Penglihatan ini masih sangat jelas dan diriku dalam keadaan sadar ketika melihat kepala boneka barbie itu perlahan-lahan mulai bergerak menengok dan menyeringai ke arahku!!! Mata boneka itu menatap tajam ke mataku yang saat itu tepat berada di samping Gendis.
Senyuman boneka barbie yang biasanya terlihat sangat menawan perlahan-lahan berubah menjadi seperti seringai, di mata ini senyumnya sekarang berubah menjadi sangat menyeramkan dan menakutkan! Bulu kuduk terasa mulai merinding, debaran jantung mulai berpacu cepat dan tengkuk mulai terasa amat dingin, padahal cuaca saat itu sedang panas-panasnya.
Herannya Gendis tidak menangis tapi malah asik mengoceh sambil tersenyum, namun entah dengan siapa. Aku yang panik dan dilanda ketakutan tanpa berpikir panjang langsung mengambil boneka barbie yang sedang terduduk dan membawanya ke luar rumah. Sambil membaca " Bismillah " segera ku lempar boneka itu ke dalam tempat sampah.
Di dalam rumah, aku hanya terdiam sambil memikirkan peristiwa ganjil yang baru saja terjadi persis di depan mataku. Kejadian tadi benar-benar merupakan shock therapy yang menakutkan! Segera ku ambil air putih dan meminumnya agar hati ini menjadi sedikit lebih tenang.
Kalau tidak ingat Gendis saat itu mungkin aku sudah menangis dan berteriak sekencang-kencangnya. "Kenapa gangguan ini semakin hari semakin bertambah parah, ada apa ini?" tanyaku dalam hati.
Di kepala ini berkecamuk berbagai macam pertanyaan. Bagaimana mungkin kepala boneka bisa berputar sendiri? Siapa yang menggerakkannya? Kenapa kehadiran Gendis seperti magnet bagi mereka? Logika ini berusaha berpikir keras tapi tetap saja tidak bisa menemukan jawabannya, otak ini seketika menjadi buntu.
Alhamdulillah saat itu Gendis tetap anteng, sempat dia menangis kencang, aku bisa semakin panik dan bingung! Sempat terlintas ingin menghubungi mas Dedi namun ku urungkan niatku tersebut.
Daripada semakin dikatain gila lebih baik segala sesuatunua di pendam sendiri. Saat itu aku berusaha untuk tidak menangis, berusaha menahannya dengan sekuat tenaga walau sebenarnya aku sangat dilanda ketakutan."Ya Allah kenapa ada ujian seperti ini? Apa rencanaMu untuk hamba dan puteriku?"
Seandainya Ibuku masih hidup tentu aku tidak akan pernah merasa sendirian seperti sekarang ini. Tubuhku bisa memeluk Ibu, aku bisa berbagi tentang peristiwa ganjil yang selalu ku alami dan pastinya Ibu akan mendengarkannya dengan senang hati tanpa menjudge bahwa aku ini halu atau gila. Ibu akan mempercayai semua ucapanku dan beliau akan memberikan saran yang bisa menenangkan hati ini. "I wish u're here mom.."
Ada rasa sedih karena harus membuang boneka barbie itu. Boneka itu merupakan boneka kesayanganku yang dibelikan oleh Ibu saat aku berusia enam tahun. Boneka barbie dengan wajah oriental dan senyum tipis yang tersungging di bibirnya yang mungil, serta gaun pengantin berwarna putih yang menyempurnakan penampilannya. Boneka itu terlihat sangat cantik dan sempurna. Kemanapun aku pergi, boneka itu selalu dibawa. Sekarang nasib boneka kesayangan itu harus berakhir di tempat sampah. "Maafin Ima ya Bu karena sudah membuang boneka pemberian Ibu, Ima takut Bu.. Takut banget saat melihat kepalanya yang bisa bergerak sendiri."
