Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

tvapolitikAvatar border
TS
tvapolitik
Dugaan Manipulasi Angka Kematian Covid-19
Dugaan Manipulasi Angka Kematian Covid-19

Lembaga non-pemerintah yang memantau wabah Covid-19, LaporCovid-19, menemukan perbedaan data jumlah kematian akibat virus corona antara versi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Lembaga relawan ini menyorot data kematian akibat Covid-19 pada 16 Juli lalu.

Sesuai dengan data Kementerian Kesehatan pada hari itu, total angka kematian akibat virus corona sebanyak 71.397 orang. Angka ini sangat rendah dibandingkan dengan catatan LaporCovid-19 yang merujuk pada data setiap pemerintah daerah. Lembaga ini mencatat jumlah kematian akibat Covid-19 di Tanah Air pada hari itu seharusnya 90.144 orang.

LaporCovid-19 mencatat ada angka kematian sebanyak 18.747 orang yang tidak dirilis pemerintah pusat kepada masyarakat. “Kami sayangkan mengapa perbedaan data terus terjadi sejak awal 2020. Seharusnya integrasi dilakukan,” kata relawan LaporCovid-19, Amanda Tan, kemarin.

Amanda mengatakan sumber data yang diperoleh lembaganya berasal dari rangkuman data milik KawalCOVID19—lembaga relawan pemantau wabah lainnya. KawalCOVID19 mencatat perkembangan wabah saban hari dengan mengutip data setiap pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi. Data yang dirangkum tersebut berupa jumlah kasus harian, pasien sembuh, kasus aktif, hingga kematian akibat virus.

“Kami ingin Kementerian Kesehatan mengawasi sampai pemerintah daerah. Data ini harus diintegrasikan,” kata Amanda.

Pendiri KawalCOVID19, Elina Ciptadi, membenarkan ihwal adanya perbedaan data kematian milik pemerintah pusat dan daerah. Dia mengatakan lembaganya memiliki sebuah tim yang bertugas mencatat perkembangan kasus baru, aktif, dan sembuh, serta angka kematian yang dirilis pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah.

Elina mencontohkan, satu orang relawan lembaganya bertugas memantau data dari satu atau dua provinsi serta kabupaten atau kota setiap harinya. “Data itu diperoleh dari situs resmi atau media sosial pemerintah daerah. Jadi, ini data resmi daerah,” katanya.

Sesuai dengan logika, kata Elina, data dari pemerintah kabupaten atau kota akan dikumpulkan di tingkat provinsi, lalu dikirim ke pemerintah pusat. Tapi, faktanya, data jumlah kematian yang dirilis di tingkat nasional belakangan ini lebih rendah dari akumulasi data setiap daerah. Jadi, Elina menduga ada kejanggalan dalam sistem pendataan pandemi Covid-19 oleh pemerintah pusat selama ini.

Menurut catatan Elina, rata-rata perbedaan angka kematian antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebanyak 300 orang per hari. “Misalnya hari ini yang meninggal tercatat seribu orang. Bisa jadi kami temukan dari daerah sekitar 1.300 orang,” kata Elina.

KawalCOVID19 juga menemukan persoalan lain dalam urusan pendataan ini. Jumlah kematian probable Covid-19 diduga belum dicatat pemerintah pusat sampai saat ini. Padahal kematian probable merupakan orang yang meninggal dengan gejala konsisten Covid-19 sebelum sempat menjalani tes usap polymerase chain reaction (PCR). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatur bahwa kematian probable seharusnya ikut dicatat.

Sesuai dengan pantauan KawalCOVID19, sebanyak 18 provinsi sudah berinisiatif mencatat kematian probable. Dari pencatatan itu, diperoleh angka kematian probable sebanyak 25 ribu orang. “Ini baru 18 provinsi, belum provinsi lainnya. Angka probable ini penting untuk kita tahu seberapa parah pandemi ini,” ujar Elina.

Elina menyebutkan lembaganya juga menemukan sejumlah daerah sengaja tidak mengumumkan angka kematian Covid-19 di wilayahnya setiap hari. Ia mencontohkan Pemerintah Kota Madiun, Jawa Timur, yang hanya merilis jumlah kasus baru, kasus aktif, dan angka kesembuhan setiap harinya.

