Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

semutbulatAvatar border
TS
semutbulat
Tersesat di Rimba Sumatera




Ini merupakan cerita perjalanan aku pertama kali di kota ini. Kota Panyabungan, sebuah ibukota kabupaten paling ujung Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Sumatera Barat. Dari Kota Medan menuju tempat ini memakan waktu kurang lebih 11 jam atau 12 jam.

Kejadiannya pada tahun 2010, aku lupa kapan tepatnya, yang pasti saat itu ada hari libur di hari Seninnya.

Aku yang lagi nggak tau mau kemana diajak oleh beberapa orang anak yang tinggal di kota ini, kami rencananya mau melihat air terjun. Aku nggak tahu, ternyata air terjunnya ada di tengah hutan, dan setelah direncakan oleh belasan orang, akhirnya yang jadi pergi hanya 6 orang, aku, Pandi, Oji, Emo, Darwin dan Ichsan.

Sebelum berangkat kami mempacking barang, mulai dari yang penting, sampai yang nggak penting ikut diangkut, maklum gan, masih kelebihan tenaga tenaga pada saat itu, nggak ada istilah ultralight.

Saat itu kami berenam memulai perjalanan menuju air terjun yang berada di pedalaman hutan setelah sholat Zuhur, dan karena tidak tahu tempat, kami menggunakan petunjuk jalan atau pawang istilah orang sini.

Awalnya kami berjalan melewati perkebunan coklat dan karet milik penduduk yang ada disisi kanan dan kiri, dan sepertinya buah coklat yang sudah menguning itu memanggilku untuk dipetik, tapi sayang, ada yang jaga jadi kuurungkan niatku untuk sejenak.

Lalu setelah berjalan kurang lebih setengah jam kami mulai menyeberangi sungai, dan berjalan lagi melewati perkebunan penduduk, lalu menyeberangi sungai lagi dan jalan lagi, gitu aja terus treknya sampai kurang lebih 1 jam setengah kami berjalan.

Medan yang kami lalui cukup sulit, bukan hanya dataran, kami juga harus mendaki bukit-bukit yang lumayan menguras emosi (apalagi kalo jalannya sambil mengingat cicilan yang belum dibayar plus kenangan bersama mantan yang kini dia sudah menemukan pengganti yang baru, dan yang lebih mengesalkannya lagi penggantinya ternyata tampangnya mirip sedotan ale-ale).

Kami juga harus melewati dinding-dinding jurang di beberapa tempat, walaupun tidak terlalu tinggi, tapi lumayanlah untuk sekedar bunuh diri.

Setelah 2 jam berjalan, dan entah sudah berapa kali kami menyebarangi sungai, aku masih menemukan kebun karet penduduk, dan yang terlintas di otakku, “sehat benar yang punya kebun disini, tiap hari olahraga seperti ini apa nggak capek, kalo aku nggaklah” dan sesaat aku bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena tidak harus bekerja di tempat ini, dan karena penasaran aku bertanya kepada petunjuk jalan kami.

“Bang ini kebun karet siapa?”

“Punya tetangga saya bang.” Jawabnya.

“Jauh kali ya bang, apa nggak capek tiap hari kemari?” tanyaku kembali.

“Ya capeklah bang, tapi namanya mencari makan yang harus begini.”jawabnya kembali.

“Berapa memang harga getah sekilonya bang?” tanyaku mulai usil dan kepo.

Lalu abang-abang guide menjawab “sekarang sekilo Rp15.000,00 jadi kalo kebun ini bisalah dapat 5 jutaan perbulannya. (Ingat 2010)

Mendengar jawaban guide tersebut aku hanya bisa diam dan kembali berdoa “Ya Allah aku juga mau kebun disini, 5 juta perbulan aku juga mau ya Allah, nggak apalah tiap hari jalan kemari”.

