"Haaa...?" Dukun??" Jawaban Eyang sukses membuat mulutku menganga keheranan.
Eyang tertawa melihat tingkahku. "Lah iya kalau anakmu nanti sudah besar dan mau jadi dukun kenapa tidak? Dia bisa menjadi dukun yang hebat. Ngga percaya lagi kamu sama ucapan Eyang?" Intipnya dari balik kacamata.
"Ngga ah, Ima tidak akan ngijinin Ndis jadi dukun! Ima maunya Ndis punya pekerjaan normal!"
"Kalau Pencipta sudah berkehendak dia menjadi dukun bagaimana? Apa kamu bisa menolak takdirnya?"
"Kalau bisa jangan! Nanti Ima akan arahkan Ndis sesuai dengan bakatnya, asal jangan jadi dukun ya sayang" ujarku sambil membelai rambutnya yang ikal.
"Anakmu ini nantinya tidak akan suka diatur. Dia sudah tau apa yang harus dia lakukan, bukan begitu Ndis?" Eyang tersenyum ke arah Ndis dan disambut dengan celotehnya yang tidak jelas.
"Pak, Amel ijin balik ke kamar ya. Masih ada yang harus Amel kerjakan." Suara Mba Amel mengalihkan pembicaraan kami.
"Iya, silahkan Mel. Terima kasih sudah membantu Bapak untuk melihat auranya Gendis ya."
Mba Amel hanya tersenyum, kemudian dia pamit kepadaku serta Ibu. Dengan langkah anggun tubuhnya berjalan meninggalkan ruangan.
"Eyang, mahluk yang tadi masuk ke badan Mba Risma itu asalnya darimana?" Celetukku tanpa sengaja.
"Mahluk itu toh, kamu masih penasaran? Eyang kira Ima sudah tidak penasaran." Eyang menyengir ke arahku dan kemudian terdiam.
"Rumahmu tingkat ya ndhuk?"
"Deeg....! Eyang tau dari mana? Kan Eyang belum pernah main ke rumah Ima?" Tanyaku dengan raut wajah terkejut.
"Lah Eyang ndak perlu datang ke rumahmu juga sudah tau! Rumahmu tingkat dan
mereka ada di bawah tangga. Warna cat rumahmu hijau dan pagar rumahmu ko tinggi banget sih ndhuk? " Tanya Eyang dengan kening yang berkerut.
Aku terperangah mendengar semua ucapannya. Karena apa yang Eyang sebutkan tentang rumahku betul semuanya!
"Mama Gendis jangan kaget, Eyang dan Mba Amel memang bisa menerawang" istrinya memberikan penjelasan.
"Pantesan Eyang bisa tau tentang rumahku ternyata Eyang bisa menerawang."
"Maaf Eyang, apa ada cara biar
mereka tidak pernah mengganggu Gendis lagi?"
Terdengar suaranya menarik nafas sambil mengepalkan ke dua tangannya di atas meja. "Sebenarnya ada ndhuk, dulu Eyang sering menangani masalah seperti ini. Bagi Eyang ini hanya masalah sepele."
"Bagaimana caranya Eyang?"
"Kamu harus memotong kambing berwarna hitam, kemudian dagingnya dibagikan ke fakir miskin. Karena itu syarat yang
mereka ajukan. Maukah kamu melakukannya demi Gendis?"
Aku terkejut mendengar pertanyaan Eyang, Entah beliau sedang mengujiku atau tidak namun dengan tegas aku segera menolaknya. Aku tidak akan pernah mau bernegosiasi dengan
mereka!
"Maaf Eyang, Ima tidak mau menuruti saran Eyang karena hal ini bertentangan dengan ajaran agama Islam. Kalau Ima menuruti permintaan
mereka itu sama saja Ima sudah bersekutu dengan
mereka." Jawabku dengan tegas.
"Ya sudah kalau Ima tidak mau, Eyang kan hanya memberi saran" ujarnya tanpa beban.
"Eyang maaf kalau Ima tidak sopan. Tadi Ima dengar kalau mahluk itu bilang Eyang sedang sakit? Memangnya Eyang sakit apa?" Tanyaku perlahan.
