Sebenarnya hatiku tidak rela mendengar tangisannya.
"Tolong yang kuat dan sabar ya Ndis..."bisikku pelan.
Lantunan ayat suci Al-Qur'an terdengar bersahut-sahutan dengan suara tangisan dan jeritan Gendis. Tangisannya begitu kencang sampai terdengar ke rumah tetangga. Kuintip dari balik jendela mereka tampak mondar -mandir di depan rumah sambil melihat ke arah pintu ruang tamu yang terbuka lebar. Mungkin tetanggaku penasaran dengan apa yang sedang kami lakukan, hingga tangisan Gendis yang sangat menyayat hati sampai terdengar ke kuping mereka. Umi menatapku dan memberi isyarat agar aku tetap fokus dan mengacuhkan mereka.
Saat dibacakan surat Al-Jin tiba-tiba terdengar suara "Praaaanggg.... Bruuuk!" Suara benda terjatuh dari arah dapur!
"Astagfirullah!!" Serempak aku dan Umi mengucap istighfar karena terkejut. Kulihat Pa Ustad tetap konsentrasi melatunkan surat Al-Jin di telinga Gendis. Sementara suamiku terlihat kwalahan karena harus menggendong Gendis yang terus mengamuk dan merintih memohon untuk dilepaskan dari pelukan ayahnya.
Umi segera bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke arah tempat suara benda jatuh itu berasal. Beliau mengisyaratkan agar aku tetap berdiri mendampingi Mas. Tak lama kemudian Umi kembali dengan wajah tegang seraya sudut matanya terus mengawasi ke arah dapur.
Alhamdulillah setelah lima belas menit, proses ruqyahpun selesai. Tangan kecilnya langsung terjulur kearahku, segera kusambut uluran tangannya sambil kudekap erat tubuh mungilnya yang bersimbah keringat. Nafasnya nampak tersengal-sengal, bibirnya yang tadi sempat memucat mulai memerah "Maafin mama ya Ndis, tolong maafin mama karena membuat Gendis tidak nyaman" ucapku lirih.
"Mas dan Mba Ima bisa tolong ikut saya ke dapur sebentar? Biar Pak ustad menunggu disini untuk beristirahat" pinta Umi dengan suaranya yang tegas.
Aku dan Mas lantas mengikuti langkah Umi dari belakang. Sesampainya di dapur, Umi menunjuk ke arah tangga "Mas Dedi nanti segera ganti lampu yang di atas tangga dengan watt yang lebih besar. Jangan lupa di sini (Umi menunjuk ke arah bawah tangga) juga dipasang lampu biar penerangan di tangga tidak terlalu redup. Lampunya jangan pernah dimatikan ya Mas biarkan selalu menyala terus!" Tunjuk Umi ke beberapa titik di tangga.
"Umi tadi pas ruqyah sedang berlangsung sepertinya ada suara benda terjatuh, itu suara apa Umm?" Tanyaku dengan perasaan gugup.
"Itu Mba, suaranya berasal dari panci itu. Tadi pas Umi ke dapur, saya lihat pancinya sudah tergeletak di lantai." Tunjuknya ke arah panci besar yang ditaruh di atas meja dapur.
"Panci sebesar itu bagaimana mungkin bisa terjatuh Umm? Ima menaruh panci itu di tengah-tengah meja, bukannya dipinggir. Tidak mungkin ada tikus atau kucing yang menyenggolnya. Rumah Ima selalu tertutup sehingga tidak mungkin ada hewan yang bisa masuk ke dapur" celetukku keheranan.
"Ya bisa Mba!
Penunggu di tangga sepertinya sangat iseng dan jahil! Saya juga merasakan hanya di area ini yang hawanya sangat lembab.
Mereka itu sangat menyukai tempat yang hawanya dingin dan terasa lembab Mba! Makanya saya memberi saran agar segera dikasih lampu yang sangat terang di tangga untuk mengurangi tingkat kejahilan
mereka! Mba Ima juga suka duduk di tanggakan kalau cuaca lagi terik?" Lirik Umi ke arahku.
"I.. iya Umm, ko Umi tau?"
