Sayup-sayup terdengar suara tangisan Gendis dari kejauhan. Ingin ku membuka mata namun terasa berat. Indera penciumanku merasakan aroma minyak kayu putih yang sangat menyengat dan membuat hidung serta bibirku terasa panas. Diriku berusaha mengatur nafas untuk tetap tenang supaya bisa segera mengembalikan kesadaranku yang sempat hilang.
Perlahan-lahan ku coba lagi untuk membuka mata ini, penglihatanku berbayang, semuanya tampak samar-samar. Ku amati sekelilingku, terlihat wallpaper berwarna abu-abu menghiasi dinding ruangan.
Aku berusaha mengingat apa yang sudah terjadi. Terakhir yang ku ingat hanyalah sedang berjalan masuk ke dalam rumah dan selanjutnya tak bisa mengingat apa-apa lagi. "Sepertinya tadi diriku sempat jatuh pingsan tapi sudah berapa lama?" Ku lihat jam di dinding kamar menunjukkan pukul 21.05, ternyata lama juga aku tak sadarkan diri " batinku.
"Saat ini diriku sudah berada dalam kamar tapi siapa yang memindahkan tubuhku? Bukannya tadi aku terjatuh di ruang tamu? Kalau Om (suami tante) tidak akan kuat membopong tubuhku sendirian. Apalagi tante dan Dwi, mereka pasti sangat panik dan lebih fokus mengurus Gendis."
Diriku berusaha untuk bangkit dan duduk di tepian ranjang. "Nyuut.." aku merasakan sakit luar biasa di bagian kepala, segera ku raba kepalaku, alhamdulillah tidak ada darah yang keluar. Sepertinya tadi aku terbentur keras sekali dan baru sekarang merasakan efeknya. .
Dengan tubuh yang masih terasa lemas dan pusing, ku coba untuk berdiri sambil berpegangan pada tembok. Diriku berusaha berjalan ke ruang tamu dengan langkah lunglai. Dari kejauhan terlihat tante sedang menggendong Gendis dan Dwi berusaha menghibur untuk menenangkan tangisannya. Tapi sepertinya usaha mereka sia-sia, Gendis terlihat meronta-ronta sambil menjerit dan menangis histeris.
Setelah bersusah payah akhirnya diriku berhasil juga menuju ke ruang tamu. Segera ku rebahkan tubuhku di sofa sambil terus merasakan rasa sakit di bagian kepala.
"Kamu sudah sadar?" Tanya tante ketika melihat kedatanganku.
"Sudah ma, baru saja. Ma, Gendis menangis dari jam berapa?" Tanyaku dengan suara parau.
"Semenjak kamu jatuh pingsan anakmu langsung nangis kejer. Ini dari tadi mama dan Dwi berusaha nenangin tapi ga bisa-bisa". Ujarnya sambil mengelap peluh yang jatuh di keningnya dengan menggunakan lengan baju.
"Terus siapa yang angkat tubuh Ima ke kamar Ma? Perasaan tadi Ima terjatuh di ruang tamu?"
"Tadi om dan Bang Adi yang menggotong tubuh kamu ke kamar. Mama panik pas lihat kamu pingsan, mama dan Dwi langsung teriak minta tolong. Alhamdulillah Bang Adi lagi lewat depan rumah dan mendengar teriakan mama, jadi dia langsung datang kemari."
"Maafin Ima ya ma kalau Ima dan Gendis sering nyusahin mama".
"Ngomong apaan kamu ini! Jangan ngomong begitu! Dari dulu mama sudah menganggap kamu seperti anak mama sendiri dan Gendis itu cucu mama!" Nada suaranya terdengar meninggi.
"Iya, maaf ma! Ma, Bang Adi itu siapa?"
"Bang Adi itu asisten yang tinggal di rumah Eyang S. Dulu Eyang pernah ngobatin bang Adi dan isterinya, setelah mereka sembuh, mereka mengabdi bekerja di rumah Eyang".
"Degg... Eyang S" darahku mendesir saat mendengar namanya. Tiba-tiba terlintas ide di dalam benakku. Ide yang bisa dibilang gila! Tapi jika tak ku coba maka diriku tidak akan pernah tau hasilnya.
