"Mas, Mas.. kamu melihat apa?" Ujarku panik.
"Awalnya Mas kira yang di tangga itu tali rapia berwarna hitam. Namun begitu didekati dan diperhatikan dari dekat ternyata itu seekor ular!"
"Haaaah, ular? Ada ular dalam rumah?" jeritku tertahan.
"Betul Ma! Saat itu ada ular di depan mata Mas! Awalnya diri ini sempat panik karena takut kalau ularnya menyerang. Namun ular itu tidak bergerak sama sekali. Dia seperti sedang menunggu sesuatu. Namun..huff.. terdengar suaranya menarik nafas.
'Tatapan matanya menyiratkan rasa amarah dan terlihat sangat menakutkan!" Serunya.
"Mas, saat ini kamu tidak sedang berhalusinasikan?" sindirku.
"Halusinasi dari mana? Nanti Mas kirim fotonya kalau kamu tidak percaya! ujarnya gusar.
"Ya Allah".. serunya tercekat.
"Kamu kenapa lagi? Kenapa tiba-tiba suaramu seperti itu?" Jantungku mulai berdebar kencang.
"Entahlah tiba-tiba tengkuk ini merinding, rasanya seperti ada sepasang mata yang sedang mengawasi gerak-gerik Mas saat ini. Padahal Mas lagi sendirian di rumah". Nada suaranya terdengar ketakutan.
"Ah, mungkin itu hanya perasaanmu saja kali", hiburku.
"Eh tapi bagaimana bisa ada ular dalam rumah ya? Apa ada jendela dan pintu yang terbuka?" Aku berusaha mengalihkan perhatiannya karena aku tau kalau Mas itu penakut.
"Entahlah Mas juga heran bagaimana caranya bisa masuk. Mas sudah periksa semua ruangan, jendela dan pintunya tertutup rapat."
"Praanng", terdengar suara benda pecah memecah keheningan.
"Mas.. Mas.. Kenapa ada suara benda yang pecah?" ujarku sambil berteriak.
"Maaf Ma, maaf! Mas tidak sengaja menyenggol gelas di atas meja sampai terjatuh. Nanti segera Mas bersihkan" suaranya penuh penyesalan.
"Ya sudah gapapa, cuma gelas ini. Kamu tidak terkena pecahannya kan?"
"Alhamdulillah pecahannya tidak mengenai Mas kok. Oiya, Ma jam berapa kamu pulang?" suaranya terdengar lembut.
"Aah, nada suara itu.. Suara yang penuh kelembutan, suara yang sangat ku rindukan".
"Ma.. Ma, kenapa tidak menjawab pertanyaan Mas?" suaranya menyadarkan lamunanku.
"Eh, ini sebentar lagi mau berangkat. Oiya, ularnya tadi di buang kemana?" tanyaku penasaran.
"Ularnya tadi di buang ke sungai dekat jembatan. Rasanya agak janggal saat menangkap ular itu. Ularnya tidak berusaha menyerang sama sekali. Jangan-jangan itu ular jadi-jadian!" gumamnya.
"Deg".. Ada desiran dalam hatiku. Benar juga ucapannya, bisa jadi itu bukan ular sembarangan. Namun segera ku tepiskan pikiran tersebut.
"Alhamdulillah kalau sudah dibuang, tolong di cek lagi seluruh ruangan ya takutnya masih ada ular yang tertinggal!"
"Iya Ma tadi semua ruangan sudah di cek satu persatu, Insya Allah sudah aman. Sudah dulu ya, Mas mau membersihkan pecahan gelas, takut nanti terinjak."
"Baik Mas, saya juga mau berangkat sekarang. Oh iya, jangan lupa tolong kirim foto ularnya ya?" pintaku penasaran.
"Assalamu'alaikum Mas".
"Wa'alaikumsalam, hati-hati di jalan. Jangan lupa berdoa." ujarnya mengingatkan.
Tiing, terdengar nada pesan di handphone. Ternyata itu foto ular yang dikirimkan oleh Mas. Ku amati gambarnya, ularnya berwarna hitam pekat dengan panjang kira-kira 50 cm.