Setelah melewati perkebunan karet paling ujung, kami menyeberangi sungai kembali lalu memasuki hutan lindung, dan pepohonannya sudah mulai berbeda, bila sebelumnya pepohonan diatur tata letaknya, kini terlihat jelas pohon tersebut tumbuh sendiri sesuka Penciptanya. Pepohonan kini mulai rapat dan tidak beraturan walaupun ada jalan setapak untuk melewatinya.

Di sini kicau burung terdengar merdu, kita bisa melihat dengan jelas beraneka jenis burung, murai hijau, kacer, jalak, enggang bahkan murai batu juga ada di hutan ini, akan tetapi seiring maraknya penambangan illegal, penjarahan hutan bahkan perburuan, burung-burung itu kini sudah sangat berkurang populasinya. Bahkan murai batu yang dulu banyak disini kini seakan-akan sudah hilang.

Setelah berjalan hampir 3 jam kami sudah mulai kecapekan dan teman-teman yang lain minta istirahat panjang, hanya satu orang yang masih kuat, yaitu Darwin (bukan nama sebenarnya, tapi nama asli bapaknya), ini orang benar2 kuat, berpenampilan pendekar, pendek dan kekar. Walaupun memiliki ukuran tubuh yang minimalis, tapi ototnya pada berontak untuk keluar, mungkin untuk memudahkan membayangkanya aku kasih gambaran hulk kena radiasi hingga tubuhnya menyusut jadi 160 cm. Sejak awal jalan dia membawa tas logistik dan tidak ada gantian. Mungkin cita-citanya menjadi porter, makanya dia berusaha dengan maksimal.

Tapi kerilku juga nggak kalah berat kurasa, saat packing barang, Pandi yang memasukan keperluan kami di tas yang aku bawa, karena saat itu aku pergi belanja dan mengurus yang lainnya. Semangattttt.

Setelah selesai istirahat kami berjalan kembali, dan kini kami masuk ke kerajaan makhluk merayap penghisap darah, pacet.

Jalan 10 langkah, udah ada aja yang menempel, jalan lagi menempel lagi, begitulah kami seterusnya.

Seakan2 kami berjalan sekaligus donor darah dan memberi makan mereka, dan syukurnya aku menggunakan celana pendek, sehingga pacatnya nggak cuma nempel di kaki dan betis tapi sudah menjalar ke paha dan daerah2 lainnya yang nggak mungkin aku tuliskan.

Asemmmmm karena terlalu kesalnya, begitu jumpa sungai aku langsung nyemplung, membersihkan pacat yang nempel semaunya dia.

Ternyata bukan cuma aku, yang lain juga melakukan aksi yang sama sambil berkolor-kolor ria nyemplung ke sungai.

Setelah yakin sudah tidak ada lagi pacat yang menempel, sambil menahan gatal bekas gigitan pacat, kami melanjutkan perjalanan, dan alhamdulillah itu pacat masih banyak di jalur selanjutnya. Dan kini kami berjalan lebih hati-hati sambil memperhatikan kaki kawan yang ada di depan bila terkena pacet.

Selanjutnya kami berjalan di hutan belantara yang kanan dan kirinya ditumbuhi pepohonan yang besar-besar, akan tetapi di jalur jalan juga terdapat tumbuhan-tumbuhan kecil kayak tanaman tembakau yang masih muda.

"bang, disini hati-hati, mulai..." belum selesai sang pawang berbicara sudah terdengar suara

"aduhhh. Perih kali, apa itu?"

Ternyata itu suara si pandi.

"baru saya mau bilang di depan banyak daun latong" lanjut sang pawang.

"telat bang" jawab kami.

Dan akupun ikut merasakan betapa perih dan gatalnya daun latong atau jelatang tersebut.

Asli gatalnya bukan main, sangat gatal, bila terkana air rasanya makin perih, dan bila terkena angin gatalnya makin menjadi-jadi.

Sepanjang perjalanan kami melakukan aksi garuk masal dengan ekspresi muka menahan perih.

"bang obatnya apa?" tanya oji kepadaku.

