aniedatannishaAvatar border
TS
aniedatannisha
PEMBANTU RASA ISTRI
JANDA SUKSES DARI BOJONG KENCES


Suasana kampung Bojong Kences mendadak ramai dan heboh, hal itu dipicu dengan tersiarnya kabar bahwa salah satu warganya yang telah sukses bekerja di kota akan datang. Tampak Somad dan sang istri sudah duduk manis di teras, menanti putrinya yang akan datang sebentar lagi.

Sudah lima tahun anak sulung dari pasangan suami istri paruh baya itu mengadu nasibnya di kota sebagai seorang pembantu rumah tangga. Dia adalah Rohaeti, janda Bojong Kences yang sukses. Perceraian yang terjadi enam tahun lalu membuatnya nekat untuk berangkat ke kota metropolitan. Dan hari ini, Rohaeti kembali untuk menengok kedua orang tua dan juga untuk melepaskan rasa rindu kepada adik-adik serta sanak saudaranya di tanah kelahirannya.

Tidak heran, semua orang rela meninggalkan segala aktifitas serta pekerjaannya untuk sementara waktu, demi dapat bertemu dengan sosok yang digadang-gadang telah meraih kesuksesan tersebut. Mereka tahu sejarah perjuangan Rohaeti seperti apa, rumahnya saja yang semula hanya sebuah gubuk, kini telah berubah menjadi rumah permanen yang kokoh, walaupun tidak mewah, tapi sangat layak dan bersih.

Diantara kerumunan warga kampung yang berdesak-desakan, tampak seorang gadis berpakaian lusuh dan dekil, dengan susah payah ia menggerakan kakinya menuju barisan paling depan. Setelah berjuang selama setengah jam lamanya, akhirnya gadis berusia tiga belas tahun tersebut berhasil menjadi yang terdepan.

Tak peduli peluh membanjiri tubuh, wajah anak gadis berusia tanggung itu berseri karena ia sebentar lagi bisa melihat dari dekat sosok orang sukses yang sedang dinanti oleh seluruh masyarakat kampung Bojong Kences.

"Minggir ... Minggir! Mobil yang ditumpangi Neng Roroh mau lewat," teriak seorang pria gemuk berseragam hansip.

"Tin ... Tin!" suara klakson mobil Avanza hitam memecah kerumunan warga yang saling berebut ingin melihat sang idola kampungnya lewat.

Kaca mobil perlahan dibuka oleh wanita yang berdandan heboh, ia menebarkan pesona kepada seluruh warga yang berkumpul di depan tempat tinggalnya.

Tangan kanannya melambai-lambai keluar, memamerkan sederetan gelang keroncong yang berbunyi saat digerakkan.

"Neng Roroh, eduuuuunnn keren pisan!"

"Gustiiii, itu si Roroh kenapa jadi kaya artis gitu ya? Cantik, bening dan hebat euy!"

Suasana menjadi riuh. Tepuk tangan pun terdengar meriah membuat keadaan menjadi semakin panas. Begitu pula dengan anak kumel tadi. Ia tak henti berteriak memanngil Rohaeti. Namun apa daya, tubuhnya yang mungil dan kurus itu semakin lama semakin tersingkir. Orang-orang dewasa di sekelilingnya berdesakan ingin maju ke depan.

Rohaeti yang berbalut dress sepaha motif macan tutul bak artis dangdut itu, turun dari mobil yang ditumpanginya. Senyum mengembang memamerkan deretan gigi yang berselimut kawat pembatas warna-warni bertegangan tinggi. Bibirnya yang tebal dipoles gincu berwarna merah cabe-cabean, terlihat seperti vampire yang habis minum darah.

Sambil terus tersenyum menggoda, janda montok itu membuka kaca mata hitam berbentuk segi lima. Kelopak matanya menyilaukan karena dibubuhi blao, eh ... Eyeshadow biru maksudnya, hehe, dengan tambahan bulu mata anti tsunami yang melambai manjah membuat tampilan matanya semakin wah dan glamour.

