Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Visiliya123Avatar border
TS
Visiliya123
Ngalor-Ngetan
Ngalor-Ngetan


NGALOR-NGETAN
Horor Story
Desa Danyang Pitu


Hai, semua. Hai masyarakat indonesia, khususnya warga Puwodadi yang tentunya tidak asing dengan larangan pernikahan ngalor ngetan :v . Siapa yang tidak kesal, ketika cinta kita gagal, bukan karena bertepuk sebelah tangan atau terhalang restu orang tua, melainkan terhalang adat istiadat yang ada.

Kalian akan semakin kesal tentunya ketika membaca cerita ini emoticon-Frown. Namun, untuk diketahui, bahwa apapun yang tertulis dalam cerita ini hanyalah fiktif. Tetapi jika kalian merasa kisah ini persis dengan yang kalian alami, itu adalah mungkin sebuah kebetulan. So, selamat membaca emoticon-Smilie



Sebuah sepeda motor terlihat melaju menembus kabut tipis, dengan cahaya lampu depannya yang meredup. Suara mesin dari roda dua terdengar di telinga, diiringi suara klakson yang terus saja dibunyikan si pengendara di sepanjang perjalanan. Hal itu membuat siapa saja geram, termasuk seorang gadis yang duduk di jok belakang motor.

"Bisakah Bapak berhenti membunyikan klakson?" tanya gadis itu sedikit berteriak, takut si pengendara tak mendengar. Sebab angin yang bertiup sangat kencang kala itu bisa saja membawa suaranya pergi. Sore hari itu tidak seperti biasanya, awan menggelap menutupi sang surya yang hampir tenggelam sempurna, menyingkirkan semburat jingga yang selalu terlihat menghiasi cakrawala.

"Maaf, ndak bisa, Mbak. Ini untuk jaga-jaga, takut nabrak," jawab pengendara itu. Gadis itu hanya mengernyitkan kening, menyibak rambutnya ke samping yang menutupi mata.

"Takut nabrak apa, Pak? Di sini gak ada orang maupun binatang?" tanya gadis itu kembali. Tukang ojek di depannya ini memang sudah tidak waras, pikirnya saat itu. Jalanan ini sepi, hanya mereka yang melintas di sini. Lalu, apa yang mau ditabrak?

"Bukan itu, Mbak."

"Lalu apa? Setan?" Tepat setelah gadis itu berbicara, suara anjing yang menggonggong terdengar jelas di telinga. Kemudian disusul suara ayam jantan yang berkokok. Terasa janggal. Untuk apa ayam berkokok sore hari?

"Jangan bicara aneh-aneh, Mbak!" peringati bapak itu, sang gadis hanya tertawa kecil mendengarnya.

"Saya asli sini, Pak. Gak akan terjadi apa-apa," ucap gadis itu percaya diri. Sang tukang ojek hanya diam, tak berniat melanjutkan pembicaraan. Kendaraan beroda dua itu berhenti, tepat di ujung jembatan. Sang gadis yang merasa ada yang tidak beres, segera turun dari motor.

"Kenapa, Pak? Motornya mogok?" tanyanya sambil membenarkan posisi tas di punggung yang terlihat besar.

"Bukan, Mbak. Tapi ...," jawab tukang ojek itu menggantung, wajahnya terlihat pucat pasi. Dia terlihat ragu melanjutkan kalimatnya.

"Tapi, apa, Pak? Saya sudah tidak punya banyak waktu, sebentar lagi magrib."

"Saya ndak bisa ngantar sampai rumah, Mbak. Saya ... saya takut, ndak bisa balik lagi setelah melewati jembatan ini," jelas sang bapak yang membuat gadis itu melongo tidak percaya.

"Bapak bercanda?" ujar sang gadis diakhiri dengan kekehan. Tukang ojek di depannya memang semakin aneh saja. Mana ada orang hilang setelah melewati jembatan ini.