"Sama seperti
mereka,
mereka juga menyukai tempat ini karena bagi
mereka hawanya terasa nyaman." Bola mata Umi berkeliling menatap ke arah tangga.
"Ada benarnya juga ucapan Umi, duduk di tangga merupakan tempat favoritku saat udara terasa panas karena aku merasa hawa di sana sangat dingin" gumamku dalam hati.
"Hey Kalian! Jangan dipikir saya takut ya sama kalian! Lihat saja kalau sampai masih bersikap iseng, saya tidak akan segan-segan mengusir kalian dari rumah ini!" Bentak Umi ke arah tangga sambil melangkah meninggalkan dapur.
Aku dan Mas menatap keheranan mendengar ucapan Umi.
Setelah Pa Ustad melakukan ruqyah rumah, merekapun segera pulang karena sebentar lagi adzan magrib akan berkumandang.
Sehabis shalat maghrib, Mas langsung memanggil Pak Tugiman untuk segera memasang lampu phillips 15watt di atas dan di bawah tangga. Saat itu juga area tangga tampak terang benderang.
"Bismillah ya Mas semoga tidak ada gangguan lagi di rumah" ujarku penuh berharap.
Mas hanya terdiam dan langsung beranjak ke ruang tamu. Dirinya mengambil handphone yang tergeletak di meja. Jarinya tampak mengetik pesan namun entah untuk siapa...
"Kenapa lagi kamu Mas? Kenapa sikapmu berubah menjadi dingin ke Gendis dan aku?" Tanyaku dalam hati sambil terus mengamati bahasa tubuhnya yang terlihat aneh.
Malam harinya aku menikmati angin malam bersama puteriku. Suasana di luar terlihat hening dan sepi, tak tampak satu orang pun disana. Hanya ditemani oleh cahaya rembulan dan lampu penerangan jalan yang terlihat redup, kakiku terus melangkah.
"Tumben tidak ada satu orangpun yang keluar rumah, biasanya bapak-bapak suka berkumpul di pos sambil minum kopi dan main gaple" pikirku sambil mengamati keadaan disekitar. Udara malam yang dingin terasa menusuk di sekujur tubuh. Pelukanku semakin erat mendekap Gendis agar tubuhnya merasa hangat.
Aku terus berjalan menyusuri jalanan yang remang-remang karena kurangnya cahaya penerangan. Mataku menangkap sesosok tubuh wanita yang berdiri tidak jauh dari tempatku berada
"Eh.. itu siapa? Kenapa ada perempuan yang berdiri dekat tiang listrik malam-malam begini? Sepertinya sedang menunggu seseorang?" Aku terus melangkah mendekat ke tempat wanita itu berdiri.
Semakin aku mendekat, penglihatanku semakin jelas.
"Allahu Akbar.. Allahu Akbar" hanya kalimat itu yang terucap dari bibirku sambil kudekap erat tubuh puteriku.
Wanita itu memalingkan wajahnya sambil tersenyum sinis ke arahku! Sekarang terlihat jelas bola matanya yang berwarna hitam pekat! Seringainya memperlihatkan deretan gigi yang menghitam dan tajam. Rambutnya yang panjang terlihat hampir menyentuh tanah! Gaun putih yang membalut tubuhnya terlihat kumal dan menebarkan aroma bau busuk yang menyengat hidung!
Aku terpaku melihat ke arahnya. Jari jemariku membeku dan mati rasa. Nafas serta debaran jantungku berpacu dengan cepat. Ingin aku segera berlari menghindar namun semuanya terlambat! Kedua kakiku tidak bisa bergerak, seperti ada sepasang tangan yang sedang mencengkram erat dan tidak ingin melepaskannya! Aku berteriak minta tolong namun tak ada satu patah katapun yang terucap dari bibirku!
Wanita itu melangkah terseok seok mendekat ke arahku. Kedua tangannya perlahan-lahan terangkat maju ke depan memperlihatkan kukunya yang hitam dan panjang. Dia menyeringai, air liur terlihat menetes berjatuhan dari sela-sela bibirnya yang lebar dan berwarna hitam. Pemandangan yang sungguh menjijikkan hingga membuat perutku mual!