Tidak sampai disitu, kedua pipinya yang disapu blush on merah keunguan nampak seperti pencuri ayam yang babak belur habis dihajar warga. Bukan Rohaeti namanya jika tidak PD. Kepercayaan diri yang tinggi, membuat wanita itu masih betah menjadi janda. Ia tak segan menyapa dengan gayanya yang genit, bak artis ibu kota.

Setelah puas beramah tamah, ia pun berjalan melenggak-lenggok bak pragawati menghampiri kedua orang tuanya. Dengan sopan, ia mencium tangan pria dan wanita paruh baya yang berdiri di hadapannya.

"Emak, Abah, bagaimana kabarnya?" tanya Rohaeti menatap kearah ayah dan ibunya.

"Alhamdulillah Roroh, Emak jeung Abah sehat, kamu sendiri bagaimana?" jawab sang ibu sambil memeluk putri sulungnya.

"Alhamdulillah, Mak, Bah, seperti yang kalian lihat. Roroh sehat wal'afiat."

"Syukurlah, Roh. Abah bahagia melihat kamu sekarang."

"Semua berkat doa Emak dan Abah."

Ketiganya mengulas senyum bahagia, lalu sang ayah pun berpamitan untuk masuk kepada seluruh warga kampung yang masih berkumpul di halaman rumahnya.

"Bentar, Bah! Roroh mau bicara sebentar sama warga."

Rohaeti pun kembali menyapa para warga yang masih dengan setia stay tuned berdiri demi dapat melihatnya lebih lama, walau terik matahari menyengat tidak mereka pedulikan. Dengan sengaja ia menggeliat nakal, tiga kalung emas yang dipakainya mengayun ke kiri dan kanan mengikuti liukan tubuhnya.

"Assalamualaikum para warga tercintah, Roroh ucapin banyak terimaksih atas penyambutannya yang sangat meriah ini. Roroh sangat terharu dan bangga atas apa yang telah kalian lakukan ini, tapi beribu maaf Roroh ucapin ya para warga semuah, sekarang Roroh mau pamit istirahat karena habis perjalanan jauh."

"Huuuuu ...." Warga kecewa.

"Tenang, para warga semuah. Roroh dua minggu berada di kampung ini, ingsa Alloh nanti Roroh akan adain OPEN HOUSE alias jumpa penggemar dengan kalian semua, nanti akan ada orgen tunggal dan makan-makan, pokoknya mah keren pisan."

Wajah warga Bojong Kences seketika berubah bahagia. Mereka bersorak kegirangan, tepuk tangan pun kembali memeriahkan suasana.

"Ya udah atuh yah, Rorohnya mau istirahat dulu. Sok kalian pulang aja yah, yang mau ke sawah sok ke sawah, yang mau lanjut ke kebun sok dilanjut deui, dan emak-emak yang mau ke pasar dan mau masak sok mangga."

Tanpa dikomando, para warga pun bubar, mereka kembali melanjutkan rutinitasnya. Kebanyakan diantara mereka membicarakan sejarah masa lalu Rohaeti saat diselingkuhi oleh suaminya, Ajat.

Ajat berselingkuh dengan seorang janda beranak satu bernama Tinah, yang ditinggal mati oleh suaminya akibat penyakit panu menahun yang dideritanya. Pria yang sehari-hari berjualan sayur di pasar itu nekat bunuh diri dengan menenggak kopi yang telah dicampur dengan racun tikus.

Hal itu dilakukannya lantaran putus asa karena penyakit panunya tersebut tidak kunjung sembuh, sang istri pun menjadi acuh tak acuh terhadapnya, melalaikan segala kewajibannya.

Namun menurut desas-desus yang beredar, Ujang, suami Tinah itu meninggal bukan karena bunuh diri. Melainkan diracun oleh istrinya sendiri, lantaran wanita bertubuh montok itu sudah ingin terbebas dari kekangan sang suami yang dianggapnya sudah tidak beguna lagi.

Cerita mana yang benar, entahlah! Hanya Allah dan Tinah yang tahu.

"Meni keren pisan ya sekarang si Roroh," puji Parman, teman masa kecil Rohaeti.

"Bukan keren lagi, Man! Tapi eduuuunn, udah kaya artis ya penampilannya. Emasnya aja banyak, kamu lihat nggak tadi kalungnya meni ada tiga, dari yang terpendek sampai yang terpanjang," timpal agus, tidak mau kalah memuji.