"Saya ndak bercanda, Mbak. Katanya ada orang yang lewat jembatan itu menjelang petang dan ndak balik-balik, karena bukan penduduk desa sana." Gadis itu mengatupkan bibir tipisnya, mencoba menahan tawa. Tapi, mulutnya tak bisa dikontrol hingga tawa itu keluar, terdengar kencang dari sebelumnya. Sedangkan sang bapak tukang ojek hanya diam, memperhatikan penumpangnya itu.

"Aduh perut saya sakit karena tertawa. Bapak percaya saja, itu hanya mitos, Pak. Saya asli warga desa sana, selama saya tinggal di sana gak ada tuh kejadian kayak gitu." Setidaknya itu yang gadis berambut sebahu itu tahu sepuluh tahun yang lalu. "Sudah, Pak. Jangan takut, aman mah kalau sama saya," ujar sang gadis meyakinkan.

Bapak tukang ojek itu terdiam, dia masih terlihat ragu. Pasalnya berita hilangnya orang setelah melewati jembatan itu, tersebar dan banyak yang membenarkannya.

"Saya bayar tiga kali lipat, deh," tawar gadis itu. Terdiam menatap depan, sang tukang ojek menimang-nimang tawaran menggiurkan itu.

"Ya sudah, kalau Mbaknya memaksa." Sang gadis hanya memutar bola mata malas.

"Bilang aja mau uang tambahan, kan gak usah debat dari tadi, Pak," ujarnya kesal. Lalu kembali naik ke atas motor, sambil membenarkan letak tas punggungnya. Sang tukang ojek hanya meringis tanpa dosa, memeperlihatkan deretan gigi yang beberapa telah copot dari tempatnya.

Motor melaju dengan pelan, suara papan yang bertubrukan dengan ban motor kini terdengar keras di kesunyian kala itu. Sang gadis merapatkan jaketnya, angin berembus semakin kencang, hingga membuat jembatan gantung bergoyang ke kiri dan ke kanan, mengikuti irama angin.

Gadis itu menatap ke bawah, aliran air tenang, namun terlihat menyeramkan kini terlihat di sana. Ia bergedik ngeri, membayangkan apabila dirinya jatuh ke sungai yang dalam itu. Pandangannya beralih ke depan, siluet putih tiba-tiba terlihat melintas di depan kendaraan yang mereka tumpangi.

"Awas, Pak!" teriak gadis itu, refleks sang bapak tukang ojek menarik rem. Ban berdecit hingga menimbulkan suara, motor oleng karena diberhentikan mendadak. Keduanya jatuh, kaki mereka terjebak tertimpa kendaraan besi itu.

"Bapak tidak papa?" tanya gadis itu khawatir. Keduanya berupaya mengangkat motor yang menimpa tubuh mereka, hingga motor kini kembali berdiri tegak.

"Mereka marah, mereka marah," racau bapak itu.

"Berhenti berpikiran seperti itu, Pak! Mungkin saja itu hanya orang yang sedang lewat, atau cahaya lampu." elaknya. Tak bisa dipungkiri, bahwa gadis itu saat ini tengah takut juga. Mata cokelat gelapnya menatap ke sekeliling, gelap mulai mendominasi. Hanya ada cahaya yang berasal dari motor butut yang ia tumpangi tadi.

"Mana ada orang menyebrang, ini jembatan, Mbak. Hanya ada satu arah dan tidak mungkin cahaya lampu, ndak ada orang di sini selain kita. Saya yakin itu penunggu jembatan ini."

Gadis itu menelan ludah dengan susah payah ketika mendengarnya. Hawa dingin kini menusuk, menembus jaket bahkan terasa sampai ke tulang. Gadis itu merapatkan jaketnya, bulu kuduknya kini meremang. Namun, ia tetap memasang wajah tenang, seolah-olah perkataan itu tak berpengaruh padanya. Benar-benar pintar bersandiwara.