"Ya Allah tolonglah aku dan anakku" doaku dalam hati.
Tangannya mulai mendekat bersiap mencekik leherku. Dengan bibir bergetar kucoba membaca ayat kursi. Saat itu hanya Allah yang bisa menolongku dan Gendis agar terbebas dari mahluk yang menjijikan ini!
Aku menahan nafas, beberapa inchi lagi kukunya yang panjang dan terasa dingin akan berhasil menyentuh leherku! Alhamdulillah mulai terdengar suara dari bibirku yang tadi sempat terkunci rapat. Perlahan-lahan suaraku yang hilang mulai kembali. Dengan bibir bergetar ku lantunkan ayat kursi dengan suara yang lantang! Perlahan-lahan kukunya yang tajam mulai mundur teratur. Matanya memandang penuh dendam dan amarah. Sosok itu mulai kembali ke tempatnya berada, di bawah tiang listrik!
"Jangan takut, teruslah berjalan lurus ke depan dengan anakmu. Mahluk itu tidak akan berani mengganggu kalian. Aku akan menemani kalian dari belakang" terdengar suara yang begitu lembut . Namun sayangnya aku tidak memiliki keberanian untuk menoleh ke belakang.
"Te.. terima kasih" ucap bibirku gemeteran.
"Maaf anda siapa?" Tanyaku sopan sambil terus berjalan melewati sosok yang terus berdiri mengamatiku dengan tatapan mata menyala dibakar api amarah. Ternyata betul apa yang diucapkan oleh seseorang yang berada di belakangku. Sosok itu tidak berani mendekat ke arah kami!
"Tidak perlu tau siapa diriku. Aku hanya menjaga kalian dari gangguan
mereka."
Semakin lama langkahku semakin menjauh dari wanita itu. "Alhamdulillah ya Allah, Engkau sudah menyelamatkan hamba dan Gendis" puji syukur aku ucapkan kepada Sang Pencipta.
"Sekarang kalian sudah aman. Ingatlah pesanku, setiap ada yang mencoba menyakiti atau mengganggu kalian, selalu ingatlah Allah. Karena
mereka sangat takut dengan PenciptaNya. Sekarang aku pamit, Assalamu'alaikum." Ujarnya dengan suara yang amat menenangkan hati. Saat itu juga aku merasakan hawa dingin menyelimuti seluruh tubuh. Badanku mulai bergetar seperti tersedot pusaran dan semuanya menjadi gelap..!!!,
"Astagfirullah...!!!"
Aku terbangun dengan tubuh bercucuran keringat dingin. "Alhamdulillah cuma mimpi!" Ucapku dengan nafas terengah-engah. Ternyata tadi aku ketiduran ketika lagi menemani Gendis bermain. Ku lirik jam di dinding menunjukkan pukul 01.00. Aku mengusap wajahku dan berkata dalam hati "Ya Allah, kenapa mimpi burukku sangat menakutkan dan tampak nyata? Pertanda apa ini?"
Kulihat Mas sudah memasuki alam mimpi sambil memeluk guling. Gendis yang berada di sampingku masih belum tertidur, dirinya sedang asik mengoceh sendirian, seperti ada yang tengah mengajaknya berbicara. Segera kuangkat tubuhnya dari kasur dan kuciumi pipinya.
"Ndis tadi mama mimpi seram sekali, ada mahluk yang mau menyakiti mama. Semoga kita semua dalam lindungan Allah ya Ndis." Harapku sambil menatap wajahnya. Matanya yang polos hanya menatap ke arahku sambil sesekali tangannya mengusap lembut pipiku. Gendis seperti berusaha menenangkan aku yang masih tampak ketakutan.
Keesokan paginya ketika sedang asik bermain bersama Gendis di ruang tamu, terdengar suara dering dari ponselku. Kulihat tertera nama Ibu S di layarnya.
"Assalamu'alaikum mama Gendis" suara istri Eyang terdengar lembut.
"Wa'alaikumsalam Ibu, tumben Ibu nelepon Ima? Semua sehatkan?" Tanyaku keheranan.
