"Kenapa setiap malam hanya keluarga Mbah Kirana yang selalu mendengar suara cakaran dari tembok rumah kita? Kenapa kita tidak pernah mendengarnya sama sekali?" Tanyaku penasaran.
"Mungkin mereka salah dengar dan salah lihat, sudah jangan terlalu dipikirkan ucapan mereka". Ujarnya seraya mengelus bahuku.
"Tapi tadi Mas dengar sendirikan semua ucapan mereka? Wajah mereka tampak serius, tidak terlihat seperti orang yang sedang mengarang cerita. Apalagi Mbah Imam, beliau mana mungkin berbohong!"
Mas menatap ke arahku dan tersenyum. Keringat di wajahnya terlihat berkilau karena terkena pantulan sinar matahari. Aku yang sempat terkesima segera tersadar dan memalingkan wajahku menatap ke arah Gendis.
"Terserah orang mau berbicara apa tentang rumah kita, saya tidak peduli. Mas cuma minta agar kamu untuk berpikir posiitif biar tidak terus dibayangi rasa ketakutan".
"Huuf", aku menghembuskan nafas. "
Masih saja berpikir logis, jelas-jelas bukan kita saja yang terkena gangguan. Bahkan tetangga pun juga ikut diganggu!"
Matahari semakin bersinar terik dan Gendis mulai rewel karena merasa kepanasan, akhirnya kami memutuskan untuk segera masuk ke rumah.
"Ma rencananya besok Mas mau merenovasi rumah, serunya sambil menikmati sepiring cemilan dan segelas kopi yang dibuatkan oleh Mba Ani.
"Kenapa mendadak sekali bilangnya? Lagian rumah kita kan masih bagus? Memangnya apa yang mau direnov?" Alisku mengerenyit mendengar ucapannya.
"Mas mau ganti warna cat dan keramik biar rumah terlihat lebih cerah. Lagi pula mumpung Mas ada di rumah jadi bisa sekalian mengawasi pekerjaan tukangnya". Sambil menyeruput kopi arabika favoritnya.
"Ya sudah kalau begitu, terserah kamu saja. Memang sudah dapat tukangnya?"
"Sudah Ma, kemarin Mas sudah menghubungi Pak Mul. Sebentar lagi orangnya juga datang kemari."
"Assalamu'alaikum, Pak Dedi." Terdengar suara dari luar.
"Wa'alaikumsalam, Pak Mul ya? Langsung masuk saja Pak!" Teriak Mas.
Tak lama kemudian masuklah pria separuh baya dengan rambut ikal sebahu. Dia tersenyum dan segera menyalami kami.
"Ayo Pak Mul, silahkan duduk. Ini ada cemilan silahkan dimakan dan ada aqua gelas di atas meja kalau mau minum. Jangan sungkan-sungkan disini", ucapnya.
Suamiku itu walaupun agak menyebalkan tapi harus ku akui kalau hatinya baik. Apalagi untuk masalah duit, Mas sangat royal, tidak pernah perhitungan sama sekali.
Diriku segera pamit dan meninggalkan mereka agar lebih leluasa berbicara. Aku ingin rebahan di kamar bersama Gendis. Saat ini tidur merupakan
privilege bagiku.
Tak lama kemudian terdengar suara pintu kamar dibuka dan terlihatlah wajah suamiku "Ma, Mas dan Pak Mul mau pergi ke toko bangunan dulu untuk beli material. Soalnya besok pagi Pak Mul dan temannya sudah mulai merenovasi rumah".
"Ya sudah, hati-hati di jalan", jawabku sambil tiduran.
Setelah Mas pulang ke rumah, kami habiskan hari itu bercengkrama bersama Gendis. Alhamdulillah dirinya mulai terlihat perubahan, sikapnya menjadi lebih perhatian terhadap diriku dan Gendis.
"Terima kasih ya Mas".
Hari ini malam Jum'at dan adzan maghrib mulai berkumandang. Kami segera menunaikan shalat secara bergantian agar salah satu dari kami bisa menjaga Gendis yang saat itu lagi tertidur pulas.