"Ah, mana mungkin?" elaknya kembali. Bapak itu hanya diam, seperti sedang berpikir. Tidak ada gunanya juga menjelaskan panjang lebar pada gadis di depannya.

Gadis berambut sebahu itu mulai khawatir. Pemikiran bahwa tukang ojek yang bersamanya akan kembali pulang dan meninggalkannya sendiri kini bersemanyam di dalam pikiran. Tidak, sebelum hal itu terjadi dia harus mencari alternatif lain. Sepertinya dia harus menghubungi keluarganya agar dijemput.
Sang gadis merogohnya saku celana, mengambil sebuah benda tipis berwarna hitam, menghidupkan benda itu hingga cahaya terpancar dari layarnya.

"Akh, sial. Gak ada sinyal lagi," umpat gadis itu kesal. Ia sibuk menggerak-gerakkan ponselnya ke segala arah, berharap mendapatkan sinyal dengan melakukan itu. Gerakannya terhenti, ketika telinga mendengar suara azan magrib dari desa seberang.

"Sudah azan magrib, saya harus segera pulang."

Damn it, yang gadis itu khawatirkan sekarang terjadi juga. Dia mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, menatap si tukang ojek dengan raut wajah tak percaya.

"Bapak bercanda? Tega Bapak ninggalin saya sendiri di sini? Lagipula saya bayar Bapak tiga kali lipat, lho," ujar gadis itu. Jika saja tukang ojek itu tidak lebih tua darinya, bisa dipastikan gadis itu akan memukul kepalanya dengan keras. Agar bisa berpikir dan tak bertindak seenak jidatnya.

"Maaf, mbak, ndak usah bayar, saya ikhlas. Saya harus pergi." Tukang ojek itu memutar arah motornya ke belakang. Mesin motornya tiba-tiba mati, hingga cahaya lampunya ikut padam. Kini semua terasa gelap, sangat gelap. Gadis itu kesal sekaligus ingin tertawa, melihat bapak ojek yang sibuk berusaha menghidupkan motornya kembali.

"Motor Bapak aja gak mau diajak pulang. Udah, lebih baik—“ Tiba-tiba motor kembali menyala, hingga membuat sang gadis berhenti bicara, tidak melanjutkan kalimatnya. Ia melongo, menatap tak percaya pada orang yang duduk di atas motor tengah tersenyum tipis ke arahnya.

"Maaf, Mbak." Tanpa mendengar jawaban dari sang gadis terlebih dahulu, tukang ojek itu langsung melaju pergi.

“Hai, Pak, setidaknya tunggu sampai bapak saya datang,” teriak gadis itu, tapi si tukang ojek tetap saja tak mau berhenti. Gadis itu kembali mengumpat, sekarang bagaimana dia pulang? Rumahnya masih jauh dan juga dia agak takut jalan sendirian.

Tak lama kemudian, sebuah cahaya menyorot dari arah dia datang. Ia menutup kedua mata dengan tangan karena cahaya itu menyilaukan. Suara kendaraan terdengar semakin mendekat. Dalam hati gadis itu bersorak senang, berpikir bahwa tukang ojek tadi berubah pikiran dan kembali untuk mengantarnya pulang sampai tujuan.

Saat ia membuka tangannya yang menutupi mata. Sebuah sepeda motor astrea kini terpakir indah di depannya, dengan cahaya lampu yang masih menyala. Refleks ia melangkah mundur, ada motor tapi tidak ada si pengendara. Apa mungkin motor itu jalan sendiri? Bulu kuduk kini meremang, tangan refleks memegang tengkuk. Ia menelan ludah, tubuhnya sudah panas dingin sekarang ini. Bau melati kini menguar di udara, membuat siapa saja bergedik ngeri menciumnya. Semakin kuat, seakan bau itu mendekat ke arahnya, bukan hanya sekedar terbawa oleh embusan angin saja.