"Hii, seram amat ularnya", bulu kudukku langsung berdirii ketika mengamati foto tersebut.
Diriku bergegas lari keluar kamar mencari tante.
"Ma.. Mama.. sini deh Ma, Ima mau cerita" seruku dengan nafas ngos-ngosan karena harus berlari menuju ke garasi.
"Ada apa sih sampai lari-larian begitu? Kalau Gendis terbangun gimana? Yang repotkan kamu juga!" Serunya sedikit kesal.
Sambil mengatur nafas, aku pun mulai bercerita."Ini loh ma barusan Mas nelepon, katanya dia menemukan ular berwarna hitam di tangga rumah." Sambil ku tunjukkan foto yang dikirim oleh Mas.
"Astagfirullahaladzim! Ko bisa ada ular di tangga? Perasaan dulu rumahmu sering di biarkan kosong selama bertahun-tahun tapi tidak pernah mama dengar ada ular masuk. Eh tapi suamimu tidak apa-apakan?" tanyanya panik.
"Alhamdulillah Mas tidak apa-apa ma. Ularnya juga sudah di buang ke sungai. Ima juga heran ko bisa ada ular yang masuk ke dalam rumah ya?"
"Sudah jangan berpikiran macam-macam, yang penting suamimu tidak kenapa-kenapa. Sekarang langsung kamu kabari Umi tentang kejadian ini dan kita segera berangkat ke rumahmu!"
Tanpa menunggu lebih lama lagi, saya segera mengirim pesan ke Umi.
"Assalamu'alaikum Umm. Tadi Mas memberi kabar kalau sudah di rumah. Anehnya mas menemukan ular hitam di tangga. Ima heran kenapa bisa ada ular bertepatan dengan jadwal ruqyah kita ya?" isi pesanku untuk Umi.
Tidak lama kemudian Umi membalas pesanku.
"Wa'alaikumsalam Mba. Itu namanya gangguan yang berusaha menakut-nakuti kita. Tolong jangan goyah dan jangan takut. Ba'da ashar kita tetap rugyah syar'i dede sesuai rencana."
"Baik Umm, Bismillah." balasku.
Sambil menggendong Gendis yang saat itu masih tertidur pulas, aku segera naik ke mobil.
"Bismillah semoga semuanya berjalan lancar" doaku dalam hati.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1.5 jam, akhirnya kami tiba di rumah. Tanteku meminta maaf karena tidak bisa mampir, beliau langsung pamit karena harus menjemput Dwi yang sebentar lagi pulang sekolah. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih karena sudah diantar pulang olehnya.
Grreeeg... Terdengat suara pintu pagar yang di dorong. Dan muncullah seraut wajah yang menjadi musuhku selama ini, wajah yang sangat aku benci!
Namun saat itu mataku menangkap keanehan. Ada sebuah senyuman yang tersungging di bibirnya, senyuman yang terlihat tulus.
Sambil berjalan memasuki rumah, aku mengamati perubahan sikapnya. Aku heran kenapa sikapnya tiba-tiba berubah menjadi manis kepadaku.
"Ma, tante mau kemana? Kenapa buru-buru pulang?" Ujarnya sambil membawa tasku masuk ke dalam rumah.
"Oiya lupa tadi mama minta maaf karena ga bisa mampir. Dia harus segera menjemput Dwi di sekolah."
"Oh, mau jemput Dwi" ujar Mas masih terus tersenyum.
"Tumben kamu senyum terus? Biasanya kamu cuek banget, ada apa?" Ketusku tanpa basa basi.
"Tidak apa-apa ko, emangnya Mas tidak boleh tersenyum? Mas kangen banget sama Gendis, dari tadi kepikiran terus". Ujarnya sambil mencium pipi Gendis yang saat itu mulai terbangun
"Terserah deh mau bilang apa, aku tidak peduli sama perubahan sikapmu, tidak penting juga bagiku!," gumam hati ini.