Pekan lalu, tim KawalCOVID19 menghitung tingkat kematian di Kota Madiun sebesar 19 persen atau setara dengan satu dari lima orang yang terjangkit Covid-19 meninggal di daerah ini. Adapun angka kematian akibat virus corona di Madiun per Ahad, 18 Juli lalu, sebesar 16,5 persen. Angka kematian ini melebihi rata-rata kematian akibat Covid-19 secara global, yaitu 3 persen.

Elina berpendapat, sikap pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang tidak transparan sangat berbahaya bagi masyarakat. Sebab, masyarakat tidak mempunyai gambaran yang jelas ihwal bahaya pandemi Covid-19.

“Jangan salahkan masyarakat menggampangkan pandemi ini karena mereka tidak diberitahukan betapa bahayanya kematian akibat Covid-19 di Indonesia,” kata Elina.

Meski begitu, Elina tak bisa menyebut pemerintah sengaja memanipulasi data kematian Covid-19. Namun, ia berpendapat, seharusnya tidak sulit bagi pemerintah pusat untuk merangkum data kematian akibat Covid-19 secara akurat setiap hari. Sebab, pencatatan dan pelaporan data harian Covid-19 sudah berjalan di setiap daerah. “Jadi, tinggal kesediaan pemerintah saja,” kata Elina.

Senada dengan Elina, Amanda Tan mengatakan sangat riskan apabila pemerintah menutupi data kematian akibat Covid-19. Ia khawatir masyarakat semakin abai terhadap bahaya Covid-19 ketika perbedaan data yang mencolok ini terus berlanjut.

“Perbedaan data jelas akan membuat masyarakat bingung. Ini akan menambah kelelahan masyarakat menghadapi pandemi,” kata Amanda.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan sekaligus juru bicara vaksinasi Covid-19, Siti Nadia Tarmizi, mengklaim bahwa data kematian akibat Covid-19 yang dipaparkan pemerintah pusat sudah valid.

“Tidak ada data yang dibuang atau tidak disampaikan,” kata Nadia.

Nadia juga mengklaim bahwa pemerintah pusat ikut mencatat data kematian probable. Namun, kata dia, pemerintah baru mencatat kematian probable setelah hasil pemeriksaan laboratorium spesimen yang bersangkutan sudah keluar. “Probable baru akan dimasukkan setelah hasil labnya keluar, walaupun yang bersangkutan sudah meninggal,” katanya.

Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan angka kematian yang dirilis pemerintah pusat berasal dari daerah yang dikumpulkan ke Kementerian Kesehatan. “Tidak ada intensi untuk tidak melaporkan data apa adanya,” kata Wiku.

Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mengatakan perbedaan data sudah terjadi sejak awal pandemi di Indonesia, tahun lalu. Kondisi itu terjadi karena pemerintah daerah diduga tidak melaporkan perkembangan harian jangkitan Covid-19 secara akurat di wilayahnya.

Windhu memberi contoh, ketika suatu daerah mengalami lonjakan penularan wabah, data tersebut tidak akan dilaporkan pada hari itu juga. “Biasanya dicicil selama beberapa hari. Walhasil, ini yang membuat data harian landai,” kata Windhu.

Dalam pertemuan virtual dengan Menteri Kesehatan Budi Gunawan Sadikin beberapa hari lalu, Windhu mendapat informasi bahwa telah terjadi perubahan pelaporan kasus baru Covid-19 dari daerah ke pusat. Sebelumnya, laporan kasus baru dari daerah disetor ke Jakarta melalui pemerintah daerah. Kini Menteri Kesehatan meminta laporan kasus terkonfirmasi positif harian dilaporkan dari laboratorium di daerah ke pemerintah pusat melalui sistem khusus. “Jadi, tidak ada lagi campur tangan pemerintah daerah. Diharapkan datanya tidak tersendat lagi,” kata Windhu.

Sumber: https://koran.tempo.co/amp/nasional/...atian-covid-19
pilotugal2an541
GoKiEeLaBieEzZ
Nikita41
Nikita41 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
1.4K
21
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
bajierAvatar border
bajier
#5
{thread_title}



emoticon-Traveller
Menolak lupa
qming
qming memberi reputasi
1
Tutup