"Aaaa!" jeritnya, ketika sebuah tangan menepuk pundaknya dari belakang.

"Kamu tidak papa?" Bukannya menjawab, gadis itu malah sibuk mengedarkan pandangan ke segala arah. Netranya menangkap siluet putih tadi di ujung jembatan. Entah orang atau bukan, tapi siluet itu terjun ke bawah jembatan. Gadis itu bahkan sampai menengok ke arah bawah, tepat di mana aliran air tenang berada untuk melihatnya. Ia menghela napas lega, bersandar pada batas jembatan, ketika mengetahui apa yang ia lihat tadi hanya ilusi semata. Mungkin.

"Kamu tidak papa?" Sang gadis terdiam, menatap pemuda di depannya. Pandangan beralih pada kaki pemuda itu yang tersorot cahaya lampu motor, ia kembali menghela napas lega mengetahui kaki pemuda di depannya menapak di alas jembatan.

"Saya tidak papa," jawabnya singkat.

"Mau saya antar?" tawar pemuda itu. Sang gadis terdiam, tapi karena tak memiliki pilihan lain akhirnya ia mengangguk.

Gemerlap cahaya redup kini mulai terlihat di beberapa titik, menyinari jalanan yang sepi di ujung jembatan sana. Bau kemenyan tiba-tiba tercium, setelah motor melewati jembatan. Menghela napas, sang gadis menutup hidungnya karena tak tahan dengan aroma kuat itu. Ini adalah salah satu alasan kenapa dia tidak mau kembali ke desa ini lagi.

Desa Danyang Pitu, begitulah warga desa sekitar menyebutnya. Danyang adalah sebutan untuk seorang penjaga, sedangkan pitu adalah tujuh. Seperti namanya, desa ini dijaga oleh tujuh Danyang yang tersebar di berbagai titik dan titik itu disebut dengan nama petilasan, tempat suci di mana dilaksanakannya kegiatan yang berhubungan dengan adat-istiadat dan hal-hal gaib. Maka tak ayal, jika banyak orang dari desa tetangga yang datang untuk berdoa, mengharap banyak hal di sana, termasuk kekayaan, meskipun mereka tahu itu syirik.

Dari kaca spion gadis itu dapat melihat dengan jelas, bahwa pemuda di depannya tengah memperhatikan dirinya dengan tatapan datar. Karena merasa tak nyaman, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Mencoba tak menatap mata pemuda itu yang terkesan dingin.

"Kemarin ada yang jatuh," jelas pemuda itu tanpa ada yang bertanya. Gadis itu mengalihkan pandangan, menatap pemuda di depannya lewat spion dalam diam, kemudian menganggukkan kepala. Meski sudah lama, ia masih ingat tradisi warga desa sini. Mereka selalu meletakkan sesaji berupa beras kuning yang dicampur dengan bunga mawar dan uang koin. Tak lupa juga dengan kemenyan yang dibakar di ujung jembatan, ketika ada orang yang jatuh dari sana. Mereka percaya, dengan melakukan itu maka penunggu tempat mereka jatuh tidak akan mengusik dan memperburuk keadaan korban yang jatuh.

Desa ini tak berubah sedikit pun, masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Rumah warga desa tertutup rapat, jalan terlihat redup karena hanya diterangi dengan bohlam kecil berwarna kuning. Penduduk desa masih percaya dengan adanya mitos yang dibawa oleh nenek moyang mereka, meski zaman sudah modern. Itulah mengapa, desa ini dianggap kental dengan hal-hal yang berbau mistis.

Motor yang mereka tumpangi kini berhenti tepat di depan sebuah rumah yang terlihat lebih luas dari rumah lainnya. Pintunya menjulang tinggi dengan ukiran berbentuk bunga yang memanjang di setiap sudutnya. Mengernyit bingung, gadis itu turun dari motor. Aneh, seingatnya ia belum mengatakan tempat yang ingin dia tuju. Tapi mengapa pemuda ini mengantarnya di tempat yang tepat, bagaimana dia bisa tahu?