Selesai shalat, terlihat dari sudut mataku, Mas sedang asik memandangi wajah Gendis yang masih terlelap. "Cantik banget ya anak kita, sudah besar bisa jadi primadona nih", ujarnya sambil tertawa tertahan.
Diriku hanya tersenyum simpul mendengar ucapan polosnya.
Tak lama kemudian, Gendis tampak mulai gelisah, kakinya menendang ke sana ke mari. Masih dengan mata terpejam tiba-tiba terdengar suara tangisan dari bibirnya yang mungil. Anehnya salah satu tangannya terangkat menunjuk tepat ke atas langit-langit kamar sambil terus diiringi suara tangisannya yang semakin menjadi-jadi.
Refleks kami langsung melihat ke arah yang Gendis tunjuk.
"Astagfirullah!" Seruku tertahan sambil menutup bibirku dengan ke dua tangan. Darahku mendesir melihat apa yang tampak di mataku saat ini.
Mas juga terlihat terkejut dengan apa yang sedang dia lihat. "Allahu Akbar..!!" Serunya panik sambil berdiri dari duduknya.
Saat itu di depan mata kami tampak sebuah laba-laba berukuran besar dengan warna hitam yang menutupi seluruh tubuhnya. Laba-laba tersebut sedang berjalan turun menggunakan jaringnya menghampiri Gendis.
"Ma! Cepat angkat Gendis!!" Teriak Mas panik.
Dengan tubuh bergetar segera ku gendong Gendis dari tempat tidur.
Di situlah keanehan mulai terjadi. Saat kami melihat ke arah langit-langit kamar, laba-laba tersebut sudah menghilang! Begitu juga dengan tangisan Gendis. Tangisannya langsung terhenti dan dia tetap tertidur pulas.
Kami saling bertatapan dengan wajah keheranan
"Ada apa lagi ini!"
"Mas, laba-labanya kemana? Kenapa tiba-tiba menghilang?" Suaraku terdengar bergetar.
"Iya Ma, kemana perginya ya? Padahal tadi dia berada tepat di atas badan Gendis" ujarnya sambil mengatupkan rahang.
"Aneh banget
ga sih? Tidak mungkinkan laba-laba bisa menghilang secepat itu dalam ruangan tertutup seperti ini. Mana besar banget lagi laba-labanya", ujarku sambil terus mengawasi langit-langit kamar.
Sepertinya Mas juga sedang berusaha mencari jawabannya. Matanya tampak menyelusuri seluruh sudut ruangan dalam kamar. Namun laba-laba itu tetap tidak dapat ditemukan.
"Coba Mas pikir, ada yang aneh tidak dengan laba-laba itu? Warnanya hitam dan tubuhnya melebihi ukuran laba-laba normal lainnya?" tanyaku penasaran.
"Entahlah Ma, Mas juga bingung. Baru kali ini Mas lihat ada laba-laba sebesar itu dalam rumah. Sudahlah yang penting Gendis tidak apa-apa", dirinya berusaha untuk tetap tenang walau rasa takut terlukis jelas di wajahnya.
"
Eh tapi tadi Mas lihatkan? Pas peristiwa tadi, Gendis seperti tau kalau di atasnya ada sesuatu. Padahal matanya saat itu sedang terpejam". Ujarku keheranan.
"Aneh..! Kemarin ada ular hitam, sekarang laba-laba hitam. Besok-besok hewan apa lagi yang masuk ke rumah? Sebenarnya yang seram itu rumah kita atau... " mataku melirik ke arah Gendis.
"Jangan sembarangan kamu kalau berbicara! Apalagi kalau sampai berpikir kehadiran Gendis yang membuat semua ini terjadi!" ujarnya gusar, matanya menatap penuh amarah ke arahku.
Diriku terkejut mendengar hardikannya. Aku langsung meminta maaf dan tertunduk menyadari kesalahanku.. Suasana di rumah saat itu berubah menjadi sangat tegang.
Seperti biasa menjelang tengah malam sampai subuh rumahku selalu terdengar suara tangisan dan jeritan Gendis.
"Ya Allah kapan ujian ini akan berakhir", batinku.