Kemudian ku tatap wajah Gendis. Saat itu matanya yang tajam tampak menjelajahi seluruh sudut ruangan. Sepertinya banyak sekali yang dia lihat, sesuatu tak kasat mata yang sedang berjalan merangkak diantara dinding rumah! Bola matanya berputar dan bergerak ke sana-kemari. Matanya mengikuti obyek tak terlihat yang sedang bergerak cepat dari dinding ke arah plafon ruang tamu. Bukan cuma satu, dua atau tiga! Tapi sepertinya mereka ada banyak!!
"Assalamu'alaikum". Terdengar suara Umi dari luar rumah.
Aku segera tersadar dan langsung mengalihkan pandangan ke pintu.
"Wa'alaikumsalam Umm."
Saat itu ku lihat Umi datang bersama sesosok pria yang usianya mungkin sekitar 40 an, wajah pria itu terlihat bersih dan adem.
Diriku segera menghampiri Umi dan ku cium tangannya. Umi tersenyum dan mengelus kepalaku yang saat itu mengenakan jilbab berwarna biru. Senyumnya terasa meneduhkan hati. Ku tatap wajahnya, wajah yang terlihat lembut namun tegas.
"Umm, Ima kangen banget", bisikku dalam hati seraya tersenyum.
Umi adalah guru sekaligus teman diskusi yang menyenangkan. Banyak ilmu parenting yang aku dapatkan darinya karena beliau memang lulusan psikologi. Ilmu parenting yang kelak akan ku terapkan dalam pola mengasuh Gendis.
Mas Dedi perkenalkan ini Pa ustad yang akan meruqyah dede. Namanya Pa ustad Ahmad." Ujar Umi.
Mas dan Pak ustad pun langsung bersalaman.
Setelah semuanya duduk di ruang tamu, diriku mulai menceritakan semua kejadian aneh yang menimpa kami. Termasuk tangisan dan jeritan Gendis yang selalu terjadi setiap tengah malam.
Pa ustad mendengarkan dengan seksama, kemudian berkata "Bismillah Bu semoga dengan di ruqyah syar'i, gangguannya akan berhenti. Akan tetapi tidak cukup dilakukan hanya sekali, ruqyah harus dilakukan secara berulang-ulang. Ibu juga harus melakukan ruqyah mandiri untuk anaknya. Karena Ibu lah yang selalu berada di dekatnya." Nasehat Pa Ustad sambil tersenyum ke arah Mas.
"Alhamdulillah saya mendengar lantunan murrotal di rumah ini, tolong jangan di putus juga tadarusnya. Kita sebagai manusia cuma bisa berusaha biar Allah yang menentukan hasilnya." Seraya matanya menatap Mas.
"Nanti bukan cuma anak Ibu yang di ruqyah akan tetapi rumah, Ibu dan Bapak juga harus ruqyah" ujarnya.
Untuk memulai proses ruqyah syar'i, diriku diwajibkan bersuci dan memakai mukena. Diriku juga diminta untuk terus beristighfar dalam hati selama proses ruqyah berlangsung. Pa ustad meminta Mas untuk menjagaku dari belakang. Untuk mengantisipasi diriku berontak kalau mengalami gangguan saat proses ruqyah berlangsung.
Akupun segera menitipkan Gendis ke Umi. "Yang anteng ya Ndis, mama mau rugyah dulu", bisikku.
Dengan posisi duduk dan terus beristighfar dalam hati, proses ruqyah pun dimulai. Mas pun mulai berjaga di belakangku, wajahnya terlihat tegang! Mungkin dia takut kalau aku nanti mengamuk. Pa ustad mulai melantunkan ayat-ayat suci Al'Quran, suaranya terdengar merdu dan sangat menyejukkan hati.
Awalnya diriku tidak bereaksi sama sekali. Yang aku rasakan hanya rasa tenang. Akan tetapi saat dibacakan surat tertentu (maaf saya lupa nama suratnya) ada beberapa ayat yang membuat dada kanan ini terasa nyeri.
Mula-mula rasa nyerinya terasa biasa saja namun lama kelamaan berubah menjadi nyeri yang sangat hebat. Expresi wajahku langsung berubah menahan rasa sakit. Namun tidak lama kemudian rasanya berangsur menghilang.
