dwindrawatiAvatar border
TS
dwindrawati
OLEH-OLEH PERJALANAN DINAS SUAMIKU
Part 1

"Blugh!"

Mas Raka menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Aku yang berdiri di depan pintu kamar sambil menggeret koper sisa perjalanan dinasnya, hanya menggeleng-gelengkan kepala.

"Pulang-pulang langsung 'ngebo', Mas?" ucapku sambil melangkah masuk.

"Mas capek banget, Sayang ...," keluhnya dengan suara serak.

"Ya sudah tidur aja dulu. Istirahat, biar nanti bisa ... ehem-ehem."

Aku mengerlingkan mata padanya. Setelah seminggu berpisah karena Mas Raka harus pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan, tentunya aku sangat merindukannya.

"Iya. Nanti malam, ya." Mas Raka berkata sembari melempar senyum. Mengerti akan kode yang kuberikan padanya tadi. Setelahnya, ia pun lantas tertidur.

Semula aku hendak langsung mandi karena hari sudah hampir sore. Tapi kuputuskan untuk membongkar koper Mas Raka dulu, mengeluarkan pakaian-pakaian kotor yang akan kuberikan pada Mbak Yah, asisten rumah tangga kami.

Setelah memutar kombinasi angka, koper pun langsung terbuka. Aku kemudian langsung memilah-milah pakaian bersih dan kotornya yang sudah ia packing terpisah dalam beberapa travel pouch.

Namun gerakan tanganku langsung terhenti, saat mataku menangkap sesuatu yang terselip di antara travel pouch tersebut. Sesuatu yang membuat darah dalam tubuh ini berdesir aneh.

Kutarik pelan berupa kain tipis berenda warna merah tersebut.

Astaghfirullah. Celana dalam wanita?

Kenapa bisa ada dalam koper Mas Raka? Benda ini tidak mungkin oleh-oleh yang dibawakan Mas Raka untukku, karena jelas bukan barang baru.

Label brand di bagian belakangnya sudah pudar, kentara kalau sudah sering di cuci-kering-pakai oleh pemiliknya.

Apakah ada teman Mas Raka yang iseng memasukkannya di sini?

Kutepis dugaan tersebut. Mana mungkin ada teman lelaki yang iseng dengan cara seperti ini, kecuali ... teman dinas Mas Raka adalah seorang perempuan.

Aku terhenyak oleh pikiranku sendiri. Apa sebenarnya yang telah terjadi pada suamiku?

Kutoleh ke arah tempat tidur. Di mana Mas Raka masih tampak pulas di sana. Terlihat sangat kelelahan, hingga dengkurannya terdengar begitu keras memenuhi kamar.

Apa sebenarnya yang sudah kamu lakukan sampai begitu kelelahan, Mas?

Aku menghela napas dalam, mencoba menenangkan pikiran, serta meredam gemuruh dalam dada. Aku harus tetap tenang dan tak boleh bertindak gegabah.

Kususun kembali benda-benda ke dalam koper Mas Raka. Termasuk celana dalam berenda warna merah tadi, meski aku harus memegangnya dengan perasaan jijik.

Kututup lagi koper, seolah aku tak pernah membongkar dan menyentuh isinya supaya Mas Raka tak curiga.

Aku terdiam sejenak. Memikirkan langkah apa yang harus kuambil setelah ini. Dan seolah langsung diberi petunjuk, mendadak aku tahu apa yang harus segera kulakukan.

Tujuanku sekarang adalah ponsel Mas Raka. Pada benda pipih berteknologi canggih itu, tentu tersimpan lebih banyak rahasia lagi di dalamnya.

Rahasia yang ingin segera aku kuak supaya aku tak terus menerus dibodohi oleh suamiku. Feelingku sebagai istri, mendorongku untuk segera merazia ponsel Mas Raka.

***




Quote:


Quote:
Diubah oleh dwindrawati 29-05-2021 12:18
redrices
khuman
c4punk1950...
c4punk1950... dan 21 lainnya memberi reputasi
14
23.3K
101
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
dwindrawatiAvatar border
TS
dwindrawati
#42
Part 13
Pagi hari. Aku terbangun dengan kepala yang terasa sedikit pening. Mungkin karena aku kurang tidur semalam.

Bohong saja kalau kubilang bahwa aku bisa tidur nyenyak semalam. Siapa pun yang berada dalam posisiku saat ini, juga pasti merasakan hal yang sama denganku.