Keesokan paginya Pak Mul dan temannya mulai merenovasi rumah. Akhirnya diriku dan Gendis mengungsi ke kamar belakang. Sambil membaca buku yang Umi berikan, ku amati dengan mataku, Gendis suka tertawa dan menangis sendirian. Tapi tangisannya tidak terlalu lama seperti sedang ada yang menggodanya.
"Gendis lagi bercanda sama siapa sih sayang? Kenapa dari tadi suka menangis dan tertawa sendiri?" Sambil ku berikan soft book ke tangannya.
Namun saat itu mata Gendis bukan menatap ke arahku tapi malah menatap ke arah lain sambil tertawa kegirangan.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Mas masuk ke dalam "Ma tolong Gendis dibawa ke luar rumah dulu !" Perintahnya.
Mataku menyipit dan bertanya "Ngapain harus keluar rumah? Enakan disini, di luar kan panas!"
"Sudah tolong dengarkan ucapan Mas, ajak Gendis duduk di luar dulu nanti Mas jelaskan" suaranya berubah serius.
Akhirnya aku langsung menggendong Gendis dan membawanya ke luar rumah. Tidak lama kemudian Mas menyusul kami.
"Ada apa sih kenapa tiba-tiba menyuruh keluar rumah?" tanyaku.
"Begini Ma tadi Pak Mul bilang ke Mas kalau suara tawa dan tangisan Gendis itu berbeda. Menurutnya ada yang sedang godain anak kita."
"Menggoda gimana Mas?" keningku berkerenyit mendengar ucapannya.
"Ya ngajak main gitu, makanya suaranya dari tadi kedengeran sebentar tertawa terus menangis, begitu terus". Ya sudah untuk sementara kamu disini dulu, tidak ada salahnya kan mengikuti saran Pak Mul?
"Tumben kamu mau mendengarkan saran orang lain?" Cibirku padanya.
" Sudah, saya tidak mau ribut! Malu kalau kedengaran tetangga! Saya masuk ke dalam dulu mau mengawasi pekerjaan mereka", ujarnya sambil bergegas masuk ke rumah.
Sambil menggendong Gendis, ku lihat saat itu matanya sedang asik mengamati ke arah pohon nangka yang berada tepat di hadapan kami. Matanya menjelajahi pohon tersebut sambil tersenyum, tangannya mengarah ke arah ranting pohon yang dahannya berayun-ayun tertiup angin seperti minta di gendong.
"Gendis lihat ke sini, ayo lihat ke mama masa dari tadi lihatnya ke pohon nangka terus", gumamku.
Saat itu dari kejauhan tampak tukang buah yang lagi memikul dagangannya. Dia berhenti ketika melintas di depanku. Matanya menatap ke arah Gendis yang saat itu masih asik tertawa-tawa ke arah pohon nangka.
Hatiku bertanya-tanya
"ngapain abang buah berhenti? Perasaan saya ga manggil dia", seraya ku tatap wajahnya.
Kemudian dia berkata "Bu, anaknya segera dibawa masuk ke dalam rumah, kasihan kalau berada di sini. Dari tadi anaknya di ajak bercanda sama yang di pohon nangka,
mereka suka sama anak ibu. Kalau muka
mereka enak dilihat tidak apa-apa, lah ini mukanya jelek dan serem semua! Hii..! Ujarnya sambil berlalu begitu saja dari hadapanku.
Bulu kudukku meremang setelah mendengar ucapannya.
"Aduh.. Ada apalagi sih ini. Di dalam rumah di usir, sudah di luar rumah malah ada di kasih saran suruh masuk!".
Aku pun segera bergegas masuk, tampaknya Mas keheranan melihat diriku yang begitu tergesa-gesa.
"Kenapa masuk ke rumah Ma?" tanyanya.
Dengan wajah cemberut aku hanya mencibir ke arahnya seraya berkata "Percuma juga mau kemana saja kayanya ga bakalan bisa hidup tenang!"
Dirinya pun terlihat semakin keheranan dengan jawabanku.
