"Apa anakku paham dengan apa yang baru saja kuucapkan?"
Entah mengapa aku nekat melakukannya. Membisikkan kalimat tidak masuk akal ke telinga puteriku yang masih bayi. Mungkinkah akal sehatku mulai sedikit berkurang? Atau aku butuh pembuktian dari ucapan Eyang tentang
penjaga yang bersemayam dalam tubuh anakku? Semua tampak samar di benakku, menyisakan berbagai macam tanya dalam sanubari.
Aku menepuk-nepuk pipiku teringat akan tatapan tajam Gendis. Tadi mata tajamnya begitu menghujam padaku, memancarkan aura kemisteriusan seolah-olah memberiku sinyal peringatan akan tanda bahaya yang akan segera datang menghampiri!
Kuamati tatapan Gendis mulai kembali ke sediakala. Ia tampak asik merangkak menjelajahi seluruh sudut tempat tidur walau sesekali kepalanya jatuh terbenam ke dalam kasur. Dia menghampiriku dan tersenyum manis memperlihatkan lesung pipit di pipi kanannya.
"Seperti apa sosok penjagamu Ndis?" Tatapku penasaran ke arah puteriku yang tampak asik tertawa sendirian.
Malam itu Mas lebih memilih menghilangkan rasa penatnya dengan beralaskan karpet dari pada di kasur yang nyaman bersamaku. Mungkin ia masih sakit hati dengan ucapanku yang melarangnya pergi ke kota C. Peduli apa aku dengan dirinya,
toh dia sendiri tidak pernah memperdulikan perasaanku!
Tik.. tik.. tik terdengar suara detik jam berbunyi di keheningan malam. Aku gelisah, banyak pertanyaan yang berkecamuk di benakku sehingga membuatku sulit untuk memejamkan mata.
Kulihat jam menunjukkan pukul dua lebih lima menit, aku merasakan ada hembusan angin membelai lembut tengkukku. Tubuhku saat itu juga langsung merinding.
"Hmm.. aneh, ada apa ini?" Batinku merasakan ada hal janggal yang akan segera terjadi.
Tiba-tiba aku merasakan tubuh Mas menghampiriku dari belakang. Dia tampak begitu tergesa-gesa saat naik ke atas peraduan kami! Tangannya yang sedingin es melingkar erat di pinggangku.Tubuhnya bergetar seperti menahan rasa takut. Kupikir dia menyadari kesalahannya dan ingin meminta maaf, namun ternyata perkiraanku salah! Tak ada satu patah katapun yang terucap dari bibirnya. Yang terdengar hanya hembusan nafasnya yang memburu ketakutan di telingaku.
"Kamu kenapa Mas?" Tanyaku keheranan sambil setengah berbisik.
"Ma.. kamu dengar tidak suara tangisan itu?" Desisnya dengan bibir bergetar.
"Suara tangisan apa? Kamu habis bermimpi burukkah?"
"I.. itu Ma, masa kamu tidak bisa mendengarnya? Suara tangisan perempuan sedang merintih! Tangisannya begitu menyayat hati!"
Aku segera bangkit dari tidurku. Menatapnya keheranan. Suara apa yang sedang suamiku dengar? Mengapa hanya dia yang bisa mendengarnya? Kenapa aku tidak mendengar apapun. Bahkan Gendis tidak rewel sama sekali, dia terlihat begitu lelap dalam tidurnya. Biasanya kalau ada gangguan yang terjadi di rumah, Gendislah yang pertama kali akan bereaksi!
"Mana? Tidak ada suara tangisan apapun! Balasku sambil menaikkan bahu.
Mas mengernyitkan dahinya, tampaknya suara tangisan wanita itu masih terdengar jelas di telinga suamiku.
"Itu Ma.. Itu..!!!" Pekik Mas dengan suara parau.
"Suaranya tangisannya terdengar begitu jelas di telingaku! Suara rintihan kesakitan yang..
arghh...!!!" Pekiknya sambil menutup telinga dengan ke dua tangannya. Sebenarnya hatiku tidak tega melihat wajahnya yang saat itu memucat! Tapi.. sudahlah mungkin ini balasan untuk Mas yang selalu menyakiti hatiku!