Proses meruqyah diriku pun selesai. Segera ku ambil Gendis dari gendongan Umi. Setelah itu langsung ku ceritakan apa yang tadi aku rasakan.
"Itu tandanya di diri Mba juga terkena gangguan tapi efeknya tidak terlalu parah. Tolong Mba Ima rutin melakukan ruqyah mandiri untuk membentengi diri Mba dan dede. Oiya Mba ini ada buku untuk Mba." Umi menyerahkan sebuah buku kepadaku.
Aku pun langsung merima buku pemberian dari Umi, ku amati sampulnya yang berwarna putih, ku baca judulnya "Ruqyah".
"Terima kasih ya Umm" ujarku.
"Sama-sama Mba, tolong di baca biar lebih paham tata cara ruqyah syar'i" jawabnya.
Aku menganggukkan kepalaku.
"Ayo Mas Dedi, sekarang giliran anda di ruqyah" seru Pa Ustad.
"Maaf Pak, saya tidak mau di ruqyah karena bagi saya tidak perlu" ujar Mas sambil menatap ke arah Pa ustad.
Mataku menatap ke arahnya penuh keheranan.
"Kenapa lagi ni orang, ko tiba-tiba berubah pikiran" gumamku dalam hati.
Pa ustad hanya tersenyum dan berkata " Ya sudah tidak apa-apa kalau Mas Dedi tidak mau di ruqyah, saya tidak akan memaksa".
Akhirnya tibalah giliran Gendis. Dengan posisi berdiri, aku serahkan Gendis ke pelukan Mas. Begitu sudah dalam dekapan Mas, dia langsung menangis dengan kencang, suara tangisan dan jeritan langsung memenuhi seluruh ruangan! Tubuh kecilnya meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari dekapan ayahnya.
Mas benar-benar kewalahan menghadapi amukan Gendis. Walau pun usianya saat itu masih tiga bulan, namun tenaganya sangat luar biasa.
Mas menyeka keringat di keningnya dengan tangan gemetar, dia benar-benar berusaha mengimbangi tenaga yang dikeluarkan oleh Gendis.
Wajahnya saat itu terlihat memerah. Matanya menatap iba ke arahku dan jari-jari mungilnya berusaha menggapai meminta pertolongan.
Aku yang merasa kasihan melihatnya, segera bangkit berdiri dan ingin menghampirinya. Namun Umi menahan langkahku.
"Tetap duduk Mba, biar Mas yang menggendong dede" bisik Umi.
"Maaf ya Ndis, tolong bersabar sebentar." Bisik hatiku sambil terus menatap ke arah Gendis yang semakin menjerit histeris.
Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an terdengar bersahut-sahutan dengan suara tangisan dan jeritannya. Terlihat jelas di mataku kalau Mas bermandikan peluh. Dia benar-benar kelelahan karena harus menghadapi Gendis yang terus berontak berusaha melepaskan diri.
Akhirnya proses meruqyah Gendis selesai, aku segera mengambilnya dari dekapan Mas. Segera ku gendong dia dan ku tenangkan dirinya.
Gendis langsung memelukku dengan erat, matanya terlihat sembab dan ketakutan. Segera ku seka air mata dan kotoran yang keluar dari hidungnya. Hati ini sungguh tidak tega melihat kondisinya seperti itu.
"Cup..Cup..Cup, tenang sayang. Ini mama, Gendis sekarang sudah sama Mama, jangan takut lagi ya nak" ujarku sambil terus menciumi pipinya yang basah terkena air mata. Tidak lama kemudian tangisannya perlahan-lahan mulai berhenti.
"Baru berasakan kamu gimana rasanya harus menenangkan Gendis? Baru gendong sebentar saja sudah tidak kuat, gimana seperti saya yang harus menggendongnya semalaman" cibir hati ini.
Sekarang tibalah proses ruqyah rumah, air yang sudah dibacakan surat-surat ruqyah dimasukkan ke botol dan disemprotkan ke seluruh ruangan oleh Pa Ustad sambil melantunkan surat-surat suci Al-Qur'an.