Fyi semenjak kepulangan Gendis ke rumah, aku paling takut ke arah tangga, dapur dan kamar mandi. Hawanya sangat tidak enak, rasanya sangat berbeda. Aku selalu berusaha untuk tidak berlama-lama di ke tiga tempat tersebut. Apalagi di kamar mandi, setiap membawa Gendis ke tempat itu, matanya selalu menatap ke atas plafon dan bola mata serta kepalanya selalu bergerak-gerak ke kanan dan kiri seperti melihat sesuatu yang sedang terbang.
Sore itu sepulang mas dari kantor, ia berkata kalau ia mendapat tugas dari kantornya untuk dinas ke luar kota. Entah hati ini harus merasa senang atau sedih mendengar berita tersebut, karena doa yang ku ucapkan tadi pagi terkabul.
"Ma biar kamu bisa istirahat, malam ini kita menginap di rumah tante kamu saja. Biar disana kamu bisa tidur dan ada yang jagain Gendis. Tolong kamu telepon Mba Ani, beritahu dia untuk selalu membersihkan rumah kita dan kasih tau dimana tempat kunci kamu simpan. Besok pagi biar mas berangkat ke bandara dari sana saja" ujarnya.
Aku menatap ke arahnya dan terdiam. Rasanya bibir ini ingin menceritakan peristowa yang terjadi tadi siang tapi ku urungkan niat tersebut, dari pada jawaban yang terlontar dari mulut Mas malah membuat hati ini semakin bertambah sakit!
Akhirnya aku segera menelpon Mba Ani, memberitahukan bahwa aku akan pergi menginap beberapa hari ddan meminta tolong dia untuk selalu membersihkan rumah. Setelah itu aku segera packing dan mempersiapkan semua keperluan yang harus dibawa. Hati ini menjerit kegirangan Akhirnya aku bisa keluar dari rumah ini! Sore itu juga kami berangkat ke rumah tante yang berada di Jakarta. Semoga saja di sana Gendis bisa anteng tanpa ada kejadian aneh yang menghantuinya batinku.
Sesampainya di sana, Gendis langsung disambut oleh keluargaku dan langsung digendong oleh tante. Fyi aku memanggil tante dengan sebutan mama karena beliau banyak membantu biaya pendidikanku semasa kuliah, jadi aku menganggap beliau sebagai Ibu ke dua.
Tante menatap mukaku dengan keheranan "Wajahmu kok kuyu banget sih? Tidak segar dan tidak terawat seperti dulu! Itu bawah mata juga kenapa bisa hitam banget sih?" cetusnya sambil terus mengamati wajahku.
Aku segera merebahkan tubuhku yang terasa letih di atas sofa. Sambil menghela nafas, bibir ini tetap terdiam, aku lagi malas berbicara. Saat itu aku hanya ingin beristirahat dan bisa memejamkan mata walau hanya sebentar.
Tiba-tiba terdengar suara Mas berkata " Ya begitu tan, kasihan Ima kurang istirahat karena terus menemani Gendis. Gendis ini kuat melek, susah banget tidurnya."
Aku langsung membuka mata begitu mendengar ucapannya. Ku tatap wajah Mas dengan penuh kebencian. Rasanya saat itu aku ingin berteriak dan membentaknya sambil berkata "Sok tahu kamu, memangnya kamu tahu apa tentang Gendis, memangnya kamu peduli dengan apa yang selama ini kami alami?" gerutuku dalam hati.
"Oiya tan, besok Dedi harus tugas ke luar kota jadi Dedi titip Ima dan Gendis ya. Biarkan mereka disini, biar Ima bisa beristirahat juga", ujarnya lagi.
"Ngapain ijin begitu? Ini juga rumah Gendis, Gendis bisa datang setiap saat", tiba-tiba suami tante keluar kamar dan menyahuti perkataan suami ku. Akhirnya om mengajak Mas untuk mengobrol di teras.