Setelah seminggu lebih akhirnya renovasi pun selesai. Benar kata Mas, dengan mengganti warna keramik dan cat, rumah tampak lebih cerah dan tidak menyeramkan lagi, diriku tersenyum dalam hati.
Saat itu ku lihat Pak Mul sedang pamit dengan Mas di teras, aku bergegas menghampirinya sambil menggendong Gendis.
"Pak Mul tunggu sebentar, maaf apa Bapak bisa melihat
mereka"? tanyaku tanpa basa-basi.
"Mereka" itu siapa Bu? Pak Mul malah balik bertanya.
Hatiku agak gusar mendengar pertanyaannya.
"Ini orang pura-pura bodoh atau benar-benar tidak tau?"
"Begini Pak, waktu itu kan Pak Mul bilang ke Mas kalau Gendis kemarin sedang di godain oleh mereka yang wujudnya tak kasat mata, betulkan?"
"Ooh itu, iya betul Bu. Saya memang bilang begitu ke Bapak", ujarnya sambil tersenyum.
"Memang Bapak bisa melihat
mereka? Cecarku.
"Mohon maaf Bu, saya tidak bisa melihat
mereka. Cuma saat itu saya dengar suara tawa dan tangisan Gendis berbeda, seperti sedang ada yang mengajaknya bercanda. Padahal saat itu saya tidak mendengar suara Ibu sama sekali. Dan saya perhatikan, tatapan matanya Gendis selalu mengamati ke seluruh ruangan. Seperti banyak yang dia lihat, begitu Bu."
"Selama bekerja disini apa Bapak pernah melihat hal yang ganjil?" Tanyaku lagi dengan wajah serius.
Mas menatapku dengan heran, wajahnya tampak berkerut mungkin dia bingung kenapa aku tiba-tiba menginterogasi Pak Mul seperti seorang wartawan.
Dengan mata menerawang Pak Mul berkata "Sebenarnya saya memang melihat sesuatu Bu..!" Sambil menghela nafas.
"Bapak melihat apa?" tanyaku penasaran.
Aku melirik ke arah Mas, dari kelopak mataku terlihat jelas wajah Mas menegang menanti jawaban Pak Mul.
"Saat itu saya sedang mengecat di bawah tangga dan saya melihat..." desahnya seraya merapatkan bibirnya.
"Saya melihat ada bayangan yang keluar dari tembok di bawah tangga. Bayangan itu langsung menuju tangga dan naik ke atas. Sepertinya sosok itu tidak suka dengan suara berisik".
"Bapak melihat wujudnya kah?" tanyaku lagi.
"Tidak Bu, saya hanya melihat bentuknya seperti bayangan".
Aku tatap wajah suamiku, meminta penjelasannya. Namun dia hanya tertunduk sambil memainkan handphone di tangannya
"Baiklah Pak Dedi dan Ibu kalau sudah tidak ada lagi yang ditanyakan saya pamit", ujarnya sambil melangkah keluar rumah.
"Terima kasih ya Pak Mul", akhirnya ada juga kalimat yang keluar dari mulut suamiku.
*******
Sore itu sambil menikmati secangkir teh manis hangat di teras "Ma, besok pagi Mas harus pergi ke kantor untuk mengurus dokumen yang harus dibawa nanti. Mas dapat tugas ke NTB selama 2 minggu. Kamu gapapa kan kalau ditinggal berdua sama Gendis?" ujarnya sambil menyeruput segelas teh.
"Santai aja Mas, saya sudah terbiasa cuma berduaan sama Ndis di rumah?" sahutku yang saat itu lagi membaca buku Rugyah.
"Bagaimana kalau minta ditemani sama Mba Ani? Biar rumah tidak terlalu sepi?" usulnya.
"Ngga usah Mas! Mba Ani itu kan penakut! Yang ada nanti dia ketakutan melihat Ndis menjerit-jerit saat tengah malam. Nanti diriku yang semakin repot karena harus nenangin dua orang! Sudah ga usah khawatir, Bismillah saja".
"Tolong yang sabar ya mengasuh Gendis," terlihat lesung pipit dari senyumnya.
Sambil tetap asik membaca buku, hatiku berkata
"yang sabar itu harusnya kamu, bukan aku!"