"Ma, Ima bisa minta tolong tidak?"
"Kamu mau minta tolong apa?" tanyanya dengan wajah agak gusar karena merasa letih.
"Malam ini bisa tolong bawa Gendis ke rumah Eyang S? Minta tolong dilihat kenapa Ndis menangis terus? Kasihan itu matanya bengkak banget, ga tega Ima".
Tante memutar ke dua bola matanya, dirinya tampak tengah berpikir. Mungkin dia sungkan malam-malam harus datang ke rumah Eyang karena takut mengganggu waktu istirahatnya.
"Dwi tolong telepon ke Ibu S pakai handphone Ibu di kamar, coba tanyain Eyang sudah tidur atau belum." Akhirnya terdengar suara dari bibirnya yang tipis.
Dwi pun segera berlalu ke kamar, tak lama kemudian dia keluar "Bu kata istrinya, Eyang belum tidur. Kalau mau ke rumah Eyang di suruh sekarang, Gendis sudah ditunggu sama Eyang."
Diriku menatap ke arah Gendis yang masih terus menangis, heran bagaimana bisa seorang bayi kuat menangis selama berjam-jam. Aku juga kasihan melihat tante yang sudah kelelahan karena menggendongnya. Tapi saat itu diriku sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Fisikku sudah mencapai batasnya karena setiap hari harus menghadapi Gendis yang sangat rewel dan menangis terus. Hanya Eyang harapanku saat ini!
"Dwi ayo temani Ibu ke rumah Eyang! Ibu takut kalau ke sana hanya berdua Gendis".
Dari balik jendela, diriku melihat tubuh mereka di telan dalam kegelapan malam.
Sekitar 15 menit kemudian mereka kembali dan diriku mendapati pemandangan yang aneh!
Saat itu ku lihat Gendis sedang tertidur pulas dalam gendongan tante!
Hatiku bertanya-tanya "Ko bisa Gendis tertidur secepat itu? Bukannya tadi lagi nangis kejer?"
"Ma, sudah ketemu Eyang?" Tanyaku keheranan.
"Ya sudah, ini buktinya anakmu langsung anteng dan bisa tertidur pulas begini! Sebentar, mama taruh Gendis di kamar dulu, pegal bahu mama".
Diriku mengikuti mereka menuju ke kamar. Setelah meletakkan Gendis di kasur, tanteku mulai bercerita.
"Tadi pas mama dan Dwi ke sana, Eyang sudah menunggu di ruang tamu. Mama belum cerita apa-apa, Eyang langsung mendekat dan memegang dada Gendis. Habis itu anakmu langsung anteng dan tertidur pulas! Mama sampai heran melihatnya, ko bisa anakmu kaya orang kena sirep!"
"Eyang tidak berbicara sesuatukah?" Tanyaku penasaran.
"Ngga ada, beliau tidak bicara apa-apa. Beliau cuma tersenyum dan nyuruh mama untuk pulang".
"Aneh..! Semudah itukah menenangkan Gendis?" Gumamku dalam hati.
"Mumpung anakmu sudah tidur lebih baik kamu juga istirahat biar besok tubuhmu lebih segar. Wajah dan bibirmu terlihat sangat pucat, hii.. seram mama lihat wajahmu seperti ini!"
"Baik ma, Ima juga mau rebahan. Kepala rasanya juga masih sakit, mungkin karena tadi terbentur ubin. Terima kasih ya ma!"
Tante segera meninggalkan kami dan kembali ke kamarnya. Ku pandangi wajah Gendis yang lagi tertidur, Ya Allah damai sekali tidurnya. Setelah menunggu selama 3 bulan lebih akhirnya puteri kecilku bisa tertidur nyenyak di malam hari. Tak terasa air mata jatuh menetes di pipiku. Tapi kali ini bukan tangisan sedih melainkan air mata bahagia! "Semoga selamanya Gendis tidak rewel lagi ya sayang dan bisa tidur nyenyak seperti ini setiap malam" doaku dalam hati seraya mengecup keningnya.