Sedangkan tante dan anaknya sedari tadi asik bermain dengan Gendis di ruang tamu. Mereka menyukai Gendis karena Gendis sangat lucu dan menggemaskan. Celotehan Ndis yang belum jelas terdengar di ruang tamu, diiringi gelak tawa Dwi ( sepupuku).
Di saat mata ini lagi asik memperhatikan tingkah laku mereka yang sedang bercanda , tiba-tiba Dwi berkata " Mba, Mba kenapa ngkga tinggal disini aja sama Gendis? Biar aku ada temennya. Aku suka banget sama Gendis, Gendis gendut banget Mba, lucu kaya boneka. Kalau ada Mba dan Gendis, aku kan jadi punya teman" serunya kegirangan.
Aku hanya menyahuti ucapannya dengan wajah datar "Kalau rumah Mba tidak Mba tempati sayang Wi, nanti rumahnya bisa rusak". Padahal saat itu hati ini berkata "Kamu belum tau apa yang akan terjadi kalau Gendis tinggal terlalu lama di sini. Rumah juga bisa semakin angker kalau dibiarkan kosong terlalu lama, bakalan semakin banyak yang berdatangan dan tinggal di sana".
Di tengah lamunan, tiba-tiba tante berkata "Ima kok mama takut ya melihat tatapan mata anakmu? matanya serem banget kalau lagi menatap mama, mata anakmu ini tajam banget."
Kemudian Dwi tertawa "Gendis tau kali kalau neneknya galak, makanya dia menatap Ibu seperti itu" seloroh Dwi sambil terus tertawa dan menciumi tangan putriku.
Aku hanya terdiam dan tidak menjawab pertanyaan mereka. Harus ku akui kalau tatapan mata Gendis sangat tajam dan berbeda dengan tatapan bayi lainnya yang terlihat polos.
Huuff.. Aku menarik nafas, apa yang sedang ku pikirkan? Gendis sama kok seperti bayi lainnya, cuma memang dia selalu menangis setiap saat . Akhirnya di tengah canda tawa mereka, aku berdoa di dalam hati "Ndis semoga malam ini kita bisa tidur nyenyak ya, mama cape pengen istirahat. Mama yakin Gendis pasti juga mau istirahat.
Namun ternyata saat itu Allah belum mau mengabulkan doaku. Sepertinya mereka selalu mengikuti kemanapun Gendis pergi. Yup tepat pukul 23, Gendis yang tadinya sedang tertidur lelap mulai rewel lagi, dirinya gelisah. Tangisan yang awalnya terdengar pelan semakin lama semakin kencang. Aku langsung menggendong dan membawanya ke ruang tamu karena tidak mau mengganggu Mas yang lagi tertidur pulas.
Mungkin karena mendengar suara tangisan Gendis, tante terbangun dari tidurnya. Dan tidak lama kemudian beliau keluar dari kamarnya dan berjalan menghampiriku. Beliau bertanya "Ada apa ini? Kenapa Gendis menangis sekencang itu? Kenapa Ima menggendong Gendis sendirian? Mana suamimu? Kenapa dia tidak menemani kamu dan Gendis?" semua pertanyaan itu terlontar dari bibirnya yang tipis.
Aku hanya bisa menghela nafas dan akhirnya malam itu ku ceritakan semua sikap Mas kepadaki dan Gendis serta kejadian-kejadian aneh yang selama ini ku alami. Terserah tante mau bilang apa yang penting hati ini lega karena sudah mengeluarkan semua uneg-uneg di hati.
Mama Dwi mendengarkan ceritaku dengan seksama sambil mengambil Gendis dari gendonganku yang mulai kelelahan. Akhirnya aku terduduk di sofa dan mulai menangis pelan "Ma, Ima nggak kuat.. Ima cape, Ima mau menyerah".