"abang juga nggak tau ji, abang aja baru tahu ini ada pohon kayak gitu, udah kasih minyak angin aja". Jawabku asal.

Lalu kami mengoleskan minyak angin, ternyata efeknya tidak ada.

Karena semakin gatal, aku mengambil lumpur dan mengoleskannya, dan kali ini rasa gatalnya benar-benar berkurang. Kemudian teman-teman lain yang terkena latong mengoleskan lumpur di tempat yang terkana daun tersebut.

"ini bang oleskan juga, mudah2an ntar malam bisa hilang gatalnya" kata sang pawang sambil memberikan aku akar2an, "ini akar pohon itu, kata orang akarnya bisa mengobati gatalnya" lanjut sang pawang.

Ya nggak ada salahnya dicoba, kamipun langsung mengoleskannya lagi bersama lumpur2 yang sudah menempel.

Rasa perihnya berkurang banyak, kini jalanan mulai menanjak dan menurun kembali, dari satu bukit ke bukit lainnya, dan pandi yang jalan di depan berhenti begitu juga dengan pawang dan teman-teman yang lainnya saat kami menanjak, sedangkan aku bersama dengan oji ketinggalan di belakang, ntah kenapa setiap jalan aku selalu kebagian ngurusin tipekal pejalan yang seperti ini. Pejalan atau pendaki yang bawaannya paling ringan, tapi jalannya paling lambat dan bulak balek istirahat.

Dari bawah kami melihat mereka hanya diam di tempat dan saat kami tiba aku yang tertawa-tawa ingin menceritakan si oji yang berkali-kali terjatuh terkejut disko melihat sesosok makhluk berbulu, berkaki empat lari menjauh.

"apa itu?" tanyaku.

"itu babi hutan" jawab emo.

"dari tadi kami diam nunggu dia pergi, sambil lihat2an, seram kali" sambung ikhsan.

"syukurlah dia nggak nyerodok kita" ntah siapa yang ngomong, nggak ingat lagi aku, kejadiannyakan udah lama.

"untunglah bang kau datang, takut babinya" kata pandi sambil menahan senyum

"maksud kau nyet?" jawabku.

"pasti disangkanya kau induknya, makanya takut dia kena marah kau suruh pulang ke rumah" sambungnya sambil ngakak dengan diikutin yang lain.

Akupun ikut ketawa tapi dalam hati berkata "dasar emang babi, kenapalah kau lari pas aku nyampek, jadi ada bahan ejekan untuk anak ini'.

Kemudian kami terus berjalan hingga akhirnya menemukan pohon yang tumbang sebagai jembatan untuk menuju tempat yang datar di pinggir sungai.

Oji, pandi, ichsan, dan darwin seakan berlomba meniti pohon tersebut untuk sampai ke ujung, dan setelah sampai ke ujung mereka kembali mengaduh-aduh. Dan lari kembali ke pohon tumbang, tapi karena pintarnya pandi dan oji malah jebur ke air.

"bang sakit kali kesana, apa lagi itu, panas kali kayak ada yang gigit" kata ichsan kepadaku.

Ooo tuhan apalagi ini, dan kenapalah orang2 ini kalo nanyak selalu sama aku, manalah aku tau, aku juga baru pertama kali kemari.

"itu semut bang, semut hutan, jangan lewat sana bang, nanjak dulu, kalo mau lewat sana harus lari kencang" kata sang pawang.

Astaga ini pawang ngasih petunjuk selalu setelah orang kena masalah, kenapa nggak dari awal. Arghhhhhh.

Akhirnya kami memutuskan lewat bawah sambil berlari kencang karena sudah terlalu capek untuk jalan memutar. Dan saat lari ntah kenapa seakan-akan ada seeokor semut yang sudah menunggu aku untuk bersilaturahmi.

Anjritttttt, asli panas kali gigitan semutnya, rasanya seperti terkena api rokok, sumpah panas kali gigitannya, dan untungnya rasa sakitnya nggak terlalu lama tanpa meninggalkan bekas gigitan atau rasa gatal seperti digigit semut pada umumnya.

