu sama tetangga," bisik Bang Jul pelan.

Bang Julian memang orangnya selalu tak enakan, dan cenderung mengalah. Kadang membuatku gemas melihat sifatnya yang terkesan suka mengalah tersebut.

"Jul, pesan makanannya kayak semalam ya!" ucap A' Ramdan, setelahnya tanpa rasa bersalah sembari tersenyum lebar.

"Iya, A'" jawab Bang Jul pelan.

Seperti biasa, setelah menunggu beberapa menit akhirnya pesannya datang. Bang Jul segera menerima dan membayar pesanannya.

Malam ini kami makan di ruang tamu karena jumlah kursi makan yang hanya empat jadi tak memungkinkan jika harus makan di sana.

"Aida, Farhan sini ... Om Jul beli ayam goreng lagi, Nih!" seru A' Ramdan pada kedua anaknya yang tengah asyik bermain bersama Al.

Mereka pun berlari kegirangan.

"Al, jangan lari-lari nanti nyenggol barang-barang," sindirku, agar dua orang yang tengah menumpang ini juga tergerak menegur anaknya. Tetapi, nyatanya aku salah mereka malah cuek saja.

Aku membuka bungkusan ayam gorengnya dan menaruhnya di piring, nasinya terus membuka lauk rendang yang tadi siang dibeli Bang Jul.

"Wah ada rendang, makanan kesukaan nih," A' Ramdan kembali bersuara.

"Mangkok cuci tangannya mana, nih?"

"Bentar A' biar Jul ambilkan," Bang Jul bangkit menuju dapur, tak lama kemudian kembali dengan mangkok berisi air cucian tangan.

"Aku dulua ya!" ucap A' Ramdan tanpa merasa sungkan.

Mereka begitu lahap seperti orang yang belum makan seharian, membuatku terasa malas untuk makan.

"Enak ya, Neng?" tanya A' Ramdan ke istrinya.

"Iya, A' rasa pusing dan mual Eneng seketika langsung hilang," jawab Teh Santi.

Oh jadi Teh Santi pusing dan mual karena lapar, padahal mereka sudah menghabiskan nasi yang kumasak tadi pagi memang tidak banyak hanya setengah kilo beras.

"Ma, besok Aida mau makan ayam goreng lagi ya!" ucapnya sembari mengigit paha ayamnya.

"Minta sama Om Jul," jawab A' Ramdan sambil tersenyum.

"Maklumlah, Jul mereka jarang-jarang makan Enak," ucap A' Ramdan ke Bang Jul.

Aku tak habis pikir kok ada ya orang tak tau malu seperti mereka, karena merasa berjasa tanpa sungkan minta ini itu. Terlalu!

Diubah oleh inayasri 25-07-2021 08:08
rinandya
ni12345
gajah_gendut
gajah_gendut dan 4 lainnya memberi reputasi
5