Baru saja ia ingin membuka mulut, suara pintu yang terbuka menghentikannya. Seorang pria paruh baya bertubuh besar dan tinggi melangkah mendekat. Kumis tebal menambah kesan garang pada wajahnya, hingga membuat sang gadis menunduk takut.

"Masuk!" perintahnya tegas. Gadis itu mendongak, tatapannya beralih ke samping, tempat pemuda tadi. Kerutan semakin terlihat jelas di keningnya, ketika netranya tak menemukan sosok pemuda tadi. Ke mana dia pergi tiba-tiba? Bahkan ia tak mendengar suara deru mesin motornya.

"Rumi." Panggilan itu membuat sang gadis kembali menatap pria paruh baya di depannya. Ia mengangguk, berjalan masuk ke dalam rumah dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi otaknya.



Note : Cerita ini fiksi, namun beberapa kejadian dan tempat peristiwa benar-benar ada, tetapi disamarkan. Cerita ini tidak bermaksud memanipulasi pemikiran masyarakat tentang adat-istiadat yang dijabarkan dalam cerita.


Sumber gambar : Google and PistArt


Quote:

Diubah oleh Visiliya123 04-11-2022 15:31
bonita71
rassof
herry8900
herry8900 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
9.9K
238
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
Visiliya123Avatar border
TS
Visiliya123
#8
NGALOR NGETAN
Horor story
Kematian Pak Waluyo


Suara pintu diketuk dari luar, terdengar terburu-buru dan tidak sabaran. Rumi yang baru saja masuk ke dalam kamar, dan merebahkan tubuh setelah menyudahi obrolan dengan ibunya mulai terganggu. Gadis itu bedecak, mengubah posisi menjadi duduk. Diliriknya jam dinding yang detakannya kalah dengan suara ketukan tersebut. Jam menunjukkan pukul 12.15 WIB. sungguh waktu yang tidak tepat untuk menerima tamu. Lagi pula siapa yang berani menggedor pintu rumahnya di tengah malam seperti ini? Padahal sesuai peraturan desa, malam hari adalah waktu tertutup. Di mana semua warga desa diharuskan menutup semua lubang rumah, dan tidak boleh ada yang keluar satu pun, atau akan ada mala petaka.

Suara ketukan itu semakin kencang saja, dan Cumian telinga. Rumi kembali berdecak. Pasti tidak ada yang membukakan pintunya. Mau tak mau, gadis itu yang harus membukakannya.

Dia melangkah keluar kamar, keningnya mengernyit ketika melihat sang ibu yang bediri di depan pintu. Rumi dapat melihat dengan jelas, sebab kamarnya terletak tak jauh dari pintu utama.

Gadis itu terdiam, masih memandang ibunya dengan kernyitan. Sudah cukup lama pintu itu diketuk, dan selama itu juga ibunya hanya berdiri menghadap pintu tanpa ada niatan untuk membukannya.

Dia berjalan menuju ibunya sambil berkata, "Ibu, kenapa pintunya tidak dibuka?"

Bukannya menjawab, sang ibu hanya memberi isyarat mata agar Rumi diam.

"Bu, itu kasian. Siapa tau butuh pertolongan atau ada sesuatu yang peting."

"Pelankan suaramu, Nduk."

Gadis itu menghela napas, menguap dengan pelan sambil meregangkan otot tangan. "Bu, kenapa tidak dibuka?" tanyanya kembali dengan nada sepelan mungkin.

"Kita harus menurut pada aturan desa, Nduk. Kita tidak tau siapa yang mengetuk di luar, bisa saja itu orang asing atau bukan manusia."

Rumi membelalak mendengarnya. Bukan Manusia? Dia meneguk saliva, bulu kuduknya tiba-tiba berdiri.