"Iya Gus, Man, badannya saja sekarang ngisi, montok eplok cendol," tambah Oded sembari meliuk-liukan kedua tangannya, menggambarkan body Rohaeti yang aduhai.

"Si Ajat kalau tadi ada dan lihat mantan istrinya sukses begitu, pasti nyesel da dulu pernah selingkuh sama si Tinah yang bawelnya minta ampun, galak dan mata duitan, ih amit-amit aing mah da punya istri kaya gitu, haha!" seloroh Maman, diikuti oleh suara gelak tawa dari ketiga temannya.

Keempat pria berusia tiga puluhan itu merupakan tetangga sekaligus masa kecil Rohaeti, mereka adalah para PEJABAT (pengangguran Jawa Barat) yang pintar dalam hal memproduksi anak, tanpa memikirkan biaya hidup serta biaya pendidikannya. Untuk biaya hidup dan makan sehari-hari, mereka masih bergantung kepada orang tua juga mertuanya masing-masing.

Maka tidak heran, saat melihat kawannya sukses mengadu nasib di kota, mereka pun berkeinginan agar para istrinya mau mengambil jalan seperti Rohaeti, mereka tidak keberatan jika nantinya harus menjadi seorang "Bapak Rumah Tangga".

Tidak hanya mereka berempat yang berkeinginan bernasib sama dengan Rohaeti, seorang anak gadis berusia tanggung yang tadi ikut berdesak-desakan bersama para warga lainnya pun memiliki keinginan yang kuat untuk mengadu nasibnya di kota.

Perdebatan terdengar di sebuah gubuk reot yang terletak di ujung kampung, dimana anak tadi merengek-rengek agar diizinkan pergi ke kota.

"Mae, umur kamu itu masih tiga belas tahun. Kamu mau kerja apa nanti di kota?" tanya sang Ibu.

"Mae sudah mau empat belas tahu, lagi pula Mae udah bisa jadi pembantu kaya Teh Roroh, Mak. Mae kan sudah pintar masak, beberesih rumah dan urus adik-adik," kilah Mae meyakinkan kedua orang tuanya.

Ya, semenjak dirinya menjadi "pengangguran" akibat sudah tidak bersekolah lagi, ia lah yang mengerjakan segala pekerjaan rumah, mulai dari memasak, mencuci, membersihkan rumah dan mengurus keempat adiknya. Sementara sang ibu, bekerja sebagai buruh cuci-setrika keliling.

"Tapi Mae, Apa berat izinkan kamu ke kota. Apa suka dengar cerita dari orang-orang di sawah yang punya tipi, katanya banyak tindak kejahatan terhadap anak kecil. Apa ngeri pisan, Mae."

"Apa, masalah musibah mah itu rahasia Allah, takdir Allah. Insya Allah, Mae nanti bisa jaga diri, kan Mae juga mau kerja kalau Teh Roroh yang carikan. Siapa tahu majikannya butuh pembantu lagi, atau mungkin saudara majikannya, atau mungkin tetangga dari majikannya itu yang lagi butuh pembantu."

"Tapi, Mae...."

"Mak, Pa, sok pikir ya sama Emak dan Apa! Mau sampai kapan kita kaya begini? Hidup miskin, dipandang remeh orang lain, kadang keberadaan kita mah nggak pernah dianggap atuh da. Capek Mae hidup kaya gini terus, Mae kasihan sama Ratih, Ridwan, Rahman dan Rahim yang selalu menangis akibat lapar dan pengen jajan kaya teman-temannya."

Dahlan menunduk lesu, ucapan putrinya barusan manjadi sebuah tamparan yang sangat telak baginya. Hatinya teriris, sebagai seorang kepala rumah tangga ia tidak dapat memberikan kebahagiaan serta kecukupan kepada anak dan istrinya.

"Maafin Apa ya, Mae! Harusnya mah Apa yang kerja, tapi Apa bingung mau kerja apa, SD aja nggak tamat da Apa dulu harus ngangon kambing punya tetangga kalau mau makan, Nenek kamu sudah sakit-sakitan, anaknya yang masih hidup Cuma Apa. Kakak Apa ada lima tapi meninggal semua karena kena gizi buruk, akhirmya Apa hanya bisa menggarap sawah orang. Itu pun hasilnya nggak menentu."