Marah, gelisah, sedih, kecewa, semua melebur jadi satu dalam pikiran. Jika ditanya apakah aku menangis? Maka jawabanku adalah tidak.

Tak setetes pun airmata yang kutumpahkan meski nyeri begitu terasa di dalam sini. Tangisku terlalu berharga untuk seorang pecundang seperti Mas Raka.

Bicara soal Kayla, putri semata wayangku, tak ada seorang pun ibu di dunia ini yang mau anaknya bersedih. Termasuk aku. Perceraianku dengan Mas Raka mungkin akan menggores luka pada jiwa kanak-kanak Kayla.

Tapi aku yakin, seiring waktu berjalan, luka batin itu akan sembuh. Kami akan menyembuhkan diri bersama dari pahitnya luka pengkhianatan Mas Raka.

Kayla-ku akan tumbuh menjadi anak cerdas, berbudi pekerti, serta menjunjung tinggi martabatnya sebagai wanita. Seperti itulah aku akan mengajarkannya nanti.

"Sudah bangun, La?"

Pintu kamar terbuka, dan wajah ibu menyembul dari baliknya.

"Sudah, Bu," jawabku seraya menurunkan kaki ke lantai.

Ada perasaan asing yang menyelinap ketika aku menyadari ini bukanlah kamar yang selama empat tahun terakhir menjadi peraduanku. Kamar yang selama ini kutempati bersama Mas Raka.

"Kayla sudah bangun, Bu?" tanyaku serak.

"Sudah, lagi dibuatin sarapan sama si Mbak," jawab ibu.

Aku mendesah lega. Setidaknya aku masih bersama orang-orang terbaik yang bisa kuandalkan dalam menjaga buah hatiku.

"Mala mandi dulu, Bu."

"Kamu ngantor?" tanya ibu.

Aku tersenyum, kemudian berkata, "tentu saja, Bu. Mulai sekarang dan seterusnya, Mala harus menjadi seorang single parents untuk Kayla."

Mata ibu tiba-tiba dipenuhi gumpalan kaca. Ia menatapku sendu, dan jujur aku tak suka. Karena bagiku, tangis adalah simbol dari kelemahan.

"Jangan menangis, Bu. Masih terlalu pagi untuk itu. Lagi pula, Mala baik-baik saja, tak ada yang perlu dikhawatirkan."

Usai berkata begitu, aku segera meninggalkan ibu menuju ke kamar mandi. Melewati dapur yang sekaligus difungsikan sebagai ruang makan, aku melihat Mbak Yah sedang menyuapi Kayla dengan nasi dan sebutir telur orak-arik.

Kayla memang sangat suka telur orak-arik. Kuusap puncak kepalanya pelan, anak itu mendongak menatapku.

"Kapan kita pulang, Ma?" tanyanya.

Bocah tiga tahun ini, sangat kritis. Aku tak boleh menjawab asal jika tak ingin mendapat pertanyaan demi pertanyaan sampai ia merasa puas dengan jawabanku.

"Kayla Sayang, sementara kita tinggal di sini dulu, ya, nemenin nenek dan Tante Puspa. Nanti kalau nenek sudah ada temennya, baru kita kembali ke rumah kita," jawabku.

"Papa nggak ikut?"

Hmm ... pertanyàan ini yang sulit untuk kujawab. Aku tahu, berbohong bukanlah sebuah hal yang benar. Tapi untuk saat ini, aku tak punya cara lain untuk menjawab pertanyaan anakku barusan.

"Papa lagi dinas luar kota, Sayang."

"Lagi?" Sepasang mata lebar yang dinaungi bulu lentik itu menatapku lekat.

Tuh, kan? Kayla memang kritis.

"Sudah dulu, ya. Mama mau mandi dulu biar nggak terlambat ke kantor. Makanannya Kayla habisin, ya?" ucapku sambil kembali mengusap kepalanya sebelum melesat menuju kamar mandi.

Kabur dari Kayla adalah satu-satunya jalan ketika aku sudah buntu menghadapi pertanyaan-pertanyaan anakku itu.

***

"Lo abis nangis ya, semalem?" Lesti menegur ketika aku baru saja menyalakan PC komputer di hadapanku.

"Hah? Enggak, kok," jawabku jujur.