"Eyang sudah lama menderita sakit jantung. Eyang rasa hidup Eyang memang tidak akan lama lagi. Tapi sebelum meninggal, Eyang harus datang ke rumahmu. Eyang harus berbicara dengan
mereka!"
"Ya Allah, maaf ya Ima tidak tau tentang penyakit Eyang". Ada perasaan sedih saat mendengar penyakit yang sedang menggerogoti tubuhnya yang terlihat bugar.
"Sudah tidak usah dipikirin, semua orang pasti akan meninggal, kecuali..!"
"Kecuali apa Eyang??"
"Kecuali kalau Gendis mau menyembuhkan penyakit Eyang".
"Aah Eyang bercanda! Gendis masih kecil tidak mungkin bisa melakukan hal itu" protes bibirku.
"Kamu ini selalu ngeyel kalau Eyang kasih tau! Ya Ndis.. Gendis bisakan sembuhin Eyang?" Ucapnya sambil menatap serius ke arah Gendis.
"Ngga ah.. Ngga boleh! Gendis masih kecil!" Tolakku tegas!"
"Hanya Gendis saat ini yang bisa menyembuhkan Eyang. Sayangnya kita bertemu di waktu yang tidak tepat" suaranya terdengar perlahan.
Akupun mencoba mengalihkan pembicaraan biar suasana tidak menjadi kaku.
"Apa Mba Risma juga merupakan salah satu mantan pasien Eyang?"
"Betul, dia dulu pernah minta tolong sama Eyang. Risma itu dulu
dibikin sama orang. Orang itu tidak rela kalau Risma harus menikah dengan pria lain. Pas Risma hamil, dia susah untuk melahirkan. Dokter RS sudah angkat tangan menangani proses kelahiran bayinya yang sangat sulit. Suami Mba Risma lantas menghubungi Eyang dan meminta tolong. Akhirnya Eyang datang ke RS dan cuma sekali gebrak meja operasi, Risma langsung mules-mules terus lahiran." Terdengar tawa dari bibir istrinya saat menceritakan kisah Mba Risma.
"Hiii.. Serem amat ceritanya. Ima takut kalau bertatapan sama Mba Risma!"
"Loh takut kenapa? Dia baik kok, dia itu biasanya menangani pasien yang dari mancanegara" ujar Eyang.
"Ngga tau kenapa tapi matanya terlihat seram dan Ima merasa tidak nyaman kalau harus beradu pandang dengan Mba Risma" dengusku pelan. Ada sesuatu yang aneh di dirinya yang membuatku merasa tidak nyaman.
"Eyang, Ima mau tanya kira-kira Gendis kalau sudah besar, sifatnya akan keras atau tidak ya?"
Eyang dan Ibu serempak tertawa mendengar pertanyaanku "Haha... Ima takut ya kalau sifat Gendis keras seperti mamanya?"
"Iya, Ima takut kalau Gendis tumbuh menjadi pribadi yang keras kepala. Ima tidak mau kalau harus berantem setiap hari sama Ndis" jawabku jujur.
Aku teringat ucapan almh. Ibuku kalau dari ke tiga anaknya, hanya aku yang paling keras wataknya. Beliau sampai pernah mengucap " Hanya orang yang sabarnya tingkat tinggi yang sanggup hidup sama Ima" kenangku teringat ucapan almarhumah.
Hatiku takut kalau aku akan mengalami hal yang sama dengan Ibuku. Membesarkan anak yang super keras kepala!
Eyang menatapku sambil mengambil koran di atas meja " Anakmu ini mungkin kelihatannya sangat keras karakternya. Namun jangan salah, hati Gendis sangat lembut. Dia akan tumbuh menjadi anak dengan empati yang luar biasa terhadap sesama. Dia tidak akan tega melihat orang kesusahan. Eyang juga melihat sosok yang mendampingi dirinya juga baik."
"Sosok pendamping? Anakku punya sosok pendamping? Seperti apa wujudnya?" Cecarku penasaran.
"Suatu hari nanti Ima akan tau seperti apa sosok pendamping Gendis. Namun sekarang itu bukan hal yang penting." Jawabnya sambil membaca koran.
"Ima, dari awal berumah tangga, kamu dan suamimu sering mendapat masalah ya? Kalian sering berantem?" Suaranya terdengar dari balik koran.