"Apa jangan ngomong kaya gitu, Mae bahagia dan bangga menjadi anak Apa. Karena Apa adalah ayah yang terbaik, selalu mengajarkan kami agar tetap bersyukur walaupun dalam keadaan yang tersulit sekalipun. Untuk itu, Apa tolong izinkan Mae ke kota ya! Teh Roroh pasti akan mencarikan majikan yang baik untuk Mae."

Dahlan diam, pikirannya bercabang kemana-mana. Melihat hal itu, Mae tidak tinggal diam. Dengan suara agak lantang ia pun kembali bertanya.

"Gimana Apa? Kok ngelamun, boleh kan Mae ke kota?"

Ayah lima orang anak itu menarik napas panjang, batinnya berkecamuk hebat. Sejenak, ia menatap nanar wajah putrinya.

"Nanti malam Apa mau ke rumah Roroh ya, Mae. Kalau dia bisa mencarikanmu pekerjaan yang baik, ingsa Alloh Apa ngizinin Mae berangkat."

"Ide yang bagus itu, Pa. Emak oge setuju pisan, mudah-mudahan aja Gusti Alloh meridhoi langkah anak kita untuk kerja di Jakarta."

"Amiin," ucap ketiganya bersamaan.










bonita71
enjihalala25
Araka
Araka dan 62 lainnya memberi reputasi
59
33.8K
162
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
aniedatannishaAvatar border
TS
aniedatannisha
#20
BAB 21

Pukul 07.00 pagi, seperti biasa Mae dan Al berangkat bersama-sama. Pagi itu, Al menggunakan mobil ibunya, karena mobil miliknya sedang ada masalah dengan mesinnya.

“Kita masuk jalan tol saja ya, Pak?”

“Tumben, Mae?”

“Waktu sudah mepet, ini dosennya barusan info di grup kalau jam kuliah dimajukan setengah jam lagi.”

“Baiklah, jangan protes kalau aku ngebut ya!”

“Ok, Tuan.”

Al pun memasuki jalan tol yang masih tampak lengang. Ia memacu kecepatan tinggi agar assisten pribadi sang ibu yang sudah ia anggap sebagai temannya itu, bisa sampai kampusnya tepat waktu.

Namun saat mobil memaksa menerobos bahu jalan, tiba-tiba saja ada petugas kepolisian yang memberikan peringatan agar mobil yang dikendarai oleh Al tersebut melaju di perlintasan yang seharusnya.

Al menginjak pedal rem dengan cepat, namun entah mengapa rem yang diinjaknya tiba-tiba menjadi blong.

“Remnya blong, Mae. Berpegangan tangan!”

Mae panik, ia berdoa dalam hati untuk keselamatan mereka berdua. Al juga panik, keringat mengucur deras, sejuknya udara dari AC mobil tidak terasa sama sekali.

“Hati-hati, Tuaaann!” pekik Mae saat melihat tuan mudanya bejibaku dengan stir mobilnya.

Mobil yang dikemudikan oleh Al hilang kendali, ia membanting stir ke kiri. Tanpa dapat dicegah mobil sedan putih milik sang ibu pun menabrak pagar pembatas jalan, dan terperosok ke area perumahan warga sekitar.

Mae pingsan, begitu pula dengan Al. Ia pingsan setelah wajahnya membentur stir mobil dengan sangat keras, sampai kacamata hitam Ray Ban yang dipakainya itu hancur.

Bagian depan mobil hancur, begitu pula dengan kaca depan mobilnya, pecah berkeping-keping. Darah segar keluar dari kedua mata Al, wajahnya pun terluka terkena pecahan kaca. Sedangkan Mae, terluka pada bagian kepala dan tangan kiri.

Keduanya segera dievakuasi dan dilarikan ke rumah sakit terdekat. Mobil ambulance yang membawa Al dan Mae secara terpisah, melaju cepat membelah jalanan ibu kota tanpa hambatan. Sesampainya di rumah sakit, baik Mae maupun Al, sama-sama masuk ke dalam ruang IGD.