"Istighfar Ima.. Istighfar.. Kamu harus kuat demi anak kamu, ini anak yang kamu tunggu-tunggu selama 10 tahun! Kamu tidak boleh menyerah begitu saja, kamu itu Ibunya! Kasihan Gendis kalau kamu menyerah, dia itu butuh kamu! Kamu harus tetap samangat demi Gendis, anak ini tidak punya salah apa-apa. Ini semua ujian dari Allah untuk kamu, ujian yang luar biasa. Perkuat iman dan ibadah kamu, kamu harus bisa melawan mereka" ujarnya sambil menatap iba ke arahku.
Tangisan ini kemudian terhenti, sambil terisak pelan ku tatap wajah Gendis dalam gendongan tante. Aku tatap wajah polosnya yang saat itu masih terus menangis. Mungkin benar ucapan tante bahwa diriku harus berani melawan mereka, aku tidak boleh kalah! Apa yang ku alami mungkin tidak sebanding dengan yang Gendis lihat dan rasakan. Ujian ini hanya baru awal permulaan karena aku tidak tahu ke depannya akan ada ujian apa lagi yang sudah menunggu aku dan Gendis.
"Bismillah.." Semangatku mulai muncul kembali , semangat yang sempat hilang. Aku yakin Allah akan melindungi aku dan Gendis. Allah tidak akan menguji Hamba-Nya di luar batas kemampuannya.
Saat itu juga terbayang wajah Ibu yang sedang tersenyum dan berkata "Masa jagoan cengeng? Jagoannya Ibu tidak boleh cengeng, jagoannya Ibu harus kuat, Ibu percaya kalau Ima kuat !"
"Gendis... Kita berjuang bersama-sama ya nak melewati semua ujian ini. Mama akan selalu di samping kamu, mama tidak akan pernah membiarkan Gendis melewati ujian ini sendirian, tolong maafin mama yang hampir menyerah ini ya nak", bisikku dalam hati.
Malam itu akhirnya aku tertidur di sofa ruang tamu diringi dengan jerit tangis Gendis yang masih dalam gendongan tante ."Maafin mama ya Ndis, malam ini mama tidak bisa menggendong dan menenangkan kamu, mama cuma ingin tidur walau hanya sekejap". Akhirnya aku segera terlelap ke alam mimpi.
Aku terbangun ketika adzan subuh berkumandang. "Alhamdulillah" ucap bibir ini karena akhirnya aku bisa merasakan yang namanya tidur lagi. Segera ku bergegas mencari Gendis yang ternyata sedang terlelap di kamar tante. Ku pandangi wajahnya yang sedang tertidur, kamu cantik sekali anakku, kalau sudah besar jadilah seorang gadis yang pemberani , ucapku dalam hati sambil ku kecup dengan lembut keningnya.
Setelah itu aku bergegas menunaikan kewajiban shalat dan langsung membantu menyiapkan semua keperluan Mas. Pagi itu suamiku berangkat ke bandara dengan naik taxi dan aku hanya mengantar kepergiannya sampai di depan pintu pagar.
Kemudian aku masuk ke rumah dan mulai sarapan, rasanya hati ini bahagia sekali bisa tidur walau hanya sebentar. Aku mengucapkan terima kasih ke tante karena semalam mau menggantikanku menggendong Gendis. "Ma, Gendis mulai anteng dari jam berapa?"
"Lumayan lama juga mama harus menggendong Gendis, sampai pegal bahu mama. Gendis mulai anteng sekitar jam 3 an. Itu anak apa tidak merasa cape ya harus menangis selama itu?" ujar tante keheranan.
Sambil mengunyah roti aku hanya tersenyum simp dan berkata "Ya begitulah ma yang Ima rasakan setiap malam. Kasihan kalau melihat Gendis harus menangis setiap malam sampai menjelang subuh, hati ini tidak tega tapi Ima juga bingung apa yang harus Ima lakukan? Paling Ima cuma bisa menggendong sambil memeluknya", ujarku sambil menerawang rutinitas yang biasa kami lakukan setiap malam.