Pagi itu Mas langsung berangkat ke kantornya, tidak lupa dirinya mencium kening Gendis yang sedang tertidur pulas. "Anak ayah yang cantik tolong jangan nyusahin mama ya hari ini, tolong anteng ya sayang", bisiknya di telinga Gendis.
"Ma, kalau ada apa-apa langsung telepon Mas ya,
anytime!" ujarnya sambil mengecup keningku dan pamit berangkat kerja.
"Insya Allah", jawabku sambil mencium tangannya.
"Hati-hati di jalan Mas, kalau sudah sampai kantor tolong kasih kabar", akupun langsung menutup pintu pagar dan masuk ke rumah.
Pagi itu aku ajak Gendis berjemur berkeliling komplek dengan stolernya. Alhamdulillah tidak ada hal aneh yang menimpaku pagi itu. Ku kira hari itu semua akan berjalan normal tapi sepertinya perkiraanku lagi-lagi salah!
Saat itu jam menunjukkan pukul 13.00 dan kami sedang tidur siang di kamar. Saat sedang terlelap dalam mimpi tiba-tiba diriku dikagetkan oleh suara jeritan Gendis.
Aku segera terbangun dan melihat Gendis masih tertidur di sampingku, matanya terpejam namun..!
Dengan mata terpejam, ia terus menangis dan menjerit sambil tangannya menunjuk ke arah pintu!
Segera kualihkan pandangan ke arah pintu. "Ya Allah..!!" Jeritku tertahan.
Dekat pintu kamar ku lihat ada seekor kelabang berukuran besar. Panjangnya mungkin sekitar 10 cm. Aku yang sedang panik langsung mengambil remote ac yang saat berada di sampingku. Sambil membaca Bismillah segera ku hantamkan remote itu ke tubuh kelabang.
Badanku merinding melihat badannya yang besar menggelepar-gelepar dijemput kematian.
Anehnya setelah kelabang itu mati, tangisan Gendis pun terhenti. Dia kembali tertidur dengan nyenyak.
Dengan tubuh bergetar, aku beringsut ke arah kasur dan segera duduk sebelum terjatuh. Segera ku ambil handphone yang ku letakkan dekat botol susu Gendis dengan tangan gemeteran. Diriku langsung mengirim pesan ke Mas. Ku ceritakan semua peristiwa yang baru saja terjadi, tak lupa aku kirimkan foto kelabang yang sudah mati.
Tidak lama kemudian terdengar notifikasi di layar handphone ku, ternyata itu balasan dari Mas. "Besar amat itu kelabang, masuk dari mana ya?"
"Entahlah Mas, kepalaku pusing kalau harus memikirkannya. Semakin hari makin banyak kejadian yang tidak masuk akal di rumah" balasku.
"Sudah yang sabar ya Ma, yang penting kalian tidak kenapa-kenapa. Segera dibuang bangkainya ke tempat sampah di luar. Mas lanjut kerja dulu nanti di rumah kita bahas".Isi pesannya.
Setelah diriku tenang, segera ku ambil sapu serta pengki dan langsung ku buang kelabang itu ke tempat sampah yang berada di depan rumah.
Karena sudah terjaga dan sulit memejamkan mata, akhirnya ku lanjutkan membaca buku Ruqyah sambil menemani Gendis yang masih tertidur.
Sore harinya setelah Mas pulang kerja, kami mengobrol di ruang tv.
"Ma, kamu yakin sanggup hanya berdua dengan Gendis di rumah?"
Sambil menghela nafas dan memainkan remote tv, diriku menjawab "Ya harus sanggup Mas. Kalau aku suntuk paling aku nginap ke rumah tante."
"Maksud Mas dulu kan belum ada kejadian seperti begini. Mas khawatir mau meninggalin kalian berdua di rumah." Atau mau minta tolong tetangga biar nemenin kamu? Biar nanti Mas bayar mereka?"
"Ngga usah Mas, jangan! Aku ga mau kalau perilaku Gendis semakin jadi bahan omongan mereka. Insya Allah Ada Allah yang selalu menjagaku dan Gendis" hiburku.