Satu jam kemudian, Madam Lisa bersama ketiga putranya datang ke rumah sakit. Wanita bertubuh tinggi besar itu terus menangis, cemas akan keselamatan dua orang yang sangat disayanginya itu.

“Sabar, Mom. Tim dokter sedang menangani Al dan Mae,” hibur Brian, putra sulung Madam Lisa.

“Robert, tolong kamu telepon Rohaeti, jangan berikan kabar apapun kepada kedua orang tua Mae. Kasihan mereka pasti akan sangat sedih.”

Robert mengangguk, lalu ia pun segera menelpon ke rumah dan menyampaikan pesan dari sang ibu kepada Rohaeti. Dua jam kemudian, dokter keluar memanggil keluarga dari Al dan Mae.

“Korban wanita, terluka pada bagian kepala dan tangan kiri. Sedangkan korban pria, terluka pada bagian wajah dan mata. Kaca mata yang dipakainya pecah, dan pecahannya itu masuk serta mengenai matanya. Kemungkinan korban pria akan mengalami kebutaan.”

Madam Lisa menjerit histeris, meminta agar dokter bisa mengupayakan putranya agar bisa melihat lagi.

“Sabar, Mom. Sabar!”

“Briaan, tolong kamu bilang sama Dokter supaya bisa mengobati mata adikmu itu, jangan biarkan adikmu buta. Kasihan dia, Brian. Huuuu.”

“Apa sudah pasti adik saya akan mengalami kebutaan, Dok?”

“Belum pasti, tapi kalau melihat luka di matanya, kemungkinan besar kebutaan sekitar 90% Pak.”

“Lakukan tindakan yang terbaik, Dok! Berapapun biayanya, kami akan membayarnya.”

“Baik, Pak. Mohon bersabar ya, kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.”

“Baik, terima kasih banyak, Dok.”

Dokter berlalu, kembali masuk ke dalam ruang IGD. Pihak keluarga belum dibolehkan masuk untuk melihat keduanya.

Madam Lisa jatuh pingsan, tak lama kemudian Stevi yang ditemani kedua orang tuanya datang untuk melihat keadaan Al.

“Al masih di dalam ruang IGD, Om, Tante, Stevi,” ujar Daniel.

“Bagaimana keadaan suamiku, Kak?”

“Wajah dan mata Al terluka, kena pecahan kaca.”

“Jadi … Suamiku nantinya akan?”

Stevi terisak, duduk lemas di kursi tunggu. Sang ibu menenangkan putrinya yang tampak sangat terpukul dengan keadaan itu.

“Sabar, Nak. Semua sudah ketentuan Tuhan.”

“Tapi, aku tidak rela Ma, kalau suamiku menjadi buta. Huuuu.”

Ibunda Stevi memeluk putrinya yang menangis pilu, hatinya pun sama hancur saat mendengar kabar mengenai menantunya.

Hari beranjak sore, Mae dan Al sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Pihak keluarga meminta agar keduanya dirawat dalam satu ruangan, agar tidak repot menemani dan menungguinya.

Tangan kiri Mae patah, kepalanya sobek sehingga harus dijahit, wajahnya mengalami memar dan lecet. Sedangkan Al, wajahnya luka cukup parah akibat pecahan kaca yang mengenai permukaan kulitnya, matanya pun ditutup kain kassa.

Madam Lisa tak berhenti menangis, ia sangat tidak tega melihat kondisi keduanya, terutama dengan kondisi putranya yang harus mengalami kebutaan.

Yang pertama kali sadar adalah, Mae. Saat ia membuka matanya, ia langsung bangkit dan muntah-muntah. Pihak keluarga yang panik, langsung berteriak memanggil dokter.

Dokter segera memeriksa kondisi Mae.

“Apa yang terjadi, Dok?” tanya Madam Lisa.

“Efek benturan keras di kepalanya, Bu. Sehingga pasien merasakan rasa pusing yang sangat hebat, berujung rasa mual dan muntah.”

“Berbahaya tidak, Dok?”

“Kita observasi dulu ya, Bu. Kalau intensitas muntahnya sering dan bahkan sampai muntah darah, maka kita harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut.”