Setelah melewati kerajaan pacat, pemukiman daun latong, dan wilayah administrasi semut hutan kami sampai di dataran agak tinggi yang lumayan luas di dekat sungai dengan dikelilingi pepohonan untuk mendirikan tenda. Kami bermalam disini karena langit sudah mulai gelap, dan air terjun tujuan kami sudah terlihat dari sini.

"bang minta minumlah" kata pandi kepadaku.

"minum air sungai aja pan, airnya jernih kok, abang aja dari tadi minum air sungai" jawabku sambil merapikan tenda dan matras dari dalam.

Sepanjang perjalanan aku memang meminum air sungai dan juga anak2 yang lainnya, hanya si pandi dan oji yang meminum air mineral botolan yang mereka bawa.

"nggak bang, di dalam tas keril yang abang bawa ada aqua di dalamnya" sambungnya.

Lalu aku memeriksa dan membongkar tas yang kubawa dan ternyata isinya ada air mineral.

Astagaaaa.....arrggghhhhh rasanya aku pengen berubah jadi super saiya, walaupun bentuk aku kayak iblis boo dan warna kulit mirip pikolo, tapi aku tetap pengen jadi super saiya. Ibaratnya aku ini kloningan iblis boo yang selingkuh sama pikolo betina dan dilatih sama jin kura2 sehingga bisa menggunakan kamehame.

Anjrittt aku berjalan mengikuti aliran sungai menuju air terjun sambil membawa aqua ukuran 1,5 liter sebanyak 5 botol yang membuat bahu pegal dan setiap haus aku malah minum air sungai. Ooooo tuhannnn.

Malampun tiba, kami menyantap makan malam dilanjutkan dengan acara ghibah di tengah hutan tanpa ada kejadian-kejadian aneh.

Besoknya kami bangun pagi, menuju air terjun, air terjunnya memang cukup indah, walaupun tidak terlalu tinggi namun tetap cukup luas dan sangat asri karena di tengah hutan, dan hanya kami yang ada disitu. Akan tetapi melihat medan yang dilalui rasanya nggak sebanding bila kami hanya melihat hal ini.

"bang air terjunnya cuma ini?" tanya pandi kepadaku.

"manalah abang tau pan. Kan udah 100 kali kubilang aku baru pertama kali kemari" jawabku sambil menahan emosi.

"jawab aja nggak tau bang, nggak usah emosi, lagian masak kau nggak tau bang." sambungnya.

Ooo tuhan yang disangka anak ini aku google.

"ada bang air terjun 1 lagi, tapi jauh ke dalam lagi, mungkin kalo berangkat sekarang bisalah kita nanti sore kita sampai ke desa lagi" jawab sang pawang yang kini datang.

"ya udah bang ayok kita kesana" kata si pandi lagi mengajak aku.

Setelah berumbuk dan melihat sisa bekal yang ada kami akhirnya memutuskan untuk meneruskan perjalanan menuju air terjun yang satu lagi (sebut saja air terjun tanpa nama).

"Jalan Yok"

ajak aku kepada mereka.

Setelah puas bermain air, tanpa main sabun, lompat kesana-kemari, perut terisi akhirnya kami memutuskan untuk jalan kembali menuju air terjun selanjutnya.

Kami berjalan di bawah pepohonan yang sangat rimbun, semakin kami berjalan, area pepohonan semakin rapat dan pohon yang tumbuh semakin tinggi, yang membuat tempat tersebut begitu lembab karena cahaya matahari yang terhalang pepohonan.

Kami terus berjalan menurut petunjuk arah dari sang pawang, dan syukurnya dedaunan jelatang atau latong tidak kami temui lagi. Sebenarnya rasa gatal akibat terkena daun jelatang kemarin masih terasa hingga saat ini, akan tetapi rasa gatalnya sudah sangat berkurang setelah diobati pakai lumpur, akar dan minum obat alergi chlorfeniramin maleat pada malamnya. Gaya coyyy ribet kan bacanya, biar kesannya aku ini pintar gitu, padahal obat alergi yang diminum cuma itu, dan kalo disingkat namanya jadi CTM. Hahhahhaha.