"Tapi aku benar-benar tidak mendengar suara apapun!" Tukasku sambil mempertajam pendengaran.
Di sudut tempat tidur, kulihat dirinya meringkuk tak berdaya, keringat dingin mulai membanjiri kening suamiku. Dia terlihat ketakutan, seperti ada yang menghantui dirinya!
Keningku berkerut memikirkan situasi yang sedang kami hadapi saat ini!
"Ada apa ini? Kenapa hanya Mas yang dapat mendengar tangisannya?"
Astagfirullah!!! Apa ini akibat ucapan yang kubisikkan ke telinga Gendis? Aku tersenyum sinis menatap Mas yang masih menutup ke dua telinganya.
"Kamu.. Iya kamu! Awas jangan pernah macam-macam sama aku dan Gendis!" Wajahku menatap mukanya dengan penuh rasa kebencian dan jijik! Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku belum menemukan bukti kalau dirinya menghianatiku!
"Ya Allah tunjukkanlah kebesaranMu, berikan aku petanda kalau apa yang aku khawatirkan itu adalah nyata!" Doaku dalam hati.
Aku beringsut menjauhi tubuhnya, aku tidak mau berada dekat di sisinya!
Terima kasih.. siapapun itu yang telah membuat suamiku ketakutan, aku ucapkan terima kasih!" Desisku pelan sambil menatap Gendis yang masih tertidur pulas.
"Ma..!!! Kamu kenapa menjauh! Kenapa tatapanmu begitu sinis ke Mas? Empati sedikit dong! Suaminya lagi ketakutan begini malah dicuekkin! Gerutunya penuh amarah.
Rasanya saat itu juga aku ingin meludah ke wajahnya yang sok polos! Namun hati kecilku melarangnya
"tunggu sebentar! Sabar dulu sampai kamu mendapatkan semua bukti!"
Aku menghela nafas panjang, wajahku memerah menahan amarah yang siap meledak kapanpun!
"Ngapain aku harus berempati sama kamu Mas? Aku dan Gendis tidak mendengar apa-apa! Berarti
mereka hanya mengincar dirimu! Bukan kami!" Dengusku sambil memalingkan wajah.
"Kamu tidak takut kalau suara tangisan itu sebagai petanda agar besok kamu tidak boleh berangkat ke kota C?" Tanyaku penuh harap agar Mas mau mengurungkan niatnya untuk pergi.
"Lihat besok saja! Sudah saya mau tidur lagi! Tangisannya sudah berhenti, tidak kedengaran lagi!" Ketusnya seraya mengambil guling dan memalingkan tubuhnya dari diriku.
Mataku memandang ke arahnya penuh kebencian! Hatiku mengutuk perilakunya yang mulai berani membentak aku!
"Awas kamu kalau berani membohongiku !!! Tidak akan kubiarkan kamu selamat!" Sumpah serapahku dalam hati.
Pagi harinya Mas tetap memutuskan untuk pergi ke kota C. Ketika Mas pamit ke Gendis dan ingin menggendongnya, mata puteriku menatap ke arahku seakan-akan meminta persetujuan.
"Ayahmu sedang membohongi kita Ndis! Mama benci dan jijik dengan ayahmu! Cibirku dalam hati.
Gendis mulai menatap tajam ke Mas, dirinya seperti menelisik ayahnya yang sebentar lagi akan pergi meninggalkan dirinya. Saat itu juga Gendis mulai menendang dan memukul wajah Mas diiringi dengan suara tangisannya yang menyayat hati. Ia memandang mataku seakan-akan ingin memberitahu sesuatu. Wajahnya mulai ia benamkan dalam dadaku sambil terus menangis meraung-raung. Perasaanku semakin tidak enak.
"Siapa dia Mas?" Tanya batinku.
Mas melangkah pergi meninggalkan rumah tanpa mempedulikan tangisan puterinya yang tidak rela ditinggalkan ayahnya. Mataku hanya menatap nanar melepas kepergian suamiku...