"Begini mama Gendis, semalam pukul 00.00, penyakit jantung Eyang kambuh. Dari semalam, Eyang dirawat di RS. XXX. Begitu Eyang sadar yang langsung ditanyain malah Gendis. Bisa tidak Gendis dibawa ke RS untuk menemui Eyang? Sepertinya Eyang kangen sama cucunya yang cantik ini." Tanya beliau sopan.
"Ya Allah Eyang.. Ko bisa kambuh penyakit jantungnya? Insya Allah bisa Bu! Ima segera ke sana ya? Tolong kirim nomer kamarnya sekarang ya Bu!"
"Ya begitulah mama Gendis, Eyang mana bisa disuruh istirahat. Pasti lebih mementingkan orang yang membutuhkan bantuannya, eh.. sekarang malah drop. Ya sudah nanti Ibu kirim nomer kamarnya ya. Terima kasih banyak mama Gendis, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam Ibu, semoga Eyang lekas pulih ya."
Tidak lama kemudian masuk pesan ke handphoneku "RS. XXX, lantai 4, ruang 407."
Aku bergegas menghampiri Mas yang sedang asik memegang handphone di ruang tv.
"Mas tolong anterin aku dan Ndis ke RS. XXX ya? Barusan istrinya Eyang menelpon memberi kabar kalau sakit jantung Eyang semalam kambuh." Pintaku memelas.
"Hmm.. Mau jalan jam berapa?" Tanya Mas tanpa mengalihkan pandangan dari layar handphone.
"Sekarang saja biar tidak kesiangan. Sekalian nanti kamu berterima kasih ke Eyang. Berkat bantuannya, Gendis sudah tidak pernah menangis lagi setiap malam."
"Terserah kamu saja! Sudah sana siap-siap biar kita langsung berangkat!" Jawabnya datar.
"Aneh banget perilaku suamiku akhir-akhir ini. Ku amati, Mas lebih sering menatap ke layar handphone daripada mengajak Gendis bermain!"
Lalu lintas hari itu sangat padat, Gendis mulai rewel karena merasa bosan dipangku. Dirinya tidak sabaran ingin segera menghirup udara bebas. Wajah Mas nampak cemberut karena terus mendengar tangisan puteri satu-satunya. Setelah berkutat dengan macet selama 2.5 jam akhirnya sampai juga kami di tempat tujuan. Begitu turun dari mobil, tangisan Gendis mulai terhenti. Matanya berkeliling menatap bangunan RS.
"Anteng ya nak, kalau melihat yang serem-serem tolong cuekin saja" bisikku pelan.
Dengan menggunakan lift, kami menuju ke lantai empat.
"Tiing" pintu lift terbuka dan kami segera mencari ruangan 407 tempat Eyang dirawat.
"Tok..tok..tok.." ku ketuk pelan pintu kamar bernomor 407.
Tak lama kemudian pintu kamar dibuka dan terlihatlah wajah Ibu S.
"Gendis.. Ayo masuk, itu sudah ditunggu sama Eyang dari semalam" ucapnya seraya mencium pipiku.
Eyang yang sedang rebahan langsung berusaha untuk duduk ketika melihat kedatangan kami. Wajahnya terlihat pucat dengan jarum infus terlihat di tangan kirinya. Aku merasa tidak tega melihat kondisi Eyang seperti ini, wajahnya terlihat sedang menahan rasa sakit!
"Cantik sini Eyang gendong, kangen Eyang sama Gendis" wajahnya begitu sumringah melihat kedatangan kami.
"Eyang ini Mas Dedi suamiku" sambil kusikut tangan Mas untuk bersalaman dengan Eyang.
Mas hanya tersenyum dan mengulurkan tangannya.
"Eyang terima kasih sudah membantu istri saya dan Gendis. Berkat bantuan Eyang, Gendis sekarang sudah tidak pernah menangis lagi setiap malam" nada suara Mas terdengar terpaksa.
"Sudah tidak usah berterima kasih, itu bukan apa-apa!" Sahut Eyang sambil tersenyum.
"Ayo Mas Dedi, mama Gendis silahkan duduk di sofa. Jangan berdiri terus nanti cape." Tawar istrinya sambil memamerkan lesung pipitnya yang cantik.