Setelah lebih 3 jam berjalan, sang pawang mulai menunjukan gelagat yang tidak mengenakan. Sudah beberapa kali dia kelihatan ragu untuk mengambil jalan yang akan dilalui, karena mulai curiga akupun menanyakan kepadanya apakah jalan yang kami lalui memang benar, dan atas pertanyaanku dia mulai ragu dan gelisah, dan setelah aku bujuk dan yakinkan bahwa kami nggak akan menyalahkan apalagi marah baru dia mengakui kalau dia tidak tahu kami berada dimana alias nyasar.

Kami berhenti sejenak, melihat keadaan disekitar, dan benar sudah tidak ada lagi bekas jalan setapak sebagai penuntun arah di area ini. Teman-teman yang lain mulai gelisah, terutama oji dan ichsan, mereka kelihatan panik dan kami berusaha untuk menenangkan mereka.

Mau jalan balek ke arah air terjun yang pertama kamipun sudah tidak tahu, dan sang pawangpun kelihatan ragu.

Akupun mulai khawatir, karena stok rokok yang mulai menipis. Hahhahhaha. Kan nggak lucu ntar kalo ngisapin daun bambu yang diisi daun jelatang.

"ya udah bang, kita jalan lagi mengikuti aliran sungai aja" saranku kepada sang pawang, yang sebelumnya sudah kami hadiahi caci dan maki. Sebenarnya aku pengen menghadiahi dia semut hutan tapi apalah daya, akupun nggak berani memegangnya. Lagian ngaku guide kok nggak tahu jalan, kan bodat.

"tapi sungainya udah nggak kelihatan lagi bang, suaranya aja nggak kedengaran" ntah siapa yang ngomong saat itu, anggap ajalah sang pawang.

Aku baru sadar ternyata kami berjalan tidak tentu arahnya, bahkan aliran sungai juga tidak kedengaran dari sini.

Aku berusaha untuk melihat arah mata angin, akan tetapi pohon disini terlalu tinggi, sehingga aku tidak bisa melihat bayangan, dan hampir semua pohon ditumbuhin lumut disekelilingnya, jadi aku nggak tahu mana arah barat dan mana timur. Untung ada handphone. Hahhahha. Hellloowww memangnya ini petualangan indiana jones, hari gini masih bingung sama kompas.

Setelah melihat kompas, kami (lebih tepatnya aku) memutuskan untuk berjalan ke arah barat, ngikutin sun gokong yang melakukan journey to the west. Karena menurut aku bila kita berjalan ke arah barat, pasti akan sampai ke laut, sedangkan bila ke arah lainnya yang ada makin masuk ke dalam hutan yang pawangnyapun nggak tau dimana ujungnya.

Setelah berjalan lebih dari setengah jam, dan berlari-larian menghindar dari sarang tawon (bukan merk syirup) akhirnya kami mendengar suara gemuruh air.

"bang itu ada suara air" kata pandi kepadaku.

"iya pan, aku juga dengar, aku belum pekak" jawabku ngasal.

Kemudian kami berjalan mengikuti sumber suara tersebut, lalu melihat aliran sungai dan kami terus berjalan melihat sumber airnya dan ternyata di depan kami ada air terjun yang tingginya kurang lebih 15 meter.

Air terjun tersebut sangat jernih dan curah airnya tidak terlalu besar. Di kanan kiri air terjun tersebut terdapat dinding/tebing yang sangat panjang dan tinggi dengan ditumbuhi lumut disekitarnya. Ya iyalah, kalo nggak ada tebing namanya air mancur. Hahhahhahaha.

Kami istirahat sejenak sambil memeriksa pacat yang menempel ditubuh kami di dalam air. Sebenarnya sepanjang jalan ntah sudah berapa banyak kami mencabuti pacat yang menempel, akan tetapi karena rasa takut kami tidak terlalu memperhatikannya.