"Haa..? Ko Eyang tau kalau Ima dan Mas sering bertengkar?"
"Tenang saja, nanti Gendis yang akan menjadi pemersatu orangtuanya. Dia yang akan memperkokoh hubungan kalian. Pegang ucapan Eyang" terlihat senyuman tulus dari wajahnya.
Terdengar langkah orang setengah berlari di lorong dan tak lama muncullah wajah Bang Adi. "Maaf Eyang, Pak x sudah menunggu di ruang tamu. Katanya beliau kemarin sudah bikin janji dengan Eyang" tutur Bang Adi sopan.
"Owalah Eyang lupa!" Tolong suruh tunggu sebentar Di! Eyang segera ke sana!"
"Baik Eyang" Bang Adi bergegas meninggalkan ruangan.
"Ya sudah Ima, Gendis, Eyang harus menemui tamu dulu. Gendis jangan takut ya sama
mereka. Eyang akan selalu memantau
mereka dari sini" ujarnya seraya mengelus lembut kepala Gendis.
"Iya Eyang, terima kasih banyak ya untuk penjelasannya" seraya ku cium tangannya".
"Ima juga mau pulang, ga enak kelamaan disini."
""Sudah santai saja, ini juga rumahnya Ima dan Gendis" jawab istrinya ramah.
Akhirnya aku dan Gendis segera pamit pulang.
****
Sampai di rumah, tanteku sudah menunggu di teras dengan wajah masam.
"Ngapain aja sih di rumah Eyang? Ko lama banget?" Ketusnya.
"Maaf ma tadi ada yang Eyang jelaskan dulu ke Ima" aku segera menceritakan semua kejadian di rumah Eyang.
"Ya sudah kalau begitu, sana makan siang dulu! Pasti kamu laparkan?" Tanyanya dengan nada gusar.
"Nanti saja ma, Ima mau cerita dulu ke Ummi dan Mas tentang kejadian barusan".
Aku segera menuju ke kamar dan mengirim pesan ke Umi sambil ku ceritakan semua kejadian hari ini.
"Ting" terdengar nada balasan dari Umi.
"Wa'alaikumsalam Mba. Pesan saya, Mba tidak boleh takut. Jangan percaya dengan ucapan
mereka. Jin itu penuh dengan tipu daya untuk membikin diri Mba was-was dan selalu merasa takut. Usahakan ibadah jalan pernah ditinggal begitu juga zikir pagi dan petangnya tolong dibaca terus ya Mba. Ruqyah untuk dede juga tetap rutin dua minggu sekali. Bismillah dan selalu semangat karena Allah selalu melindungi Mba dan dede". Isi pesan dari Umi.
"Ma.. Ima kemari sebentar" terdengar teriakan dari teras.
"Iya ma, sebentar" jawabku.
Sambil menggendong Gendis yang belum tertidur dari pagi sampai siang, aku bergegas menuju ke teras.
"Ada apa ma?" tanyaku.
"Ini om barusan ngasih kabar ke mama, besok kita mau ke kota X untuk menjenguk keluarganya om yang sakit. Kamu mau ikut apa nggak? Kalau Dwi tidak bisa ikut karena harus les. Siapa tau kamu merasa bosan di rumah terus, nanti di sana mama turunin kamu di mall XX, mau tidak?"
Aku berpikir sejenak dan langsung mengiyakan ajakannya. Otakku langsung menyusun rencana untuk mengajak Neng yang tinggal di kota X untuk ketemuan. Aah tidak sabar rasanya menunggu hari esok!
Dan ternyata itu adalah salah satu keputusan terbodoh yang pernah kulakukan! Di mall itu, sesuatu sudah menunggunya! Sesuatu yang membuatku trauma untuk mengajak Gendis jalan ke pusat perbelanjaan lagi!
Segera ku kirim pesan kepada sepupuku yang tinggal di kota X.
"Neng, besok ada acara tidak?" isi pesanku kepadanya.
Tidak butuh waktu lama sepupuku yang biasa ku panggil dengan sebutan Neng langsung membalas pesanku.
"Ngga ada Mba,
what's up?" Balasnya cepat.