Sudah lima hari semenjak kepergian Mas ke kota C. Selama itu juga dia tidak pernah memberi kabar atau menanyakan kabar Gendis. Aku juga tidak peduli, diriku terlalu asik bermain dengan Gendis yang sedang lucu-lucunya. Ponselku berdering, kulihat nama istri eyang tertera di layar ponselku.
"Assalamu'alaikum Ibu." Sahutku memulai percakapan.
"Wa'alaikumsalam mama Gendis."
"Ibu, Eyang sudah sembuhkah?"
"Alhamdulillah sudah mama Gendis. Oh iya, hari ini mama Gendis ada di rumah tidak ya?"
"Ada Bu! Ima tidak pergi kemana-mana kok. Memang kenapa Bu? Tumben Ibu nanyain Ima ada di rumah atau tidak?"
"Insya Allah kalau tidak ada halangan hari ini Eyang mau main ke rumah mama Gendis. Bolehkan?" Goda Ibu kepadaku.
"Iihs.. Ibu apa-apaan sih ko nanyanya begitu? Jelas boleh Bu! Pintu rumah Ima selalu terbuka lebar untuk Eyang dan keluarganya!" Balasku sambil tertawa pelan.
"Ya sudah tolong kirim alamat lengkapnya ya," pinta istri Eyang.
"Baik Bu, Ima langsung kirim alamatnya."
"Terima kasih mama Gendis. Assalamu'alaikum." Salam Ibu mengakhiri pembicaraan.
"Wa'alaikumsalam Bu..!"
"Waah, Ndis.. Eyang mau ke rumah!" Pekikku kegirangan. Matamu berbinar.. Ini adalah hari yang sudah lama kutunggu!
Ndis menatapku kebingungan, mungkin puteriku heran mengapa Ibunya tampak sebahagia itu!
Segera kuminta Mba Ani untuk membeli gado-gado yang merupakan salah satu makanan kesukaan Eyang.
Sekitas pukul 14.00 tampaklah sedan silver berhenti di depan rumah. Aku bergegas membuka gerbang menyambut kedatangan mereka.
Eyang turun dari mobil menggunakan tongkat, persis seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Disusul dengan istrinya dan supir pribadi mereka. Alhamdulillah, kulihat raut wajahnya tampak lebih segar daripada saat aku berkunjung ke RS. Eyang terdiam... Matanya yang dibingkai kacamata minus menatap ke arah pohon nangka milik tetanggaku. Kemudian wajahnya menatap Gendis dan tersenyum.
"Assalamu'alaikum cantik." Sapa Eyang ke Gendis.
"Wa'alaikumsalam Eyang, mari silahkan masuk! Ima sudah menunggu dari tadi. Nggak nyasarkan ke rumah Ima?" Sahutku sambil menghampiri dan mencium tangan beliau serta Ibu. Tak lupa aku menyalami supirnya yang kuperhatikan sedari tadi tampak mengamati Gendis.
"Alhamdulillah nggak nyasar. Pak Abdul paham sekali dengan wilayah sini, bukan begitu Pak?" Tanya Eyang sambil melirik ke supirnya yang baru kuketahui bernama Pak Abdul.
Eyang mulai melangkah memasuki gerbang rumahku, namun langkahnya terhenti. Matanya tampak menyisir kearah teras dan garasi. Kemudian beliau melanjutkan lagi langkahnya dan behenti di depan pintu masuk. Matanya berkeliling ke seluruh ruangan, tampak garis muncul di antara alisnya. Eyang kemudian mendengus pelan "Hmm... banyak juga ya" gumamnya setengah berbisik.
Aku hanya mengernyit bingung mendengar ucapan Eyang.
Mari Eyang, Ibu dan Pak Abdul silahkan duduk. Tuh.. sudah Ima sediakan gado-gado kesukaan Eyang." Selorohku sambil tersenyum ramah.
Eyang dan Ibu duduk di sofa sedangkan Pak Abdul lebih memilih duduk di lantai dekat Eyang.
"Aduh.. Ibu hampir lupa mengenalkan Pak Abdul. Ima ini Pak Abdul, beliau muridnya Eyang sekaligus asisten yang menemani Eyang kalau lagi menangani klien. Pak Abdul juga ahli mengurut bayi loh" tutur Ibu sambil setengah berpromosi.