"Mata kamu sembab soalnya, La. Tu coba lihat kalau nggak percaya." Lesti menyodorkan sebuah cermin kecil dengan gagang pendek yang selalu dibawanya kemana-mana.

Kuraih benda tersebut, dan menempatkannya tepat di depan wajahku. Benar saja, selain sembab, di area bawah mataku juga terdapat lingkaran hitam.

"Lo berantem sama Raka?" selidik Lesti.

"Nggak, kami baik-baik aja, kok. Ini pasti karena semalam gue begadang nonton drama," kilahku memberi alasan.

Aku belum siap mengungkapkan soal kisruh rumah tanggaku pada sahabat baikku ini. Belum saatnya, dan di samping itu juga aku enggan dijadikan bahan omongan orang-orang sekantor.

"Les, nanti siang gue mau ke kantornya Mas Raka. Biasa ...." Kukedipkan sebelah mata pada Lesti.

"Hmm ... manten anyar teross. Ya wes, kalo telat baliknya, bawain gue KFC satu." Lesti berkata.

"Beres!" sahutku kemudian mulai menenggelamkan diri dalam pekerjaan sebelum memulai aksiku nanti siang.

***

Jam istirahat pun tiba. Berbekal alamat sekolah asal Mirna yang kuperoleh dari sekretaris Mas Raka, aku pun segera meluncur ke sekolah gadis jalang itu.

Perasaanku kembali tak karuan. Rasanya seperti saat kemarin sewaktu aku menggeruduk Mas Raka di kantornya.

Mirna bersekolah di sebuah SMU Negeri yang cukup ternama. Aku ingat, dulu aku pernah punya keinginan untuk bisa bersekolah di salah satu sekolah ternama ini.

Sekolah yang terkenal di isi oleh anak-anak berprestasi. Tetapi sayang harus dicoreng namanya oleh seorang siswa seperti Mirna.

Tiba di sekolah yang kutuju, lingkungan sekolah tampak ramai. Maklum saja, sekarang adalah jam istirahat.

Tentunya para siswa pun keluar dari kelas masing-masing. Sebagian besar pasti menghabiskan waktunya di kantin sekolah.

Mengingat jejak cakaran dalam yang kemarin kutinggalkan di wajah jalang cilik itu, aku tak yakin jika dia masuk sekolah hari ini.

Tapi yah, siapa tahu dia ada di sini juga. Biar makin hot kabar yang akan kusampaikan pada kepala sekolah berikut jajaran guru-gurunya.

"Selamat siang, Ibu. Ada keperluan apa kemari?" Di depan gerbang, aku disambut pertanyaan oleh seorang satpam yang berjaga.

"Selamat siang, Pak. Saya kemari berkaitan dengan keponakan saya yang bermasalah. Kebetulan, saya kemari sebagai walinya," jawabku yang terpaksa berbohong pada si penjaga sekolah.

"Oh, baik. Mari, silakan masuk, Ibu ...." Sang penjaga sekolah segera membuka pagar dan mempersilakanku masuk.

"Mohon maaf, Pak, kantor guru di sebelah mana, ya?" tanyaku sebelum melangkah memasuki area sekolah yang cukup luas.

"Di sebelah barat, Ibu. Itu, yang di depan tiang bendera," jawab si penjaga sekolah ramah.

"Terima kasih, Pak," ujarku sebelum meninggalkan satpam beserta mobilku yang terparkir di luar pagar sekolah.

Aku berjalan melintasi halaman sekolah yang cukup luas. Halaman yang difungsikan sebagai lapangan upacara bila hari Senin tiba, sekaligus lapangan olahraga bagi para siswa dan siswinya.

Akhirnya kudapati sebuah ruangan dengan pintu terbuka. Di atas kusen pintu, terdapat plang kecil bertuliskan ruang guru.

Beberapa pengajar tampak sedang berbincang ketika aku mengetuk daun pintunya pelan.

Kesemuanya menoleh ke arahku, termasuk beberapa siswi yang juga tengah berada dalam ruangan. Sepertinya mereka sedang berkonsultasi mengenai tugas dengan guru bidang studi masing-masing.

"Silakan masuk, Bu. Ada yang bisa kami bantu?"

Seorang wanita berhijab dengan pakaian dinasnya menyambutku di pintu. Kutaksir umurnya sekitar empat puluhan. Wajahnya tampak bersahaja dengan senyum terkembang di bibir.