Saat lagi istirahat di pinggiran sungai tiba-tiba kami mendengar suara "aauuumm".

Suara auman yang samar-samar terdengar beradu dengan suara air membuat kami terdiam.

"AAUUUUMMMMM"

Lalu suara itu terdengar lagi, dan kini suaranya lebih jelas.

Kami semua langsung berkumpul berdekatan dan bersiap-siap dengan saling membelakangi, oji kelihatan sangat ketakutan, dia memeluk aku sangat kuat, dan dia mulai menangis.

Sang pawang menyiapkan parang yang dibawanya dan ntah dari mana aku mendapat pemikiran untuk memanjat di samping air terjun tersebut.

"ayo woiii panjat naik ke atas" kataku kepada mereka.

"tapi tinggi kali bang, aku nggak bisa manjat" jawab oji.

"abang juga nggak bisa ji, tapi nggak ada jalan lain". Jawabku meyakinkannya.

Lalu darwin mulai memanjat disamping air terjun tersebut dan berteriak "dari sini, ini ada akar".

Kemudian kami masuk ke dalam air, dan memanjat satu persatu. Setelah Darwin, kini ichsan sudah ikut memanjat, lalu pandi dan emo dibelakangnya, sedangkan aku dan pawang serta oji masih di bawah.

"ayo ji naik, ikutin si pandi cepat" perintahku kepadanya.

Dia kelihatan ragu, akan tetapi rasa takut menghilangkan keraguannya. Aku dibelakangnya ikut memanjat dan sang pawang paling bawah.

Akupun sebenarnya tidak terlalu bisa memanjat, yang ada dalam benakku, jika mau selamat kami harus naik ke atas. Oji yang yang berkali-kali berhenti karena nggak tahu apa yang harus diperbuatnya kini menangis kembali.

"ayok ji naik, pegang akar yang itu, lalu naik injak batu disamping kananmu". Aku berusaha membimbingnya.

Padahal asli, dalam hati aku udah sangat dongkol ingin memaki.

Pandi yang ada di atasnya turun kembali memberi contoh agar oji bisa mengikutinya.

Tidak tahu sudah berapa lama kami memanjat, ntah berapa kali sudah aku terpeleset hampir terjatuh karena salah pijakan sambil menahan oji yang ada di atasku.

Rasanya ujung air terjun masih jauh dan tebing ini semakin licin terkena percikan air, dan kami terus memanjat mencari celah untuk pegangan dan pijakan.

Lalu Darwin yang paling atas sudah sampai di sumber air terjun bersuara "lewat kiri aja, itu ada jalan, jangan naik ke atas bahaya, ke kiri". Ini anak reinkarnasi monyet kali ya, enak aja manjat sambil bawa keril macam nggak ada masalah.

Mendengar perkataannya, kami yang di bawah mengikuti petunjuknya, kami melipir di pinggiran tebing sambil merayap, ternyata tak semudah yang kami duga. Berkali-kali Oji terpeleset hampir terjatuh dan Pandai dengan cepat selalu memegangnya dari samping.

Dan akhirnya kami menemukan dataran yang tidak terlalu luas, tapi cukup untuk meluruskan kaki sejenak. Setelah itu kami memanjat akar-akar pohon yang kini sudah tidak terlalu curam.

Sesampainya di atas aku langsung minum, sumpah aku sangat kehausan saat memanjat tadi.

Setelah itu kami terus berjalan cepat sambil berlari karena takut harimau itu masih mengikuti kami dan kami berjalan cukup jauh dan nggak tahu ntah kemana arahnya, lalu kami memutuskan untuk beristirahat.

Kini tak ada lagi canda tawa seperti hari sebelumnya. Yang ada hanya rasa lelah dan rasa takut.