Keesokan paginya sekitar pukul 07.00, ketika sedang menjemur Gendis di halaman rumah, datanglah seorang ibu-ibu memakai gamis dengan hijab cokelat menghiasi wajahnya yang bulat dan putih.
"Assalamu'alaikum mama Gendis" ujarnya tersenyum ramah.
"Wa'alaikumsalam, maaf Ibu siapa ya? Mau mencari siapa?" tanyaku keheranan karena dia bisa tau namaku.
"Oiya maaf saya lupa memperkenalkan diri, saya istrinya eyang S" terlihat lesung pipit di balik senyumnya sambil mengulurkan tangannya mengajakku bersalaman.
"Ooh Ibu, istrinya eyang? Segera ku sambut uluran tangannya".
"Mama Gendis, semalam Gendis ada menangis lagi tidak? Eyang semalaman tidak tidur karena berjaga-jaga takut kalau Gendis menangis lagi"
"Alhamdulillah Ibu, baru semalam Gendis bisa tidur nyenyak sampai pagi. Terima kasih banyak ya Ibu" ujarku dengan mata berkaca-kaca.
"Alhamdulillah kalau begitu. Sama-sama mama Gendis, sudah jangan sedih begitu! Sudah menjadi kewajiban sesama untuk saling membantu!" Senyumnya ramah dan memperlihatkan gigi gingsulnya yang semakin menambah cantik penampilannya.
" Oiya mama Gendis kalau tidak keberatan bisa tidak sekarang ikut dengan saya ke rumah? Soalnya Eyang pengen berbicara dengan mama Gendis"
"Boleh Bu, sebentar ya saya pamit dulu ke tante." Segera diriku masuk ke rumah dan minta ijin beliau untuk ke rumah Eyang. Tante mempersilahkan dan memberiku titipan kue bolu untuk Eyang sebagai ucapan terima kasih.
Sambil ditemani istrinya Eyang, diriku memasuki pekarangan halaman rumahnya yang tampak luas dan bersih.
Baru saja kaki ku memasuki halaman, mata Gendis mulai menyelusuri seluruh sudut pekarangan. Matanya menatap tajam ke arah pohon mangga. "Eegh..eggh..". Hanya suara itu yang keluar dari mulutnya. Mungkin dia ingin memberitahu kalau di pohon tersebut ada penunggunya atau dia sedang berkomunikasi dengan si empunya pemilik pohon, entahlah..
Saat masuk ke dalam rumah, diriku dimanjakan dengan pemandangan barang-barang antik dan furniture yang semuanya terbuat dari kayu jati. Ada jam kuno besar yang berdiri kokoh di sudut ruangan dan siap berdentang setiap pukul dua belas. Lantai marmer serta cat kuning gading dan cream tampak mendominasi dalam rumahnya. Saat itu mata Gendis masih mengamati seluruh ruangan dan raut wajahnya berubah tampak ketakutan! Jarinya yang mungil mencengkram erat bajuku dan tak lama kemudian dia membenamkan wajahnya ke dalam pelukanku. "Gendis lihat apa? Ko sampai ketakutan begini?" Bisikku pelan ke telinganya.
Memasuki lorong mulai terlihat banyak orang yang sedang mondar mandir, mereka semua tersenyum ramah saat berpapasan denganku. "Rumah yang sangat besar, aku bisa tersesat kalau berjalan sendirian disini" bisikku dalam hati.
Bang Adi, Eyang dimana?" ujar Bu S kepada pria berkulit sawo matang yang sedang memberi makan ikan koi di kolam.
Oh ini yang namanya Bang Adi, segera ku hampiri dirinya dan mengucapkan terima kasih atas pertolongannya semalam. Bang Adi hanya tersenyum dan berkata, "Eyang lagi di ruang makan Bu".
Ternyata saat itu Eyang sudah menunggu kami di ruang makan. Dirinya sedang membaca koran sambil memakan singkong rebus di sebuah meja yang sangat panjang yang besar.
"Eyang.. Ini Gendis sudah datang, katanya kangen sama Gendis" goda isterinya sambil tertawa renyah.