"Ya sudah terserah bagaimana baiknya saja. Mas hanya memberi saran. Tolong selalu berpikir positif ya Ma dengan semua kejadian yang sudah kita alami", nasehatnya sambil menatap ke arah ku."
Keesokan paginya, Mas berangkat ke bandara menggunakan taxi. Aku menatap kepergiannya dengan hati sedih "
Ya sepi lagi deh rumah".
Tidak terasa sudah empat hari ku jalani di rumah bersama Gendis semenjak keberangkatan Mas ke NTB.
Hari itu seharian Gendis sangat rewel, diriku sampai tidak bisa beristirahat. Jangankan untuk rebahan, mau mandi dan shalat saja harus ku lakukan dengan cepat.
"Ndis tolong anteng dong nak, mama mohon kerja samanya" pintaku padanya. Namun dia tetap saja rewel, dirinya minta di gendong terus.
Alhamdulillah sore hari hujan mulai turun membasahi bumi. Tercium aroma tanah kering yang terkena air, wanginya menyegarkan.
Sehabis Maghrib, aku taruh Gendis di kursi merahnya dan ku lantunkan surat Al-Baqarah seraya mengelus lembut kepalanya.
Tiba-tiba mataku menatap keanehan. "Ya Allah!" seruku dalam hati.
Ku perhatikan dengan seksama dari sudut mata Gendis menetes air mata. Segera ku seka air matanya dengan jariku. Sambil terus ku lantunkan surat Al-Baqarah.
Di luar smakin lama hujan semakin bertambah deras, ku lihat jam di dinding menunjukkan hampir pukul 19.00. Aku berpikir kalau malam ini sampai pagi Gendis rewel terus, aku tidak akan kuat menjaganya karena diriku sudah teramat letih.
Akhirnya segera ku putuskan memesan taxi online. Alhamdulillah saat itu ada driver yang menerima orderanku. Segera ku berkemas membawa keperluan seadanya.
Tidak lama kemudian, taxi pun tiba. Sambil kehujanan bergegas ku naik ke taxi sambil menggendong Gendis yang saat itu mengenakan jaket tebal yang ada penutup kepalanya.
"Malam Bu, kita ke perum. x di Jakarta ya?" ujar supirnya ramah.
"Iya Pak, sesuai map", ujarku sambil memeluk Gendis agar tidak kedinginan"
Sepanjang perjalanan, aku berusaha menguatkan diri. Jari tangan dan kaki ku terasa sedingin es, pandanganku mulai berkunang-kunang. Kepalaku terasa berat dan pusing.
Ku tatap wajah Gendis yang saat itu sedang mengamati wajahku "doakan mama kuat ya nak," bisikku pelan sambil mencium pipinya".
Aku memandang keluar jendela mobil, hujan semakin bertambah deras dan aku merasa ada banyak pasang mata yang sedang menatap ke arahku di antara kegelapan dan derasnya hujan! Astagfirullah, segera ku alihkan pandangan dan berusaha untuk tetap menjaga kesadaranku.
Memasuki kota Jakarta, hujan mulai reda dan akhirnya tibalah kami di rumah tante.
Diriku segera turun dan mengucapkan terima kasih. Sambil menggendong Gendis dan membawa tas, ku lihat jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 20. 30.
"Ting tong..." suara bel berbunyi.
Tak lama kemudian muncullah tante dan Dwi, mereka tampak terkejut dengan kedatanganku.
"Ima!! Kenapa datang malam-malam begini? Mukamu juga kenapa tampak pucat ?" Serunya panik sambil membukakan pagar.
Segera ku serahkan Gendis dalam pelukan tante dan meminta tolong Dwi untuk membawakan tasku.
Tanpa menjawab sepatah katapun, ku paksakan diriku berjalan walau sedikit sempoyongan ke dalam rumah.
Lama-lama pandanganku mulai kabur, sekelilingku terasa berputar..!
"Bruuug..!!" Terdengar suara tubuhku jatuh ke lantai. Samar-samar ku dengar suara teriakan tante dan Dwi memanggil namaku dan berteriak minta tolong. Lalu semuanya menjadi gelap...