Aku tersenyum sekilas ke Pak Abdul. Ku perhatikan semenjak dia menginjakkan kakinya di rumahku, mata Pak Abdul tampak selalu mengamati Gendis. Tatapannya seperti seorang pemburu yang sedang mengawasi mangsanya!
Eyang mencondongkan tubuhnya ke lantai tempat dimana puteriku sedang asik bermain "Ndis.. yang di pohon nangka sering mengajak kamu ngobrol ya?" Tanya Eyang dengan raut wajah serius.
Gendis tidak menghiraukan pertanyaan Eyang, dirinya tertalu sibuk dengan semua mainan yang sedang dia pegang.
"Eyang jangan bercanda deh, masa yang di pohon nangka sering mengajak Gendis ngobrol?" Sanggahku sambil melirik ke arah pohon nangka yang dahannya bergelayut masuk ke dalam teras.
"Kamu ini selalu saja ngeyel dengan ucapan Eyang! Di pohon nangka itu banyak sekali penunggunya. Tuh
mereka dari tadi asik mengamati kita ngobrol! Papar Eyang sambil menatap ke pohon nangka.
"Di teras tepat depan kamarmu juga ada sepasang anak kecil. Mereka yang suka meminjam mainan Gendis!"
Dahiku mengerut mendengar ucapan Eyang. Berarti benar kalau
merekalah yang selama ini sering membuat mainan Gendis bergerak dan berbunyi sendiri? Sepertinya
mereka juga yang pernah membuat Gendis menangis ketakutan.
Mataku menerawang mengingat peristiwa yang belum lama terjadi. Sepulang dari rumah tante, aku mendudukkan puteriku di kursi merahnya yang kutaruh dekat jendela kamar. Kulihat jemarinya berusaha meraih mainan boneka yang tergantung di atas kursi merah. Begitu tangannya hampir memegang mainan tersebut, tiba-tiba Gendis menjerit kencang sambil terus memegangi jarinya. Wajahnya tampak sangat ketakutan menatap ke arah mainan yang mulai bergoyang sendiri tanpa ada yang menyentuhnya! Dia tampak sangat kesakitan! Seperti ada yang menyakiti jari mungil anakku!
"Mba Ima kenapa bengong?" Pertanyaan Ibu langsung membuyarkan lamunanku.
"Eh, nggak apa-apa ko Bu!" Jawabku sambil menggaruk lenganku yang tak terasa gatal.
"Suamimu mana ndhuk? Kok nggak kelihatan?" Telisik Eyang sambil mengamati mataku.
"Mas sudah enam hari ke kota C, katanya mau ke rumah Ibunya!" Tukasku dengan wajah cemberut.
"Loh kenapa Ima dan Gendis tidak ikut suamimu ndhuk?" Cecar Eyang penasaran.
"Bagaimana bisa ikut kalau Mas tidak mengajak aku dan Gendis? Lagian Ima juga tidak akan mau kalau diajak ke kota C! Ndis tidak suka sama Ibunya Mas!"
"Tidak suka bagimana ndhuk?"
"Sulit untuk Ima jelaskan Eyang. Pastinya Gendis tidak mau dipegang sama Ibunya Mas. Setiap mertua Ima mau menyentuh Gendis, anak Ima langsung menangis histeris." Tuturku sambil menatap ke arah Gendis yang masih asik bermain sendiri.
Eyang tersenyum mendengar penjelasanku. Sepertinya Beliau paham dengan yang kumaksud.
"Ima, penampakan mahluk halus di ruang tamu rumahmu lumayan seram juga ya?" Gumam Eyang seraya mengadahkan kepalanya ke langit-langit ruang tamu.
"Serius Eyang???" Pekikku terkejut.
"Iya, wujud penunggu di sini lumayan menyeramkan. Dari pertama kali Eyang memasuki rumahmu,
dia terus menatap Eyang dan menebarkan aroma permusuhan!" Eyang menghela nafas dan terdiam sejenak.
"Rambutnya panjang dengan lidah yang terus terjulur. Kuku-kukunya tampak runcing dan tajam siap mencabik-cabik musuhnya!