"Ibu, jangan bercanda malam-malam, Bu."

"Ibu tidak bercanda, terserah padamu mau percaya atau tidak, Nduk. Tapi yang jelas, ibu tidak akan membuka pintu ini."

"Tapi, Bu. Kalau itu benar-benar orang yang butuh pertolongan, apa ibu tega tetap menutup pintu meski mendengar ketukannya?"

Janum terdiam, dia memandang lurus ke depan mendengar kalimat yang putrinya ucapkan. Sebenarnya Janum juga tidak tega karena membiarkan seseorang di luar sana menunggu tanpa hasil. Namun, bagaimana dengan peraturan desa? Dan juga, siapa yang tau kalau di balik pintu itu bisa saja bukan manusia.

Suara tangisan tiba-tiba terdengar dari balik pintu. Suaranya lembut, dan terdengar begitu pilu sekaligus ada nada ketakutan di dalamnya. Rumi dan Janum menegang, ibu dan anak itu saling pandang satu sama lain.

"Bu, sepertinya itu manusia," ujar Rumi pelan, layaknya orang berbisik. Meski suaranya hampir kalah dari suara ketukan dan juga tangisan di luar, tetapi Janum masih bisa mendengarnya dengan jelas.

Gadis itu berjalan menuju jendela di samping pintu yang tertutup dengan gorden. Baru saja tangannya ingin menyibak gorden berwarna merah itu, sang ibu mencegahnya.

"Kamu mau ngapain, Nduk?"

"Rumi mau melihatnya, Bu."

"Jangan aneh-aneh, Rum."

"Ibu tenang saja."

Janum hanya mengehela napas. Rumi tetaplah Rumi, putri kecilnya yang kini sudah tumbuh dewasa itu tetap sama, selalu keras kepala dan penasaran akan banyak hal. Ini alasan Janum ketakutan setiap waktu. Sudah cukup dia dipaksa jauh dari putrinya selama inj, akibat rasa penasaran Rumi yang menimbulkan mala petaka bagi desa. Kali ini, Janum harus bisa membuat putrinya itu mengerti. Dia tidak ingin jauh darinya kembali.

"Rum, sudah biarkan sa--"

Belum sempat Janum menyelesaikan ucapannya, Rumi sudah menyibak gorden itu.

Gelap, hanya ada kegelapan di luar sana. Hanya ada sorotan cahaya rembulan malam di jalanan yang tak ada pohon tingginya yang nenutupinya, sehingga celah cahaya itu bisa masuk. Rumi mengernyit, karena suara tangisan tadi juga telah berhenti, lenyap begitu dan hanya menyisakan sunyi di tengah malam ini. Suara jangkrik dan cicak di dinding bahkan tak terdengar lagi. Singup dan sepi, seperti tak ada kehidupan lagi di desa ini.

Rumi mengedarkan pandangan ke segala penjuru di luar sana yang bisa ia jangkau. Dengan pelan, gadis itu berujar pada sang ibu, "Tidak ada orang di luar, Bu. Ha-- Aaaa ...!" Rumi menjerit tat kala sebuah wajah pucat dengan rambut yang menutupi sebelah mata tiba-tiba berada tepat di depan matanya.

"Tolong!"

Pemilik wajah itu membuka mulut, meski pelan dan terhalang kaca, tetapi nyatanya Rumi masih bisa mendengarnya.

Rumi mundur lalu terduduk di lantai. Jantungnya berdetak begitu cepat. Janum yang mendengar putrinya menjerit dan mundur dengan mata membelalak melangkah mendekat.

"Rum, apa yang kamu lihat, Nduk?"

Rumi tak menjawab, bibirnya bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat dingin yang membasahi. Dengan tangan bergetar, gadis itu menunjuk ke arah kaca.

Janum sontak saja mengikuti arah tunjuk putrinya. Wanita paruh baya itu ikut menelan ludah. Sial, ternyata Janum juga takut.