"Besok jam 10 an ketemuan di mall XX yuk. Tante dan om mau jenguk keluarga yang sakit, rumahnya dekat mall XX. Ntar Ima dan Ndis diturunin di mall, mau gak?"
"Siip!! Tapi traktrir aku ya Mba hahaha..." jawabnya sambil menggodaku.
"Huuu... Kalau urusan traktir pasti cepat. Wokeh deh, bangun pagi! Awas kalau kesiangan!" Ancamku sambil senyam senyum sendiri membayangkan besok aku , Ndis dan Neng akan cuci mata di mall.
"Ingetin aku lagi ya, takutnya besok lupa! See you sis.. Can't wait to hang out with you, mmuah" balasnya dengan genit.
Aah.. kangen banget aku sama kamu Neng! Dia itu sepupu merangkap partner ngayap kalau dulu mau jalan-jalan ke mall. Saat aku harus bedrest dan lahiran, dia juga yang setia menemaniku. Dan yang terpenting, Neng selalu mempercayai semua ceritaku tentang Gendis!
"Terima kasih ya Neng karena mau mendengar semua ceritaku, terima kasih mau mempercayai semua ucapanku ketika tidak ada satu orangpun yang percaya!"
Alhamdulillah semenjak Gendis dipegang sama Eyang, setiap malam dia tidak pernah menangis lagi. Cuma.. dia akan selalu terbangun setiap pukul 23.00 sampai pagi. Tapi tak apalah yang penting dia sudah tidak permah menangis dan menjerit-jerit seperti dulu. Paling mata pandaku semakin bertambah hitam karena harus menemaninya begadang setiap malam!
Keesokan paginya, kami berangkat ke kota X. Sepanjang perjalanan, Ndis selalu memandang ke arah luar jendela dan berceloteh tidak jelas. Tante dan Om hanya tertawa melihat tingkahnya yang lucu. Sekitar pukul 10, kami tiba di kota X. Sebelum turun di lobi mall, tante berpesan untuk menelponnya kalau ada sesuatu yang
urgent. Aku hanya mengiyakan perintahnya. Saat itu yang ada di pikiranku hanya tidak sabar ingin bertemu dengan Neng.
Setelah masuk ke mall, segera ku telepon Neng untuk memberi kabar kalau aku dan Ndis sudah berada di lobi Utara.
"
Wait... Aku lagi parkir mobil dulu, nanti aku langsung ke lobi Utara. Mba tunggu disitu aja jangan kemana-mana ya. Mba bawa duit yang banyakkan?" Godanya sambil tertawa terbahak-bahak.
Pagi itu mall masih tampak sepi, hanya terlihat beberapa pengunjung saja. Mataku mengikuti arah mata Gendis yang menatap ke atas langit-langit lobi Utara, bola matanya berkeliling cepat. Dia seperti sedang melihat sesuatu yang sedang berterbangan di atas. "Uh..uh" celotehnya sambil jemarinya terus menunjuk ke atas.
"Dor!!! Lagi liat apaan Mba ke atas?" Terdengar suara yang mengagetkan ku dari arah belakang. Segera ku alihkan pandangan ke arah datangnya suaranya dan terlihatlah wajah tengilnya yang sedang cengengesan melihat ke arahku.
"Neng... Kangeeennn!!" Teriakku sambil memeluk dan mencium pipinya.
"Iihhs ini Gendis? Udah gede aja badannya. Gemesin banget sih kamu ndut" serunya sambil menciumi pipi Gendis.
"Mba, kamu kenapa kumel banget? Kenapa ngga modis kaya dulu?" Matanya menatapku dari ujung kepala sampai ke ujung kaki dengan wajah keheranan.
"Coba aja Neng punya anak seperti Gendis, kita lihat apakah Neng masih bisa tampil modis apa ngga" aku pura-pura ngambek mendengar ucapannya.
"Haiaa.. Pake pura-pura ngambek, Ga mempan Mba! Aku tau banget sifat kamu!" Ujarnya sambil terus tertawa.
"Eh, emang Gendis masih susah tidur?" Matanya mengerling menatap ke arah Gendis yang saat itu dalam gendonganku.