"Permisi Ibu, di sini, kepada siapakah jika saya ingin melaporkan salah satu siswi yang bersekolah di sini?"

Pertanyaanku tak urung membuat wajah ibu guru tersebut berjengit. Mungkin terkejut.

"Mohon maaf Ibu, sebenarnya ... siswi kami yang mana yang hendak Ibu laporkan? Dan atas tuduhan apa?" tanya beliau.

Pembicaraan serius di antara kami kini sepertinya memancing perhatian para guru yang lain.

Oleh ibu guru pertama yang menyambutku tadi, aku pun diajak masuk dan dipersilakan duduk pada sebuah kursi di hadapan mejanya.

"Sebelumnya perkenalkan, nama saya Hani. Sekarang, bisa tolong dijelaskan lebih detail mengenai tujuan kedatangan Ibu kemari," ulang ibu guru tersebut dengan raut wajah serius.

Kasak-kusuk di belakang kami pun mulai terdengar.

"Baik, Ibu. Nama saya Nirmala. Saya datang kemari karena ingin melaporkan salah satu siswi sekolah ini yang bernama Mirna Indriani atas tuduhan perselingkuhan dengan suami saya, Raka Prasetya."

"Astaghfirullahaladziim!"

"Allahu Akbar!"

"Naudzubillah!"

Seruan-seruan bernada kalimat istighfar yang diiringi raut wajah-wajah tak percaya seketika memenuhi ruangan ini.

Beberapa oknum guru wanita yang sepertinya ingin tahu lebih jelas.

Entah karena kepo atau karena penasaran, yang pasti mereka semua langsung memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan.

"Mohon maaf Ibu, apa Ibu Nirmala mempunyai buktinya?" tanya Bu Hani padaku dengan raut wajah pias.

"Iya, Bu. Saya punya. Tapi tentunya akan saya ungkap hanya di depan kepala sekolah atau guru BK terkait saja," jawabku.

Gumaman-gumaman bernada kecewa pun terdengar dari mulut guru-guru yang mengelilingiku di meja Bu Hani.

"Baik, karena ini perkara serius, mari saya antarkan Ibu Nirmala ke ruang Kepsek sekarang."

Bu Hani beranjak bangkit, mengajakku ke ruang Kepsek yang letaknya bersebelahan dengan ruang guru yang kumasuki.

Saat melewati pintu keluar, sepintas kulihat beberapa siswa sedang bergerombol menatap sambil berbisik-bisik ke arahku. Bagus. Tentu ini akan menjadi sebuah gosip yang menghebohkan seantero sekolah.

Kabar salah satu siswi yang dikirim magang ke sebuah perusahaan, tapi malah jadi pelakor jalang yang merusak rumah tangga orang.

"Maaf Bu, sebentar. Boleh saya ke kamar kecil lebih dulu?" ujarku pada Bu Hani.

"Oh, tentu saja, Bu. Kamar kecil terletak agak jauh di sana. Di ujung ruang kelas 3E." Bu Hani menunjukkan padaku ke satu arah. Aku mengangguk, kemudian pamit padanya.

Aku berjalan santai menelusuri selasar tiap kelas menuju ruang toilet di bagian ujung bangunan sekolah ini. Saat tiba di sana, tampak beberapa siswi juga sedang mengantre.

Ah, ini kesempatan bagus buatku untuk membuat Mirna dipermalukan oleh teman-teman satu sekolahnya.

"Permisi, Dek, apa kalian kenal sama Mirna? Saya cari-cari dari tadi kok nggak ketemu, ya?" Aku mulai mendekati dan membuka obrolan dengan salah satu gadis yang berdiri di sebelahku bersama beberapa temannya.

"Mirna? Mirna yang mana, Kak?" tanya gadis berambut panjang tersebut.

"Sebentar," ujarku, kemudian merogoh ponsel dalam tas jinjing yang kubawa.

"Yang ini, lho. Kalian kenal? Kebetulan saya ada perlu dengan dia ...." Kusodorkan layar HP yang menampilkan gambar Mirna dan Mas Raka saat kugrebek kemarin.

Gambar yang menunjukkan Mirna tengah terduduk di lantai, dengan beberapa kancing baju di bagian atas yang terbuka.
Diubah oleh dwindrawati 29-05-2021 07:48
redrices
khuman
kubelti3
kubelti3 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
Tutup