Eyang menatap ke arahku sambil tersenyum. Terlihat kacamata minus menghias di kedua matanya dan kumis tipis dibalik senyumnya.
Segera ku hampiri eyang dan ku cium tangannya "Eyang terima kasih ya untuk bantuannya semalam" ujarku.
"Memang Eyang bantu apa? Eyang ngga bantu apa-apa ko" ujarnya merendah. Kemudian beliau memintaku untuk duduk di sampingnya, begitu juga dengan isterinya.
Saat itu jantungku berdebar kencang dan telapak tanganku terasa dingin! Baru kali ini diriku berhadapan langsung dengan Eyang dalam jarak yang sangat dekat, auranya begitu berwibawa membuat diriku sungkan menatap ke matanya. Padahal saat perjumpaan pertama kali di halaman depan rumah tante, diriku biasa-biasa saja saat membalas tatapan matanya.
"Apa yang ingin kamu tanyakan tentang anakmu?" Tanyanya memecah keheningan.
Diriku menghela nafas. Begitu banyak pertanyaan berputar di benakku dan aku bingung harus memulai dari mana. Pikiran dan hati saat itu benar-benar tidak sejalan dikarenakan aura yang terasa begitu mengintimidasi.
"Mama Gendis santai saja jangan ketakutan begitu" terdengar nada suara yang lembut dari isteri Eyang.
"Eh iya Bu!" Ujarku terkejut.
"Eyang maaf kenapa Gendis dari lahir sampai semalam selalu menangis dari pukul 23 sampai menjelang subuh? Apa yang selama ini membuatnya begitu ketakutan?" Akhirnya terucap juga pertanyaan yang sering mengganggu pikiranku.
Eyang tersenyum ke arahku, senyum yang penuh tanda tanya.
"Tidak sadarkah kamu nduk kalau anakmu ini berbeda dengan bayi lainnya?"
Sambil memainkan jari jemari Ndis, diriku hanya menggeleng lemah.
"Begini nduk sudah berapa lama kamu dan suami menantikan Gendis?" tanyanya lagi.
"Sepuluh tahun Eyang. Itu masa penantian kami terhadap kehadiran Gendis" jawabku lugas.
"Tolong ceritakan prosesnya, Eyang mau dengar semuanya" pintanya tulus.
"Saya baru tau diri ini hamil ketika mengalami pendarahan. Awalnya ku kira hanya datang bulan biasa tapi baunya begitu amis dan membuatku ingin muntah. Akhirnya aku meminta Mas untuk berobat ke dokter kandungan karena takut kalau terkena penyakit kanker rahim". Mataku menerawang mengingat semua kejadian pada bulan September 2015.
"Setelah di USG, dokter bilang saya hamil dan usia kandungannya sudah 8 minggu. Diriku sangat kaget mendengarnya! Sesuatu yang sudah diri ini ikhlaskan tetapi malah dipercaya sama Allah" ujarku seraya menitikkan air mata dan mengelus rambut Gendis dalam pangkuanku.
"Huuf.. " Ku tarik nafas dalam-dalam.
"Dokter bilang saat itu detak jantung janinnya sangat lemah, bahkan hampir tak terdengar. Dokter menyarankan untuk segera melakukan aborsi. Saat itu Mas menyerahkan semua keputusan di tangan ku. Saya telepon tante memberi kabar dan beliau setuju dengan saran dokter."
"Namun diriku menolak mentah-mentah saran mereka! Apapun yang terjadi aku akan berusaha sekuat tenaga mempertahankan janin ini, walau nyawa yang menjadi taruhannya! Akhirnya dokter menyetujui permintaan saya dengan syarat harus dirawat dan bedrest total. Diriku diperbolehkan turun dari tempat tidur hanya untuk berjalan ke kamar mandi, sisanya semua aktifitas harus dilakukan di ranjang perawatan. Selama empat hari tubuh ini dipasang alat infus dan diberikan suntikan penguat kandungan".
"Mas dan keluarga silih berganti datang dan menjagaku setiap hari. Saat itu diri ini hanya bisa pasrah dan berdoa " Ya Allah kuatkanlah janinku, ijinkan diri hamba bisa merasakan nikmatnya menjadi seorang Ibu. Tolong berikan mukzizat-Mu kepada kami agar bisa bertahan". Air mata ini terus mengalir ketika harus mengingat perjuanganku mendapatkan Gendis.