Alhamdulillah seluruh proses ruqyah sudah selesai dan kami bikin janji akan melakukan ruqyah dua minggu sekali. Umi dan Pa ustad pun segera pamit pulang karena hari sudah menjelang maghrib.
Aku menggenggam ke dua tanganku yang saat itu sedikit gemeteran. Diriku tiba-tiba di dera perasaan takut luar biasa. Aku menanti kejadian apa yang akan terjadi saat ini.
Alhamdulillah apa yang ku takutkan tidak terjadi. Semua mainan Gendis tampak anteng di tempatnya masing-masing.
Namun menjelang tengah malam tangisan Gendis mulai terdengar lagi. Tangisan yang penuh rasa ketakutan. Aku segera menggendong dan memeluknya sambil membacakan surat Al-Baqarah di telinganya. Namun tangisannya tetap tidak berhenti.
Jari-jari mungilnya mencengkram erat lengan bajuku. Bola matanya memandang ke langit-langit kamar, memancarkan ketakutan yang teramat sangat. Tubuhnya sedikit mengejang akibat jeritannya yang sangat kencang.
"Ya Allah, ada apa lagi ini? Apa yang puteriku lihat hingga sangat ketakutan?" Tak terasa air mataku jatuh ke pipi, hatiku sedih melihat kondisinya seperti itu.
Mas kemudian terjaga dari tidurnya dan menghampiri kami.
Diriku pun sudah bersiap untuk mendengar dan melawan semua ucapannya.
"Ndis sebentar lagi kita bakalan di usir ke ruang tamu nih" bisikku pelan.
"Sini Ma biar gantian Mas yang gendong Gendis, ujarnya pelan.
"Haaah, apa aku tidak salah dengar? Apa pendengaranku mulai bermasalah karena setiap hari selalu mendengar tangis dan jeritan Gendis?" batinku.
Namun saat itu terihat kesungguhan di matanya. Niatnya terlihat sangat tulus. Namun segera ku tolak tawarannya.
"Ngga usah, terima kasih! Aku sudah terbiasa seperti ini, dari dia baru lahir sampai sekarang usianya tiga bulan" ketusku dengan tatapan sinis.
Mas hanya terdiam sambil menatapku dengan tatapannya yang sendu, tak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirnya kala itu.
"Apa dia mulai menyadari kesalahannya selama ini? Syukurlah kalau dia akhirnya menyadari semua kesalahannya."
Malam itu Mas ikut terjaga menemani diriku yang terus menenangkan Gendis sampai subuh.
Beberapa kali aku melirik ke arahnya. Melihat dia berusaha menahan rasa kantuk yang sangat mendera. Ku lihat kepalanya hampir terjatuh karena ketiduran dengan posisi duduk di pinggir ranjang. Aku sempat tersenyum melihatnya, di mataku terlihat lucu. "Lumayan ada hiburan" ujarku dalam hati.
"Terima kasih ya sudah mau menemani aku begadang", tatapku melihat wajahnya yang saat itu sudah tertidur pulas di kasur.
Gendis pun mulai terlelap dalam pelukanku, dirinya lelah karena harus menangis semalaman.
Ku cium kening dan pipinya sambil berkata "Sabar ya Ndis, mama minta kamu bertahan dan kuat dengan ujian ini. Sesuai janji mama, kita akan berjuang bersama-sama." Sambil ku letakkan tubuh mungilnya di atas kasur.
Setelah menunaikan shalat subuh, akupun mulai tertidur di samping Gendis.
Pagi harinya Mas mengajak aku untuk menjemur Gendis di depan rumah. Saat lagi asik berjemur tiba-tiba Mbah Imam (tetangga depan rumah) datang menghampiri kami.
"Saya dengerin tiap malam ni anak nangis terus? Kencang banget suara tangisannya sampai kedengaran ke rumah saya dan rumah Pak Kis" ujar Mbah.
Aku yang mendengar ucapannya benar-benar terkejut. Tangisannya terdengar sampai rumah Pak Kis? Rumah kami dan Pak Kis berjarak kurang lebih enam rumah. Berarti tangisannya luar biasa kencang dan mengganggu tetangga setiap malam.