“Lakukan yang terbaik, Dok!”

“Kami akan melakukan semaksimal yang kami bisa, Bu.”

“Terima kasih, Dok.”

“Iya, Bu. Ini saya resepkan obat, yang obat mual muntah diminum minimal setengah jam sebelum makan ya, Bu. Yang lainnya setelah makan.”

“Baik, Dok.”

Setelah memberikan resep yang harus ditebus, dokter pun keluar dari ruangan.

“Sumi, Rohaeti … tolong bantu gantikan pakaian Mae ya. Kotor semua terkena muntahan, kasihan sekali.”

“Baik, Madam,” jawab keduanya bersamaan.

Rohaeti berdiri dan menutup tirai penyekat ruangan, setelah itu ia dan Sumi mulai mengelap dan mengganti pakaian Mae.

Setelah berganti pakaian, Rohaeti memberikan obat mual muntah kepada Mae.

“Terima kasih, Teh.”

“Iya, Neng. Apa yang kamu rasakan sekarang?”

“Kepala belakang sakit sekali, pusing, saya nggak kuat buka mata Tek. Karena saat mata ini terbuka, bola mata serasa mau lepas. Jadinya mual dan muntah.”

“Ya sudah, untuk sementara tutup saja dulu matamu, Neng.”

“Iya, Mae. Nanti setengah jam lagi kamu makan ya, supaya bisa minum obat lanjutan,” ucap Sumi.

“Iya, Bik. Bagaimana dengan keadaan Tuan Al?”

“Anu … Tuan Al ….”

“Tuan Al, baik-baik saja, Neng.” sela Rohaeti, ia tidak ingin Mae bersedih. Belum saatnya untuk Mae tahu yang sebenarnya, karena kondisinya pun belum stabil.

“Syukurlah,” tukas Mae lega.

“Bik Sumi, bisa minta tolong belikan dulu tissue basah? Saya mau membersihkan wajah Mae.”

“Iya, bisa Roroh. Sebentar ya saya turun dulu beli di apotik.” Rohaeti mengangguk dan memberikan selembar uang pecahan lima puluh ribuan kepada Sumi.

Setelah Sumi pergi, Rohaeti menarik kursi dan duduk di dekat Mae. Ia berbisik di telinga gadis yang masih memejamkan mata itu.

“Neng …,” bisik Rohaeti.

“Ya, Teh.”

“Maaf ya Neng, bukannya Teteh mau kepo.”

“Ada apa Teh?”

“Tadi, sewaktu kamu masuk ruang perawatan ini. Kamu sempat mengigau, sebut-sebut nama Tuan Al. Kamu juga bilang, kalau kamu sayang Tuan Al.”

Rohaeti selesai bicara, Mae kemudian terisak.

“Kamu mencintai dia, Neng?”

Mae mengangguk pelan, tangisnya pun semakin tersedu.

“Pssstt, jangan kencangkan suara tangismu, Neng. Jangan sampai orang-orang di balik tirai ini masuk dan bertanya-tanya kepada Teteh apa yang sedang terjadi.”

Tangis Mae mereda, dengan mata yang masih terpejam, gadis itu berbicara perlahan.

“Hanya Teteh yang tahu?”

“Iya, untung saja tadi tidak ada siapa-siapa. Teteh janji, akan diam. Kalau boleh tahu, sejak kapan kamu suka kepada Tuan Al?”

“Semenjak ia datang dari Yogya dan memutuskan untuk tinggal menetap kembali di rumah. Hubungan kami semakin hari, semakin dekat. Kami sering bertukar pikiran tentang segala hal, sampai tadi pagi pun ia masih bercerita tentang keluh kesahnya.”

“Lupakan dia! Cintamu terlarang! Selain dia sudah punya istri dan strata sosial yang jauh berbeda, agama kalian pun berbeda, jadi sangat mustahil kalian bisa menyatu.”

“Iya, Teh. Untuk itu, selama ini saya hanya bisa memendam perasaan ini.”

“Syukurlah kalau kamu tahu harus bersikap seperti apa.”

“Iya, Teh.”

“Ya sudah kalau begitu, makan dulu ya!”

“Baik, Teh.”

“Coba buka mata perlahan siapa tahu sudah membaik.”