Tangan istri eyang lantas menggenggam erat tanganku dengan lembut, berusaha menguatkan diri ini untuk melanjutkan cerita.
Hari ke empat di RS, pukul 09.00 pagi diriku dibawa ke ruang USG menggunakan kursi roda. Tubuh ini sangat gemetaran, telapak tangan rasanya sedingin es dan jantung berdebar cepat karena takut mendengar hasilnya. Bismillah, diriku mulai di USG.
"Hebat janinnya mampu bertahan, sekarang mulai tedengar detak jantungnya " terlihat senyuman dari wajah Pak dokter.
"Alhamdulillah Ya Rabb, Engkau mendengarkan doaku".
Hari itu akhirnya saya diijinkan pulang ke rumah tapi dokter memintaku untuk tetap bedrest total. Dokter juga bilang seminggu kemudian diriku harus di USG untuk melihat perkembangan detak jantungnya.
Bedrest membuat diriku yang terbiasa aktif sekarang hanya bisa tergolek lemah tak berdaya. Semua pekerjaan rumah dilakukan oleh Mas yang saat itu mengajukan cuti. Hanya doa yang bisa ku panjatkan setiap saat agar Allah menyayangi janinku, memberinya kesehatan dan kekuatan.
"Mama Gendis yang kuat ya" ujar istri eyang seraya tersenyum dan menggenggam jemariku semakin erat.
Alhamdulillah setelah seminggu di rumah dan melakukan USG, detak jantungnya benar-benar bagus dan normal. Rasanya hati ini seperti disiram oleh air yang dingin dan sangat menyejukkan saat mendengar hasilnya.
"Perjuangan yang luar biasa" suara istri eyang terdengar pelan sambil mengelap air mataku dengan tissue yang berada di atas meja makan.
Eyang tersenyum lembut ke arahku, senyuman yang bisa membuat hati terasa tenang. "Apa ada keanehan yang kamu alami selama proses kehamilan Gendis?"
"Ngga ada eyang, cuma saya jadi lebih senang tidur di teras, di ruang terbuka. Dan setiap malam kalau mau tidur, jendela kamar selalu ku buka lebar-lebar. Padahal banyak tetangga yang wanti-wanti katanya mahluk halus senang dengan wanita hamil tetapi diriku tidak merasa takut sama sekali.
"Kamu yakin tidak ada yang terlewat? Tidak ada kejadian aneh lainnya?" Pancing eyang lagi.
Mataku menerawang berusaha keras untuk mengingat serpihan-serpihan kejadian yang pernah ku lalui dan "Ahh.. Iya.. Kejadian itu !!" Aku hampir saja melupakannya!
"Ada eyang.. Ada kejadian aneh yang terjadi saat saya sedang hamil dan melahirkan Gendis" ujarku dengan mata berbinar. Bagaimana mungkin diriku bisa melupakan peristiwa penting itu! Bodohnya aku!!
"Saat hamil Gendis, diriku terkena eklampsi kehamilan (keracunan kehamilan) dan tensi sangat tinggi 200/180 namun aku tidak merasakan pusing sama sekali. Hanya saja saat itu diriku tidak bisa mendengar suara berisik dan melihat cahaya, rasanya sangat tidak nyaman." Aku memicingkan mata saat mengingat peristiwa itu.
"Setiap saya melakukan USG, dokter juga selalu bilang kalau bayi yang saya kandung berjenis kelamin laki-laki, bahkan hingga usia kandungan 9 bulan, mereka bilang Gendis ini laki-laki. Entah sudah berapa dokter yang ku datangi guna memastikan jenis kelamin calon bayiku. Dan semua selalu berkata "Selamat ya Pak, Bu, jenis kelamin bayinya laki-laki!"
Namun begitu hari H ternyata yang lahir bayi berjenis kelamin perempuan, dokter yang menangani sampai keheranan melihatnya. Tapi saya tidak peduli, apapun jenis kelaminnya yang penting bayiku terlahir dengan sehat dan selamat. Senyumku dengan wajah sumringah.