Dengan langkah pelan, dia berjalan menuju kaca. Disibaknya gorden dengan gerakan pelan. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah pucat  dengan bibir bergetar dan cairan bening membasahi pipi yang terus keluar dari mata seorang gadis. Rambut panjang yang bergerak-gerak tertiup angin, menutupi matanya. Lalu sebuah obor dengan api kecil diangkat, hingga memperlihatkan dengan jelas siapa pemilik wajah itu.

"Sarah," ujar Janum kaget setelah mengetahui itu adalah Sarah, gadis sebaya putrinya yang ia anggap sebagai putri sendiri.

"Ibu." Sarah berujar pelan, suaranya terdengar seperti rintihan dan tertahan di tenggorokan.

Tanpa pikir panjang, dengan cepat Janum membuka pintu rumahnya. Rumi yang melihat itu hanya diam saja.

Pintu terbuka, angin malam yang bertiup kencang kini memaksa masuk. Membuat kalender kertas yang tertempel di dinding bergoyang tanpa arah dan membuat keributan.

Sesosok gadis berambut panjang dengan obor di tangan, langsung menangis. Di peluknya Janum dengan begitu erat, setelah menjatuhkan obornya begitu saja di lantai.

"Ibu." Dia terus menangis dalam pelukan Janum. Rumi yang masih terduduk kini mengubah posisinya menjadi berdiri. Gadis itu melangkah mendekat, berdiri di belakang ibunya.
Dia tertawa kecil menertawai kebodohannya. Rumi pikir Sarah adalah hantu tadi.

"Sarah, ada apa?"

"Bapak, Bu. Bapak, " racaunya sambil sesenggukan.

"Tenanglah, Nduk. Ayo duduk dulu." Janum membawa Sarah masuk, dan mendudukkannya di kursi ruang tamu, yang terletak tepat setelah pintu utama.

"Kenapa kamu malam-malam ke sini?" tanya Janum.

Brakk

Suara pintu yang dihempas oleh angin membuat ketiganya mengalihkan pandangan. Rumi yang saat itu sudah mulai kembali kewarasannya, melangkah menuju pintu. Memberi kode pada sang ibu, biar dia yang menutupnya. Angin kencang menerpa tubuh tanpa ampun, membuatnya sedikit kuwalahan untuk melangkah. Padahal dia tidak kurus-kurus amat.

Rambut sebahu miliknya beterbangan ke segala arah, gadis itu sibuk menyelipkan rambut yang menutupi mata ke belakang telinga. Hal itu terus ia lakukan, sebelum kedua tangannya menggapai pegangan pintu. Rumi bergeming, ketika kedua tangan sudah berada pada posisi yang dia inginkan. Mata cokelat hanya memandang depan, tepat ke arah tiang yang dijadikan tempat bernaungnya lampu bohlam kuning yang menerangi jalan. Tiang itu bergerak gelisah, hingga membuat lampu ikut bergoyang seirama embusan angin.

Sejak kapan bohlam itu hidup?

Mata cokelat menyipit, tat kala seorang wanita terlihat di bawah tiang itu. Wajahnya tak tersinari cahaya, sehingga Rumi tak bisa melihat siapa yang berdiri di situ.

Apa dia datang bersama gadis itu? Apa kusuruh masuk saja ya.

"Aw, panas!" Rumi meringis ketika tanpa sengaja kakinya yang tidak memakai alas apapun menendang obor di lantai. "Sial."

Gadis itu menunduk, mengambil obor yang masih menyala meski telah dijatuhkan. Minyak tanah di dalamnya sedikit tercecer di lantai, juga membasahi bambu hijau yang digunakan untuk obor itu. Baunya begitu menyengat, hingga gadis itu harus menggerakkan tangannya seperti kipas di depan wajah untuk mengusir asap yang ditimbulkan.