Dia berjalan merayap seperti cicak!" Desis Eyang.
Aku terperangah mendengar ucapan Eyang. Seseram itukah penampakan penunggu ruang tamuku?
"Di pojokkan ruang tv ada sosok nenek-nenek yang selalu menampakkan diri setiap adzan maghrib berkumandang, bukan begitu Ima? Tapi dia tidak mengganggu, mahluk itu hanya senang bermain bersama anakmu."
"Sepertinya begitu Eyang. Setiap Ima menyalakan adzan magrib di tv, Gendis sebentar-sebentar selalu menoleh ke belakang sambil tersenyum. Ternyata ada nenek-nenek yang sedang Ndis lihat ya?"[/I] Desisku pelan.
"Nah ini yang di tangga! Semua ngumpul di tangga! Ketuanya malah asik berdiam di bawah tangga!"
Eyang terlihat memejamkan matanya sebentar. "Sudah, Insya Allah yang di tangga tidak akan mengganggu cucuku lagi. Gendis sini, ayo main sama Eyang." Tangannya menjulur ingin menggendong Gendis. Namun hanya penolakan yang Eyang dapatkan.
"Maaf Eyang, apa
mereka tidak bisa disuruh keluar dari sini?"
"Susah ndhuk!
Mereka sudah menempati rumah ini sejak lama bahkan dari sebelum kamu membelinya. Bagi
mereka ini adalah rumah
mereka, jadi tidak mungkin meminta
mereka untuk pindah."
"Eyang kalau yang di pohon nangka suka mengganggu Gendis tidak?"Cecarku lagi sambil memandang ke luar.
"Nggak ndhuk, mereka tidak pernah mengganggu Gendis. Wujud penunggu pohon nangka itu kuntilanak. Muka
mereka memang seram tapi
mereka hanya suka mengajak Gendis ngobrol" tutur Eyang memberi penjelasan.
Aku menepok jidatku "Ampun Gendis...! Ngapain kamu ngobrol sama kuntilanak? Mendingan kamu ngobrol sama mama!" Ucapku ke Gendis yang asik merangkak di ruang tamu.
Serempak semua tertawa mendengar ucapanku.
"Ada-ada saja kamu Ima. Anakmu ini kan belum paham dengan siapa dia berbicara!" Jawab Eyang sambil terkekeh.
Setelah ba'da ashar, keluarga Eyang pamit pulang. Ku antar kepergian mereka sampai depan rumah. Eyang mengelus lembut rambut Gendis seraya mencium pipinya yang tembem.
"Terima kasih Eyang sudah menyayangi Gendis seperti cucumu sendiri. Sehat terus ya Eyang" doaku dalam hati sambil menatap kepergian sedan silver yang mulai menghilang dari pandangan.
*****
Pagi itu suasana di stasiun terlihat ramai. Semua peron terlihat sesak oleh calon penumpang yang tampak hilir mudik menggeret koper serta menenteng barang bawaan mereka. Kulihat selembar tiket di tanganku
"Gerbong tiga, nomer bangku tujuh A, Argo Lawu tujuan Yogyakarta." Aku celingukan mencari peron empat tempat dimana kereta argo lawu yang akan membawaku dan Gendis pergi berlibur berada.
"Ah.. itu dia peron empat, keretanya baru saja memasuki peron!" Pekikku kegirangan.
Aku bergegas melangkah ke peron empat. Tubuhku mulai berdesak-desakan dengan para penumpang yang tidak sabar ingin segera naik ke dalam kereta. Aku mundur teratur, aku memilih mengalah,
toh barang yang kubawa tidak terlalu banyak. Kulirik jam tangan yang melingkar manis di tangan kiriku
"Pukul delapan, masih banyak waktu untuk naik ke dalam angkutan massal ini" gumamku pelan.
Sambil menggedong Gendis, kususuri setiap gerbong dari luar. "Ndis ini namanya kereta api, nanti yang anteng ya nak di dalam kereta. Tolong nanti jangan menjerit-jerit bikin mama panik ya?" Nasehatku pada Gendis yang hari itu terlihat sangat cantik menggunakan sweater berwarna merah jambu.