"Begitulah Neng, Gendis masih hobi begadang. Makanya lihat nih bawah mataku jadi hitam banget" curhatku pada Neng.
"Tapi ponakan aku sudah tidak pernah nangis lagi kan tiap malam?"
"Alhamdulillah sudah nggak Neng." Lalu ku ceritakan semua tentang Eyang kepada Neng.
"Amit-amit, serem amat ceritanya Mba! Gila, aku jadi merinding gini!" Neng memperlihatkan bulu tangannya yang tiba-tiba berdiri.
"Hati-hati aja Mba jangan sampai Eyang malah simpatik dan naksir ke Mba seperti cowok yang lain" ucapnya sambil tertawa ngakak.
Parah ini anak, dari dulu sampai sekarang sifat ceplas ceplosnya tidak pernah berubah! Batinku dalam hati.
"Eh, Mas Dedi kemana Mba? Ko ga ikut? Kan lumayan kalau ada dia, aku jadi bisa belanja gratisan".
"Mas lagi tugas ke luar kota mungkin beberapa hari lagi baru pulang." Aku melihat ke arah jam tangan swatch coklat yang kupakai, ternyata jarumnya sudah menunjukkan pukul 11.00.
"Neng, kita
lunch yuk, lapar nih" ajakku.
"Dari tadi aku nunggu ucapan itu Mba! Yuk ke lantai empat, ke resto favorit Mba. Pasti udah kangen bangetkan sama nasi goreng seafoodnya?" Matanya mengedip genit ke arahku.
Bawaannya kalau jalan sama Neng tuh heboh banget. Tapi dia super cuek, tidak pernah peduli sama orang lain!
Selama berkeliling mall menuju ke lantai empat, kuperhatikan Gendis selalu menengok ke arah outlet tertentu. Dia selalu tersenyum sambil melambaikan tangannya entah dengan siapa. Karena yang kulihat, outlet tersebut kosong! Tidak terlihat satupun SPG atau
customer di dalamnya.
Terkadang Gendis juga tertawa kegirangan saat melewati salah satu outlet pakaian, seperti ada yang menggodanya dari arah dalam outlet. Namun lagi-lagi tidak ada satu orangpun di sana!
"Gila Mba!! Gendis lihat apaan sih? Dari tadi aku perhatiin dia asik senyam senyum sendiri sambil ketawa dan melambaikan tangan saat melewati outlet tertentu?" Bisik Neng pelan ke telingaku.
"Mungkin outlet itu pakai
penjaga biar laris. Ndis kan peka banget sama
mereka" jawabku memberi penjelasan.
"Anakmu serem Mba! Aku jadi takut sama Gendis!"
"Sembarangan aja tu mulut kalau ngomong! Nggak bisa disaring dulu? Emangnya Gendis ini
hantu sampai harus ditakutin!" Mataku melotot ke arah Neng dengan wajah cemberut.
"Ciiee.. marah! Eh, berarti bener ya Mba kalau di mall atau pasar gitu banyak setannya! Buktinya Gendis dari tadi melihat
mereka terus " tanyanya dengan wajah penasaran.
"Ya benerlah! Nih buktinya Ima lagi jalan sama salah satu setan penunggu mall!" Jawabku sambil menahan tawa.
"Parah ngatain aku setan!" gumamnya sambil memakan cemilan yang dia bawa dalam tas.
"Tapi enak juga ya kalau jalan sama Gendis, kita jadi aman!" Suara Neng terdengar bersemangat.
"Aman dari mana?" Bibirku mengerucut mendengar ucapannya.
"Ya aman Mba, anakmu kan bisa lihat
mereka, jadi kalau kita makan di tempat yang pakai pesugihan, Gendis pasti akan ngasih tau kita! Benerkan kata
onty?" Tanyanya ke Gendis sambil memelukku dari belakang.
"Mikir deh pake otak! Gendis tuh masih bayi, dia mau ngasih taunya gimana? Lagian apa kamu ngga lihat tadi pas kita lewati outlet tertentu kelakuannya gimana? Bukannya ketakutan tapi malah ketawa dan melambaikan tangan! Di mata Gendis,
mereka itu terlihat lucu!" Jawabku ketus.