"Maaf ya Mbah kalau keberisikan sama tangisan Gendis" sahut Mas.
"Ya tidak apa-apa Mas Dedi, namanya juga anak bayi. Cuma ini anak kenapa beda ya? Saya perhatikan kuat banget nangisnya. Saya malah merasa kasihan sama anak sampeyan. Awalnya saya pikir tangisannya karena perkenalan dari penunggu rumah. Lah ini setiap hari malah selalu menangis."
Kamipun hanya tersenyum mendengar ucapannya.
" Penunggu"? "Emang Mbah bisa melihat mereka?" ujarku penasaran.
"Ndak Mba, saya tidak bisa melihat mereka, cuma waktu Mba dan Mas di Kalimantan, rumah ini kan sempat kosong lama. Kalau pas tengah malam saya lagi duduk di sini, saya lihat dalam rumah sampeyan itu ramai banget. Banyak bayangan yang mondar-mandir, seperti ada pesta. Kadang terdengar suara meja dan kursi di dorong, serta terdengar benda terjatuh." Serunya sambil menatap ke arah rumah kami.
"Bukan saya saja yang bisa mendengarnya tapi keluarga Mbah Kirana yang rumahnya tepat di sebelah sampeyan juga suka dengar. Kalau tidak percaya sama ucapan saya, silahkan tanya ke beliau". Sambil pamit dan berlalu dari hadapan kami.
Saya langsung menatap ke arah Mas berusaha meminta jawabannya. Namun dia hanya terdiam, mungkin otaknya lagi berpikir keras mencari jawaban yang logis setelah mendengar cerita tadi.
"Mungkin ini yang bikin Gendis nangis terus". Padahal dulu waktu kami di Kalimantan, Mas membayar orang untuk merawat rumah ini. Dan ketika mulai ku tempati, diriku mengadakan pengajian (slametan) dengan para tetangga. Aku juga sering berada di rumah sendirian, alhamdulillah aman-aman saja. Tidak pernah ada kejadian aneh yang menimpaku. Berbagai pertanyaan berkecamuk di hati.
Keningku berkerenyit memikirkan kenapa mereka hanya mengganggu Gendis? Bayi tetangga bahkan bayi saudara yang suka bertandang ke rumah tidak pernah menangis, semua anteng-anteng saja.
Akan tetapi semakin dipikirkan malah membuat kepalaku berdenyut kesakitan!
"Sudah jangan terlalu dipikirkan nanti kamu malah semakin takut", ujar Mas.
Saat itu pintu rumah Mbah Kirana terbuka, beliau keluar hendak menyapu halaman. Aku tersenyum ke arahnya dan beliau langsung menghampiri kami.
"Nah gini dong anteng, jangan nagis mulu tiap hari!" Masih bayi korewel banget!" ujarnya tanpa tendeng aling.
Diriku tersinggung mendengar ucapannya. Ingin ku lawan, namun segera ku urungkan niatku. Aku malah bertanya tentang kebenaran cerita Mbah Imam.
"Lah iya, bener itu kata Mbah Imam! Rumah sampean dari dulu sampai sekarang emang angker! Masa kalian ngga merasakannya?"
Kami hanya menggelengkan kepala.
"Nih ta ceritain tapi kalian jangan sampai takut! Dari rumah kalian setiap malam selalu terdengar suara tembok di cakar-cakar. Suaranya sampai bikin kuping ngilu! Bukan cuma Mbah yang dengar tapi semua keluarga Mbah juga mendengar suara cakaran itu setiap malam". Ujarnya penuh antusias.
"Kalau bisa segera cari orang pintar untuk mengusir setan yang menempati rumah kalian. Biar rumah kalian nggak angker lagi. Yo weislah, Mbah mau menyapu dulu," pamitnya.
"Baik Mbah, terima kasih untuk sarannya", jawab Mas sambil tersenyum.
Ya Allah, sebenarnya apa yang sedang kami hadapi saat ini?
Bersambung