Setelah sarapan, aku menggendong Gendis berjemur di halaman luar rumah. Rasanya pancaran sinar matahari terasa hangat di tubuh. Ku hirup udara pagi yang terasa sangat segar dan aku hembuskan perlahan-lahan sambil memejamkan mata ini. Tidak terasa muncul senyum di bibir saya, senyum yang sudah lama hilang. "Ya Allah.. Bagaimana bisa saya lupa kalau hidup ini begitu indah? Terima kasih atas semua karuniaMu Ya Rabb ."
Sambil menggendong Gendis, ku ciumi terus pipinya yang tembem. "Ndis seandainya hidup kita tenang tanpa adanya gangguan, mama dan Gendis pasti bahagia banget ya" ujarku dalam hati.
Tiba-tiba berhenti sebuah mobil sedan berwarna silver dan dari dalam kendaraan turun sesosok pria yang sudah berumur. Lelaki itu memakai kaca mata dan membawa tongkat, tidak lama kemudian turun supirnya dan ia tersenyum ke arahku.
Bapak tua itu berhenti di hadapanku dan Gendis, beliau menatap lama ke arah kami. Aku yang merasa risih dengan tatapannya, kemudian menatap balik dengan sinis."Ngapain sih ni orang natap saya dan Gendis sampai begitu amat, apa ada yang aneh di diriku dan Gendis?" Batinku.
Tidak lama kemudian Bapak tua itu dan supirnya berlalu dari hadapanku dan masuk ke dalam rumah tepat di sebelah kanan kediaman tante. "Ooh.. rumahnya disitu toh, tetangganya mama" gumamku dalam hati. Cukup lama kuamati rumah bercat putih di hadapanku. Kediaman yang cukup besar tapi sangatlah tertutup terlihat sedikit menyeramkan karena ada sebuah pohon mangga yang sangat besar berdiri kokoh di halamannya .
Akhirnya aku segera masuk ke dalam rumah dan mencari tante. Ternyata mama Dwi sedang asik menonton tv, "Ma tadi ada Bapak tua pakai kaca mata dan bawa tongkat sama supirnya masuknya ke rumah sebelah, itu siapa ma? Tadi dia ngeliatin Ima dan Gendis terus, aneh banget orangnya" tanyaku penuh curiga.
Sambil terus menonton sinetron, mama Dwi berkata "Ooh itu Pak S, tetangga baru mama. Orangnya baik tapi jarang bicara dan keluar rumah kalau tidak ada yang jemput. Kata istrinya sih profesi Pak S itu paranormal. Mama perhatiin kliennya sangat banyak, sering banget Pak S dijemput sama mobil-mobil mewah. Mungkin kliennya itu orang penting semua."
"Hmm.. Namanya Pak S toh", gumamku dan ternyata beliau paranormal. Ternyata itu adalah awal mula pertemuan Gendis dengan Pak S. Seseorang yang nantinya bisa memahami Gendis dan menyayangi putriku seperti cucunya sendiri.
Sore itu tante memanggil tukang urut, katanya biar badanku relax dan segar. Sehabis di urut, aku langsung ketiduran dan baru terbangun saat menjelang maghrib. Aky terbangun karena mendengar tangisan Gendis dari arah ruang tamu. Sebenarnya tubuh ini malas bangun, tubuh ini masih ingin berisitrahat tapi kasihan Gendis, mungkin dia kecarian mamanya.
Akhirnya aku memaksakan diri bergegas ke ruang tamu. Ternyata disana tante tidak sendirian, ada temannya yang sedang berkunjung. Aku tersenyum ke arah wanita berkerudung putih dan langsung mengambil Gendis dari gendongan mama Dwi.
Tiba-tiba temannya tante menyeletuk "Mba kasihan banget itu anaknya dari tadi menangis terus, sudah sekitar tiga puluh menitan loh. Sudah digendong, dikasih susu tapi tangisannya tidak juga berhenti".