Sambil terus menyelusuri gerbong tiba-tiba sudut mataku menangkap sesuatu "Itu...!!!" Alisku tersentak bersama-sama!
Aku pincingkan mataku untuk mempertegas lebih jelas pemandangan yang tersuguh di hadapanku. Apa benar penglihatanku ini?" Tanyaku dalam hati.
Dari luar jendela kereta, samar-samar kulihat sosok tubuh yang sangat kukenal. Sesosok yang pernah menemani hari-hariku penuh canda tawa. Aku mengucek-ngucek ke dua bola mataku untuk lebih memastikan lagi.
"Aah.. Apa aku salah lihat? Atau mataku mulai rabun?" Hatiku menyangkal apa yang sedang kulihat saat ini.
Di sana, di dalam gerbong tampak suamiku sedang duduk sambil tersenyum manis. Ingin kubalas senyumannya tapi...
Si.. Siapa itu? Siapa wanita yang tengah menemani suamiku? Senyum Mas ternyata bukan untukku melainkan untuk wanita yang sedang duduk bersamanya! Mereka tampak berbicara dengan sesekali diiringi canda tawa. Mereka bercengkrama dengan mesra! Jari jemari Mas tampak menggenggam erat tangannya yang lentik! Wajah mereka tampak diselimuti rona kebahagiaan.
Deeg.... Jantungku bergemuruh kencang. Tubuhku rasanya seperti tersengat aliran listrik! Aku hanya tertegun menatap wajah wanita itu dari balik jendela kereta yang tampak buram. Dia tampak cantik dengan jilbab merah jambu yang menutupi mahkotanya. Kulitnya tampak putih dan pipinya merah merona. Wanita itu sangat modis dan pandai berdadan. Sangat jauh berbeda dengan diriku yang tampak kumal tak terurus!
"Mas tidak dapatkah kamu melihat ke arahku dan anakmu?" Jeritku dalam kalbu.
Ku gigit bibirku untuk menahan rasa sakit yang mulai menjalar di hati.
"Mas.. Siapa wanita itu yang saat ini sedang bersamamu? Kenapa tega sekali dirimu berani mengkhianati aku dan Gendis!" Pekikku tertahan!
Lonceng tanda keberangkatan kereta api mulai berbunyi, disusul bunyi peluit tanda kereta akan segera berangkat. Masinis mulai menyalakan klakson tanda kereta akan segera meninggalkan stasiun. Kereta perlahan bergerak meninggalkan aku yang hanya bisa berdiri terpaku.
Ingin rasanya ku berteriak memohon masinis untuk menghentikan laju kereta dan segera menerobos masuk ke dalam gerbong tempat dimana suamiku dan wanita itu berada. Aku ingin melabrak dan mencaci maki mereka yang sudah tertangkap basah oleh mataku! Namun aku tidak berani melakukannya... Aku terlalu takut, nyaliku terlalu ciut!!!
Aku memukul-mukul kepalaku sambil bibirku terus merutuki diriku!
"Bodoh! Bodohnya aku membiarkan mereka pergi begitu saja dari hadapanku! Apa sebenarnya yang harus aku takuti? Aku ini masih istri sahnya bukan istri gelap atau simpanannya!!!" Batinku melolong menjerit kesakitan.
Mataku menatap hampa kereta yang terus bergerak menjauhi stasiun. Aku tetap tegak berdiri mematung di tempatku berada, rasanya seperti ada rantai baja yang begitu kokoh menahan kakiku untuk tetap berada disana.
Tiba-tiba aku merasakan kesendirian di tengah hiruk pikuk keramaian. Hatiku terasa sakit seperti dihujam oleh ribuan belati yang menolehkan luka yang teramat dalam.
"Apa ini saatnya kita harus berpisah Mas? Kereta akan membawamu dan wanita itu ke kota tujuan. Sesampainya disana mungkin tidak pernah akan ada lagi aku, tidak ada lagi kita! Selamat tinggal Mas... Selamat tinggal suamiku. Kamu sudah memilih.. Memilih wanita itu daripada aku dan puterimu" rintihku pilu berlinang air mata.
Bersambung