Mae menurut, perlahan-lahan ia membuka matanya. Masih terasa melayang-layang, namun tidak parah seperti pertama. Rohaeti menyuapi Mae, ia bercerita tentang banyak hal. Tak lama kemudian Sumi pun datang, dan ia pun ikut menghibur Mae.

Saat ketiganya sedang berbincang, tiba-tiba Stevi masuk dan memaki Mae. Dengan kasar ia mengambil piring yang sedang dipegang oleh Rohaeti, lalu melemparkannya ke arah Mae.

“Gara-gara kamu, gadis budak tidak tahu diri! Suamiku kini menjadi buta.”

Mae tidak membalas makian Stevi, ia hanya bisa menangis.

Kedua orang tua Stevi datang dan menarik tangan putrinya, lalu membawanya keluar dari ruangan.

“Lepaskan aku, Ma, Pa! Biarkan aku memberi pelajaran kepada budak tidak tahu diri ini, dia manusia serakah, sudah dikasih enak sama mertuaku, sekarang dia mau mencelakai suamiku. Cuih!”

“Sudah-sudah, Nak. Jangan buat Papa malu!”

Madam Lisa menghampiri dan memeluk Mae, “jangan dengarkan dia, Nak!”

“Huuu … Huuu, Tuan Al buta?”

“Tidak, Nak. Al tidak akan buta kok, tim dokter sedang mengusahakan yang terbaik untuk Al.”

“Maafkan saya, Madam. Gara-gara saya meminta Tuan Al untuk cepat-cepat, jadi dia nekat menerobos bahu jalan.”

“Jangan menyalahkan dirimu, semua sudah takdir Tuhan. Kamu jangan dengar ucapan Stevi tadi, Al baik-baik saja.”

Mae sesenggukan di dada majikannya, tangisnya tak kunjung mereda.

“Apa yang dikatakan Stevi tadi, sebaiknya kamu abaikan Mae!” timpal Brian.

“Benar itu, Mae. Kamu fokus saja dengan kesembuhanmu.”

Mae menoleh kearah Al yang masih terbaring lemah, sampai saat ini putra bungsu majikannya itu belum sadarkan diri.

“Tuan Al, semoga Allah melindungi dan memberikan kesembuhan kepada Tuan,” gumam Mae pelan.

Madam lisa mengelus rambut assisten pribadinya itu, berusaha untuk menenangkan hatinya yang terus menerus menyalahkan diri atas apa yang sudah menimpa putranya.

“Mom … Al, siuman Mom!” ujar Daniel.

“Alhamdulillah,” seru Mae.

“Aku ke tempat Al, dulu ya Nak?!”

“Silahkan, Madam. Biarkan tirai pembatas ruangannya terbuka, Madam! Saya ingin melihat kondisi Tuan Al.”

“Baiklah, kalau memang itu maumu.”

Sumi membuka tirai penyekat, tampak Al yang sedang berbaring di ranjang pesakitan. Mae tak dapat menahan cucuran bulir bening di matanya, saat melihat kedua mata tuan mudanya itu ditutup rapat oleh kassa dan perban.

“Ya Allah, Tuan Al. Maafkan saya Tuan.”

Al yang mulai sadar, menangis saat jemarinya meraba matanya yang ditutup rapat.

“Mataku kenapa, Mom, Kak?”

Madam Lisa dan ketiga putra yang lainnya tidak dapat berkata apa-apa. Mereka hanya bisa terisak. Al yang merasa terpukul dan menyadari kondisinya seperti apa, langsung berteriak histeris. Melihat hal itu, tangis Mae kembali pecah.

Ia merasa bersalah sekali dengan apa yang diderita oleh anak majikannya itu, dalam hatinya ia bertekad akan melakukan apa saja agar tuan mudanya itu dapat melihat kembali.

Bahkan ia rela dan bersedia mendonorkan matanya, semua itu ia lakukan demi bisa melihat tuan mudanya sembuh seperti sedia kala.

BERSAMBUNG
Diubah oleh aniedatannisha 01-07-2021 15:53
ciptoroso
omruli
mutia4943
mutia4943 dan 32 lainnya memberi reputasi
33
Tutup