Aku hanya tersenyum sambil menatap wajah anakku "Waa.. Gendis kangen mama ya? Kangen digendong sama mama?" Sambil permisi dan berlalu dari hadapan mereka, ku bawa Gendis masuk ke kamar. Semakin lama tangisan Gendis bukan semakin pelan tapi semakin bertambah kencang. Tangisanmya baru berhenti ketika adzan isya berkumandang.
Tiba-tiba ada notifikasi pesan masuk di handphone, ketika ku lihat itu pesan dari Umi. Beliau adalah guru bekam sekaligus guru liqo. Segera ku baca pesannya "Assalamu'alaikum Mba, bagimana kabar Mba dan Dede? Sehatkan?"
Sudah lama juga aku tidak bertemu Umi. Semenjak Gendis lahir, aku memang tidak punya waktu untuk berbekam lagi. Segera ku balas pesannya "Alhamdulillah Umm, Ima dan Ndis sehat. Ima lagi di Jakarta di rumah tante. Umi sehatkaj? Ima kangen dibekam Umi lagi". Tiba-tiba hati ini ingin menceritakan semua keluh kesahku ke Umi. Akhirnya aku memberanikan diri menghubungi beliau dna menceritan rentetan peristiwa aneh yang dialami anakku.
Setelah Umi mendengarkan semua ceritaku, ia berkata "Mba sepertinya ada yang tidak beres sama Dede. Dede harus di ruqyah syar'i . Nanti saya hubungi dulu Pak ustadnya, kalau bisa ruqyahnya tunggu saat suami Mba sudah di rumah ya. Tolong kabari saya kalau suami Mba sudah pulang".
Setelah percakapan via telephone dengan Umi, akhirnya aku segera mengirim pesan ke Mas. Nenanyakan kapan ia akan pulang? Ternyata suamiku berkata jika dalam waktu empat harri, ia akan segera pulang ke rumah. Aku cerita ke Mas kalau ingin melakukan ruqyah syar'i untuk Gendis dan rumah. Ku ceritakan juga semua percakapanku dan Umi. Alhamdulillah Mas menerima ide itu, katanya biar hatiku senang dan tidak berpikiran negatif terus.
Dengan hari gembira, aku segera mengabari Umi kalau dalam waktu empat hari lagi suamiki akan kembali ke Jakarta. Dan Umi akan segera mengatur jadwal ruqyah syar'i untuk Gendis. Aku ingat betul kapan pertama kali putriku di ruqyah syar'i. Hari Jum'at , ba'da ashar.. Itulah kesepakatan kami.
Aku berharap dengan ruqyah syar'i akan memberikan hasil yang baik untuk Gendis dan bisa membuat suasana di rumah tidak menakutkan lagi. Saat yang ditunggupun tiba, hari Jum'at siang, mas dari bandara segera menuju ke rumah. Katanya ia mau mengecek apakah rumah sudah dirapikan oleh Mba Ani atau belum.
Saat aku sedang berada di kamar dan bersiap pulang ke rumah diantar oleh tante, tiba-tiba handphone ku berbunyi. Ku lihat di layarnya tertera nama suamiku.
Segera ku angkat teleponnya dan terdengar suara Mas "Assalamu'alaikum Ma. " ucapnya lembut.
"Wa'alaikumsalam Mas. Mas sudah sampai di rumahkah?"
Dengan suara sedikit gemetar ia menjawab" Alhamdulillah sudah Ma. Mas sudah di rumah."
Aku menangkap seperti ada nada ketakutan di suaranya. Akhirnya aku memberanikan diri bertanya "Mas, suaranya kenapa kaya orang ketakutan begitu? Ada apa Mas? Mas tidak apa-apa kan?" seruku panik.
Terdengar tarikan nafas Mas dari seberang sana "Ma.. Mas mau cerita sesuatu tapi janji, Ima jangan takut ya."
"Tadi pas mau ke lantai atas, tiba-tiba sudut mata Mas menangkap sesuatu, Astagfirullah!" Serunya penuh ketakutan!