Ketika sudah masuk ke ruang perawatan dan perawat meminta nama bayi, diriku sangat panik dan bingung. Bagaimana tidak bingung? Saat itu kami hanya menyiapkan nama untuk bayi laki-laki, bukannya perempuan! Tiba-tiba terlintas untuk memberinya nama "Gendis *** ********". Aku sangat menyukai nama itu, Gendis yang berarti gula. Mas hanya mengiyakan nama pemberianku karena dirinya masih terkejut dengan kelahiran anaknya yang berubah jenis kelamin menjadi perempuan! Terlihat jelas raut kekecewaan di wajahnya karena dia begitu menginginkan anak laki-laki.
"Dan kamu tidak merasakan sakit sama sekalikan sehabis menjalani proses operasi caesar?" Tanya Eyang dengan wajah serius.
"Sebentar.. Eyang tau dari mana kalau saya caesar? Padahal diriku tidak menceritakan bagaimana proses kelahirannya. Bagaimana juga Eyang bisa tau kalau aku tidak merasakan sakit sama sekali? Bahkan setelah efek biusnya hilang diriku tetap tidak merasakan rasa sakit! Apa Eyang bisa membaca pikiranku?" Tatapku dengan wajah keheranan.
"Eyang tau darimana?" Akhirnya terucap juga kalimat dari bibirku yang terasa kelu.
Eyang hanya tersenyum dan tidak menjawab pertanyaanku, dirinya malah asik menikmati singkong rebus di hadapannya. Ucapan Eyang benar-benar berhasil membuatku penasaran!
Ku lihat ke arah istrinya, Ibu S juga sedang menatapku dengan tatapan yang terasa ganjil!
"Harusnya kamu sadar, dari awal kehamilan hingga lahirnya Gendis, perjalananan hidupmu sudah berubah! Hidupmu tak lagi sama karena sering mengalami peristiwa yang tidak masuk akal!" Serunya sambil meminum segelas air putih.
"Kamu tau kenapa dirimu tidak merasakan sakit sama sekali sehabis operasi caesar? Atas ijin Pencipta semesta, anakmu yang menghilangkan rasa sakit itu. Dia tau kamu Ibunya, Gendis tidak akan tega melihat Ibunya merasa kesakitan saat harus mengurusnya" Ujar Eyang sambil tersenyum ke arah Gendis. (Wallahu'alam).
Diriku hanya tersenyum mendengarnya. "Ah mana mungkin! Bisa saja itu kebetulan" ujarku dalam hati. Pola pikir suamiku sepertinya mulai meracuni jalan pikiranku. Diriku berusaha berpikir logis setelah mendengar penjelasan Eyang.
"Terserah kalau kamu tidak mempercayai ucapan Eyang. Tapi percayalah kalau anakmu ini berbeda. Suatu hari nanti kalau waktunya sudah tiba, kamu akan paham maksud dari ucapan Eyang". Matanya menatap tajam ke arah Gendis yang saat itu sedang asik memainkan hijab merah jambuku dengan jari-jarinya yang mungil.
"Maaf Eyang, Eyang belum menjawab pertanyaan saya kenapa Gendis dari lahir selalu menangis dari tengah malam sampai pagi?" Aku benar-benar butuh jawabannya dan diriku yakin kalau Eyang bisa menjawab pertanyaan yang selama ini selalu menghantui pikiranku.
Eyang melepas kacamata minusnya dan menaruhnya di atas meja. "Nduk.. Apa kamu yakin masih mau tau jawabannya? Apa kamu akan percaya dengan semua apa yang akan Eyang katakan?" Tanyanya lugas.
"Iya Eyang". Kepalaku mengangguk dengan wajah tertunduk memandangi lantai marmer putih. Hawa dingin dari marmer semakin menambah rasa dingin dan merinding di sekujur tubuhku.
"Kamu beruntung bisa mendapatkan Gendis. Anakmu ini mutiara alam! Iya.. Dialah mutiara itu!" Ujar Eyang dengan tatapan misterius.