Bersambung
Diubah oleh semutbulat 12-07-2021 03:54
vrhy30
dimaschevy62
arieaduh
arieaduh dan 27 lainnya memberi reputasi
26
5.4K
67
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
semutbulatAvatar border
TS
semutbulat
#35
Part IV

MENYERAH BUKAN PILIHAN

"bang tunggu"

Aku berhenti, dan oji sudah tergeletak di tanah, lalu aku kembali menghampiri dia, lalu datang pandi membopongnya. Ternyata kaki si oji keseleo dan dia kesakitan setiap mau berjalan.

"ayok bang jalan terus, biar oji aku yang gendong" kata pandi.

"udah pan nggak usah, istirahat aja dulu" jawab oji.

Lalu datang sang pawang yang mengusuk kaki oji yang keseleo. Sebenarnya kalo mengikuti emosi, sudah sejak awal rasanya ingin meninju ini pawang, tapi ku rasa itu bukan cara memecahkan masalah. (Iya aku nggak ada ninju, tapi nggak tau yang lain. Rahasia dan disensor. Hahahahahaha.)

Setelah merasa agak mendingan kami berjalan kembali, kami tertawa-tawa membayangkan darwin rebutan pisang sama monyet. Kami berjalan dan berjalan tak tentu arah, hanya mengikuti jalan setapak yang kini mulai kelihatan.

Sudah lebih 7 jam kami berjalan, yang pasti kini kami sudah sangat letih, kembali kami istirahat, kaki kami sudah mulai gemetaran menahan sakit dan lelah.
Oji dan Ikhsan sudah tidak kuat berjalan, sebenarnya akupun juga, tapi nggak mungkin kami bermalam lagi di hutan ini.
Aku merebahkan diri sejenak menghilangkan lelah, aku kehabisan tenaga, ternyata kayak gini rasanya hampir pingsan, semua tubuh lemas nggak bisa digerakan.

Ku lihat pandi, emo dan darwin dari kejauhan berlari menghampiri kami. Masalah apalagi ini, aku udah nggak kuat kalo harus berlari lagi, kali ini aku harus menghadapinya, aku nggak mau lari.

"bang anto ada kebun, ada kebun".

Nggak tau siapa yang mengucapkannya. Lalu datang pandi sambil ngos-ngosan dia bilang "bang di depan ada kebun karet".

Mendengar perkataannya aku merasa sangat bersyukur, ku lihat emo sujud syukur dan kami hampir menangis haru. Makasih ya Allah, hanya itu yang bisa kuucapkan.

Pawang membopong oji untuk berjalan, lalu kami pergi ke arah kebun karet tersebut. Dan benar disana memang ada kebun karet, terlihat dari penampungan getah yang ada di pohon tersebut.

"ke arah mana kita jalan?" tanyaku ntah sama siapa.

"ikutin jalan ini aja bang" jawab sang pawang sambil menunjuk ke arah jalan yang sudah kelihatan jelas.

Lalu kamipun berjalan, setelah hari hampir gelap, kami melihat cahaya-cahaya lampu di depan kami, dan Alhamdulillah kami akhirnya sampai ke pemukiman penduduk.
Melihat kami datang beberapa orang tua menghampiri kami, dan kami menceritakan semua kejadiannya.

Ternyata kami sudah berada di kecamatan batang natal, jadi kami sudah sangat jauh nyasar, bila naik kendaraan dan melewati jalan utama, bisa menepuh waktu 3 jam lebih dari lokasi awal kami masuk hutan, akan tetapi karena kami jalan melingkarinya, makanya kami berhari di hutan dan mereka semua sangat terkejut mendengar cerita kami.

Dan salah seorang tetua adat menceritakan kepada kami, bahwa tempat kami ngecamp saat tersesat adalah kuburan tua, dimana dulunya pernah terjadi pembantaian serdadu belanda di hutan tersebut, dan mungkin suara sepatu yang kami dengar, adalah suara jejak mereka.

Wassalam.
Diubah oleh semutbulat 12-07-2021 08:16
indrag057
piaupiaupiau
dimaschevy62
dimaschevy62 dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Tutup