Rumi mengernyit heran, setelah kembali melihat ke arah tiang. Wanita tadi sudah tidak ada di sana. Ke mana dia pergi? Baru saja dia ingin melangkah keluar, suara sang ibu membuatnya terhenti.

"Innalillahi wa inna illahi rojiun."

Dengan cepat, Rumi menutup pintu, dan bergabung dengan kedua wanita itu, masih mengenggam obor di tangan.

"Siapa yang meninggal, Bu?" tanyanya. Sebab Rumi tak mendengarkan pembicaraan keduanya dengan cermat.

"Siapa yang meninggal, Rum?" Seorang pria paruh baya dengan sarung kotak-kotak juga peci yang masih bertengger di kepala kini mendekat. Dia berdiri di samping sang putri, menatap Rumi dengan tanda tanya lalu menatap kedua wanita berbeda umur yang tengah duduk dengan wajah sedih.

"Siapa yang meninggal, Bu?" tanya pria itu kembali, tetapi pada sang istri.

"Waluyo, Pak."

"Innalillahi wa inna ilahi rojiun."

Rumi yang mendengarnya ikut mengucapkan kalimat tarji tersebut. Dia kenal betul siapa Pak Waluyo, karena Rumi kecil sering bermain di rumahnya bersama Sarah, putri Pak Waluyo yang merupakan teman masa kecilnya. Ditatapnya lekat-lekat gadis yang duduk di samping ibunya. Gadis itu berbeda dengan Sarah kecil yang ia kenal. Rambut panjang, kulit putih bersih dan badan yang ideal. Sungguh begitu berbeda dengan Sarah kecil yang berambut pendek layaknya laki-laki, berkulit sawo matang dengan koreng yang menghiasi kaki. Ah, jangan lupa dengan badan yang gemuk. Rumi tak menyangka Sarah bisa berubah sedrastis itu, sampai-sampai Rumi tak mengenalinya. Ya, tapi perubahan itu sangat bagus, setidaknya Sarah tidak akan diejek lagi dengan julukan "Bom". Ah, tapi dia sedikit iri karena Sarah kini lebih cantik daripada dirinya.

"Sarah ke sini mau minta bantuan Bapak dan Ibu, untuk menyucikan Bapak Sarah," ujarnya di sela isak tangis. "Sarah sudah pergi ke rumah Pak Badrun, tapi beliau menolak untuk membuka pintu rumahnya, hiks."

Janum mengelus lembut rambut Sarah. Air matanya  pun tak bisa ia tahan melihat gadis di sampingnya menangis seperti itu.

"Sarah ndak tahu harus minta bantuan siapa lagi selain Bapak dan Ibu, hiks. Tadi Sarah sempat berpikir ke rumah Pak Camat, tetapi Sarah sudah sering merepotkan beliau juga Zein."

Dari sekian banyak kata yang Sarah lontarkan, hanya satu yang terlintas di pikiran Rumi. "Zein" teman masa kecilnya juga, Rumi jadi merindukannya. Apakah dia tetap Zeinnya Sekar yang ia kenal, atau malah berubah seperti Sarah.

"Bapak ingin membantumu, Nduk. Tapi Pakde .... "

"Bapak harus bantu Sarah, Pak. Kasian. Kalau Bapak gak mau, biar Rumi saja yang bantu," ujar Rumi tak terbantahkan.

Rinto, bapak Rumi menghela napas. Dia tahu seberapa nekat putrinya itu.

"Ayo, Sar!"

Ditariknya tangan Sarah, mencoba kembali mengakrabkan diri. Sarah yang ditarik hanya diam saja, melirik ke arah Janum dan Rinto, lalu melangkah mengikuti Rumi menuju pintu.

"Tunggu, Bapak akan ikut kalian."


Diubah oleh Visiliya123 29-05-2021 04:25
itkgid
ariefdias
japraha47
japraha47 dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Tutup