Ruang perawatan yang sangat besar! Didominasi warna pastel beserta perabotan yang tampak mewah mengisi seluruh ruangan. Mataku berkeliling berdecak kagum melihat ruang perawatan Eyang. Mata Gendis juga tampak meneliti seluruh sudut ruangan. Dia tersenyum ketika menatap ke arah sudut ruang tv dan mulutnya mulai mengoceh.
"Nah kan baru saja Gendis sampai sudah banyak yang nyamperin ajak kenalan" ujar Eyang sambil terkekeh.
Mataku terbelalak mendengar ucapannya. "Serius Eyang ada yang datang nemuin Gendis?"
"Lah itu apa kamu tidak lihat kalau anakmu dari tadi asik tertawa dan ngobrol bersama
mereka?"
"Memang wujudnya seperti apa Eyang? Kenapa Gendis tidak menangis?"
"Cuma anak-anak kecil saja. Mana berani
mereka bikin cucu Eyang menangis! Awas kalau berani!"
Mas hanya terdiam mendengar percakapan aku dan Eyang. Ia tampak tidak tertarik dengan apa yang sedang kami bicarakan.
"Mas Dedi tidak percaya ya kalau Gendis bisa melihat dan berkomunikasi sama mahluk halus?" Tanya Eyang tiba-tiba.
"Maaf Eyang, betul saya memang tidak percaya" jawab Mas sambil menunduk.
"Suatu hari nanti, Mas Dedi akan percaya dengan semua yang Gendis lihat dan katakan. Tinggal tunggu waktunya saja!" Senyum Eyang seraya memakan buah apel yang kami bawa.
"Payah ayahmu Ndis, punya anak yang istimewa kok masih tidak mau percaya" kekeh Eyang sambil terus mengunyah apel.
Mas tidak menjawab perkataan Eyang, dia tetap asik dalam diamnya.
"Ima semalam kamu mimpi apa? Tampaknya sangat menyeramkan?" Tanya Eyang dengan wajah serius.
"Deeg... Jantungku berdesir. Darimana Eyang tau? Padahal aku tidak menceritakan ke siapapun tentang mimpiku semalam!"
"I.. Iya Eyang" jawabku gugup.
"Sudah tidak usah takut. Insya Allah ada yang menjaga Gendis dan Ima. Mahluk itu akan terus berusaha menyerangmu dalam mimpi tapi Insya Allah tidak akan pernah berhasil."
Aku hanya terpaku mendengar ucapan Eyang.
"Berarti mimpiku semalam itu nyata???" Wajahku berubah pias mendengar penjelasan Eyang.
"Hahaha... Wajah Ima kalau lagi panik pasti langsung terlihat pucat! Sudah santai saja!" Gurau Eyang.
"Ndhuk,
mereka mempunyai kemampuan untuk masuk ke dalam mimpimu. Bahkan
merekapun bisa menyakitimu lewat mimpi!" Bisik Eyang pelan.
"Kenapa
mereka mau menyakiti Ima? Salah Ima apa sama
mereka?" Tanyaku ragu.
"Masih saja kamu tidak paham ndhuk? Jelas kamu targetnya! Kamu itu tamengnya Gendis! Kalau kamu kenapa-kenapa, tidak ada yang menjaga Gendis lagi
toh? Anakmu ini hanya merasa nyaman berada di dekat Ibunya!"
"Ya Allah, apalagi ini yang akan kuhadapi? Kenapa semakin bertambah rumit?" Desisku dalam hati.
"Kalau kamu sakit, tidak ada lagi yang bisa memomong Gendis! Maka mahluk itu dengan mudah bisa menggantikan posisimu!" Tegas Eyang.
"Eyang apa Ima dan Gendis tidak bisa hidup tenang? Tanpa ada yang mengganggu kami sama sekali?"
"Nanti ndhuk kalau saatnya sudah tiba. Mutiara ini akan berkilauan, cahayanya akan menyakitkan
mereka" senyum Eyang sambil menatap ke arah luar jendela.