"Berarti Gendis nggak takut sama
mereka ya Mba? Ponakanku cepat gede ya, biar nanti
onty bisa minta ramal gratis! Pasti ramalannya jitu banget" Serunya sambil mengunyah cemilan yang dia bawa dalam tas.
"Mungkin selama wujudnya tidak terlalu menyeramkan, Gendis tidak akan takut. Tapi kalau wujudnya kaya kamu ya Ndis bisa saja menjerit ketakutan" ujarku seraya menjewer kupingnya dengan pelan.
Tanpa kusadari ternyata ucapanku sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Sesuatu dalam kegelapan tengah mengintai dan sudah menunggu kedatangan Gendis!
"Sebentar Neng? Tadi kamu bilang mau minta ramal? Enak aja! Pamit dulu sama emaknya! Gendis tidak akan diijinin ngeramal! Dosa tau!"
"Aah.. Ntar
onty sogok pakai mainan deh, mau mainan apa? Tinggal bilang aja. Ntr
onty pesenin tapi biar
your daddy yang bayar ya" Neng cekikikan sambil terus mengunyah makanan dalam mulutnya.
Tanpa banyak omong langsung ku toyor kepalanya dengan tanganku "Parah kamu Neng! Emang mau minta ramal apaan sih?"
"Ramal jodoh, kapan aku nikah Mba?" Bulu matanya yang lentik berkedip genit.
"Masih lama! Lagian nggak ada yang mau sama cewek strees kaya kamu" jawabku asal-asalan.
"Mba..! Jangan ngomong gitu, takut
ah kalau Mba ngomong sembarangan!" Raut wajahnya seketika berubah menjadi serius.
Akhirnya sampai juga kami di lantai empat, di salah satu restoran favoritku. Resto yang sangat cozy dengan nuansa kayu menghias furniture dan ruangannya. Hari itu suasana di resto tampak sepi, tidak ramai seperti biasanya.
"Neng, kursinya yang pojokan aja, disitu" tunjukku ke arah meja favoritku. Meja yang penuh dengan kenangan...
"Mba.. Disini kayanya aman deh, aku perhatiin Ndis anteng aja tuh" bisiknya pelan.
Aku hanya diam dan mengangkat bahuku.
Kami segera memesan menu. Saat kami mulai makan, Gendis mulai tidak bisa diam. Kakinya mulai menendang ke arah meja, dirinya tidak nyaman kalau hanya duduk di pangku. Dia ingin segera dibawa berkeliling lagi. Akhirnya aku minta Neng untuk segera menghabiskan pesanannya dan segera meninggalkan restoran. Jangan sampai ada piring dan gelas yang menjadi korban tendangan Gendis!
Selesai makan, kita langsung berkeliing. Aku minta ditemani belanja lilin aromatherapy lavender yang menjadi salah satu aroma favoritku.
"Mba ngga kangen pengen nonton ke bioskop? Banyak film horor barat yang baru tuh, biasanya dulu setiap ada film baru langsung di tonton" ujarnya seraya merangkul bahuku.
"Ogah Neng, Ima udah pensiun nonton horor barat. Soalnya semenjak Ndis hadir, hidup Ima jadi horor beneran" sahutku sambil asik melihat-lihat etalase outlet yang kami lewati."
Di samping outlet petshop ada outlet yang sangat sepi. Ruangannya juga tampak temaram. Entah memang konsepnya demikian atau bagaimana, aku tidak tau. Ketika kami melewati outlet itu wajah Gendis langsung melihat ke arah outlet. Dirinya terpaku seperti melihat sesuatu yang sedang berjalan ke arahnya. Matanya melotot, tangannya mengepal dan tubuhnya tampak mengejang diiringi suara tangisan serta jeritan yang sangat kencang keluar dari bibirnya yang mungil.
"Owaa..Owaa" tangisannya terdengar menggema di lantai empat dan saat itu juga semua mata pengunjung langsung melihat ke arah kami!
Aku dan Neng langsung panik mendengar tangisan Gendis.
"Mba ini anakmu kenapa?" Wajah Neng telihat pucat pasi.
"Entah Neng tapi kayanya ada yang membikin dia ketakutan setengah mati!"
"Mba.. i..itu apa....?" Ujar Neng dengan mata terbelalak.