"Gendis sini sama Eyang cantik. Eyang mau gendong Gendis sekalian minta tolong untuk disembuhin. Tinggal tempelkan tangan Gendis di dada Eyang terus Gendis berdoa. Insya Allah Eyang bisa sembuh" pintanya dengan wajah serius.
Namun Gendis tampaknya tidak tertarik dengan ucapan Eyang. Anakku lebih tertarik bermain bersama
mereka! Terdengar suara jeritan kegirangan dari bibir mungilnya sambil terus tertawa menunjuk ke tempat kosong. Kakinya menendang-nendang minta dilepaskan dari pangkuanku. Sepertinya Gendis ingin menghampiri
mereka yang terus mengajaknya bermain.
Mas memberiku kode untuk segera pulang. Dirinya mulai tidak betah berlama-lama di ruangan ini.
"Eyang.. Ibu.. Gendis pamit dulu ya. Soalnya masih ada yang harus Mas kerjakan. Eyang lekas pulih, awas jangan sampai terima pasien dulu! Ibu tolong awasi Eyang! Kalau Eyang ngeyel, Ibu laporin ke Ima biar nanti Gendis yang marahin Eyang" ujarku sambil mencium tangan Ibu dan Eyang bergantian.
Eyang hanya tertawa mendengar gurauanku "Aduuhh... Eyang masih kangen dengan si cantik tapi malah mau pulang. Ya sudah hati-hati di jalan. Insya Allah kalau Eyang sudah sembuh, Eyang langsung main ke rumah Gendis" tutur Eyang sambil mengelus rambut Gendis.
Sambil melangkah meninggalkan ruangan, mata Gendis terus menatap ke belakang. Dirinya terus tertawa kegirangan sambil melambaikan tangan tanda perpisahan kepada
teman-teman barunya...
*****
Malam harinya ketika sedang asik mengobrol di ruang tv. "Ma, besok Mas mau ke kota C ya mau jenguk Ibu, mumpung saya masih cuti."
Aku melirik keheranan "tumben kamu jadi lebih sering ke kota C? Bukannya belum lama ini juga baru pulang dari sana?"
"Ya tidak apa-apakan kalau Mas jenguk Ibu dan adik-adik Mas?"
"Mau berapa lama disana?" Tanyaku dengan wajah datar.
"Mungkin dua minggu."
"Haah?? Kenapa lama banget Mas?"
"Memangnya Mas tidak boleh memperhatikan Ibu dan adik-adik Mas?"
"Bukan begitu! Terus Gendis gimana? Anakmu saja tidak pernah kamu perhatikan! Aku amati akhir-akhir ini kamu terlalu asik dengan handphonemu!" Suaraku mulai meninggi.
"Mas selalu memperhatikan Gendis! Buktinya semua kebutuhannya selalu Mas penuhi!" Balasnya tak kalah sengit.
"Denger ya, anak itu tidak hanya butuh materi tapi juga butuh kasih sayang dari orangtuanya!"
Lagian kenapa mendadak ijinnya? Biasanya nggak pernah mendadak begini?" Cecarku penasaran.
"Ngga apa-apa, lagi pengen aja kesana" sambil jarinya terus memainkan handphonenya.
Dengan matanya yang polos Gendis mengamati pertengkaran kami. Dia mulai rewel dan memelukku erat berusaha meredakan emosi yang mulai menguasaiku!
"Terserahlah..!" Aku langsung membawa Gendis ke kamar. Perasaanku semakin tidak enak, tumben Mas jadi tidak betah di rumah dan lebih sering berkunjung ke Ibunya di kota C.
"Ada apa disana? Apa yang membuatmu lebih nyaman di kota C daripada di rumah sendiri?"
Entah dapat ide gila darimana, aku mulai berbisik di telinga puteriku "Ndis kalau benar kecurigaan mama, ayahmu lagi membohongi kita, mama minta tolong sama yang menjaga Gendis biar nanti malam bikin ayah ketakutan setengah mati, tolongin mama ya nak."
Tatapan Gendis yang tadinya nampak polos tiba-tiba berubah menjadi sangat tajam! Aku beringsut mengamati perubahan matanya.
"Apa anakku paham dengan apa yang baru saja kuucapkan?"
Bersambung